Home » Aqidah » Studi Kritis Tentang Akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan Sikap Pergerakan Islam Modern Terhadapnya (2)

Studi Kritis Tentang Akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan Sikap Pergerakan Islam Modern Terhadapnya (2)

oleh : Prof. DR. Nashir bin Abdul Kariem al-’Aql

Bagian Pertama : Tamhid

Kajian ini meliputi :
1. Definisi aqidah dan objek kajiannya
2. Definisi Ahlus Sunnah wal Jama’ah

1. DEFINISI AQIDAH DAN OBJEKNYA

Secara bahasa Aqîdah berasal dari kata ‘aqd (عقد) yang berarti mengikat dengan kuat. Ia juga bermakna kokoh dan kuat, saling berpegangan dan saling berkaitan erat, permanen dan utuh. [1]

‘Aqd juga bermakna janji dan pengukuhan sumpah.

Segala sesuatu yang diyakini di dalam hati secara pasti juga disebut Aqîdah.

Aqîdah dalam istilah umum berarti keyakinan yang pasti dan keputusan yang final yang tidak ada keraguan di dalam hati. Demikianlah makna aqidah dalam pengertian yang umum, tanpa melihat kepada bentuk keyakinan yang diyakini, apakah haq maupun batil. Disebut aqidah karena sesuatu yang diyakini itu diikat kuat di dalam hati.

Yang dimaksud dengan Aqidah Islam adalah keyakinan yang pasti kepada Allah, kepada uluhiyah, rububiyah dan kepada asma’ dan sifat-sifat-Nya, beriman kepada para malaikat, kitab-kitab suci-Nya, para rasul-Nya, hari kemudian dan taqdir baik maupun yang buruk, juga beriman kepada segala yang diberitakan oleh nash-nash shahih tentang dasar-dasar agama (ushûluddîn), perkara ghaib, dan beriman kepada apa yang telah menjadi konsensus (ijma’) as-Salaf ash-Shalih dan berserah diri kepada Allah di dalam mematuhi hukum, perintah, taqdir dan syari’at-Nya serta berserah diri kepada Rasul-Nya dengan merealisasikan kepatuhan, bertahkim (berhukum) dan ber-ittiba’(mengikuti) kepadanya.

Objek kajian ilmu Aqidah:

Aqidah dilihat dari sudut sebagai ilmu, sesuai dengan konsep Ahlus Sunnah wal Jama’ah, meliputi topik-topik: Tauhid [2], iman, Islam, masalah ghaibiyat (hal-hal ghaib), kenabian, taqdir, berita-berita (tentang hal-hal yang telah lalu dan yang akan datang. pent), dasar-dasar hukum yang qath’i (pasti), seluruh dasar-dasar agama dan keyakinan; dan termasuk pula sanggahan terhadap Ahlul Ahwa’ wal Bida’, semua aliran dan sekte yang menyempal lagi menyesatkan serta sikap terhadap mereka.

Disiplin ilmu Aqidah ini mempunyai nama lain yang sepadan dengannya, dan nama-nama tersebut berbeda antara Ahlus Sunnah dan non Ahlus Sunnah. Di antara nama-namanya menurut ulama Ahlus Sunnah adalah:

1. ‘Aqidah (I’tiqad dan ‘Aqa’id). Maka sering kita dengar ungkapan: Aqidah kaum salaf, Aqidah Ahlul Atsar. [3]

2. Tauhid [4] karena pembahasannya berkisar seputar tauhid atau pengesaan Allah di dalam Uluhiyah, Rububiyah dan Asma’ serta Sifat-Nya. Jadi, Tauhid merupakan kajian ilmu aqidah yang paling mulia dan merupakan esensinya. Maka dari itulah ilmu ini disebut ilmu Tauhid menurut salaf.

3. As-Sunnah, [5] as-Sunnah artinya jalan. Aqidah Salaf disebut As-Sunnah karena para penganutnya mengikuti jalan yang ditempuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya di dalam masalah aqidah.

4. Ushuluddin [6] dan Ushuluddiyanah. Ushul artinya rukun-rukun Iman, rukun-rukun Islam dan masalah-masalah yang qath’i serta hal-hal yang telah menjadi kesepakatan para tokoh ulama.

