Home » Fiqih » Mu'amalah » Waktu Yang Dianjurkan Memulai Bercampur Dengan Istri

Waktu Yang Dianjurkan Memulai Bercampur Dengan Istri

Aisyah radliyallahu ‘anha  berkata, ”Rasulullah saw. kawin denganku pada bulan Syawal dan mulai bercampur denganku pada bulan Syawal (juga); maka siapakah isteri-isteri Rasulullah saw. yang lebih dicintai oleh beliau daripada saya?” Aisyah merasa senang jika wanita-wanita mulai dicampuri (digauli) pada bulan syawal.

(Shahih : Shahih Ibnu Majah no:1619, Muslim II:1039 no:1423, Tirmidzi II:277 no:1099 tanpa kalimat yang ditengah, dan Nasa’i VI:130 tanpa kalimat yang terakhir, serta Ibnu Majah I:641 no:1990).

 

Beberapa Perbuatan Yang Dianjurkan Ketika Masuk Ke Kamar Pengantin

(Sub Bab Ini Diringkas Dari Kitab, Adabuz Zifaf karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani).

Dianjurkan sang suami bersikap lemah lembut kepada isterinya, misalnya menyuguhkan minuman dan semisalnya kepada isterinya.

Dari Asma’ Binti Yazid ia bertutur, ”Sesungguhnya aku merias Aisya ra ’anha untuk Rasulullah saw. setelah itu aku datang kepada beliau lalu memanggil beliau agar memberikan hadiah pengantin kepada Aisyah pada saat pesta perkawinan itu, kemudian datanglah r.a. lalu duduk berdampingan dengan Aisyah lantas beliau menyuguhkan sebuah bejana berisikan susu kepada Aisyah, lalu beliau memegang kemudian Aisyah menundukkan kepalanya dan ia merasa malu, maka aku membentaknya, lalu kukatakan kepadanya, ”Ambillah dari tangan Nabi saw. itu,” Kemudian ia mengambilnya lalu ia meminumnya sebagian.”

(al-Humaidi I:179 no:367, al-Fathur Rabbani VI:438, 452 dan 458, adanya yang secara ringkas dan ada pula yang panjang lebar dan kedua sanad ini saling menguatkan. Disebutkan oleh Syaikh al-Albani dalam Adabuz Zifas).

Sepatutnya sang suami meletakkan tangannya pada ubun-ubun isterinya, seraya mengucapkan basmalah dan berdo’a kepada Allah memohon barakah kebahagiaan, serta dianjurkan pula mengucapkan do’a sebagaimana dalam sabda beliau berikut ini:

”Jika salah seorang di antara kalian menikahi seorang perempuan, atau membeli seorang budak, maka hendaklah pegang ubun-ubunnya seraya mengucapkan basmallah dan mohon barakah serta ucapkanlah do’a ”ALLAHUMMA INNI AS-ALUKA MIN KHAIRIHA WA KHIRI MAA JABALTAHAA ’ALAIHI, WA A’UUDZU BIKA MIN SYARRIHAA WASYARRIMAAJABALTAHAA’ALAIH (Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu kebaikan dan kebaikan yang telah Engkau adakan padanya dan dia berlindung kepada-Mu dari kejahatannya dan dari kejahatan yang Engkau lakukan padanya).” (Hasan: Shahih Ibnu Majah no:1557, ’Aunul Ma’bud VI:196 no:2146, dan Ibnu Majah I:617 no:1918).

Dianjurkan kepada pengantin putera dan puteri mengerjakan shalat dua raka’at bersama-sama, karena perbuatan ini telah dipraktikkan oleh generasi salafush shalih, dan dalam hal ini ada, dua atsar.

