Home » Aqidah » Studi Kritis Tentang Akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan Sikap Pergerakan Islam Modern Terhadapnya (4)

Studi Kritis Tentang Akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan Sikap Pergerakan Islam Modern Terhadapnya (4)

oleh : Prof. DR. Nashir bin Abdul Kariem al-’Aql

Kajian ini meliputi:
1. Ringkasan Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
2. Berpegang teguh kepada Aqidah Ahlus Sunnah adalah merupakan perkara yang niscaya.
3. Esensi berafiliasi (intima’) kepada Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan konsekwensinya.
4. Beberapa catatan realitas sikap (lembaga, organisasi) da’wah masa kini terhadap Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
5. Antara Ahlus Sunnah dan Asya’irah
6. Beberapa masalah penting yang diperselisihkan madzhab Asya’irah terhadap Ahlus Sunnah.
7. Di Mana Ahlus Sunnah Berada?



1. Ringkasan Aqidah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah

Pertama: Beberapa Kaidah Umum : [1]

  • Sumber Referensi (Rujukan) Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Mengingat bahwa Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah itu bersifat tauqifi (terbatas pada nash), maka ia berdiri di atas prinsip taslim (pasrah dan menerima) kepada apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya, tanpa tahrif (mengubah makna atau lafazhnya), ta’wil (menginterpretasikannya dengan makna lain), ta’thil (mengabaikan maknanya) ataupun tamtsil (mengumpamakan, menyamakan).Aqidah ini hanya mempunyai dua sumber, yaitu :
    1. Al-Qur’anul Karim dan
    2. Hadits-hadits Shahih Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.

    Sedangkan ijma yang diakui kredibilitasnya di dalam penetapan aqidah adalah berdasarkan pada al-Qur’an dan Hadits (Sunnah) juga, atau kepada salah satunya.

    Adapun fitrah yang suci dan akal sehat keduanya menjadi pendukung dan penguat, tidak dapat berdiri sendiri di dalam menetapkan rincian aqidah dan prinsip-prinsip agama (Ushuluddin). Keduanya selalu seiring dengan al-Qur’an dan Hadits serta tidak menyalahinya.

    Dan apabila ada semacam kontradiksi antara an-Naql (Nash-nash al-Qur’an atau Hadits) dan akal, maka kita harus meyakini bahwa akal kita yang kurang. Maka an-Naql yang bersifat tsabit (pasti) itu harus dikedepankan dan dijadikan patokan hukum di dalam agama. Oleh karenanya, lebih mengutamakan akal fikiran manusia dan pendapat mereka yang bersifat naif daripada firman Allah dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak akan datang kepadanya kebatilan (kepalsuan) baik dari depan maupun dari belakang adalah merupakan kesesatan dan penyimpangan.

  • Hadits-hadits shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sekalipun Hadits Ahad wajib diterima (sebagai sumber aqidah, pen.). [2]
  • Apa saja yang diperselisihkan di dalam masalah agama maka wajib dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya (al-Qur’an dan Hadits) [3] sebagaimana difahami oleh para shahabat nabi, para tabi’in dan para tabi’it tabi’in dari kalangan para pemuka ulama.Jadi, sandaran di dalam memahami nash-nash aqidah yang terdapat di dalam al-Qur’an dan Sunnah (Hadits) adalah para shahabat, para tabi’in dan orang-orang yang menelusuri jejak keberagamaan mereka, yaitu para pemuka ulama yang perpegang teguh kepada petunjuk dan agama. Siapa pun yang menyalahi mereka maka tidak perlu dihiraukan, sebab itu berarti ia menyalahi jalan kaum mukminin.
  • Prinsip-prinsip agama dan masalah aqidah adalah tauqifiyah. Semuanya telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan al-Qur’an dan hadits-haditsnya.Maka segala perkara baru (yang diada-adakan) di dalam urusan agama adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat, sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam hadits shahihnya.

    Tidak ada hak bagi siapapun untuk mengada-adakan suatu perkara di dalam masalah agama, (apalagi) dengan anggapan bahwa perkara yang diada-adakannya itu wajb dipatuhi atau diyakini, sebab Allah Subhaanahu Wata’ala telah menyempurnakan agama-Nya, wahyu telah terputus dan kenabian telah ditutup, sebagaimana Allah tegaskan:

    الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ

    “Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kamu agamamu”. (al-Ma’idah: 3).

    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:

    مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ.

    “Barangsiapa yang mengada-adakan (membuat) di dalam perkara (agama) ini sesuatu yang bukan berasal darinya, maka ditolak.” [4]

    Hadits di atas merupakan salah satu kaidah dasar di dalam masalah agama dan merupakan salah satu prinsip (ajaran pokok) di dalam aqidah.

    Dan barangsiapa yang berkeyakinan bahwa boleh baginya keluar dari ajaran yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam baik berupa syari’at (hukum) ataupun dien (aqidah), maka berarti ia telah menanggalkan ikatan Islam dari lehernya (baca: murtad, pen.).

  • Wajib perpegang teguh dan komitmen kepada kata-kata atau istilah-istilah yang ada di dalam al-Qur’an dan Sunnah di dalam masalah aqidah, dan menghindari istilah-istilah baru yang dibuat oleh para mutakallimin, kaum filosof dan lain-lainnya, karena masalah aqidah itu bersifat tauqifi dan merupakan perkara yang tidak diketahui kecuali oleh Allah Subhaanahu Wata’ala.
  • Masalah-masalah Aqidah itu ghaib dan dasarnya adalah tunduk dan meyakini apa yang datang dari Allah Subhaanahu Wata’ala dan Rasul-Nya, lahir dan batin, apakah ia bisa diterima oleh akal kita ataupun tidak. Maka siapa saja yang tidak tunduk kepada Allah dan Rasul-Nya di dalam masalah aqidah ini, agamanya tidak akan pernah lurus. [5]Berserah diri dan tunduk kepada Allah dan Rasul-Nya itu direalisasikan dalam bentuk pasrah dan tunduk kepada al-Qur’an dan Sunnah (hadits). [6]
  • Tidak boleh menyelami lebih jauh, memperdebatkan dan mempertentangkan masalah aqidah dan nash-nash-nya. Sebab, aqidah itu merupakan masalah ghaib. Kita diperbolehkan hanya sebatas memberikan penjelasan dan menegakkan hujjah (argumen) dengan tetap berpegang teguh kepada manhaj (metodologi) ulama salaf di dalam masalah ini. [7]
  • Tidak boleh melakukan ta’wil terhadap nash-nash ‘Aqidah [8], atau mengalihkan makna lahirnya kepada pengertian yang lain tanpa didukung oleh dalil syar’i yang kuat yang bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. [9]
  • Di antara keharusan dan tuntutan aqidah adalah mengamalkan syari’ah. Mengamalkan hukum, selain yang diajarkan oleh Allah Subhaanahu Wata’ala adalah bertentangan dengan tauhid dan sikap berserah diri kepada Allah Subhaanahu Wata’ala dan Rasul-Nya. Oleh karenanya, mematuhi dan berpegang kepada selain syari’at (aturan) Allah Subhaanahu Wata’ala, berpaling jauh (secara utuh) darinya atau memperbolehkan pemberlakuan hukum selain yang diajarkan oleh Allah adalah kufur akbar! Adapun berpaling dari syari’at Allah di dalam suatu peristiwa tertentu karena hawa nafsu atau karena terpaksa, namun tetap berpegang teguh kepada syari’at Allah (di dalam hal-hal yang lain) adalah kufur ashghar (kecil), kefasikan atau kezaliman.