5. Al-Fiqh al-Akbar. [7] Ini sinonim Ushuluddin, kebalikan dari al-Fiqh al-Ashghar yang merupakan kumpulan hukum ijtihadi.

6. Asy-Syari’ah. [8] Maksudnya adalah segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya berupa jalan-jalan petunjuk, terutama yang paling pokok adalah Ushuluddin (masalah-masalah aqidah).

Itulah beberapa nama lain dari Ilmu Aqidah yang paling terkenal, dan adakalanya kelompok selain Ahlus sunnah menamakan aqidah mereka dengan nama-nama yang dipakai oleh Ahlus Sunnah, seperti sebagian aliran Asya’irah (Asy’ariyyah), terutama para ahli hadits dari kalangan mereka.

Ada beberapa istilah lain yang dipakai oleh aliran/ sekte selain Ahlus Sunnah sebagai nama dari Ilmu Aqidah, yang paling terkenal di antaranya adalah:

1. Ilmu Kalam. Penamaan ini dikenal di seluruh kalangan aliran teologis mutakallimin, seperti aliran Mu’tazilah, Asya’irah [9] dan kelompok yang sejalan dengan mereka. Nama ini tidak boleh dipakai, karena ilmu kalam itu sendiri merupakan suatu hal yang baru lagi diada-adakan dan mempunyai prinsip taqawwul (mengatakan sesuatu) atas nama Allah dengan tidak dilandasi ilmu, dan juga karena bertentangan dengan metodologi ulama salaf di dalam menetapkan masalah-masalah aqidah.

2. Filsafat: Istilah ini dipakai oleh para filosof dan orang-orang yang sejalan dengan mereka. Ini adalah nama yang tidak boleh dipakai di dalam aqidah, karena dasar filsafat itu adalah khayalan, rasionalitas, fiktif dan pan-dangan-pandangan khurafat tentang hal-hal yang ghaib.

3. Tashawwuf: Istilah ini dipakai oleh sebahagian kaum sufi, filosof, orientalis serta orang-orang yang sejalan dengan mereka. Ini juga merupakan penamaan yang baru lagi diada-adakan karena igauan kaum sufi, klaim-klaim dan pengakuan-pengakuan khurafat mereka dijadikan sebagai rujukan di dalam aqidah.

4. Ilahiyyat (Teologi): Nama yang dipakai oleh mutakallimin, para filosof, para orientalis dan para pengikut-nya. Ini juga merupakan penamaan yang salah, karena yang mereka maksud adalah filsafat kaum filosof dan penjelasan-penjelasan kaum mutakallimin tentang Allah Subhanahu wa ta’ala menurut persepsi mereka.

5. Kekuatan di balik alam Metafisika. Sebutan ini dipakai oleh para filosof dan para penulis Barat serta mereka yang sejalan dengannya. [10] Nama ini hampir mempunyai kesamaan dengan istilah Ilahiyyat (teologi).

Banyak orang yang menamakan apa yang mereka yakini dan prinsip-prinsip atau pemikiran yang mereka anut sebagai ’aqa’id sekalipun hal itu palsu (batil) atau tidak mempunyai dasar dalil aqli maupun naqli. Sesungguhnya aqidah itu mempunyai pengertian yang benar yaitu aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits-hadits shahih serta Ijma’ generasi salaf ash-shalih. Meskipun demikian, Aqidah juga mempunyai pengertian yang keliru, yaitu seperti keyakinan-keyakinan yang bertentangan atau menyalahi keyakinan yang datang dari Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Jadi, pengertian aqidah itu seperti pengertian ad-dien (agama). Ad-Dien al-haq (agama yang haq) yaitu agama Allah disebut dengan dien (agama), dan begitu pula keyakinan kaum musyrikin pada agama selain agama Allah disebut dien (agama), sebagaimana firman Allah :

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ

“Bagimu agamamu dan bagi kami agama kami”. (al-Kafirun :6).

Orang Komunis menganut ideologi dan keyakinan batil, dan ia menyebutnya aqidah dan agama.

