Home » Akhbaar » “Makna Batalnya Konser Lady Gaga”

“Makna Batalnya Konser Lady Gaga”

Oleh: Dr. Adian Husaini

“Pro-kontra konser Lady Gaga di Indonesia menunjukkan dahsyatnya pertarungan ide antara Islam dan liberalisme. Bukan tidak mungkin, jika Lady Gaga berhasil konser di Indonesia, maka tahun berikutnya akan digelar kontes Vagina Terindah, seperti yang telah terjadi di AS.”

*****

LADY GAGA akhirnya gagal manggung di Indonesia. Pihak manajemen penyanyi nyentrik dan jorok asal AS ini menyebutkan, bahwa pembatalan itu terkait dengan masalah keselamatan. Sebelumnya, seperti diberitakan www.kompas.com (27/5/2012), kuasa hukum promotor Big Daddy Entertainment, Minola Sebayang, mengatakan, pihak manajemen Gaga meminta konser dibatalkan lantaran faktor keamanan yang menurut mereka tidak terjamin. “Kalau alasan sangat complicated, pihak manajemen Lady Gaga mempertimbangkan dengan kondisi menit ke menit, dengan adanya ancaman-ancaman yang membahayakan bila konser itu diselenggarakan. Akhirnya pihak Lady Gaga membatalkan konser di Jakarta,” kata Minola di Jakarta.

“Ini bukan hanya keamanan Lady Gaga, tapi semua keamanan yang menonton Lady Gaga,” lanjutnya.

Segera, setelah pembatalan konser itu, reaksi pro-kontra bermunculan. Yang menarik adalah suara-suara dari para pemuja paham kebebasan. Seperti diberitakan KOMPAS.com, ada yang menyatakan, bahwa pembatalan konser Gaga yang bertajuk “Born This Way Ball Tour” menunjukkan bahwa Indonesia bukan negara yang sepenuhnya berdaulat. Pengekangan kebebasan berekspresi masih terjadi di negara yang telah merdeka selama 67 tahun ini. “Ada tarik ulur izin. Ini sudah bukan wilayah hukum lagi, melainkan komoditas politik. Dan yang paling nyata, kedaulatan aparat hukum sudah dikalahkan kepentingan kelompok tertentu, yang tidak mewakili rakyat Indonesia,” ujar Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Hendardi, kepada Kompas.com, Minggu (27/5/2012).

Hendardi juga mengatakan, pembatalan ini menunjukkan kemenangan kelompok tertentu yang tidak menghargai keberagaman di Indonesia. Kenyataan ini terasa ironis mengingat upaya pemerintah yang mengklaim penegakan hak-hak kelompok minoritas berjalan dengan baik. Menurut Hendardi, pembatalan konser Lady Gaga membuat penegakan HAM di Indonesia mundur satu langkah, serta ketiadaan sikap tegas pemerintah Indonesia.

Jika hal ini dibiarkan berlarut-larut, kedaulatan hukum di Indonesia akan semakin buruk.
Komentar Hendardi soal pembatalan konser Lady Gaga hanya berdasar pada prinsip kebebasan. Ia sama sekali tidak melihat dari sisi agama, soal baik dan buruk; halal atau haram. Baginya, yang penting manusia diberikan kebebasan. Bebas apa saja; mau berbuat maksiat atau beramal saleh, sama saja. Yang penting, kebebasan!

Padahal, sudah lama Hendardi dan kita semua memahami, bahwa tidak ada kebebasan yang mutlak di dunia ini. Kebebasan dibatasi oleh aturan dan norma-norma, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Kita sudah lama tidak bebas berbuat apa saja yang kita kehendaki saat berada di jalan raya. Kita dipaksa mengenakan helm, sabuk pengaman, memiliki Surat Ijin Mengemudi. Padahal, itu semua menjadikan kita tidak bebas. Jenis helm pun sudah ditentukan. Kita tidak bebas mengenakan sorban dan peci haji sebagai pengganti helm? Mengapa kita tidak protes ke polisi, bahwa kewajiban mengenakan helm dengan jenis tertentu itu telah merampas kemerdekaan kita?

Itulah anehnya manusia yang merasa telah menjadi Tuhan, dan berhak mengatur dirinya sendiri, tanpa campur tangan Tuhan! Di suruh mengenakan jilbab dan berpakaian yang sopan, dikatakan itu suatu bentuk penindasan dan pelanggaran kebebasan berekspresi. Tetapi dipaksa mengenakan helm jenis tertentu, diam saja! Bukankah dia bisa menyatakan, bahwa urusan kepalanya bukanlah urusan polisi! Kepalanya pecah atau tidak, bukanlah polisi yang akan menanggungnya, tetapi dirinya sendiri yang menanggung.

Kenapa polisi ikut campur?