Kedua: Beberapa kaidah secara rinci :

Aqidah Ahlus Sunnah itu dapat diringkas secara global dalam uraian berikut ini:

  • Aqidah mereka tentang nama dan sifat Allah Subhaanahu Wata’ala.Yaitu menetapkan dan meyakini apa yang ditetapkan oleh Allah bagi-Nya dan apa yang ditetapkan oleh Rasul-Nya bagi-Nya, dan menafikan apa yang dinafikan oleh Allah dari-Nya dan apa yang dinafikan oleh Rasul-Nya dari-Nya, tanpa tamtsil (mengumpamakan), takyif (menanyakan bagaimana hakikatnya), tasybih (menyerupakan), tahrif (mengubah dan mengganti arti), ta’wil (mengalihkan maknanya yang hakiki kepada makna yang lain) ataupun ta’thil (mengabaikan maknanya). Sebagaimana ditegaskan oleh Allah:

    لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

    “Tidak ada sesuatu apapun yang menyerupaiNya, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (asy-Syura: 11)

    Allah Subhaanahu Wata’ala menyatakan diri-Nya dan begitu juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan bahwasanya Allah itu Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Mengetahui, Berbicara, Maha Hidup, Maha Berkehendak dan bahwasanya Allah bersemayam (istawa) di atas ‘arasy, di atas hamba-hamba-Nya, dan Allah Subhaanahu Wata’ala itu meridhai, murka, mencintai dan membenci, datang dan turun; tertawa dan kagum sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya (dengan pasti menafikan tasybih) sebagaimana diungkapkan dan dinyatakan oleh Allah tentang diri-Nya dan sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang Dia, (bahwasanya Allah itu mempunyai) wajah, tangan (yadd), mata dan lain-lainnya yang dijelaskan oleh al-Qur’an dan hadits-hadits shahih.

    Ahlus Sunnah menetapkan dan meyakini sifat-sifat Allah sebagaimana Allah ungkapkan mengenai Diri-Nya dan sebagaimana pula diterangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tanpa tasybih, takyif, tamtsil, ta’thil dan tidak juga ta’wil. [10]

  • Aqidah mereka di dalam masalah-masalah keimanan dan seluruh ghaibiyyat, di antaranya:Pertama: Di antara prinsip aqidah Ahlus Sunnah adalah bahwa iman itu adalah qaul (keyakinan hati dan ucapan lisan) dan amal (amalan batin dan amalan lahir), dapat bertambah dan berkurang. [11] Hal ini meliputi beriman kepada setiap apa saja yang diberitakan oleh Allah di dalam al-Qur’an atau diberitakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang masalah-masalah yang ghaib dan yang tampak, baik secara gelobal maupun secara terperinci, seperti:

    – Beriman kepada Allah Subhaanahu Wata’ala mengesakan rububiyyah-Nya, Uluhiyyah-Nya dan nama dan sifat-sifat-Nya. [12]

    – Beriman kepada malaikat, mereka adalah hamba-hamba yang dimuliakan, tidak pernah durhaka kepada Allah atas apa yang diperintahkan kepada mereka dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. Mereka diberi tugas beribadah kepada Allah Subhaanahu Wata’ala. Di antara mereka ada yang mempunyai tugas dan pekerjaan-pekerjaan yang lain, seperti menurunkan wahyu, mencatat amal perbuatan manusia, taqdir, mencabut ruh, memberikan pertolongan kepada orang-orang beriman, memperjalankan awan, menurunkan hujan. Dan ada pula yang bertugas sebagai pemikul ‘Arasy (singgasana) dan seterusnya. [13]

    – Beriman kepada Kitab-kitab suci yang diturunkan dari Allah Subhaanahu Wata’ala kepada para rasul-Nya sebagai petunjuk bagi umat manusia. Di antaranya adalah kitab Zabur, kitab Taurat, kitab Injil dan kitab al-Qur’an yang merupakan kitab suci yang paling sempurna lagi menghapus (nasikh) kitab-kitab suci sebelumnya. [14]

    – Beriman kepada para nabi dan utusan Allah secara keseluruhan. Siapa saja yang disebutkan (nama-namanya) di dalam al-Qur’an dan hadits-hadits shahih maka wajib beriman kepadanya secara khusus, dan bahwa sesungguhnya mereka semuanya telah menyampaikan risalah Allah kepada umat mereka dan menyeru (mereka) untuk bertauhid kepada-Nya serta melarang mereka dari perbuatan syirik (menyekutukan Allah). [15] “Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut”. (an-Nahl: 36) (Dan beriman sepenuh hati) bahwa sesungguhnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah manusia yang paling utama, penutup para rasul yang diutus oleh Allah kepada seluruh umat manusia, dengan wafatnya, wahyu terputus (tidak diturunkan lagi untuk selama-lamanya. pen.) dan dengannya Allah telah menyempurnakan agama. [16]

    – Beriman kepada hari kemudian, dan bahwa sesungguhnya kematian itu haq (benar), dan beriman kepada adanya kenikmatan di dalam kubur dan siksaan di dalamnya, kebangkitan dan ditiupnya sangkakala, penghimpunan (di padang Mahsyar) dan dihadapkan (kepada Allah), Hisab (perhitungan amal) dan pembalasan, catatan amal dan timbangannya, jembatan menuju surga dan telaga, surga dengan segala kenikmatannya dan neraka dengan segala adzabnya, dan seterusnya. [17]

    – Beriman kepada Kiamat dan ciri-cirinya yang di antaranya adalah munculnya Dajjal, turunnya Nabi Isa ‘alaihis salam, munculnya Imam Mahdi, Ya’juj dan Ma’juj, terbitnya matahari dari tempat terbenamnya, keluarnya binatang melata (yang berbicara) [18] dan tanda-tanda yang lain sebagaimana diterangkan di dalam hadits-hadits shahih.

