Written by DR. Adian Husaini (*) | |
Monday, 05 March 2012 01:51 |
“Rakyat rusak karena penguasanya rusak; penguasa rusak gara-gara ulama rusak; dan ulama rusak karena terjangkit penyakit gila dunia.”
Mutiara hikmah dari Imam al-Ghazali itu disampaikan Ketua Mahkamah Konstitusi Prof. DR. Mahfud MD saat memberikan sambutan dalam acara deklarasi Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI), Selasa (28/2/2012). Mahfud MD, saat itu, tampak sangat serius. Ia menyebut berbagai fenomena kerusakan masyarakat akibat rusaknya ulama dan intelektual. Lihatlah, dalam berbagai survei, calon pemimin hanya diobservasi aspek popularitas, akseptabilitas, dan elektabilitasnya. “Tidak ada kriteria akhlak.”
Karena itu, jika ulama dan intelektual rusak, maka rusaklah seluruh tatanan dan masyarakat itu sendiri. Imam al-Ghazali (w.1111 M) sudah lama mengingatkan masalah ini. Karena itulah, al-Ghazali menuliskan bab tentang Ilmu di awal Kitab monumentalnya, Ihya’ Ulumiddin. Peran penting ilmu dan ulama dibahas secara panjang lebar. Begitu juga dijelaskan bahaya kerusakan ilmu dan ulama jahat (ulama as-su’).
Ketua MUI KH A Cholil Ridwan dalam sambutannya mengajak ulama utuk lebih “mendekat ke masjid” dan aktif mengurusi masalah umat. Kehadiran wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bambang Widjojanto menarik banyak perhatian. Bambang yang selama berbulan-bulan tidak muncul di media massa, malam itu hadir dan hanya menyampaikan sambutan singkat. Ia mengingatkan MIUMI agar segera bekerja, karena, ujarnya, “Mulut kita satu, tapi tangan dan kaki kita ada dua.”
Acara deklarasi MIUMI dihadiri oleh sekitar 300 undangan dari berbagai kalangan intelektual dan ulama. Hadir juga Ketua MUI Prof. DR. Yunahar Ilyas, sastrawan terkenal Taufik Ismail, dan juga banyak intelektual dan ulama muda dari berbagai propinsi dan berbagai bidang kepakaran.
Lebih beradab
Dalam Deklarasi yang dibacakan oleh Ustad Fadlan Garamatan dari Papua, MIUMI menegaskan adanya kesinambungan risalah keilmuan, perjuangan dan dakwah di Nusantara yang merupakan amanah dan tanggung jawab bagi kaum intelektual dan ulama dari masa ke masa. Hal lain yang melatarbelakangi pendirian MIUMI adalah kemerosotan otoritas ulama dan perpecahan ulama dan umat. Ini kondisi yang mengkhawatirkan.
Ulama diamanhi oleh Nabi SAW sebagai pewaris perjuangan penegakan risalah kenabian. Maknanya, umat Islam wajib mewujudkan adanya ulama-ulama dalam kualitas dan kuantitas yang mencukupi (kifayah). Pengadaan ulama dalah salah satu kewajiban penting. Tentu, ulama di sini adalah ulama yang sebenarnya. Ulama wajib memahami makna risalah. Dalam kaitan inilah ulama wajib memahami al-Quran dan Hadits Nabi serta metodologi yang benar dalam memahami kedua sumber utama ajaran Islam itu. Juga, ulama mestinya terlibat aktif dalam solusi bagi persoalan umat. Dan yang penting, ulama juga wajib berakhlak mulia, punya sifat takut kepada Allah (khasyatullah), dan zuhud (tidak gila dunia, termasuk gila jabatan).
MIUMI mengusung semboyan: “Untuk Indonesia yang lebih beradab.” Menurut Prof. Din Syamsuddin, semboyan itu terlalu sopan dan malu-malu. Yang lebih tepat, sarannya: “Untuk Indonesia yang beradab”. Itu mengingat kondisi social politik yang sangat parah dalam berbagai bidang kehidupan.
“Adab” memang salah satu konsep kunci dalam Islam, dan juga menjadi salah satu kata kunci dalam Pancasila. Saat memberikan ucaptama (keynote speech) di Konferensi Pendidikan Islam Internasional pertama diMekkah, 1977, Prof DR Syed Muhammad Naquib al-Attas menyebutkan problem utama umat Islam adalah “loss of adab” (hilang adab), yang berakar pada kondisi kerancuan ilmu (confusion of knowledge). Ilmu yang salah mengantarkan kepada kerusakan tata-pikir seseorang dan selanjutnya kerusakan tatanan masyarakat yang beradab.
Ketika adab hilang, maka manusia tidak tahu lagi bagaimana seharusnya bersikap terhadap Tuhan. Syirik – menyekutukan Allah – adalah dosa yang tak terampuni dan kezaliman besar. Syirik menyejajarkan al-Khaliq dengan makhluk. Kini, di era modern, bahkan banyak manusia berani menantang Tuhan, menolak campur tangan Tuhan dalam kehidupan pribadi dan masyarakatnya. Saat Tuhan disingkirkan, maka manusia merasa sebagai Tuhan. Sikap seperti ini sangat tidak beradab kepada Tuhan.
Adab pada ilmu adalah kemampuan memilah dan memilih ilmu-ilmu yang wajib (baik fardhu ain atau fardhu kifayah) dengan ilmu-ilmu yang salah. Masyarakat beradab menempatkan orang berilmu dan saleh ke posisi tinggi, lebih tinggi ketimbang penghibur. Adab pada Nabi maknanya, kesediaan menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai uswatun hasanah (suri tauladan). Tidak beradab, jika menempatkan pezina dan pendusta di atas posisi Nabi.
Sebuah terobosan penting dalam MIUMI adalah kesepakatan menjadikan Ahlus Sunnah wal-Jamaah (Aswaja) sebagai titik acuan bersama. Konsep Aswaja menaungi berbagai paham dalam Islam. NU, Muhammadiyah, Persis, DDII, al-Irsyad, dan sebagainya tercakup dalam konsep ini. Dengan ini, MIUMI juga menolak pengembangan paham liberalisme dan berbagai aliran sesat. Namun, penolakan itu pun harus dilakukan secara ilmiah, berdasarkan hujjah dan keilmuan yang jelas.
Satu fungsi penting MIUMI adalah sebagai wadah pengembangan potensi intelektual dan ulama muda yang jumlahnya semakin bertambah di berbagai daerah. Komitmen dakwah dan keilmuan dijadikan sebagai acuan. “Jangan sampai potensi-potensi muda itu layu sebelum berkembang,” kata Sekjen MIUMI, Bachtiar Nasir.
Tentu semua cita-cita besar itu baik. Kini, umat menunggu bukti. (Artikel ini, dengan sedikit modifikasi telah dimuat di Harian Republika, Sabtu, 3- Maret- 2012***)
(*) Deklarator MIUMI