Home » Akhlak » Pedihnya Sakaratul Maut

Pedihnya Sakaratul Maut

Mati adalah kata yang tidak disukai oleh kebanyakan orang. Banyak yang menghindar darinya. Kematian itu sendiri tentunya lebih ditakuti dari sekadar kata mati. Tidak hanya oleh manusia, binatang pun takut mati. Seakan tidak ada yang sudi mati.
Hal ini wajar bagi makhluk yang bernyawa, karena mati merupakan sebab berpisahnya seorang dari hal yang ia senangi, berpisah dari dunia dan segala isinya. Sementara manusia memang mencintai dunia dan seisinya. Sebagaimana firman Allah Subhaanahu Wata’ala,  yang artinya;

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Al-Imran: 14).

Di sisi lain, ada yang menyangka bahwa kematian menjanjikan ketenangan. Karenanya, kita sering mendengar kasus bunuh diri. Orang itu mengira kematian merupakan solusi ampuh untuk mengatasi semua masalah.
Ada juga golongan manusia yang sepanjang harinya bermaksiat, seakan-akan maut tidak akan menjemputnya.


HIDUP TAK KEKAL
Perumpamaan hidup di dunia, sebagaimana yang dikatakan Al-Hafizh Ibnu Hajar—rahimahullah, ia bagaikan budak yang diperintahkan tuannya untuk ke kota lain agar menunaikan tugasnya. Setelah selesai, tentu ia harus segera kembali, bukannya berlama-lama di kota itu. Jika budak itu berusaha melarikan diri dari tuannya dan bersembunyi di kota tersebut, tentu ia akan dicari dan dipaksa pulang kembali.

Begitu pun kehidupan ini. Setiap yang bernyawa pasti merasakan kematian. Manusia yang asalnya dari tanah maka kepada tanahlah juga akan dikembalikan.

“Dari bumi (tanah) itulah kami menjadikan kamu dan kepadanya kami akan mengembalikan kamu dan dari padanya kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain.” (QS. Thaha: 55).

Kematian pasti akan menemui setiap orang, tiada yang mampu menghindar darinya. Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman, artinya, “Tiap-tiap yang bernyawa pasti akan merasakan kematian.” (QS. Ali Imran: 180).

Ayat di atas mestinya bisa mejadi peringatan bagi seluruh makhluk akan adanya kematian. Dan ini sekaligus pembuktian bahwasanya dunia ini tak abadi. Di sinilah perlunya peringatan, dan Allah Subhaanahu Wata’ala begitu banyak memberikan peringatan kepada manusia. Namun terkadang manusia tidak menyadari peringatan itu. Atau pura-pura tidak tahu? Di antara peringatan Allah Subhaanahu Wata’ala itu ialah umur yang semakin bertambah, munculnya uban, penglihatan mulai rabun, kurangnya pendengaran, dan sakit. Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman, artinya:

“Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat. Kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah yang Mahamengetahui lagi Mahakuasa. (QS. Ar-Rum: 54).

Seperti bayi yang tak bisa apa-apa, tua renta dan kematian pun adalah kondisi yang kental dengan kelemahan. Terutama kelemahan saat menghadapi sakaratul maut. Sakaratul maut yang menjadi gerbang keluar dari kehidupan dunia begitu dahsyat hingga tidak sekadar melemahkan fisik tapi juga akal.

Akhir kehidupan yang sangat dahsyat yang menunggu manusia; seharusnya menyadarkan bahwasanya ia bukanlah jasad semata, melainkan jiwa yang ‘dibungkus’ dalam jasad. Manusia harus paham akan kematian jasadnya—yang ia coba untuk miliki seakan-akan mau hidup selamanya di dunia yang sementara ini. Tubuh yang dianggap sangat penting ini akan membusuk serta menjadi kerangka.
TERCABUTNYA RUH DARI JASAD
Ummul Mukminin Aisyah—radiallahu anha, istri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah berkata:

“Aku belum pernah melihat seorang yang mengalami derita sebarat yang dialami oleh Rasulullah  Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis di atas menggambarkan, sebelum semua orang sampai ke sana, ada prahara besar menjelang kematian. Ada derita luar biasa. Iya, dia tidak lain adalah sakaratul maut. Semua itu dapat disaksikan dan dirasakan oleh orang yang menjelang ajal. Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman, artinya:

“Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya”. (QS. Qaaf: 19).

Hadits ini juga menyampaikan kepada kita bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pun mengalaminya.

Al-Hafifzh Ibnu Hajar—rahimahullah—berkata, “Berdasarkan hadits Aisyah tentang kondisi wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, menunjukkan bahwa sengsaranya seseorang ketika sakaratul maut tidak menunjukkan rendahnya kedudukan di hadapan Allah Subhaanahu Wata’ala, justru menunjukkan tambahan kebahagian baginya atau sebagai penebus atas dosa-dosanya.”

