Pernikahan yang merupakan ikatan suci antar lelaki dan wanita kadang menjadi sesuatu yang sangat dipersulit, sementara pada sisi lain praktek perzinahan justru seakan menjadi bagian dari “hak azazi”!
Polemik tentang nikah siri akhir-akhir ini dipicu dengan menyebarnya info tentang RUU tentang hukum materil peradilan agama bidang perkawinan yang masuk dalam daftar program legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2010
Pasal tentang nikah siri atau nikah yang tidak didaftarkan ada pada pasal 143-153, dimana pelanggaran terhadap pasal-pasal ini bisa dikenakan tuntutan sanksi penjara maksimal 3 bulan dan denda 5 juta rupiah.
Hal inilah yang diungkapkan Wakil Ketua Umum DPP Wahdah Islamiyah Ustadz Ikhwan Abdul Jalil, Lc sebagai pengantar dalam dialog MUI Makassar-IMMIM SabtuR.Tsani 1431 H/20 Maret 2009 di Aula Gedung IMMIM Jl.Jend.Sudirman.
Narasumber lainnya adalah H.Abd.Wahab Zakariya, MA (Pimpinan Pondok Pesantren Putra DDI AD) dan DR.Amrah Kasim, MA (Pimpinan Pesantren Putri IMMIM)
Dalam pemaparan Ustadz, bahwa ada perbedaan antara Nikah Siri (Sirri) dalam konteks kita di indonesia dan peristilahan para fuqaha (Ulama).
Nikah Siri dalam Bahasa Indonesia : “Pernikahan yang hanya disaksikan oleh seorang modin dan saksi, tidak melalui kantor urusan agama, menurut agama Islam sudah sah.” (Kamus Besar Bahasa Indonesia H.782)
Lanjut Ustadz yang juga Pengurus MUI ini, Istilah Nikah siri dalam konteks fiqh dalam masalah ini para fuqaha’ berbeda pendapat tentang hakekat dan hukum nikah siri
Pendapat Jumhur (Hanafiah, Syafi’iyah dan Hanabilah): yang dimaksud nikah siri adalah yang tidak dipersaksikan atau yang saksinya kurang. Adapun yang telah hadir saksinya lengkap dua orang pria, dan tentu wali dan kedua mempelai maka mereka tidak lagi mengangapnya sebagai nikah siri.
Sedangkan Pendapat Malikkyah: pernikahan yang ada pesanan untuk menyembunyikannya dari khalayak ramai, walau wali dan saksinya lengkap, tanpa ada alasan kekhwatiran tindakan zalim dari pihak tertentu dan dipesan sebelum nikah/aqad, adapun jika setelah akad baru dipesan untuk disembunyikan, maka bukan nikah sirri yang dimaksud
Olehnya itu dari sisi hukum para ulama juga berbeda, Jumhur menghukum batal dan tidak sahnya nikah sirri dalam versi mereka, yaitu yang tidak lengkap saksinya adapun yang sembunyi-sembunyi, tapi lengkap wali dan saksi-saksinya, maka sah hukumnya. Tapi Malikiyah menghukumi pelaku nikah sirri dalam versi mereka dengan fasakh (pembatalan).
Dengan dalil-dalil yang ada, maka Ustadz mentarjih pendapat jumhur dalam masalah ini.
Di sisi lain, dalam KUHP, zina yang sudah jelas haram dalam Islam, hanya dikena pidana jika ada delik aduan dari suami/istri. Definisi zina menurut undang-undang yang berlaku sebagaimana dalam KUHP pasal 284: ayat (1) menyatakan bahwa diancam pidana seorang pria kawin yang melakukan zina, seorang wanita kawin yang melakukan zina; ayat (2) menyatakan bahwa tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar
Dengan kata lain, jika seorang laki yang belum menikah dan seorang perempuan yang belum menikah melakukan hubungan badan atas dasar suka sama suka, maka mereka tidak dapat dikenakan delik pidana zina.
Dalam permasalahan ini, seharusnya yang jadi persoalan inti adalah kita seharusnya punya semangat untuk memperbaiki perangkat hukum dan perundangan agar sesuai dengan syariat Allah, sangat banyak sisi yang perlu kita kembalikan pada hukum Allah dan RasulNya.
“Menyikapi masalah ini perlu sikap bijak, kita sepakat jika nikah siri banyak memberi mudharat, tapi pada kondisi tertentu membuat beberapa orang harus melakukannya, jika hal itu dihalangi maka bisa menimbulkan hal yang lebih parah lagi,” ungkapnya.
Akan jadi sangat rancu dalam cara berpikir kita sebagai bangsa yang relegius, jika sesuatu yang dianggap sah jumhur, tapi mau dipidanakan.
Ustadz menegaskan bahwa setuju tertib administrasi dengan adanya pencatatan nikah sebagai bagian payung proteksi terhadap hak anak dan istri dan yang terkait. Olehnya itu sebaiknya dilakukan tindakan-tindakan persuasif menghadapinya bukan dikriminalisasi.
Ada empat point yang dikemukakan yakni: Pertama, memudahkan dalam pencatatan nikah. Harus dihapus image bahwa hal itu rumit . Bahkan menurut Ustadz bahwa barangkali paradigma yang ada dibalik, bukan berarti setiap orang wajib mencatatkan pernikahannya, akan tetapi pihak Pemerintah yang berkewajiban mencatat pernikahan dari warganya. Kedua, Perlu ada langkah nikah siri yang mendatangkan kemudharatan yang diberantas. Ketiga, orang yang terpaksa melakukan Nikah Siri karena ada kondisi-kondisi tertentu harus ada ruang bagi mereka untuk privasinya. Keempat, Pemerintah harus memberikan kewenangan kepada pengadilan untuk mengesahkan Nikah Siri. Dalam hal ini, Ustadz memberikan contoh, dalam kasus pembunuhan, hakim memutuskan perkara dengan menghadirkan saksi.Mestinya apabila ada saksi yang diterima persaksiannya dalam suatu pernikahan yang sah, bisa dipergunakan untuk mengesahkan pernikahan siri yang sudah dilaksanakan. Jika tidak demikian, pernikahan siri dibatalkan, justru hal ini akan memberi dampak sosial yang lebih besar.
Di akhir pemaparannya, Ustadz menegaskan kembali bahwa Nikah Siri adalah sesuatu yang boleh, tetapi bukan rekomendasi utama untuk dilakukan. Mesti ada celah untuk memberikan kemudahan kepada masyarakat yang harus mengalami nikah siri dengan sebab-sebab tertentu
http://www.wahdah.or.id