Home » Peradaban » Membangun Kembali Peradaban Islam (3)

Membangun Kembali Peradaban Islam (3)

 

 

b) Substansi Peradaban Islam

Tanda wujudnya peradaban, menurut Ibn Khaldun adalah berkembangnya ilmu pengetahuan seperti fisika, kimia, geometri, aritmetik, astronomi, optic, kedokteran dsb. Bahkan maju mundurnya suatu peradaban tergantung atau berkaitan dengan maju mundurnya ilmu pengetahuan. Jadi substansi peradaban yang terpenting dalam teori Ibn Khaldun adalah ilmu pengetahuan. Namun ilmu pengetahuan tidak mungkin hidup tanpa adanya komunitas yang aktif mengembangkannya. Karena itu suatu peradaban atau suatu umrÉn harus dimulai dari suatu “komunitas kecil” dan ketika komunitas itu membesar maka akan lahir umrÉn besar. Komunitas itu biasanya muncul di perkotaan atau bahkan membentuk suatu kota. Dari kota itulah akan terbentuk masyarakat yang memiliki berbagai kegiatan kehidupan yang daripadanya timbul suatu sistem kemasyarakat dan akhirnya lahirlah suatu Negara. Kota Madinah, kota Cordova, kota Baghdad, kota Samara, kota Cairo dan lain-lain adalah sedikit contoh dari kota yang berasal dari komunitas yang kemudian melahirkan Negara. Tanda-tanda lahir dan hidupnya suatu umrÉn bagi Ibn Khaldun di antaranya adalah berkembanganya teknologi, (tekstil, pangan, dan papan / arsitektur), kegiatan eknomi, tumbuhnya praktek kedokteran, kesenian (kaligrafi, musik, sastra dsb). Di balik tanda-tanda lahirnya suatu peradaban itu terdapat komunitas yang aktif dan kreatif menghasilkan ilmu pengetahuan.

Namun di balik faktor aktivitas dan kreativitas masyarakat masih terdapat faktor lain yaitu agama, spiritualitas atau kepercayaan. Para sarjana Muslim kontemporer umumnya menerima pendapat bahwa agama adalah asas peradaban, menolak agama adalah kebiadaban. Sayyid Qutb menyatakan bahwa keimanan adalah sumber peradaban. Meskipun dalam paradaban Islam struktur organisasi dan bentuknya secara material berbeda-beda, namun prinsip-prinsip dan nilai-nilai asasinya adalah satu dan permanent. Prinsip-prinsip itu adalah ketaqwaan kepada Tuhan (taqwa), keyakinan kepada keesaan Tuhan (tawÍÊd), supremasi kemanusiaan di atas segala sesuatu yang bersifat material, pengembangan nilai-nilai kemanusiaan dan penjagaan dari keinginan hewani, penghormatan terhadap keluarga, menyadari fungsinya sebagai khalifah Allah di Bumi berdasarkan petunjuk dan perintahNya (syariat).[1]

Sejalan dengan Sayyid Qutb, Syeikh Muhammad Abduh menekankan bahwa agama atau keyakinan adalah asas segala peradaban. Bangsa-bangsa purbakala seperti Yunani, Mesir, India, dll, membangun peradaban mereka dari sebuah agama, keyakinan atau kepercayaan. Arnold Toynbee juga mengakui bahwa kekuatan spiritual (batiniyah) adalah kekuatan yang memungkinkan seseorang melahirkan manifestasi lahiriyah (outward manifestation) yang kemudian disebut sebagai peradaban itu.[2]

Jika agama atau kepercayaan merupakan asas peradaban, dan jika agama serta kepercayaan itu membentuk cara pandang seseorang terhadap sesuatu yang pada gilirannya dapat mempengaruhi tindakan nyatanya atau manifestasi lahiriyahnya, maka sejalan dengan teori modern bahwa pandangan hidup (worldview) merupakan asas bagi setiap peradaban dunia.

Para pengkaji peradaban, filsafat, sains dan agama kini telah banyak yang menggunakan worldview sebagai matrik atau framework. Ninian Smart menggunakannya untuk mengkaji agama, S.M. Naquib al-Attas, al-Mawdudi, Sayyid Qutb, memakainya untuk menjelaskan bangunan konsep dalam Islam, Alparslan Acikgence untuk mengkaji sains, Atif Zayn, memakainya untuk perbandingan ideologi, Thomas F Wall untuk kajian filsafat, Thomas S Kuhn dengan konsep paradigmanya sejatinya sama dengan menggunakan worldview bagi kajian sains.