Ada kalanya, kebebasan kita dibatasi oleh aturan tidak tertulis. Kita tidak akan meludahi muka orang tua kita, meskipun tidak ada aturan tertulis. Di sejumlah negara yang – katanya memuja kebebasan – terjadi hal-hal yang sulit kita terima kebaikannya, dilihat dari akal sehat orang Muslim. Di sebuah negara bagian di AS, pernah diberitakan adanya kontes vagina terindah. Di sejumlah tempat di Eropa, kini berkembang gereja-gereja telanjang (nudic church) dan gereja-gereja pemujaan setan (satanic church). Jika standar yang kita gunakan hanya kebebasan berekspresi, kebebasan beragama, dan tidak mengganggu atau melanggar hak orang lain, maka tidak ada salahnya semua perilaku jahat itu dilakukan.

Tahun 2011, sebuah situs perempuan memberitakan adanya sebuah kontes pemilihan vagina terindah di AS. Kontes itu diberi nama “The Most Beautiful Miss V Contest”, yang diselenggarakan oleh sebuah klub di Portland, Oregon. Katanya, juri dalam kontes itu terdiri atas enam orang selebriti setempat. Untuk menentukan pemenangnya, si juri dibekali dengan alat kaca pembesar. Akhirnya, setelah melakukan penelitian dengan cermat, terpilihlah seorang juara yang dianugerahi mahkota dan gelar sebagai “Miss Beautiful Vagina 2011”.

Jika Lady Gaga yang sangat jorok diizinkan berkonser, maka dengan logika yang sama, bisa saja, ada promotor dan pemuja paham kebebasan akan mencoba menggelar kontes pemilihan vegina terindah. Jangan-jangan, akan banyak peminatnya. Promotor bisa langsung menjual tiketnya, meskipun belum ada izin dari Mabes Polri. Pasti akan muncul pro-kontra. Mungkin, ada pejabat pemerintah lalu muncul di TV dan dengan enteng mengatakan: “Yang mau nonton silakan, yang tidak mau nonton tinggal di rumah saja! Yang penting tidak saling mengganggu!”

Jika ada yang memprotes kontes semacam itu, katakan saja: “Itu orang-orang yang sok moralis, yang merasa suci sendiri. Ini kan sekedar kontes! Indonesia bukan negara agama; Indonesia bukan negara Islam!” Jika ada yang tidak tahan dan kemudian marah-marah serta mengancam akan membubarkan kontes vagina terindah itu, katakan saja: “Itu hanya ulah ormas anarkis!” Jika izin ditolak oleh polisi dengan alasan moralitas bangsa, katakan pada polisi: “Sejak kapan polisi melarang atas dasar moral?”

Patut dicatat, sebagian kalangan pemuja kebebasan di Indonesia sudah mulai membangun dan mensosialisasikan logika sekuler semacam itu. Ingat, dalam CAP ke-276, kita mengupas sebuah buku berjudul “Jihad Melawan Ekstrimis Agama, Membangkitkan Islam Progresif” (terbit pertama Oktober 2009), yang ditulis oleh alumnus Fakultas Syariah sebuah Perguruan Tinggi Islam di Kota Semarang, Jawa Tengah.

Dalam buku ini, penulis yang juga kandidat doktor bidang antropologi politik dan agama di Boston University, AS, memiliki cara pandang yang sangat liberal terhadap seksualitas. Ia tulis dalam bukunya:

”Apa yang diwartakan oleh agama (Islam, Kristen dan lainnya) hanyalah satu sisi saja dari sekian banyak persepsi tentang seks itu atau katakanlah sex among others. Bahkan jika kita kaji lebih jauh, ajaran Kristen atau Islam yang begitu ”konservatif” terhadap tafsir teks sebetulnya hanyalah reaksi saja atas peradaban Yunani (Hellenisme) yang memandang seks secara wajar dan natural. Kita tahu peradaban Yunani telah merasuk ke wilayah Eropa (lewat Romawi) dan juga Timur Tengah di Abad Pertengahan yang kemudian menimbulkan sejumlah ketegangan kebudayaan. Oleh karena itu tidak selayaknya jika persepsi agama ini kemudian dijadikan sebagai parameter untuk menilai, mengevaluasi dan bahkan menghakimi pandangan di luar agama tentang seks.

Apa yang kita saksikan dewasa ini adalah sebuah pemandangan keangkuhan oleh kaum beragama (dan lembaga agama) terhadap fenomena seksualitas yang vulgar sebagai haram, maksiat, tidak bermoral dan seterusnya. Padahal moralitas atau halal-haram bukanlah sesuatu yang given dari Tuhan, melainkan hasil kesepakatan atau konsensus dari ”tangan-tangan gaib” (invisible hand, istilah Adam Smith) kekuasaan, baik kekuasaan politik maupun otoritas agama. Teks-teks keagamaan dalam banyak hal juga merupakan hasil ”perselingkuhan” antara ulama/pendeta dengan pemimpin politik dalam rangka menciptakan stabilitas.

