Islam menetapkan zakat sebagai salah satu rukunnya, Islam menetapkan kedudukan yang mulia dan derajat yang tinggi bagi zakat, hal itu tidak lain karena pelaksanaan dan penerapannya mengandung maqashid tujuan-tujuan syar’i yang agung, memberikan kebaikan dunia dan akhirat yang besar bagi orang kaya dan orang miskin sekaligus bagi masyarakat.
Pertama, mewujudkan ubudiyah kepada Allah dengan menjalankan perintahNya dan menunaikan kewajibanNya.
Banyak dalil yang hadir memerintahkan pelaksanaan kewajiban besar ini, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman di beberapa ayat, “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.” (TQS. Al-Baqarah: 43).
Allah menjelaskan bahwa menunaikan zakat merupakan sifat orang-orang mukmin yang taat, sebagaimana Dia berfirman, “Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan Termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (TQS. At-Taubah: 18).
Kedua, mensyukuri nikmat harta yang telah Allah limpahkan sebagai karunia kepada seorang muslim. Allah Ta’ala berfirman, “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (TQS. Ibrahim: 7).
Membayar zakat adalah pengakuan terhadap karunia Allah sekaligus mensyukurinya dengan memberikan nikmat tersebut di jalan yang ridhai dan merupakan ketaatan kepada Allah.
Ketiga, menyucikan pembayar zakat dari dosa-dosa, sebagaimana Allah ta’ala berfirman, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (TQS. At-Taubah: 103).
Dalam sunnah terhadap hadits yang menegaskan makna di atas sebagaimana dalam hadits Muadz bin Jabal bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الخَطِيْئَةَ كَمَا يُطْفِئ ُالمَاءُ النَّارَ
“Sedekah itu memadamkan kesalahan sebagaimana air memadamkan api.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad).
Keempat, membersihkan muzakki dari sifat bakhil dan kikir. Kikir adalah penyakit yang dibenci dan tercela, tetapi manusia diuji dengannya, maka manusia berupaya untuk selalu memiliki, menyintai diri, cenderung kepada memperbanyak dan melanggengkan harta, hal ini akan memicu sikap monopoli terhadap manfaat.
Sifat kikir ini merupakan sebab terbesar ketergantungan manusia kepada dunia dan berpaling dari akhirat, ia merupakan sebab kesengsaraan yang diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai doa atas para penghamba harta dan dunia, beliau bersabda,
تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِوَعَبْدُ الدِّرْهَمِ وَعَبْدُ الخَمِيْصَةِ إِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ وَإِنْ لَمْ يُعْطَ سَخِطَ تَعِسَ وَانْتَكَسَ وَإِذَا شِيْكَ فَلاَ اْنَتقَشَ
“Sengsara hamba dinar, sengsara hamba dirham, sengsara hamba khamishah, bila dia diberi maka dia rela bila tidak maka dia murka, sengsara dan tersungkurlah dia, bila dia tertusuk duri maka dia tidak akan mencabutnya.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari).
Allah menyatakan bahwa kikir bukan menghadirkan kebaikan, sebaliknya ia menyeret kepada keburukan, Allah Ta’ala berfirman, “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat.” (TQS. Ali Imran: 180). Wallahu a’lam.
Kelima, membersihkan harta dengan menunaikan hak orang-orang yang berhak, keterkaitan hak orang lain dengan harta membuat harta kotor dan keruh, ia tidak menjadi bersih kecuali dengan mengeluarkan hak yang berkait dengannya, hal ini diisyaratkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saat beliau menjelaskan alasan zakat tidak boleh diberikan kepada keluarga beliau, bahwa zakat adalah kotoran harta manusia, maka dengan zakat pensucian akan terwujud dan kotoran tersebut akan sirna.
Keenam, membersihkan hati orang miskin dari hasad dan iri hati kepada orang kaya, bila seorang fakir melihat orang-orang di sekitarnya hidup senang dengan harta yang melimpah sementara dia sendiri harus memikul derita kemiskinan, maka hal tersebut bisa menimbulkan hasad, dengki, permusuhan dan kebencian dalam hati orang miskin kepada orang kaya, hal ini tentu melemahkan hubungan di antara sesama muslim, bahkan bisa menjadi sebab terputusnya ikatan persaudaraan dan terpicunya api permusuhan.
Hasad, dengki dan kebencian adalah penyakit berbahaya, mengancam masyarakat dan mengguncang pondasinya, Islam berupaya untuk mengatasinya dengan menjelaskan bahayanya melalui kewajiban zakat, ia adalah metode praktis untuk mengatasi penyakit-penyakit tersebut di samping untuk menyebarkan kecintaan dan belas kasih di antara anggota masyarakat.
Ketujuh, menghibur dan membantu orang miskin, di antara tujuan disyariatkannya zakat yang penting adalah membantu orang miskin dan menutupi hajat kebutuhan mereka.
Ibnul Qayyim berkata, “Hikmah peletak syariat menuntut penetapan kadar tertentu dari harta sebagai bantuan kepada orang miskin tanpa mengurangi harta yang membuat orang-orang miskin berkecukupan dan tidak memerlukan apa pun bersamanya, maka peletak syariat menetapkan pada harta orang-orang kaya kadar yang menutupi kebutuhan orang-orang miskin.”
Kedelapan, pertumbuhan harta yang dizakati, hal ini termasuk tujuan syar’i dari zakat, menumbuhkan harta dengan pertambahan dan turunnya keberkahan padanya, telah hadir sebelumnya keterangan bahwa di antara makna zakat dalam bahasa adalah pertumbuhan. Kemudian syariat hadir menetapkan makna ini dan menetapkannya pada kewajiban zakat.
Hal ini ditunjukkan oleh al-Qur`an dan sunnah, sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala, “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.” (Al-Baqarah: 276). Dan firman Allah Ta’ala, “Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dialah pemberi rizki yang sebaik-baiknya.” (Saba`: 39). Yakni Allah menggantinya di dunia dengan yang semisalnya dan di akhirat dengan pahala.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ العِبَادُ إِلاَّ وَمَلكَانِ يَنْزِلاَنِ فَيَقُولُ أَحَدُهُمَا اَللهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقاً خَلَفاً وَيَقُولُ الآخَرُ اللهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكاً تَلَفاً
“Tidak ada satu hari di mana manusia mendapatkan waktu pagi kecuali dua malaikat turun, salah satu dari keduanya berkata, ‘Ya Allah berikanlah pengganti kepada orang yang berinfak.’ Sedangkan yang lainnya berkata, ‘Ya Allah berikanlah kebinasaan kepada orang yang menahan.” Muttafaq alaihi.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ
“Sedekah tidak mengurangi harta.” Diriwayatkan oleh Muslim.
Kesembilan, mewujudkan solidaritas dan kesetiakawanan sosial. Zakat adalah bagian utama dari solidaritas sosial yang berpijak kepada tersedianya hajat-hajat dasar kehidupan berupa makanan, sandang, tempat tinggal
Zakat adalah sarana besar dalam tolong-menolong, saling menyayangi dan saling melindungi di antara anggota masyarakat, dengannya penyakit-penyakit masyarakat yang berbahaya bisa ditanggulangi seperti hasad dan kebencian, hal ini memungkinkan kaum muslimin untuk saling tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, mewujudkan tujuan yang karenanya mereka diciptakan yaitu ibadah kepada Allah. Wallahu a’lam.
http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatfiqih&id=215 dan http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatfiqih&id=216