Meski mereka berbeda pendapat tentang makna worldview, mereka pada umumnya mengaitkan worldview dengan peradaban atau seluruh aktivitas ilmiyah,sosial dan keagamaan seseorang. Ninian Smart, pakar kajian perbandingan agama, memberi makna worldview sebagai “kepercayaan, perasaan dan apa-apa yang terdapat dalam pikiran orang yang berfungsi sebagai motor bagi keberlangsungan dan perubahan sosial dan moral.”[3] Penekanannya pada fungsi worldview sebagai motor perubahan sosial dan moral. Secara filosofis Thomas F Wall, memaknai worldview sebagai “sistem kepercayaan asas yang integral tentang hakekat diri kita, realitas, dan tentang makna eksistensi”.[4] Dalam kaitannya dengan aktivitas ilmiyah Alparslan Acikgence memaknai worldview sebagai asas bagi setiap perilaku manusia, termasuk aktivitas-aktivitas ilmiyah dan teknologi. Setiap aktivitas manusia akhirnya dapat dilacak pada pandangan hidupnya, artinya aktivitas manusia dapat direduksi kedalam pandangan hidup itu.[5] Dalam konteks sains, hakekat worldview juga dapat dikaitkan dengan konsep “paradigma” Thomas S Kuhn[6]. Istilah Kuhn “perubahan paradigma” (paradigm shift) menurut Edwin Hung sebenarnya dapat dianggap sebagai weltanschauung Revolution (revolusi pandangan hidup). Sebab, paradigma mengandung konsep nilai, standar-standar dan metodologi-metodologi, yang merupakan worldview dan framework konseptual yang diperlukan untuk kajian sains.[7] Singkatnya, worldview berkaitan erat secara konseptual dengan segala aktivitas manusia secara sosial, intelektual dan religius. Dan yang terpenting adalah bahwa worldcview sebagai sistem kepercayaan, pemikiran, tata pikir, dan tata nilai memiliki kekuatan untuk merobah. Maka dari itu, aktivitas manusia dari yang sekecil-kecilnya hingga yang sebesar-besarnya yang kemudian menjadi peradaban bersumber dari worldview.

Jika makna worldview adalah konsep nilai, motor bagi perubahan sosial, asas bagi pemahaman realitas dan asas bagi aktivitas ilmiah, maka Islam mengandung itu semua. Islam bahkan memiliki pandangan terhadap realitas fisik dan non fisik secara integral. Ayat-ayat al-Qur’an jelas-jelas adalah konsep seminal yang memproyeksikan pandangan Islam tentang alam semesta dan kehidupan yang disebut pandangan hidup atau pandangan alam Islam (worldview, al-taÎawwur al-IslÉmÊ, al-mabda al-IslÉmÊ) itu.[8] Bukan hanya itu, konsep-konsep itu diberi medium pelaksanaannya yang berupa institusi yang disebut dÊn, yang di dalamnya terkandung konsep peradaban (Tamaddun).

Oleh sebab itu dalam Islam worldview memiliki istilahnya sendiri. Bagi al-Mawdudi worldview Islam adalah Islami NazariyÉt (Islamic Vision) yang berarti “pandangan hidup yang dimulai dari konsep keesaan Tuhan (shahÉdah) yang berimplikasi pada keseluruhan kegiatan kehidupan manusia di dunia….secara menyeluruh”.[9] Menurut Sayyid Qutb worldview Islam adalah al-taÎawwur al-IslÉmÊ, yang berarti “akumulasi dari keyakinan asasi yang terbentuk dalam pikiran dan hati setiap Muslim, yang memberi gambaran khusus tentang wujud dan apa-apa yang terdapat dibalik itu.”[10] Worldview dalam istilah Shaykh Atif al-Zayn adalah al-Mabda’ al-IslÉmÊ yang lebih cenderung merupakan kesatuan iman dan akal dan karena itu ia mengartikan mabda’ sebagai aqidah fikriyyah yaitu kepercayaan yang berdasarkan pada akal. Sebab baginya iman didahului dengan akal.[11] Namun Shaykh Atif juga menggunakan kata-kata mabda untuk ideologi non-Muslim. Ini berarti bahwa tidak selamanya berarti aqÊdah fikriyyah. S.M.Naquib al-Attas mengartikan worldview Islam sebagai pandangan Islam tentang realitas dan kebenaran yang nampak oleh mata hati kita dan yang menjelaskan hakekat wujud; oleh karena apa yang dipancarkan Islam adalah wujud yang total, maka worldview Islam berarti pandangan Islam tentang wujud (ru’yat al-IslÉm li al-wujËd).[12]

Jadi sebagaimana peradaban lainnya, substansi peradaban Islam adalah pokok-pokok ajaran Islam yang tidak terbatas pada sistem kepercayaan, tata pikir, dan tata nilai, tapi merupakan super-sistem yang meliputi keseluruhan pandangan tentang wujud, terutamanya pandangan tentang Tuhan. Oleh sebab itu teologi (aqÊdah) dalam Islam merupakan fondasi bagi tata pikir, tata nilai dan seluruh kegiatan kehidupan Muslim. Itulah pandangan hidup Islam. Jika pandangan hidup itu berakumulasi dalam tata pikiran seseorang ia akan memancar dalam keseluruhan kegiatan kehidupannya dan akan menghasilkan etos kerja dan termanifestasikan dalam bentuk karya nyata. Dan jika ia memancar dari pikiran masyarakat atau bangsa maka ia akan menghasilkan falsafah hidup bangsa dan sistem kehidupan bangsa tersebut. Jadi substansi peradaban Islam adalah pandangan hidup Islam. Namun elemen pandangan hidup yang terpenting adalah pemikiran dan kepercayaan.