Dari Abi Sa’id bekas budak Abu Usaid ia berkata, saya pernah kawin ketika saya berstatus sebagai budak, saya mengundang sejumlah sahabat Nabi saw. di antara mereka (yang hadir) ada Ibnu Mas’ud, Abu Dzar, dan Hudzaifah. Kemudian dikumandangkan iqamah untuk menegakkan shalat, Lalu Abu Dzar datang untuk menjadi imam shalat, setelah itu, mereka berkata (kepadaku). ”Majulah,” maka saya jawab, ”Harus maju?” Jawab mereka ”Ya” kemudian saya maju karena dorongan mereka, pada waktu ittu saya berstatus hamba sahaya dan mereka mengajariku yaitu mereka berkata, ”Apabila isterimu datang menemuimu maka hendaklah kamu mengerjakan shalat dua raka’at. Kemudian mohonlah kepada Allah kebaikan apa yang masuk kepadamu, dan berlindunglah kepada-Nya dari keburukannya, kemudian setelah itu terserah kamu dan isterimu.” (Sanadnya Shahih: Adabuz Zifah hal. 22 dan Ibnu Syaibah IV:311).

Dari Syaqiq, bahwa telah datang seorang laki-laki yang biasa dipanggil Abu Juraiz, lalu berkata, “Sesungguhnya aku telah kawin dengan seorang gadis dan aku khawatir dia marah kepadaku.” Kemudian Abdullah Mas’ud r.a. berkata ”Sesungguhnya persabahatan datang dari Allah dan kebencian bersumber dari syaitan yang menginginkan agar kalian tidak menyenangi apa yang Allah halalkan buat kalian. Karena itu, jika isterimu datang perintahlah ia shalat dua raka’at belakangmu.” Dalam riwayat yang lain ada tambahan dari Ibnu Mas’ud ra ia berkata, Dan ucapkanlah do’a “ALLAHUMMA BAARIKLII FII AHLI WABAARIIKLAHUM FII, ALLAHUMMAJMA’BAINANAA MAAJAMA’TA BAKHAIRIN WA FII WA FARRIQ BAINANAA IDZA FARRAQTA ILAA KHAIRIN (Ya Allah, berikanlah barakah kepadaku pada keluargaku dan limpahkanlah barakah kepada mereka melalui diriku, ya Allah, kumpulkanlah antara kami selama Engkau mengumpulkan (kami) dalam kebaikan dan pisahkanlah antara kami bila Engkau hendak memisahkan (kami) menuju kebaikan!).”

(Shahih: Adabuz Zifaf hal:23, Ibnu Abi Syaibah IV:312).

 

Adapun ketika hendak melakukan jima’ dianjurkan sang suami mengucapkan do’a:

“BISMILLAAH, ALLAAHUMMA JANNIBNASY SYAITHAAN WAJANNABISYSYAITHAAN MAA RAZAQTANAA (Dengan menyebut nama Allah, ya Allah, jauhkanlah kami dari syaitan dan jauhkanlah syaitan dari apa yang akan Engkau karuniakan kepada kami). Rasulullah saw. bersabda, ”Jika keduanya dikarunia seorang anak, maka selamanya syaitan tidak dapat mengganggunya.”

(Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX:197 no:2147, Tirmidzi II:277 no:248 ,dan Ibnu Majah I:618 no:1919).

Sang suami boleh mencampuri isterinya melalui qubul (vagina)nya dari arah mana saja, dari belakang atau dari depan. Hal ini mengacu pada firman Allah SWT, “Isteri-isteri kamu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanam itu bagaimana saja kamu kehendaki.” (TQS. Al-Baqarah:223).

Yaitu sesuai dengan selera kita, dari depan atau dari belakang.

Dari Jabir r.a. bahwa orang-orang Yahudi berkata, ”Apabila seorang suami mencampuri isterinya di qubul (vagina)nya, dari arah belakang, maka akan lahir anak yang juling matanya,” Kemudian turunlah ayat, ”Isteri-isteri kamu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanam itu darimana saja kamu kehendaki.”

(Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari VIII:189 no:4528, Muslim II:1058 no:1435, ’Aunul Ma’bud VI:203 no:2149, Ibnu Majah I:620 no:1925).