    – Beriman kepada taqdir (ketetapan Allah) yang baik maupun yang buruk, dan bahwasanya Allah telah mengetahui segala sesuatu sebelum terjadi dan telah mencatatnya di dalam Lauh Mahfuzh, dan bahwasannya apa saja yang dikendaki Allah pasti terjadi dan apa saja yang tidak Dia kehendaki maka pasti tidak akan terjadi, Allah adalah pencipta segala sesuatu. Dia telah menetapkan rizki dan ajal (setiap makhluk-Nya), kebahagiaan dan kesengsaraan, petunjuk dan kesesatan, dan bahwasanya Allah Subhaanahu Wata’ala melakukan apa saja yang Dia kehendaki, dan bahwasanya Allah telah mengambil sumpah (janji) atas manusia dan telah mempersaksikan kepada mereka bahwasanya Dia adalah Tuhan mereka. [19]

    Kedua : al-Qur’an.

    Di antara prisip Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah bahwasanya al-Qur’an adalah firman Allah (Kalamullah) yang diturunkan, ia bukan makhluk. Dan siapa saja yang beranggapan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk maka kafirlah ia. [20]

    Ketiga: Ru’yah (melihat Allah).

    Berkeyakinan bahwa orang-orang yang beriman akan melihat Tuhannya pada hari kiamat kelak dengan mata tanpa takyif dan tidak pula ihathah (melihat segala-galanya).

    Keempat: Syafa’at.

    Beriman dan meyakini seluruh bentuk syafa’at yang ditegaskan di dalam al-Qur’an dan hadits-hadits shahih dengan segala persyaratannya pada hari Kiamat kelak, dan syafa’at yang paling agung adalah syafa’at agung nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam kepada sebahagian umatnya pada hari Kiamat, dan syafa’atnya kepada para pelaku dosa besar dari umatnya dan bentuk-bentuk syafa’atnya yang lain serta syafa’at-syafa’at selain beliau, seperti syafa’at malaikat, para nabi, kaum beriman dan lain-lain, sebagaimana dijelaskan oleh hadits-hadits shahih. [21]

    Kelima: Isra’ dan mi’raj.

    Beriman kepada isra’ (perjalanan di malam hari yang dialami Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) ke Baitul Maqdis dan mi’raj (naik) beliau ke langit ketujuh dan Sidratul Muntaha. Itu benar-benar terjadi dan dialami Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana dinyatakan oleh ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits-hadits shahih. [22]

  • Aqidah mereka di dalam prinsip-prinsip dan hukum teologis lainnya:Pertama: Termasuk prinsip agama menurut Ahlus Sunnah adalah mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hingga melebihi cinta kepada diri sendiri, anak dan seluruh manusia. Lalu berikutnya adalah mencintai para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, seluruh istri-istri beliau Ummahatul mu’minin, memohon ridha Allah bagi mereka dan meyakini bahwasanya mereka adalah umat yang paling utama. Ahlus Sunnah menahan diri dari membicarakan secara mendalam pertikaian yang terjadi di antara mereka (para shahabat), membenci sebahagian atau mencela salah seorang dari mereka adalah kesesatan dan kemunafikan. [23]

    Yang paling utama di antara para shahabat itu ialah Abu Bakar, lalu Umar, lalu Utsman, lalu Ali [24] dan sepuluh shahabat lainnya yang telah diberitakan pasti masuk surga. [25]

    Ahlus Sunnah juga mencintai Ahli Bait Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan bersikap baik terhadap mereka dan selalu memelihara hak-hak mereka sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam perintahkan. [26]

    Kedua: Menjauh dari Ahli bid’ah dan orang-orang munafik. Juga menjauh dari Ahlul kalam, membenci mereka dan memberikan peringatan kepada umat akan bahaya mereka, seperti Sekte Syi’ah (Rafidhah), Jahmiyah, Mu’tazilah, Khawarij, Qadariyah, Sekte Murji’ah ekstrem, Kelompok sufi ekstrem, kaum filosof dan seluruh sempalan pemikiran lainnya [27] yang menyalahi Ahlus Sunnah wal Jama’ah. [28]

    Ketiga: Selalu komitmen kepada jama’ah, bersatu dan berpegang teguh kepada tali Allah (al-Qur’an dan Sunnah), karena memisahkan diri dari Ahlul haq adalah kerancuan, kebinasaan dan kesesatan. [29]
    Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman: “Berpegang teguhlah kamu kepada tali Allah dan jangan berpecah-belah”. (Ali Imran: 103)

    Keempat: Wajib patuh dan ta’at kepada ulil-amri (penguasa dan ulama) dengan cara yang ma’ruf, selagi tidak memerintah kepada maksiat. Dan tidak boleh membelot dari mereka sekalipun mereka berbuat zhalim, kecuali jika mereka melakukan kekufuran yang nyata, menurut dalil syar’i. [30]

    Kelima: Wajib memberikan nasihat untuk Allah dan Rasul-Nya, kemudian bagi segenap para pemimpin kaum muslimin (Para ulama dan penguasa) dan masyarakat awam. [31]

    Keenam: Berjihad bersama pemimpin (penguasa), apakah ia seorang yang shalih ataupun seorang yang zhalim. Jihad merupakan salah satu syi’ar Islam yang paling agung, merupakan ujung tombak Islam dan ia tetap berlaku hingga hari Kiamat. [32]

    Ketujuh: Amar ma’ruf dan nahi munkar itu merupakan salah satu prinsip ajaran Islam dan merupakan syi’ar Islam yang mulia, dan hukumnya wajib sesuai kemampuan. [33]

    Kedelapan: Hukum-hukum yang berkaitan dengan kaum muslimin dan hak-hak mereka:

    – Barangsiapa yang telah bersaksi bahwasanya “tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah”, melakukan shalat yang kita lakukan (lima waktu), dan menghadap ke kiblat kita (Ka’bah) dan menampakkan syi’ar-syi’ar Islam, maka dia adalah seorang muslim yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan kaum muslimin lainnya, darah, harta dan kehormatannya haram dinodai, sedangkan masalah batinnya kita serahkan kepada Allah. [34] Dan menganggapnya sebagai orang yang tidak dikenal kepribadiannya, berburuk sangka terhadapnya atau meragukan keislamannya adalah bi’dah dan merupakan sikap berlebihan di dalam beragama.