Pernyataan Ibnu Hajar, diperkuat oleh sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang artinya,
Kebanyakan dalil yang menunjukkan bahwa kepayahan sekarat yang dialami oleh orang shalih hanya pada awal pencabutan ruh. Ketika ruh akan diangkat, para malaikat datang memberikan ketenagan dan kabar yang menyenangkan. Pada saat itulah seorang mukmin merasakan kegembiraan yang luar biasa hingga lenyap pula derita yang dirasakannya. Kemudian ruhnya keluar dengan tenang dan mudah. Inilah kondisi kaum muslimin yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebagaimana firman Allah Subhaanahu Wata’ala yang artinya,

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan, “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (QS. Fushshilat: 30).

Menjelang kematian, seseorang menjadi dan keluarganya. Di saat itu,  malaikat datang dan memberikan kabar gembira kepada seorang mukmin. Yaitu dimintanya untuk keluar dengan tenang dan kembali kepada ridha-Nya serta ia dimasukkan ke dalam surga Allah.  Allah Subhaanahu Wata’ala firman, artinya:

“Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku. Masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al-Fajr: 28-30).

Hal ini pun pernah dikabarkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Dari Barra’ bin Azib berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,

“Seorang mukmin ketika hendak meninggalkan dunia menuju akhirat, turunlah para malaikat kepadanya dari langit, wajahnya putih bersih laksana sinar matahari. Para malaikat duduk di depannya sejauh mata memandang. Kemudian datang malaikat maut duduk di dekatnya seraya berkata. “Wahai jiwa yang baik keluarlah menuju ampunan dan keridhaan Allah.” Lalu ruh tersebut keluar dari tubuhnya laksana mengalirnya tetesan air dari mulut kendi. Kemudian malaikat maut membawa ruh tersebut.” (HR. Abu Daud & Al-Hakim, dinyatakan sahih oleh Syaikh Al-Albani).

Nah, itu kondisi kaum mukminin. Lalu bagaimana kondisi orang kafir? Allah Subhaanahu Wata’ala menggambarkan kondisi itu dalam firman-Nya:

“Kalau kamu melihat ketika para malaikat mencabut jiwa orang-orang yang kafir seraya memukul muka dan belakang mereka (dan berkata), “Rasakanlah olehmu siksa neraka yang membakar”, (tentulah kamu akan merasa ngeri).” (QS. Al-Anfal: 50).

Ibnu Katsir—rahimahullah—berkata tentang tafsir ayat ini, “Jika engkau, wahai Muhammad, melihat saat dicabutnya ruh orang kafir, nicaya engkau akan menyaksikan pemandangan dahsyat dan mengerikan. Para malaikat memukul wajah dan bagian belakang mereka seraya berkata, “Rasakanlah adzab neraka yang membakar.”

Barra’ bin Azib juga pernah berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabbda,
“Adapun hamba yang kafir—dalam riwayat lain ‘fajir’, apabila hendak menuju akhirat meninggalkan dunia maka akan turun malaikat dari langit. Sifat mereka kasar dan keras bermuka hitam. Mereka membawa pakaian yang kasar dari neraka, kemudian duduk di depannya sejauh mata memandang. Kemudian datanglah malaikat maut duduk di dekat kepalanya seraya berkata, “Wahai ruh yang buruk, keluarlah menuju kemungkaran dan marah Allah Subhaanahu Wata’ala. lalu ruh itu memancar dalam tubuh (tidak ingin keluar) sehingga malaikat mencabutnya dengan paksa dan kasar, sebagaimana besi yang banyak kaitnya lalu dipakai mencabut bulu domba yang dibasahi sehinga tercabut pula kulit dan uratnya.” (HR. Bukhari).

Itulah sakaratul maut. Baik atau buruknya akhir kehidupan seseorang adalah akibat dari perbuatannya selama hidup. Orang yang tidak ikhlas dalam beramal, atau orang yang jahil terhadap agama Allah maka akan terancam su’ul khatimah. Sementara yang benar-benar beriman, dan ikhlas beramal, maka insya Allah terhindar dari su’ul khatimah. Jika demikian, jalan mana yang kita pilih? Abdul Rasyid Yusuf
Sumber:  Majalah Fatawa dengan beberapa perubahan.

(Alfikrah No.07 Tahun X/10 Rabiul Awwal 1430 H) (http://www.wahdah.or.id/)

Check Also

Iman dan Imamah

  Iman adalah Motor Penggerak Utama yang melejitkan himmah. Dialah sebab pertama yang meneguhkan tekat, …