Perennialisme: Bukan Ajaran Nabi
Dr Adian Husaini, Dosen Pascasarjana Univ Ibnu Khaldun Bogor
Seorang cendekiawan terkenal yang sudah wafat—pernah menulis: “Sebagai sebuah pandangan keagamaan, pada dasarnya Islam bersifat inklusif dan merentangkan tafsirannya ke arah yang semakin pluralis.
Sebagai contoh, filsafat perenial yang belakangan banyak dibicarakan dalam dialog antaragama di Indonesia, merentangkan pandangan pluralis dengan mengatakan bahwa setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat roda itu adalah Tuhan, dan jari-jari itu adalah jalan dari berbagai agama. Filsafat perenial juga membagi agama pada level esoteris (batin) dan eksoteris (lahir). Satu agama berbeda dengan agama lain dalam level eksoteris, tetapi relatif sama dalam level esoterisnya.
Oleh karena itu, ada istilah ‘Satu Tuhan Banyak Jalan’.” (Lihat, Tiga Agama Satu Tuhan, [Bandung: Mizan, 1999], hal xix). Sang cendekiawan ini bisa dikatakan salah satu pioneerdalam penyebaran paham perenialisme di Indonesia. Sesudahnya, semakin banyak cendekiawan di Indonesia yang tergoda untuk menganut dan menyebarkan paham ini. Sadar atau tidak, paham atau tidak, ada akibatnya. Mereka beranggapan bahwa dengan ide inilah akan tercipta kerukunan umat beragama, kehidupan bangsa yang damai dan harmonis. Sebab, paham ini berhasil meredam konflik agama-agama pada tingkat yang paling dini, yaitu pada level wawasan dan cara pandang terhadap agama lain yang tidak lagi menghakimi atau menyalahkan agama lain.
Pada 2010, dalam pelantikannya sebagai guru besar sosiologi agama di sebuah perguruan tinggi Islam, seorang guru besar menulis: “Gagasan Nurcholish Madjid tentang titik temu agama-agama atau gagasan kesatuan transendental agamaagama ( the transcendent unity of religions) Frithjof Schuon semakin memberikan afirmasi baik secara teologis maupun filosofis tentang pentingnya pengembangan studi agama berbasis multikulturalisme.” Sepintas gagasan kesatuan agama-agama pada level transenden (Kesatuan Transenden si Agama-Agama/KTAA) tampak indah.
Tapi, konsep ini sejatinya sangat serius kesalahannya. Sebab, KTAA memberikan keabsahan pada semua bentuk ibadah kepada Allah. Konsep KTAA seperti dipromosikan oleh sang profesor tersebut jelas memberikan legitimasi terhadap bentuk penyembahan terhadap Tuhan apa pun selain Allah. Seorang Muslim tidak mungkin berkeyakinan bahwa semua agama apa pun cara ibadahnya adalah sama-sama sah menuju Tuhan yang sama.
Padahal, syahadat orang Muslim sudah menegaskan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Ini artinya, seorang Muslim harus menyembah satu-satunya Tuhan, yaitu Allah, bukan Yahweh, bukan Lata, bukan Uzza, bukan setan, dan bukan tuyul. Jika ada agama yang memiliki ritual penyembahan tuyul atau menyembah Tuhan dengan cara telanjang sambil berjalan mengelilingi kampus, ibadah seperti itu pasti batil karena tidak sesuai dengan syariat Nabi Muhammad SAW.
Konsep tauhid Islam seperti ini sangat bertentangan dengan konsep KTAA, seperti diuraikan sang profesor tersebut: “Upaya mencari titik temu antarpelbagai kelompok agama secara lebih mendasar dikembang kan oleh seorang tokoh mistikus kontemporer Frithjof Schuon (1984). Gagasan Frithjof Schuon dikatakan lebih mendasar karena menjadikan dimensi transendental agama-agama. Bagi Frithjof Schuon, di balik perbedaan pada masing-masing agama tetap ada peluang dipertemukan, mengingat kesamaan pada dimensi transendentalnya. Se mua ag a ma, apa pun bentuk eksoterisnya (ta ta cara beribadah, tempat ibadah, ungkapan-ungkap an bahasa agama, dan perbeda an bersifat sim-bolis lainnya), kata Frithjof Schuon, berjum pa pada ranah transendental, yaitu Tu han. Inilah dimensi esoteris agama, sekaligus jantung semua agama ( the heart of religion).”
Teori KTAA juga sangat naif dan absurd karena tidak mempersoalkan aspek eksoteris (tata cara beribadah, tempat ibadah, ungkapan-ungkapan bahasa agama, dan perbedaan bersifat simbolis lainnya) dan lebih mementingkan aspek esoteris. Dalam Islam, aspek syariat (eksoteris) sangat penting. Bentuk ibadah adalah hal yang sangat mendasar dalam Islam. Islam tidak memisahkan aspek eksoteris dan aspek esoteris. Islam secara tegas menolak segala bentuk ibadah selain yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Justru salah satu misi utama diutusnya Nabi Muhammad SAW adalah untuk memberi petunjuk kepada manusia tentang bagai ma na cara beribadah yang benar. Beliau diutus untuk semua manusia sebagai uswah hasanah. Misi Nabi Muhammad SAW tak hanya ditujukan untuk orang Islam (QS 34: 28).
Jadi, dalam Islam aspek eksoteris dan esoteris sama-sama penting. Menurut Islam, untuk meng gapai esoteris yang benar, seseorang juga harus menjalankan tata cara ibadah yang benar, sesuai dengan ajaran Nabi Mu hammad SAW. Tuhan yang disembah pun harus jelas, yaitu Allah SWT, bukan sembarangan Tuhan. Tidak ada cerita sama sekali Nabi Muhammad SAW mengajarkan paham semacam KTAA. Sebab, jelas iman tidak sama dengan kekufuran, tauhid tidak sama dengan syirik, sunah tidak sama dengan bidah. Justru yang kita temukan, Nabi Muhammad SAW aktif mengajak saudara, kaumnya, dan juga seluruh manusia untuk beriman dan berislam. Banyak raja dan tokoh dikirimi surat oleh beliau. Salah satunya, surat kepada Kaisar Romawi Heraclius berikut ini:
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Mu ham -mad Rasul Allah untuk Heraclius Kaisar Romawi yang agung. Keselamatan bagi sia pa yang mengikuti petunjuk. Selain itu, se sungguhnya aku mengajak Tuan untuk ma suk Islam. Masuklah Tuan ke dalam Islam, Tuan akan selamat. Dan hendaklah Tuan memeluk Islam, maka Allah memberikan pahala bagi Tuan dua kali, dan jika Tuan berpaling, Tuan akan menanggung dosa orang-orang Romawi. “Katakanlah: Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa kita tidak menyembah selain Allah, dan kita tidak menyekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling, katakanlah kepada mereka: ‘Saksikanlah, bahwa kami adalah orangorang Muslim’.” (QS 3: 64). Jika nabi mengajarkan paham KTAA, sulit dibayangkan para pendakwah Islam rela meninggalkan negeri dan keluarga mereka untuk mendakwahkan Islam ke berbagai penjuru dunia sampai ke nusantara ini. Wallahu a’lam bish shawab. (Sumber: Republika Online/Koran Republika, Kamis 21/4/2011 kolom Jurnal Islamia, Kupas Tuntas Bahya & kekeliruan Paham Pluralisme)