    – Tidak boleh mengkafirkan seseorang dari Ahlul Qiblat (kaum muslimin) karena suatu dosa yang dilakukannya, kecuali orang yang telah dinyatakan kafir oleh Al-Qur’an dan Sunnah (hadits), hujjah (argumentasi) telah ditegakkan terhadapnya, tidak ada unsur paksaan baginya atau kebodohan atau karena ta’wil (yang ia lakukan). Juga tidak boleh meragukan kekafiran orang yang telah dinyatakan kafir oleh Allah Subhaanahu Wata’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari kaum musyrikin, yahudi dan kaum nasrani serta lain-lainnya. [35]

    – Kita tidak (boleh) memastikan seseorang masuk surga atau neraka, kecuali bagi orang-orang yang telah dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. [36]

    – Pelaku dosa besar di dunia adalah fasik dan durhaka, sedangkan di akhirat berada di bawah otoritas masyi’ah (kehendak) Allah. Jika Allah hendak menyiksanya, maka itu adalah hak-Nya dan jika Dia mengampuninya maka itu pula hak-Nya. Ia tidak kekal di neraka (jika dimasukkan di dalamnya), namun kita berharap ampunan-Nya bagi yang berbuat baik dan kita khawatir tidak selamat orang yang berbuat buruk. [37]

    – Tetap melakukan shalat berjama’ah berma’mum kepada pemimpin kaum muslimin, apakah mereka orang yang shalih atau orang yang jahat. [38]

    – Wajib mencintai karena Allah dan membenci karena Allah. Termasuk dalam hal ini adalah bersikap loyal (wala’) kepada kaum muslimin yang shalih dan berlepas diri (bara’) dari kaum musyrikin, orang-orang kafir dan orang-orang munafiq. Setiap muslim mempunyai hak berloyal menurut kadar keimanan dan kepatuhannya kepada Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan juga berhak untuk di-bara’ (dibenci) menurut kadar kefasikan dan kedurhakaan yang ada padanya. [39]

    – Karamah para wali itu benar adanya. Namun tidak semua bentuk karamah itu menunjukkan keshalihan dan kebaikan, kecuali bagi orang yang berpegang teguh kepada petunjuk dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam secara lahir dan batin. Karamah itu juga bisa menjadi sebagai ujian. Dan tidak semua peristiwa luar biasa itu karamah. [40] Wallahu a’lam.

2. Berpegang Teguh Kepada Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah Adalah Keniscayaan

Oleh karena Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah (hadits) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam maka itu berarti Aqidah ini yang paling selamat, paling berilmu dan paling bijaksana, dan ini juga berarti bahwa Aqidah Ahlus Sunnah –secara pasti- yang lebih berhak untuk dianut dan berpegang teguh padanya adalah merupakan keniscayaan, karena aqidah inilah yang haq, sedangkan yang haq (benar) itu lebih berhak diikuti (dianut), dialah buhul (ikatan) yang paling kokoh, agama yang suci dan jalan yang lurus. Dan aqidah inilah yang menjadi wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, aqidah ini pulalah sabilul mu’minin (jalan kaum beriman). Allah pun telah mengancam siapa saja yang menyalahi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menempuh jalan selain jalan orang-orang mu’min, seraya berfirman:

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam; dan Jahannam itu seburuk-buruk tempatnya kembali.” (an-Nisa’: 115)

Sabilul mu’minin (jalan kaum beriman) dimaksud, tidak diragukan lagi adalah jalan yang ditempuh oleh para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, para tabi’in dan generasi yang utama di dalam Islam, yaitu mereka yang mendapat pujian dari Allah dan sanjungan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan diperintahkan kepada kita untuk mencontoh mereka (mengikutinya). Menyalahi jalan kaum beriman (sabilul mu’minin) adalah tindakan menentang Allah Subhaanahu Wata’ala dan Rasul-Nya, sebagaimana ditegaskan di dalam ayat di atas.

Jika begitu adanya, maka berpegang teguh kepada aqidah yang hak ini, yaitu Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah merupakan perkara yang pasti (niscaya) secara syar’i. Berdasarkan perintah Allah Subhaanahu Wata’ala dan Rasul-Nya, sebagaimana firman-Nya:

اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ

“Ikutilah apa yang telah diturunkan kepada kalian dari Tuhan kalian”. (al-A’raf: 3)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah menjelaskan bahwa sepeninggalannya nanti akan terjadi banyak perselisihan dan perpecahan dan bahwa al-haq (kebenaran) itu berada pada orang-orang yang berpegang teguh kepada sunnah beliau dan sunnah para Khulafa’ ur Rasyidin, seraya bersabda,

اِتَّقُوا اللهَ وَعَلَيْكُمْ بِالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا، وَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِيْ فَسَيَرى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ، عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.

“Bertaqwalah kalian kepada Allah, dan hendaklah kalian selalu patuh dan ta’at (kepada pemimpin kalian. pen) sekalipun dia adalah seorang hamba dari ethiopia (berkulit hitam.pen), karena sesungguhnya barangsiapa di antara kalian hidup sepeninggalanku nanti niscaya melihat banyak perselisihan. Maka hendaklah kalian berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah para khulafa’ rasyidin yang adil, dan peganglah dengan gerahammu, dan hindarilah hal-hal baru yang diada-adakan (jalan agama), karena setiap bid’ah (yang diadakan) itu adalah kesesatan”. [41]

Tidak diragukan lagi bahwa orang-orang yang berpegang teguh kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan sunnah para khulafa’ur rasyidin dan menjauhkan diri dari berbagai bentuk bid’ah mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَقَدْ جِئْتُكُمْ بِهَا بَيْضَاءَ نَقِيَّةً فَلاَ تَخْتَلِفُوْا بَعْدِيْ.

“Aku telah membawanya kepada kalian dengan terang benderang, maka janganlah kalian berselisih sepeninggalanku”. [42]

Dan sabda beliau,

لَقَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى مِثْلِ الْبَيْضَاءِ، لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا، لاَ يَزِيْغُ عَنْهَا بَعْدِيْ إِلاَّ هَالِكٌ.