Dari Ibnu Abbas r.a. bertutur, “Ini adalah sebuah kampung dari kami Anshar yang mereka dahulu penyembah berhala berinteraksi dengan kampung dari kaum Yahudi yang termasuk Ahli Kitab. Sebagian mengaku memiliki kelebihan dalam bidang ilmu atas sebagian yang lain. Dan, sebagian diantara mereka menerima banyak perbuatan sebagian yang lain. Di antara kebiasaan Ahli Kitab ialah mereka tidak mau bercampur dengan para isteri mereka kecuali dari samping, yang demikian itu lebih menutupi apa yang menjadi kehormatan wanita kemudian satu kampung yang berasal dari Anshar ini meniru perbuatan mereka itu, sementara orang-orang yang berasal dari kaum Quarisy ini, biasa menyetubuhi isterinya dengan posisi terlentang yang tidak baik dan biasa (pula) berkencan dengan mereka dari arah belakang atau dari arah depan dalam posisi berbaring. Tatkala orang-orang yang berhijrah tiba di Madinah, maka seorang diantara Muhajirin kawin dengan seorang perempuan dari kaum Anshar. Kemudian dia mencampuri isterinya dengan cara kami (orang Quraisy). Kemudian isteri tersebut menegur suaminya atas gaya-gayanya seraya berkata, ”Sesungguhnya kami (wanita Anshar) hanya biasa dicampuri dalam posisi miring, oleh  karena itu, lakukanlah gaya seperti itu! Jika tidak jauhilah aku.’ Kemudian sampailah kasus itu kepada Rasulullah saw. lalu Allah menurunkan firman-Nya, “Isteri-isteri kamu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanam itu bagaimana saja kamu kehendaki. Yaitu dari arah depan, dari arah belakang atau berbaring yaitu di tempat keluarnya bayi itu.”

(Sanadnya Hasan: Adabuz Zifaf hal. 28, dan ’Aunul Ma’bud VI:204 no:2150).

Haram bagi suami menggauli isterinya di duburnya. Hal ini mengacu pada sabda Nabi saw., ”Barangsiapa yang bercampur dengan isteri yang sedang haidh atau diiduburnya, atau datang kepada tukang tepung, lalu ia mempercayai apa yang dikatakan kepadanya, maka sungguh ia telah kafir kepada kitab yang diturunkan kepada Muhammad.”

(Shahih: Irwa-ul Ghalil no:2006, Ibnu Majah I:209 no:639, Tirmidzi I:90 no:135, ’Aunul Ma’bud X:398 no:3886).

Seyogyanya kedua belah pihak, pengantin putera dan pengantin puteri meniatkan pernikahannya demi mengendalikan nafsu keduanya dan membentengi diri mereka agar tidak terjerumus ke dalam perbuatan yang diharamkan Allah. Maka jima’ yang dilakukan keduanya sebagai shadaqah bagi mereka berdua:

Dari Abu Dzar r.a. bertutur : Ada sejumlah sahabat Nabi saw. berkata kepadanya,  “Ya Rasulullah, orang-orang yang kaya telah membawa pahala yang banyak, mereka menegakkan shalat sebagaimana yang kami laksanakan, mereka berpuasa sebagaimana, yang kami lakukan dan mereka menginfakkan kelebihan harta kekayaan mereka.” Maka Rasulullah saw. menjawab, “Bukankah Allah benar-benar telah menjadikan untuk kalian sesuatu yang bisa kalian shaddaqahkan? Setiap tasbih adalah shadaqah, setiap takbir adalah shadaqah, setiap tahmid adalah shadaqah menyuruh yang ma’ruf shadaqah, mencegah dari perbuatan yang  maksiat shadaqah, dan di dalam persetubuhan seorang di antara kamu (dengan isterimu) terdapat shadaqah.” Para sahabat bertanya, “Ya, Rasulullah, apakah seorang antara kami yang melampiaskan syahwatnya (kepada isterinya) ia dapat memperoleh pahala?” Sahut Beliau “Bagaimana pendapat kalian seandainya melampiaskannya pada yang haram, apakah ia akan menanggung dosa? Maka begitu juga, manakala ia melampiaskan pada yang halal, maka, pasti ia akan mendapatkan pahala.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no:2588 dan Muslim II: 697 no:1006).

 

 

Sumber:

Diadaptasi dari Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil ‘Aziz, Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi,  atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma’ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 549–556.

Check Also

MENDAPAT HADIAH MAKANAN PADA HARI NATAL, BAGAIMANA MENYIKAPINYA?

Bagaimana sikap kita jika tetangga kita memberikan makanan Natal pada tanggal 25 Desember? Apakah makanan …