Seorang Budhis menganut keyakinan batil, dan ia menyebutnya aqidah dan agama.

Seorang Yahudi menganut keyakinan dan pemikiran batil, dan ia menyebutnya sebagai aqidah dan agama.

Seorang Nasrani menganut keyakinan dan aqidah batilnya, dan ia menyebutnya sebagai aqidah dan agama.

Adapun aqidah Islam, apabila disebutkan, maka yang dimaksud adalah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, sebab ia adalah Islam yang telah Allah ridhai sebagai agama bagi hamba-hamba-Nya.

Klaim sebagian orang dan berbagai sekte (firaq) dengan segala ‘aqidahnya yang bertentangan dengan aqidah kaum salaf bahwa apa yang mereka anut itulah Islam yang sebenarnya tidak bisa mewakili aqidah Islam yang haq. Ia hanyalah keyakinan-keyakinan yang disandarkan kepada para pelopornya, sedangkan al-Haq sangat bersih dan terbebas darinya. Dan apa yang oleh sebahagian para pakar disebut “islami” hanyalah dalam rangka label geografis historis atau sekedar klaim berafiliasi belaka. Dalam artian, bahwa para pemilik dan penganutnya mengklaim sebagai “Islam” dan menyebutnya “Islami”, namun semua itu bila diteliti kembali memerlukan ujian, dan ujiannya adalah disodorkan kepada al-Qur’an dan hadits di dalam masalah Aqidah. Maka apabila sesuai dengan al-Qur’an dan Hadits dan memang bersumber dari situ, maka itulah yang haq dan termasuk dari bagian Aqidah Islam. Dan jika tidak demi-kian, maka dikembalikan kepada orangnya dan dinisbatkan kepadanya (tidak boleh dinisbatkan kepada Islam, Pent).

Definisi Ahlus Sunnah wal Jama’ah

As-Sunnah menurut bahasa berarti jalan dan perikehidupan. [11]

As-Sunnah menurut makna istilahnya adalah jalan dan petunjuk yang ditempuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya, baik berupa ilmu, aqidah, ucapan maupun perbuatan. Itulah Sunnah yang wajib dipatuhi, orang yang mengamalkannya terpuji dan orang yang menyalahinya dicela. [12]

As-Sunnah juga kadang bermakna cara-cara ibadah dan cara-cara berkeyakinan, dan juga bermakna kebalikan dari al-bid’ah. [13]

Al-Jama’ah secara bahasa berasal dari kata al-ijtima’ yang berarti perkumpulan, lawan dari perpecahan. Jama’ah adalah kaum yang berkumpul (bersepakat) atas suatu perkara). [14]

Al-Jama’ah dalam makna istilahnya adalah salaful ummah (Generasi Islam yang pertama). Mereka adalah para shahabat Nabi, para tabi’in dan orang-orang yang meng-ikuti jejak mereka dengan baik hingga hari kiamat. Mereka adalah orang-orang yang bersepakat kepada al-Qur’an dan al-Sunnah (Hadits) serta kepada para imam (pemimpin) mereka, mereka menempuh jalan agama yang ditempuh oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, para shahabatnya dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik (at-Tabi’in). [15]

Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang berpegang teguh kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu orang-orang yang bersepakat kepadanya. Mereka secara urut adalah para shahabat, para tabi’in dan para tokoh dan pemimpin agama yang mengikuti jejak mereka dengan baik serta orang yang menempuh jalan hidup keberagamaan mereka, baik di dalam masalah aqidah, ucapan maupun amal hingga hari kiamat kelak. [16] Mereka adalah orang-orang yang teguh istiqamah ber-ittiba’ (mengikuti cara kaum salaf beragama) dan selalu menghindari bid’ah di mana dan kapan saja. Mereka akan selalu ada, tampak dan mendapat pertolongan (dari Allah) hingga hari kiamat kelak.

Jadi, Ahlus Sunnah wal Jama’ah itu adalah orang-orang yang mempunyai sifat dan karakter mengikuti sunnah dan menjauhi bid’ah di dalam beragama.