“Sesungguhnya aku telah meninggalkan kalian di atas hujjah yang terang benderang, malamnya sama dengan siangnya, tiada seorang pun yang menyimpang darinya melainkan pasti binasa.” [43]

Al-Baidha’ (putih bersih atau terang benderang) yang dimaksud di dalam hadits adalah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan seluruh ajaran yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berupa syariat dan ajaran agama, tidak pernah berubah semenjak masa generasi yang mulia (salaf) hingga saat ini, lafazh (kata) maupun sanad-sanadnya, sebagaimana tertera di dalam al-Qur’an dan Sunnah dan sebagaimana di-lafazh-kan oleh para pemuka ulama. (Ini sangat) berbeda dengan ‘aqidah dan keyakinan kaum mutakallimin dari golongan Mu’tazilah, Asya’irah, Maturidiyah, Kullabiyah dan lain-lainnya, karena pembaca akan mendapatkan banyak sekali lafazh (ucapan) dan aqidah mereka yang lafazh dan maknanya tidak sesuai dengan (aqidah) yang diriwayatkan dari para pemuka ulama salaf pada qurun yang penuh kemuliaan, kecuali amat sedikit sekali, dan pembaca akan amat jarang menemukan kebanyakan apa yang mereka yakini bersumber kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, para shahabat beliau dan kaum tabi’in, terutama di dalam masalah sifat-sifat Allah dan taqdir. Bahkan pembaca tidak akan menemukan mereka, sepakat pada satu kata (lafazh) ataupun makna di dalam masalah-masalah yang mereka buat. Rujukilah buku-buku (literatur) mereka, di situ pembaca pasti menemukan kebenaran apa yang penulis ungkapkan.

3. Hakikat Afiliasi (Intisab) Jama’ah-jama’ah Kontemporer Kepada Ahlus Sunnah wal Jama’ah

Sesungguhnya jika kita perhatikan realitas (jama’ah-jama’ah) dakwah dan pergerakan-pergerakan keislaman (harakat islamiyah) yang ada di masa sekarang ini, mayoritas mengklaim berafiliasi (intima’) kepada Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Klaim yang sarat propaganda ini bisa dilakukan oleh siapa saja, orang jujur ataupun pendusta. Juga diklaim pula oleh orang yang tidak mengerti arti Ahlus Sunnah wal Jama’ah; dan ini yang lebih banyak. Ini adalah seperti klaim sebagai pemeluk Islam yang dilakukan oleh seluruh kelompok atau golongan (sekte) yang menyempal dari Islam, dulu ataupun sekarang. Seperti sekte Rafidhah (Syi’ah) yang mengklaim diri sebagai Islam, padahal Islam bebas dari mereka. Juga sekte Jahmiyah, Khawarij, Kebatinan, golongan Sufi ekstrem, kelompok Filosof ekstrem, Qadyanisme (Ahmadiyah), Bahaisme, Barilawisme, Baharisme, Nushairisme, Ismailisme dan lain-lainnya. Mereka semua mengaku Islam, bahkan ada sebahagian yang mengklaim bahwa kelompoknya sajalah yang pantas mengklaim Islam.

Klaim afiliasi (intisab) kepada Ahlus Sunnah wal Jama’ah pun terjadi pada banyak kalangan aktivis dakwah dan kelompok pergerakan (dakwah) kontemporer dengan perbedaan di dalam bentuk klaim tersebut.

Ya. Tidak diragukan lagi bahwa ada di antaranya -di antara kelompok-kelompok dakwah dan pergerakan kontemporer ini- yang memang layak berafiliasi atau ber-intima’ kepada Ahlus Sunnah wal Jama’ah, namun ada pula yang sangat jauh sekali dari Ahlussunnah wal Jama’ah. Dan ada pula orang yang mengartikan Ahlus Sunnah itu adalah Asya’irah dan Maturidiyah [44] dan lain-lainnya dari kelompok keagamaan yang secara umum lebih dekat kepada Ahlus Sunnah. Ada pula kelompok yang sama sekali tidak tahu, dan ada pula yang tidak peduli kepada aqidah kelompok mana yang ia anut.

Berikut ini akan penulis jelaskan beberapa konsekwensi berafiliasi kepada Ahlus Sunnah wal Jama’ah:

– Di antara keharusan yang paling penting bagi orang yang berintima’ kepada Ahlus Sunnah, apalagi jika dia adalah seorang da’i, mempelajari aqidah mereka, memantapkan diri dengannya dan menguasai prinsip-prinsipnya secara umum, menuntut ilmu syar’i (ilmu agama) dan mendalami pemahaman agama kepada para ulama dan masyayikh (para syaikh), sehingga bisa berdakwah berdasarkan ilmu dan petunjuk yang benar, mengarahkan para pengikutnya untuk mempelajari ilmu syar’i kepada masyayikh dan ulama.

– Dan setelah itu, ia harus menyeru kepada Aqidah Ahlus Sunnah dan menjelaskannya kepada manusia serta membelanya, karena aqidah inilah yang haq (benar).

– Adalah merupakan kewajiban pula bagi orang yang ber¬intima’ kepada Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah sedangkan ia berstatus sebagai da’i, memperlihatkan pengaruhnya di dalam pemikiran, tujuan, ucapan dan tulisan-tulisannya. Bahkan pada perbuatan dan tindakannya di mana ia menguasai segala rincian Aqidah Ahlus Sunnah terutama masalah prinsip-prinsipnya [45], seperti masalah iman, tauhid, asma’ wa shifat, takdir dan hak-hak para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan seharusnya ia berpegang teguh kepada sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, akhlak mulia dan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam serta ciri ulama salaf.

– Seorang da’i wajib menempuh manhaj (metodologi) Ahlus Sunnah wal Jama’ah di dalam berdakwah, beramar ma’ruf dan bernahi munkar, memberikan nasihat kepada para penguasa dan masyarakat awam dan mendidik para da’i yang berkecimpung di dunia dakwah kepada aqidah dan manhaj Ahlus Sunnah dengan segala potensi dan kesungguhan.

– Orang yang ber-intima’ kepada Ahlus Sunnah harus bersikap loyal kepada dakwah mereka, para da’inya dan para tokoh-tokoh mereka, baik yang dahulu maupun yang sekarang, seperti Dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan siapa saja yang sejalan dengan beliau baik kelompok maupun individu. Dan (gerakan dakwah beliau) ini merupakan gerakan dakwah masa kini yang paling menonjol yang menempuh jalan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, baik aqidah ataupun prilakunya. Oleh karena itu, harus dibela dan didukung oleh setiap orang yang mengaku pengikut Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

4. Beberapa Contoh Realitas (Sikap) Gerakan-gerakan Dakwah Kontemporer Terhadap Aqidah Ahlus Sunnah

Oleh karena konsekwensi tersebut butuh implementasi (tathbiq) dalam realita sehingga maksudnya menjadi jelas, maka penulis akan mengetengahkan beberapa contoh penyimpangan nyata kebanyakan kelompok dakwah dan kelompok pergerakan keislaman secara umum dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah baik dalam hal aqidah, manhaj (metode) maupun prilaku.