Menurut Ibn Khaldun, wujud suatu peradaban merupakan produk dari akumulasi tiga elemen penting yaitu 1) kemampuan manusia untuk berfikir yang menghasilkan sains dan teknologi 2) kemampuan berorganisasi dalam bentuk kekuatan politik dan militer dan 3) kesanggupan berjuang untuk hidup.[13] Jadi kemampuan berfikir merupakan elemen asas suatu peradaban. Suatu bangsa akan beradab (berbudaya) hanya jika bangsa itu telah mencapai tingkat kemapuan intelektual tertentu. Sebab kesempurnaan manusia ditentukan oleh ketinggian pemikirannya. Suatu peradaban hanya akan wujud jika manusia di dalamnya memiliki pemikiran yang tinggi sehingga mampu meningkatkan taraf kehidupannya. Suatu pemikiran tidak dapat tumbuh begitu saja tanpa sarana dan prasarana ataupun supra-struktur dan infra-struktur yang tersedia. Dalam hal ini pendidikan merupakan sarana penting bagi tumbuhnya pemikiran, namun yang lebih mendasar lagi dari pemikiran adalah struktur ilmu pengetahuan yang berasal dari pandangan hidup. Untuk menjelaskan bagaimana pemikiran dalam peradaban Islam merupakan faktor terpenting bagi tumbuh berkembangnya peradaban Islam, kita rujuk tradisi intelektual Islam.

 

 


[1] Seperti dikutip oleh Muhammad Abdul Jabbar Beg, dalam The Muslim World League Journal, edisi November-Desember, 1983, hal. 38-42.

[2] Ibid

[3] Ninian Smart, Worldview, Crosscultural Explorations of Human Belief, (New York: Charles Sribner’s sons, n.d). 1-2.

[4] Aslinya: An integrated system of basic beliefs about the nature of yourself, reality, and the meaning of existence, Lihat Thomas F Wall, Thinking Critically About Philosophical Problem, A Modern Introduction, Wadsworth, Thomson Learning, Australia, 2001, hal. 532.

[5] Aslinya: The foundation of all human conduct, including scientific and technological activities. Every human activity is ultimately traceable to its worldview, and as such it is reducible to that worldview. Lihat Alparslan Acikgence, “The Framework for A history of Islamic Philosophy”, Al-Shajarah, Journal of The International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), 1996, jilid1. Nomor 1&2, 6.

[6] Kuhn menyatakan:”penelitian ilmiyah diarahkan kepada artikulasi fenomena-fenomea dan teori-teori yang paradigmanya telah tersedia” Lihat Thomas S Kuhn, The Structure of Scientific Revolution, International Encyclopedia of Unified Science, jilid2, no 2 (Chicago: Univerity of Chicago Press, 1970, hal. 24.

[7] Lihat Edwin Hung, The Nature of Science: Problem and Perspectives (Belmont, California, Wardsworth, 1997) hal. 340, 355, 368, 370.

[8] Prof. Alparslan menyimpulkan bahwa suatu pandangan hidup umumnya memiliki 5 struktur konsep atau pandangan yang terdiri dari 1) struktur konsep tentang ilmu, 2) tentang alam semesta, 3) tentang manusia, 4) tentang kehidupan, dan 5) tentang nilai moralitas. Alparslan Acikgence, Scientific Thought And Its Burdens, An Essay in the History and Philosophy of Science, Fatih University Publications, 2000, hal. 78.

[9] Al-MawdËdÊ, The Process of Islamic Revolution, (Lahore, 1967) hal. 14, 41.

[10] M.Sayyid Qutb, MuqawwamÉt al-TaÎawwur al-IslÉmÊ, DÉr al-ShurËq, tt. Hal. 41

[11] Shaykh ÓÏif al-Zayn, al-IslÉm wa Idulujiyyat al-InsÉn, Beirut, DÉr al- KitÉb al-LubnÉnÊ, 1989, hal. 13.

[12] S.M.N, al-Attas dalam Prolegomena to The Metaphysics of Islam An Exposition of the Fundamental Element of the Worldview of Islam, Kuala Lumpur, ISTAC, 1995, hal. 2

[13] Ibn KhaldËn, ‘Abd al-RaÍmÉn Ibn MuÍammad, The Muqaddimah: an Introduction to history, Penerjemah Franz Rosenthal, 3 jilid, editor N.J. Dawood. (London, Routledge & Kegan Paul, 1978), hal. 54-57.

Check Also

Sepatutnya Kontes Miss World Dibatalkan? (1)

Sepatutnya Kontes Miss World Dibatalkan? (1) DR Adian Husaini     Tahun 2013 ini, kontes …