Jama’ah di sini tidak bermakna sekelompok manusia dan seluruh orang awamnya, dan tidak pula bermakna mayoritas kaum muslimin [17] selagi mereka tidak berkumpul dan bersepakat kepada al-haq (aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah). Sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyebutkan bahwa golongan yang tertolong (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) itu hanya satu golongan dari 73 tiga golongan yang ada, sebagaimana disebutkan di dalam hadits shahih yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

تَفْتَرِقُ الْيَهُوْدُ عَلىَ إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً أَوِ اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَالنَّصَارَى مِثْلُ ذَلِكَ، وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً.

“Kaum Yahudi telah pecah belah menjadi 71 golongan atau 72 golongan, dan kaum Nasrani seperti itu juga dan umatku akan pecah menjadi 73 golongan.” [18]

Ahlus Sunnah juga kadang dinamai dengan namanya atau sifatnya yang lain yang berdasarkan kepada hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam atau dengan nama yang diberikan oleh para imam panutan Ahlus Sunnah. Kadang hanya disebut “Ahlus Sunnah” saja tanpa dibumbui “wal jama’ah”, dan ada kalanya disebut “al-Jama’ah” saja sebagai implementasi dari ungkapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana di dalam hadits yang diriwayatkan dari sumber Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu:

إِنَّ هَذِهِ اْلأُمَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، كُلُّهَا فِىالنَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً هِيَ الْجَمَاعَةُ.

“Sesungguhnya ummat (Islam) ini akan terpecah belah menjadi 71 golongan, semuanya di neraka kecuali satu, yaitu al-Jama’ah.” [19]

Istilah “as-Salaf ash-Shalih” juga sinonim dengan ungkapan “Ahlus Sunnah wal Jama’ah” menurut terminologi para ahli peneliti. Ahlus Sunnah juga disebut “Ahlul Atsar”, yang berarti pengikut sunnah yang berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya.

Mereka juga disebut “Ahlul Hadits”, yaitu orang-orang yang mengamalkan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam baik secara teori maupun praktek. Mereka adalah orang-orang yang konsisten mengikuti petunjuknya lahir dan batin. Maka Ahlus Sunnah, secara keseluruhan dapat disebut Ahlul Hadits.

Ahlus Sunnah dan ath-Tha’ifah al-Manshurah (golongan yang selamat) disebut Ahlul Hadits itu telah menjadi hal yang lumrah dan dikenal semenjak generasi salaf, karena senafas dengan tuntutan nash dan sesuai dengan yang realitas. Hal itu sudah ditemukan secara sah dari Ibnul Mubarak, Ibnul Madini, Ahmad bin Hanbal, Imam al-Bukhari, Ahmad bin Sinan dan para imam lainnya. Semoga Allah meridhai mereka semua. [20]

Banyak juga para ulama yang menamainya dan menjadikannya sebagai judul karya mereka, seperti kitab: ‘Aqidatus Salaf Ashhabil Hadits” karya Imam Isma’il al-Shabuni, wafat tahun 449 H.

Lihat kitab Majmu’ Dakwah Ibnu Taimiyah, juz 4, halaman 9 dan 95. Beliau menamakan Ahlus Sunnah dengan “Ahlul Hadits”.

Firqah Najiyah adalah golongan yang selamat dari api neraka karena mereka mengikuti dan patuh kepada Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam nyatakan di dalam sabdanya: “Dan sesungguhnya ummat ini akan terpecah menjadi 73 golongan, 72 darinya di dalam neraka, dan hanya satu di surga, yaitu al-Jama’ah.” [21]

Dan demikian pula, banyak sekali para ulama salaf dan para imam Ahlus Sunnah menamai Ahlus Sunnah dengan nama “al-Firqah an-Najiyah” (golongan yang selamat). [22] Disebut juga “azh-Zhahirin ‘alal Haq” (orang-orang yang berdiri di atas kebenaran). Mereka adalah golongan yang selamat yang disebut oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam sabdanya,

لاَتَزَالُ طَائِفَةْ مِنْ أُمَّتِيْ ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ حَتَّى تَقُوْمَ السَّاَعةُ..