Karena penulis khawatir dituduh menyebarkan keburukan orang lain dan mencela mereka, maka penulis hanya akan menyebutkan beberapa kesalahan saja tanpa menyebut nama (orang atau kelompok tertentu) dan tema-temanya, sebagai pengamalan terhadap kaidah [46] “ما بال أقوام “

Penulis juga akan mengetengahkan beberapa pertanyaan seputar realita kelompok-kelompok dakwah dan sikapnya terhadap perkara yang sangat agung ini (aqidah). Maka penulis katakan:

– Bagaimana orang yang menta’wil sifat-sifat Allah berafiliasi (intima’) kepada Ahlus Sunnah, berbicara atas nama Allah tanpa dasar ilmu, terjerumus di dalam apa yang diperingatkan oleh para ulama salaf, yaitu lebih mengutamakan rasio (akal) daripada firman Allah Subhaanahu Wata’ala dan sabda Rasul-Nya di dalam masalah sifat-sifat Allah, masalah taqdir dan semua perkara ghaib?!
Sesungguhnya sebahagian kelompok dakwah yang ada berdiri di atas prinsip ini dan mengklaim bahwa dirinya adalah Ahlus Sunnah. [47]

– Lalu bagaimana berintima’ kepada Ahlus Sunnah orang yang berpandangan bahwa tarekat-tarekat sufi yang bid’ah itu adalah manhaj (metode) yang benar bagi dakwah?!

– Yang lebih sangat mengherankan adanya orang yang berintima’ kepada Ahlus Sunnah dari kalangan da’i, padahal ia membela bid’ah bahkan mempromosikannya, atau berpandangan bahwa masalah bid’a itu sepele, bukan termasuk dalam masalah penting dalam agama, seperti bid’ah merayakan maulid Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dan merayakan hari-hari besar bid’ah keagamaan (seperti: isra’ mi’raj, nuzulul qur’an dll. Pen). Di mana posisi orang semacam ini dari aqidah salaf? Bahkan di antara da’i itu ada da’i yang mengerjakan bid’ah-bid’ah tersebut, dan ada pula yang menganggapnya remeh dan menyepelekan bahayanya.

– Dan yang lebih parah lagi adalah adanya beberapa tokoh da’i yang berafiliasi kepada Harakah Islamiyah yang cukup populer mengusap-usap kuburan, para wali yang sudah mati dan yang masih hidup dan meminta (berdo’a) kepada mereka supaya dilepaskan dari marabahaya dan diberi manfa’at serta bersandar (berlindung dan berserah diri) kepada mereka di waktu bahagia dan di waktu sengsara!!

– Bagaimana mengklaim mengibarkan syi’ar Ahlus Sunnah orang yang memberanikan dirinya untuk berdakwah padahal ia tidak mengetahui Aqidah Ahlus Sunnah (salaf). Bahkan barang kali ia ditanya tentang masalah aqidah yang sederhana, lalu tidak bisa menjawab dan kalaupun menjawab maka jawabannya kabur (tidak jelas)!!

– Apakah termasuk Ahlus Sunnah orang yang tidak menahan lisannya juga penanya dari pelecehan, makian dan tuduhan keji terhadap para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, juga terhadap para tabi’in dan para pemuka agama yang terkenal serta para generasi salaf terdahulu, terutama para ulama sunnah dan hadits??

– Di sana juga, sungguh sangat menyedihkan, ada orang dari kalangan tokoh da’i atau orang yang mengaku bahwa dirinya adalah da’i, menunda shalat wajib dari waktunya tanpa alasan yang benar, atau bahkan tidak memperhatikan shalat berjama’ah. Bahkan ada pula yang menghalalkan riba, menghalalkan lagu-lagu dan musik, atau memelihara (menyimpan) gambar makhluk hidup atau merokok. Ada pula di antara mereka yang mencukur jenggotnya tanpa alasan yang benar [48], atau meniru-niru (menyerupai) orang-orang kafir di dalam cara berpakaian dan berpenampilan bahkan di seluruh prilaku kehidupannya. Dan di antara mereka ada pula orang yang tidak memperhatikan hijab syar’i (jilbab) bagi kaum wanita atau menyetujui adanya ikhtilath (pembauran) haram antara laki-laki dengan wanita dan ia meridhainya, dan lain-lain dari perkara-perkara yang merendahkan martabat agama atau menodai ‘adalah (keadilan dan kewibawaan), atau berlawanan dengan kemuliaan dan tidak boleh terjadi dari orang yang menjadikan dirinya dalam deretan da’i dan sebagai teladan.

– Apakah pantas mengklaim diri sebagai pengikut Ahlus Sunnah orang yang tidak menjadikan tujuan dan target dakwahnya adalah belajar dan mengajarkan Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, mengibarkan panjinya, menyeru manusia kepadanya dan mempertahankannya?! Padahal Aqidah Ahlus Sunnah adalah jalan yang lurus dan benar.

– Bagaimana menjadi (pengikut) Ahlus Sunnah orang yang tujuannya adalah pura-pura atau asal-asalan beraqidah dengan Aqidah Ahlus Sunnah dan mengesampingkan sanggahan terhadap sekte dan golongan yang menyalahi (Aqidah Ahlus Sunah), mengesampingkan sanggahan terhadap berbagai bid’ah para ahli bid’ah karena berdalih “tidak ingin memprovokasi perbedaan-perbedaan di antara kaum muslimin”.

– Di antara para da’i itu juga ada da’i yang berupaya menyatukan kaum muslimin bukan dengan dasar kalimatun sawa’ (Aqidah tauhid), melainkan dengan dasar perbedaan keyakinan, kesesatan dan bid’ah yang ada pada masing-masing kelompok. Ini benar-benar seperti pengumpul kayu bakar di malam hari yang gelap!!!
Memang tidak syak lagi bahwa menyatukan kekuatan kaum muslimin itu merupakan tujuan yang sangat mulia, bahkan merupakan bagian dari prinsip agama yang paling agung, tidak mengingkari tujuan ini kecuali seorang yang sesat atau bodoh. Akan tetapi menghimpun dan menyatukan kaum muslimin harus dan wajib berdasarkan al-haq (kebenaran), berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah serta berpegang teguh kepada tali Allah (aqidah shahihah. pen) bukan berdasarkan kepada sekedar syi’ar-syi’ar Islam yang kosong dan kering dari aqidah yang benar.

