Episode-episode keterpurukan itu nampak sangat jelas. Keterpurukan dalam peradaban, ekonomi, budaya dan kekuatan militer persenjataan seperti menjadi sebuah serial yang terus saja berkelanjutan layaknya sebuah pertunjukan film atau sinetron yang selalu menyediakan episode lanjutan. Banyak yang pesimis dan kecut pada akhirnya. Yah, ummat yang –katanya dan seharusnya- gagah menggantungkan izzahnya kepada Allah Azza wa Jalla itu dibuat kecut, pesimis dan rendah diri akibat terlalu banyak menyaksikan serial keterpurukannya sendiri. Akibatnya mereka menjadi kaku. Tidak mampu berdiri. Apalagi bergerak.
Padahal sesungguhnya, jenis kelemahan yang paling dahsyat adalah bila kita dengan penuh ketidakberdayaan menerima dan bersandar pada realitas. Realitas bahwa kita telah terpuruk. Realitas bahwa kekuatan hizb asy syaithan begitu kuat dalam setiap lini. Sungguh, kelemahan yang satu ini sangat menakutkan. Sebab ketika kita semua menjadi manusia yang pasrah dengan kenyataan lalu tidak berbuat apa-apa untuk menghentikan episode kekalahan ini, maka kita akan menjadi sekumpulan prajurit dan ksatria yang kalah sebelum perang mengibarkan benderanya. Sebab jiwa kita telah takluk, bertekuk lutut. Sekuat apapun senjata penghancurmu, bila jiwamu terkulai, jangan pernah bermimpi meraih kemenangan.
Jalan perubahan (baca : jalan kemenangan) itu sendiri sesungguhnya telah begitu jelas bagi ummat ini. “Dan sungguh benar-benar Allah pasti akan memenangkan siapa yang menolong (agama)Nya. Sesungguhnya Allah itu Maha kuat lagi Maha berkuasa.” (TQS. Al Hajj: 40). Seharusnya seorang mu’min tidak boleh kalah dan takluk di depan keputusasaan atau kerendahdirian. Sebab iman yang ia miliki bersumber dari Sang Rabb yang mengingatkannya,”Dan janganlah kalian merasa hina-rendah, dan jangan (pula) kalian bersedih, sebab kalianlah yang tertinggi bila kalian beriman” (TQS. Ali Imran: 139).
Hanya saja, ummat ini seharusnya tidak pernah lupa akan satu hal. Bahwa kemenangan dan kebangkitan ummat ini tidak akan lahir dengan sebuah mu’jizat. Sebab ia akan terlahir melalui proses sunnatullah. Yah, sunnatullah itu tidak akan mungkin dilanggar. Sunnatullah yang disebutkan oleh Allah Ta’ala ketika menyatakan, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka.” (TQS. Ar Ra’d: 11)
Jadi bila engkau bertanya tentang titik awal jalan perubahan dan kemenangan ini, maka jawabnya adalah bahwa ia bermula dari diri kita masing-masing. Adalah sebuah kesalahan yang sangat fatal –dan sangat disayangkan kesalahan ini diyakini sebagai kebenaran oleh sebagian pelaku pergerakan Islam- bila kita ingin mengubah keadaan tanpa terlebih dahulu melakukan perubahan pada diri para pelaku keadaan itu. Melakukan “pembangunan” ulang dan tarbiyah adalah jalan yang paling tepat untuk mengawali sebuah episode perubahan dan kemenangan. Sebab kunci dasar dari sebuah kebangkitan dan perubahan keadaan ada pada diri manusia. Itulah sebabnya, da’wah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- sepenuhnya tertuju pada pembinaan (tarbiyah) dan penyucian (tazkiyah). “Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang ‘ummiy’ seorang Rasul, yang membacakan kepada mereka ayat-ayatNya, menyucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah)…”(TQS. Al Jum’ah : 2)
Manusia dengan segala potensi yang dikaruniakan Allah padanya adalah makhluq yang memiliki kemampuan yang dahsyat untuk membuat sejarah. Itu pula sebabnya mengapa Allah Ta’ala memilih mereka untuk mengemban amanah yang paling berat. Amanah yang telah ditawarkan sebelumnya kepada langit, bumi dan gunung –makhluq yang secara fisik jauh lebih besar dari fisik manusia- lalu mereka semua menolaknya. Manusialah yang kemudian –dengan gagah- menerimanya.
Namun manusia pulalah yang menjelma menjadi sosok makhluq yang sangat kompleks. Itulah sebabnya, siapa saja yang meyakini pentingnya membina pribadi pembangun peradaban dan kejayaan ummat ini harus menyadari betul bahwa jalan tarbiyah dan tazkiyah ini adalah jalan yang panjang. Kesabaranmu harus berlipat. Dan nafasmu harus sangat panjang…
Tapi itulah jalannya. Jangan tergesa-gesa menitinya. Persis seperti saat dimana pada suatu ketika Khabbab ibn Al Art –radhiallahu ‘anhu- mengeluh kepada sang Rasul betapa beratnya penindasan kaum musyrik pada mereka dan mempertanyakan mengapa tidak segera meminta pada Allah Ta’ala untuk dimenangkan…Persis seperti jawab sang Rasul yang marah memerah wajahnya,”Sungguh generasi sebelum kalian ada yang disisir kepalanya dengan sisir besi hingga terkoyak dan nampak tulang dari dagingnya, namun itu tak memalingkannya dari agamanya…Lalu diletakkan sebuah gergaji di atas kepalanya, kemudian (kepalanya itu) dibelah hingga menjadi dua, namun itu tidak memalingkannya dari agamanya…Sungguh Allah pasti akan menyempurnakan urusan (agama) ini hingga seseorang dapat berkendara dari Shan’a ke Hadhramaut, ia tidak takut kecuali kepada Allah dan serigala yang akan menerkam dombanya…Tapi kalian adalah orang yang tergesa-gesa…” (HR. Bukhari).
Jadi itulah jalannya. Dan jalan itu belum pernah berhenti. Jalan itu tidak terhenti walau engkau telah mendapatkan kursimu. Jalan itu tidak akan berakhir saat orang-orangmu telah diangkat menjadi menteri. Tidak. Sebab jalan ini hanya akan berhenti ketika engkau telah mengeluarkan manusia dari penghambaan kepada sesama makhluq menuju penghambaan hanya kepada Sang pencipta seluruh makhluq. Jalan itu akan usai pada satu titik. Pada titik Tauhid. (MIZ)
Sumber: abul-miqdad.blogspot.com