“Akan tetap ada segolongan dari umatku yang teguh berdiri di atas kebenaran hingga hari kiamat”. [23]

Mereka juga kadang disebut al-Jama’ah, sebagaimana penulis kemukakan di atas, dan kadang disebut “Ahlul-jama’ah”. [24]

Al-Jama’ah adalah kelompok Ahlus Sunnah yang bersepakat dan berkumpul kepada al-haq. Al-Jama’ah berasal dari makna perkumpulan lawan perpecahan. Al-Jama-’ah mengandung makna berkumpul, juga berma’na kesepakatan dan persatuan, lawan dari perselisihan. Ahlus Sunnah itu mempunyai kriteria kesepakatan atas ushuluddin dan berijma’ kepadanya. Mereka juga bersatu dan bersepakat atas para imam atau ulama dan para waliyul amri.

Mereka juga disebut “Ahlul Ittiba’” karena cara mereka di dalam beragama adalah konsisten mengikuti sunnah Nabi secara lahir dan batin, dan mengikuti jejak as-sabiqun al-awwalun (generasi pertama) dari kaum Muhajir dan kaum Anshar. Mereka mengikuti wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau bersabda:

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِيْ، تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.

“Hendaklah kamu berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah para khulafaur rasyidin sepeninggalku. Peganglah ia erat-erat, gigitlah dengan gigi gerahammu (pertahankanlah). Dan jauhilah perkara-perkara baru (dalam dien), karena setiap bid’ah itu kesesatan…”. [25]

Catatan Kaki :

[1] Lisanul ‘Arab (‘aqd) vol.3 hal. 295-300.

[2] Mencakup Tauhid Rububiyah, Ilahiyah dan asma’ wash shifat.

[3] Seperti : ‘Aqidatus Salaf Ashhabul Hadits, karya Ash-Shabuni (wafat 449 H), dan Syarah Ushuli I’tiqad Ahlus Sunnah wal Jama’ah, karya al-Lalaka’i (wafat 418H), dan al-I’tiqad, karya al-Baihaqi (wafat 458 H).

[4] Seperti : Kitabut Tauhid, di dalam Shahih Bukhari (wafat 256 H), Kitabut Tauhid wa Itsbat Shifatir Rabb, karya Ibnu Khuzaimah (wafat 311H), Kitab I’tiqadit Tauhid, karya Abu Abdillah Muhammad bin Khafif (wafat 371 H), Kitabut Tauhid, karya Ibnu Mandah (wafat 359) dan Kitabut Tauhid, karya Muhammad bin Abdul Wahhab.

[5] Seperti Kitabus Sunnah, karya Imam Ahmad (241 H), Kitabus Sunnah, karya Abdullah bin Ahmad bin Hanbal (wafat 290 H), as-Sunnah, karya al-Khallal (311 H), as-Sunnah, karya al-’Assal (wafat 349 H), as-Sunnah, karya al-Asyram (wafat 273 H), dan as-Sunnah, karya Abi Daud, (wafat 275 H).

[6] Seperti Kitab Ushuluddin, karya al-Baghdadi (wafat 429 H), asy-Syarhu wal Ibanah ‘an Ushulid Diyanah, karya Ibnu Baththah (wafat 378 H), dan al-Ibanah ‘an Ushulid Diyanah, karya al-Asy’ari (wafat 324 H).

[7] Seperti Kitab al-Fiqh al-Akbar, karya Imam Abu Hanifah (wafat 150 H).

[8] Seperti Kitab asy-Syari’ah karya al-Ajurri (wafat 360 H), dan al-Ibanah ‘an Syari’atil Firqah an-Najiyah, karya Ibnu Baththah, (wafat 378 H).

[9] Seperti Syarhul Maqashid fi ‘Ilmil Kalam, karya at-Taftazani (791 H).

[10] al-Mausu’ah al-’Arabiyah al-Muyassarah, hal. 1794.

[11] Mukhtarus Shihah (sanana), hal. 317; dan Lisanul Arab (sanana) juz 13 hal. 220-228.