– Dan di antara mereka ada yang meremehkan amar ma’ruf dan nahi munkar, menyepelekan nasihat kepada para umara dengan anggapan bahwa masalah seperti ini adalah masalah kulit (tidak substansial). Ini tentu sangat bertentangan dengan manhaj (metode dan jalan dakwah) Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan prinsip-prinsip ajaran mereka, sebagaimana telah diuraikan di atas.

Dan terakhir,…….

Sesungguhnya masalah-masalah yang penulis singgung tadi di dalam realitas dakwah bukan sekedar fenomena atau prilaku individu-individu, melainkan merupakan ciri khas, sikap, metode, tujuan (target) dan etika umum sebahagian kelompok (jama’ah), pergerakan dan da’i.

Penulis merasa bahwa kewajiban memberikan nasihat (kritik) mengharuskan penulis untuk menguraikan lebih jauh tentang masalah ini, dan menuntut agar penulis memberikan argumentasi atas apa yang penulis kemukakan ini. Hanya saja tidak bisa penulis lakukan pada kesempatan ini. Sekalipun begitu, penulis tetap bertekad –dengan izin Allah- akan melakukannya.

Sekalipun penulis yakin bahwa di sana-sini ada orang yang lebih mampu dan lebih pantas dari pada penulis melakukan hal ini, namun penulis merasa hal ini tidak menjadi penghalang bagi penulis untuk andil dan ambil bagian menurut kemampuan yang ada. Wallahul Muwaffiq.

5. Antara Ahlus Sunnah dan Asya’irah

Di sana terdapat ketidakjelasan yang besar yang terjadi pada sebahagian orang, dahulu dan sekarang, yaitu klaim (golongan) Asya’irah bahwa merekalah Ahlus Sunnah, dan kadang kala kelompok lain pun menyebut mereka (Asya’irah) seperti itu. Ini adalah klaim yang penuh dengan ketidakjelasan, di dalamnya terdapat banyak kekaburan dan kerancuan. Untuk lebih jelasnya –secara rinci- membutuhkan pembahasan panjang, namun penulis akan berupaya menjelaskan berdasarkan pengetahuan yang ada dengan (penjelasan) yang sangat singkat sebagai berikut:

Pertama: Ahlus Sunnah wal Jama’ah disebut demikian, karena mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh kepada Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan merekalah Jama’ah yang telah disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. [49] Maka dengan demikian Ahlus Sunnah itu adalah para shahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, para tabi’in dan orang-orang yang ikut dan menelusuri jejak mereka (di dalam beragama) hingga hari kiamat kelak, tidak melakukan perbuatan bid’ah ataupun mengubah ajaran agama ini. Maka siapapun yang melakukan perbuatan bid’ah, mengganti ajaran agama atau mengadakan ajaran baru yang bukan dari ajaran agama ini dan bukan dari aqidah dan sunnah yang dipegang oleh generasi awal (salaf), maka ia bukan dari golongan Ahlus Sunnah di dalam hal yang ia ganti atau ubah itu.

Kedua: Asya’irah (atau yang lebih dikenal dengan julukan Asy’ariyah. Pen) adalah kelompok teologis (kalamiyah) yang datang kemudian. Mereka lahir sesudah tiga qurun utama [50]. Kelompok ini dinisbatkan kepada Imam Abul Hasan Ali bin Isma’il al-Asy’ari (W.324 H) rahimahullah, seorang tokoh yang dahulunya menganut aliran Mu’tazilah, kemudian meninggalkan aqidah Mu’tazilahnya kira-kira tahun 300 H. Dan semenjak itu beliau memberikan sanggahan dan kritikan tajam terhadap penganut aqidah Mu’tazilah dengan menggunakan pendekatan-pendekatan kalam (teologis) dari satu sisi dan pendekatan nash-nash al-Qur’an dan Sunnah dari sisi yang lain. Dan dengan begitu ia bersama orang yang sejalan dengannya benar-benar membabat dan menentang habis kelompok Mu’tazilah [51], hingga benar-benar ia pojokkan. Ini adalah merupakan perbuatan mulia dan ia pantas mendapat pujian.

Di dalam suasana seperti ini muncul aliran teologis baru yang bersifat campuran (talfiqi), bukan aliran murni sunni dan bukan pula murni kalam rasional, sehingga angin topan pertikaian reda dan kekalahan berada di pihak Mu’tazilah. Di sini Imam Abul Hasan al-Asy’ari benar-benar telah mendapat ujian berat dan keluar sebagai pemenang melawan Mu’tazilah dan Jahmiyah serta kelompok-kelompok kalam lainnya. [52] Di sinilah Abul Hasan al-Asy’ari menemukan kebenaran dan mengetahui bahwa ia menang karena ia kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan karena pembelaannya kepada Sunnah dan ahlinya serta karena ia bergandeng tangan dengan para tokoh ulama salaf lainnya.

Kemudian beliau meninggalkan pemikiran-pemikirannya di dalam masalah sifat-sifat Allah dan beberapa masalah lainnya di mana di situ beliau menempuh cara ta’wil dan bersandar kepada akal dan kalam di dalam perkara-perkara ghaib, sifat-sifat Allah dan qadar (taqdir). Lalu beliau memutuskan untuk menempuh jejak Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan beliau pun menyatakannya di dalam kitab monumentalnya “al-Ibanah” [53]. Di sini Allah telah memberinya taufiq hingga terlepas dari jeratan talfiq teologis, seraya ia berkata:

“……Keyakinan yang kami yakini dan agama yang kami anut adalah berpegang teguh kepada Kitab suci Tuhan kami (al-Qur’an) dan Sunnah nabi kami, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan segala apa yang diriwayatkan dari para shahabat, para tabi’in dan para pemuka Ahli Hadits. Kepada hal itu kami berpegang teguh dan kepada apa yang diyakini oleh Abu Abdullah, Ahmad bin Hanbal -semoga Allah mencerahkan wajahnya, meninggikan derajatnya, melipatgandakan pahalanya- kami meyakininya, dan terhadap siapa saja yang menyalahinya kami menjauhkan diri….”. [54]

Akan tetapi madzhab beliau yang kedua, yaitu madzhab perpindahan dari i’tizal (aqidah mu’tazilah) ke (aqidah) yang diperoleh melalui cara Ibnu Kullab al-Kalamiyah tetap menjadi madzhab aqidah yang diikuti (oleh kebanyakan orang) hingga sekarang, karena dapat memenuhi harapan kaum filosof dan para mutakallimin serta ahlut ta’wil.

