Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Seseorang pergi ke Mekkah pada sepuluh hari terakhir Ramadlan, maka bolehkah baginya berbuka puasa, mengqashar shalat dan meninggalkan sunnat rawatib..?
Jawaban.
Orang yang pergi ke Mekkah di sepuluh hari terakhir Ramadlan, maka ia berada dalam hukum orang yang sedang dalam perjalanan (musafir). Sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Mekkah pada tahun Futuh Mekkah, tanggal 19 atau 20 Ramadlan yang akan berakhir sembilan hari lagi, maka menurut keterangan Shaih Bukhari dari Ibnu Abbas, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa di akhir-akhir Ramadlan tersebut.
Sedangkan masalah qashar shalat, maka jika yang pergi ke Mekkah itu seorang lelaki, maka ia wajib berjama’ah di Mesjid sebagaimana shalat biasa. Namun jika tak sempat berjama’ah, hendaklah shalat dua raka’at. Dan bagi wanita hendaknya shalat dua raka’at jika di rumah atau empat raka’at jika di masjid.
Tentang sunnat rawatib, setelah saya lihat dari sunnah, ternyata rawatib Zhuhur, Maghrib dan Isya, tak perlu dilakukan. Kecuali shalat sunnat lainnya seperti sunnat Fajar, sunnat Witir, sunnat malam (tahajjud), Dhuha, Tahiyatul Mesjid termasuk sunat mutlak.
HUKUM SHALAT DAN PUASA DALAM PERJALANAN
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum safar (mengadakan suatu perjalanan) kaitannya dengan qashar shalat dan berbuka puasa ..?
Jawaban.
Safar merupakan salah satu sebab bolehnya bahkan menuntut meringkas shalat empat raka’at menjadi dau raka’at, baik wajib atau dianjurkan (mandub) menurut perbedaan pendapat yang ada.
Tetapi yang benar, qashar shalat itu dianjurkan, bukan wajib walau dari zhahir nas terlihat wajib, sebab di sana sini masih banyak nas lainnya yang menunjukkan tidak wajib. Safar yang bisa membolehkan qashar shalat, berbuka puasa, menyapu dua sepatu atau dua kaos kaki, adalah tiga hari lamanya. Hal ini masih diperselisihkan ulama. Sebagian mereka mensyaratkan bahwa jarak qashar itu harus mencapai sekitar 81 Km. Sebagian lainnya tidak menentukan jarak tertentu yang penting sesuai dengan adat yang berlaku, sebab syara’ tidak menentukannya. Dalam suatu nazham disebutkan :
“Artinya : Setiap perkara yang timbul dan tak ada ketentuan syara’, maka lindungilah dengan ketentuan adat suatu tempat (‘uruf)”.
Dengan demikian, jika telah berlaku hukum safar, baik menurut jarak atau ‘uruf, maka setiap orang patut mengikutinya, baik dalam hal qashar shalat, berbuka puasa atau menyapu sepatu, dalam waktu tiga hari lamanya. Jika tidak ada kesulitan, maka puasa lebih baik tetap dipenuhi bagi yang tengah dalam perjalanan.
Sehubungan dengan hal itu, saya ingatkan bagi yang pergi umrah bahwa sebagian di antara mereka biasa melaksanakan umrah di siang hari hingga terasa berat berpuasa sampai-sampai ada yang jatuh pingsan. Jika hal ini terjadi, tentu sangat keliru sebab syara’ menetapkan tak perlu berpuasa dalam kondisi seperti itu.
Jika timbul pertanyaan, apa yang terbaik antara berbuka puasa dan melakukan umrah setibanya di tempat ataukah tetap berpuasa dan tidak melakukan umrah kecuali di malam hari .? Jawabnya : Yang terbaik adalah berbuka puasa dan melakukan umrah di siang hari, sebab Nabi menyegerakan umrah sampai-sampai menghentikan untanya di depan pintu mesjid. Itulah yang terjadi pada sebagian orang di suatu negeri atau di beberapa negeri di mana mereka tetap memaksakan berpuasa ketika sakit. Yang katanya menurut mereka sebagai hasil ijtihad, padahal syara’ itu bukan nafsu, tetapi sebagai hidayah. Karena itu, bila yang sakit parah atau yang tengah menempuh perjalanan berat tetap memaksakan diri berpuasa, maka ia bertentangan sunnah dan kecintaan Allah, sebab Allah sangat senang bila keringanan-keringanan-Nya dilaksanakan serta Dia tidak senang bila kemaksiatan dikerjakan.
[Dislain dari buku 257 Tanya Jawab Fatwa-fatwa Al-Utsaimin, oleh Syaikh Muhammad Al-Shalih Al-‘Utsaimin, terbitan Gema Risalah Press, hal 133-134, alih bahasa Prof.Drs.KH.Masdar Helmy]