Keempat, dalam soal nama dan konsep Tuhan. Sebagaimana konsep Islamic worldview (pandangan alam Islam) yang ditandai dengan karakteristiknya yang autentik dan final, maka konsep Islam tentang Tuhan, menurut Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, juga bersifat autentik dan final. Itu disebabkan, konsep Tuhan dalam Islam dirumuskan berdasarkan wahyu dalam Al-Qur’an yang juga bersifat autentik dan final. Konsep Tuhan dalam Islam memiliki sifat yang khas yang tidak sama dengan dengan konsep Tuhan dalam tradisi filsafat Yunani; tidak dengan konsep Tuhan dalam filsafat Barat modern atau pun dalam tradisi mistik Barat dan Timur.
Tuhan, dalam Islam, dikenal dengan nama Allah. Lafaz “Allah” dibaca dengan bacaan yang tertentu. Kata “Allah” tidak boleh diucapkan sembarangan, tetapi harus sesuai dengan
yang dicontohkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana bacaan-bacaan
ayat-ayat dalam Al-Qur’an. Dengan adanya ilmul qiraat yang berdasarkan pada sanad—yang bersambung hingga kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam-maka kaum Muslimin tidak menghadapi masalah dalam penyebutan nama Tuhan. Umat Islam juga tidak berbeda pendapat tentang nama Tuhan, bahwa nama Tuhan yang sebenarnya ialah Allah. Dengan demikian, “nama
Tuhan”, yakni “Allah” juga bersifat autentik dan final, karena menemukan sandaran yang kuat, dari sanad mutawatir yang sampai kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Umat Islam tidak melakukan “spekulasi filosofis” untuk menyebut nama Allah(1), karena nama itu sudah dikenalkan langsung oleh Allah subhaanahu wa ta’aalaa- melalui Al-Qur`an, dan diajarkan langsung cara melafalkannya oleh Nabi Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Dalam konsepsi Islam, Allah adalah nama diri (proper name / ismul ‘alam) dari Dzat Yang Mahakuasa, yang memiliki nama dan sifat-sifat tertentu. Sifat-sifat Allah dan nama-nama-Nya pun sudah dijelaskan dalam Al-Qur`an, sehingga tidak memberikan kesempatan pada terjadinya spekulasi akal dalam masalah ini. Tuhan orang Islam adalah jelas, yakni Allah, yang SATU, tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia (Q.s. al-Ikhlash [112]). Dan syahadat Islam pun begitu jelas: “Lâ ilâha illallah, uhammadur Rasulullâh”—Tidak ada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah”. Syahadat Islam ini juga bersifat final dan tidak mengalami perubahan sejak zaman Rasulullah Saw sampai Hari Kiamat. Kaum Muslim di seluruh dunia dengan latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda-juga menyebut dan mengucapkan nama Allah dengan cara yang sama. Karena itu, umat Islam praktis tidak mengalami perbedaan yang mendasar dalam masalah konsep dan nama “Tuhan”.
Catatan kaki:
(1). Spekulasi tentang nama Tuhan dilakukan oleh kaum Yahudi. Dalam konsep Judaism (agama Yahudi), nama Tuhan tidak dapat diketahui dengan pasti. Kaum Yahudi modern hanya menduga-duga, bahwa nama Tuhan mereka adalah Yahweh. The Concise Oxford Dictionary of World Religions menjelaskan “Yahweh” sebagai “The God of Judaism as the tetragrammaton YHWH, may have been pronounced. By orthodox and many other Jews, God’s name is never articulated, least of all in the Jewish liturgy (Lihat, John Bowker (ed), The Concise Oxford Dictionary of World Religions, (Oxford University Press, 2000). Yahweh memang Tuhan dugaan, Harold Bloom dalam bukunya, Jesus and Yahweh, (New York: Berkley Publishing Groups, 2005), hlm. 127, menulis “How the name was pronaunced we never will know: Yahweh is merely surmise.’
Spekulasi Yahudi tentang nama Tuhan ini kemudian berdampak pada konsepsi Kristen tentang nama Tuhan yang beragam, sesuai dengan tradisi dan budaya setempat. Di Timur Tengah, kaum Kristen menyebut “Alloh” sama dengan orang Islam; di Indonesia melafazkan nama Tuhannya menjadi “Allah”; dan di Barat kaum Kristen menyebut Tuhan mereka dengan “God” atau “Lord”. Ini juga yang kemudian dibawa dalam berbagai terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Inggris. Dalam bukunya, Judaism, Pilkington, menceritakan, bahwa pada tahun 1937, rabbi-rabbi Yahudi di Amerika sepakat untuk mendefinisikan: “Judaism is the historical religious experience of the Jewish people.” (Pilkington, Judaism, (London: Hodder Headline Ltd., 2003), hlm. 7.)
Disadur dari buku 10 Kuliah Agama Islam, karya Dr Adian Husaini, hal 29-31.