Jadi aliran Asya’irah itu disandarkan kepada Imam Abul Hasan Ali al-Asy’ari sebelum beliau beralih kepada keyakinan Ahlus Sunnah dan baru meninggalkan aqidah mu’tazilah. Sekalipun beliau telah menanggalkan madzhab atau aliran Asy’ariyah tersebut dan telah menulis (aqidah yang diyakininya dan berbeda dengan sebelumnya. Pen) di dalam kitabnya “al-Ibanah” dan kitab “Maqalatul Islamiyyin”, namun kaum Asya’irah (pengikut madzhab transisi Imam Abul Hasan al-Asy’ari. Pen) tetap mengesampingkan aqidah akhir yang menjadi anutan beliau itu.

Demikianlah riwayat lahirnya aliran Asya’irah. Jadi, Asya’irah itu adalah aliran atau madzhab baru yang merupakan campuran (paduan) antara aqidah Ahlus Sunnah dan aqidah Mu’tazilah. Oleh karenanya, penganut aliran ini (Asya’irah) merupakan kelompok pemikiran teologis yang lebih dekat kepada Ahlus Sunnah.

Di sisi lain, aliran Asya’irah ini tumbuh dengan melalui beberapa periode sejarah, yang pada setiap periode perselisihan di antara mereka dengan Ahlus Sunnah makin melebar, terutama setelah para tokoh mereka berikutnya memasukkan prinsip-prinsip dan i’tiqad-i’tiqad baru ke dalamnya, seperti filsafat, tasawwuf, mantiq, kalam dan debat, sehingga aqidah Asya’irah itu merupakan campuran dari semua itu.

Di antara tokoh mereka yang paling menonjol adalah al-Baqillani, wafat tahun 403 H., al-Qusyairi, wafat tahun 465 H., Abul Ma’ali al-Juwaini, wafat tahun 478 H., Ibnul ‘Arabi, wafat tahun 542 H., Imam Ghazali, wafat tahun 505 H., al-Fakhrur Razi, wafat tahun 606 H., al-Amidi, wafat tahun 682 H, dan lain-lainnya. Semoga Allah mengampuni kita dan mereka semua. [55]

Jadi Aliran (Aqidah) Asya’irah yang ada sekarang ini adalah merupakan campuran dan paduan dari berbagai sumber dan berbagai keyakinan, yaitu dari Ahlus Sunnah, filsafat, tasawwuf dan ilmu kalam. Maka dari itulah kita dapatkan mereka sebagai orang yang ber-intisab kepada sunnah yang lebih banyak terjerumus di dalam penyimpangan aqidah dan ibadah (maksudnya: bid’ah aqidah dan ibadah).

Yang demikian itu sangat berbeda halnya dengan Ahlus Sunnnah pada setiap masa. Dan juga kita temukan bahwa kebanyakan penganut aliran Asya’irah masa kini terhimpun di dalam berbagai tariqat sufi yang penuh bid’ah, di mana di kalangan mereka banyak terjadi perbuatan bid’ah kubur, bid’ah tabarruk kepada manusia (yang dianggap wali) dan benda-benda, bid’ah di dalam hal ibadah, do’a, maulid nabi dan lain-lainnya. Bid’ah-bid’ah itulah pada saat ini yang membedakan mereka dari Ahlus Sunnah secara jelas.

Pada kenyataannya kini jarang sekali pembaca melihat seseorang dari pengikut aliran Asya’irah yang tidak mempunyai bid’ah atau kecenderungan kepadanya, atau menganggap sederhana dan tidak peduli kepada masalah yang sangat berbahaya ini. Dan sebaliknya, orang-orang yang benar-benar berintisab (berafilliasi) kepada Ahlus Sunnah, anda akan sangat jarang menemukan seorang dari mereka yang melakukan perbuatan bid’ah, kecuali karena kebodohan. Ini pun –alhamdulillah- sangat jarang terjadi.

Karena itulah kaum Asya’irah masa kini, karena ikut-ikutan Syi’ah dan pengikut-pengikut aliran lainnya, menjuluki Ahlus Sunnah yang ada di seluruh negeri dengan julukan “Wahhabiyah”, sebagai nisbat kepada seorang da’i pembaharu, yaitu Muhammad bin Abdul Wahhab, rahimahullah. Dan dahulu mereka menjuluki Ahlus Sunnah dengan julukan “Hanabilah” sebagai nisbat kepada Imam Ahmad bin Hanbal, rahimahullah. Mereka tidak mengetahui bahwa menjuluki mereka dengan julukan dua tokoh terkemuka ini, yaitu Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Abdul Wahhab adalah merupakan rekomendasi bagi mereka, dan merupakan kehormatan dan kesaksian bagi mereka, bahwa merekalah orang-orang yang menelusurui jejak para tokoh ulama Ahlus Sunnah.

Pendek kata, kaum Asya’irah sependapat dengan Ahlus Sunnah di dalam beberapa masalah aqidah, namun mereka juga menyalahinya di dalam beberapa masalah yang lain. Maka terhadap kesamaan antara mereka dengan Ahlus Sunnah di dalam beberapa hal itu mereka boleh disebut Ahlus Sunnah, dilihat dari sudut kepatuhan mereka kepada Sunnah di dalam masalah-masalah itu. Namun, mereka secara global bila dilihat dari penyimpangan mereka dari Ahlus Sunnah di dalam prinsip-prinsip yang lain yang jumlahnya tidak sedikit, maka mereka secara umum tidak bisa disebut Ahlus Sunnah. Hal ini banyak yang tidak diketahui dan masih samar bagi kebanyakan orang, karena kurangnya pengetahuan dan kajian mereka terhadap ucapan-ucapan Ahlul ilmi (para ulama) di dalam masalah ini.

(Bersambung)

http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatkajian&parent_id=1951&parent_section=kj070&idjudul=1887

Check Also

Fatwa: Amanah Diniyah atau Kompromi Politis?

  Fatwa: Amanah Diniyah atau Kompromi Politis?   Pada tanggal 27/11/2012, Harian Republika memuat artikel …