[12] Al-Washiyah al-Kubra fi ‘Aqidati Ahlus sunnah wal Jama’ah, hal. 23; Syarah al-Aqidah al-Wasithiyyah, karya Muhammad Khalil Harras, hal. 16; dan Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyyah, hal. 33.

[13] Al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Munkar, karya Ibnu Taimiyyah, hal. 77.

[14] Lisanul Arab (jama’a), vol.8, hal. 53-60.

[15] Al-i’tisham, karya al-Syathibi, vol. 1, hal. 28; Syarah al-Aqidah al-Wasithiyah, karya Muhammad Khalil Harras, hal. 16-17; dan Syarah al-Aqidah at Thahawiyah, hal. 33.

[16] Syarah Aqidah Thahawiyah, hal. 330; dan Rasa’il fil Aqidah, karya Muhammad Al-Utsaimin, hal. 53.

[17] Kecuali generasi shahabat Nabi dan tabi’in. Sebab mereka adalah as-sawad al-a’zham (kaum mayoritas) pada saat itu yang berada di dalam al-haq, karena masa mereka berdekatan dengan masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberi rekomendasi terhadap mereka, sebagai generasi yang utama. Adapun generasi yang datang berikutnya tidak menjadi ukuran sekalipun jumlahnya lebih banyak. Banyak sekali hadits-hadits yang menjelaskan bahwa pada generasi berikutnya akan dipenuhi oleh berbagai keburukan dan perpecahan hingga menjadi 73 golongan, dan bahwasanya Islam itu akan kembali asing, dst.

[18] Hadits riwayat Abu Daud di dalam Kitabus Sunnah, hadits no. 4596. Ibnu Majah, bab : Iftiraqul umam, hadits no. 3991; at-Turmudzi di dalam Kitabul ‘Iman, bab Iftiraqu Hadzihil Ummah, hadits no. 2640 dan ia berkomentar: Ini adalah hadits hasan shahih.

[19] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim di dalam kitab “as Sunnah” vol.1, hal. 33. Al-Albani mengatakan: “Hadits shahih karena yang sebelum dan sesudahnya” setelah beliau menyebutkan beberapa sanad lain bagi hadits di atas.

[20] Lihat Silsilatul Ahadits ash Shahihah, jilid I bagian ke tiga, hal. 134-137, hadits no. 270; dan Sunan at-Turmudzi, Kitabul Fitan, hadits no. 2229.

[21] HR. Abu Daud, bab Syarhus Sunnah, hadits no. 4597 jilid V, hal. 5 dan 6 dari sanad Mu’awiyah; dan Imam Ahmad dengan sanad shahih dari Anas bin Malik, (Musnad, 3/120). Hadits di atas mempunyai syahid (hadits lain yang menguatkan dari sisi sanad) di dalam Sunan at-Turmudzi, di dalam Kitabul Iman, hadits no. 2640; dan di dalam kitab al-Mustadrak, karya al-Hakim, kitabul Ilmi jilid I, hal. 128-19. Al-Albani menilai hadits tersebut shahih sebagaimana dimuat di dalam “Silsilah al-Al-Hadits ash-Shahihah” jilid I, hadits no. 204.

[22] Lihat Syarah al-Aqidah al-Wasithiyyah karya Muhammad Khalil Harras, hal. 16

[23] Hadits riwayat Muslim, at-Turmudzi, Ibnu Majah dan al-Hakim.

[24] Syarah al-Aqidah al-Wasithiyah, hal. 180.

[25] Hadis riwayat Ibnu Abi Ashim di dalam Kitabus Sunnah, jilid I, hal.19-29 hadits no. 31, 54 dan dinilai shahih oleh Al-Albani. Semua perawinya tsiqat, hadits ini diriwayatkan juga di dalam kitab-kitab as-sunnah dan musnad. Lihat pula Syarah al-Aqidah al-Wasithiyyah, karya Muhammad Khalil Harras, hal. 179-180

http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatkajian&parent_id=1890&parent_section=kj070&idjudul=1887

Check Also

Fatwa: Amanah Diniyah atau Kompromi Politis?

  Fatwa: Amanah Diniyah atau Kompromi Politis?   Pada tanggal 27/11/2012, Harian Republika memuat artikel …