Saya rasa Tuhan tidak mempunyai urusan dengan seksualitas. Jangankan masalah seksual, persoalan agama atau keyakinan saja yang sangat fundamental, Tuhan – seperti secara eksplisit tertuang dalam Alqur’an – telah membebaskan manusia untuk memilih: menjadi mukmin atau kafir. Maka, jika masalah keyakinan saja Tuhan tidak perduli, apalagi masalah seks? Jika kita mengandaikan Tuhan akan mengutuk sebuah praktek ”seks bebas” atau praktek seks yang tidak mengikuti aturan resmi seperti tercantum dalam diktum keagamaan, maka sesungguhnya kita tanpa sadar telah merendahkan martabat Tuhan itu sendiri. Jika agama masih mengurusi seksualitas dan alat kelamin, itu menunjukkan rendahnya kualitas agama itu.

Demikian juga jika kita masih meributkan soal kelamin – seperti yang dilakukan MUI yang ngotot memperjuangkan UU Pornografi dan Pornoaksi – itu juga sebagai pertanda rendahnya kualitas keimanan kita sekaligus rapuhnya fondasi spiritual kita. Sebaliknya, jika roh dan spiritualitas kita tangguh, maka apalah artinya segumpal daging bernama vagina dan penis itu. Apalah bedanya vagina dan penis itu dengan kuping, ketiak, hidung, tangan dan organ tubuh yang lain. Agama semestinya ”mengakomodasi” bukan ”mengeksekusi” fakta keberagaman ekspresi seksualitas masyarakat. Ingatlah bahwa dosa bukan karena ”daging yang kotor” tetapi lantaran otak dan ruh kita yang penuh noda. (hal. 182-184)

*****

Simbol-simbol setan

Jika ajaran Tuhan dibuang dari pikiran manusia, dan salah-benar hanya didasarkan kepada logika dan syahwat kebebasan, maka manusia akan memandang baik berbagai bentuk kemaksiatan dan kemunkaran, sebagaimana diinginkan oleh setan. Perilaku dan kehidupan serta berbagai Konser Lady Gaga yang begitu jelas mengumbar kemaksiatan dan kejahatan dikatakan sebagai hal yang baik dan dibela habis-habisan oleh penganjur kebebasan. Jika selama ini sudah digelar kontes mata, hidung, betis, bahkan payudara terindah, lalu – mengikuti logika penulis buku tersebut – apa salahnya juga digelar kontes vagina terindah. Bukankah, katanya, “… jika roh dan spiritualitas kita tangguh, maka apalah artinya segumpal daging bernama vagina dan penis itu. Apalah bedanya vagina dan penis itu dengan kuping, ketiak, hidung, tangan dan organ tubuh yang lain.”

Uniknya – meskipun dalam berbagai kesempatan Lady Gaga sering menampilkan diri sebagai pemuja setan — ada juga pembelanya di Indonesia. Dalam sebuah dialog tentang Lady Gaga di satu TV swasta, Mei 2012, seorang musisi terkenal membela penggunaan simbol-simbol setan oleh Lady Gaga. Menurut dia, penggunaan simbol-simbol setan itu sekedar ekspresi seni belaka, dan bukan berarti dia pemuja setan, atau penonton konser Gaga akan ikut-ikutan memuja setan.

Ada juga pengamat musik yang beberapa kali dikutip pendapatnya, bahwa penggunaan simbol darah dan setan, sudah lazim digunakan dalam beberapa kali acara pagelaran konser musik. Kata dia, “Kenapa baru dipersoalkan sekarang?”

Logika seperti itu jelas keliru. Saat ditangkap KPK, seorang koruptor tidak bisa berdalih, “Kenapa saya saja yang ditangkap? Bukankah selama ini banyak koruptor lain sudah melakukan korupsi?” Jangan pula pencuri sandal di masjid beralasan, bahwa selama ini tindakan mencuri sandal di masjid sudah sering dilakukan.

Dalam dialog di TV tersebut, seorang Pengacara Muslim, Mahendradata menjawab, dengan sangat baik; bahwa masalah simbol bukanlah hal sepele. Mahendradata menantang sang pemusik – jika berani — untuk memakai simbol “palu arit” saat memasuki markas tentara atau ke pasar-pasar. Kehadiran Lady Gaga yang sering menampilkan simbol-simbol setan, menurut Mahandradata, sangat wajar dipanpang sebagai hal serius bagi umat beragama, khususnya umat Islam.

Logika Mahendradata perlu kita camkan. “Simbol” bukan hal yang remeh dalam kehidupan manusia. Setiap negara, misalnya, memilih symbol-simbol tertentu yang dipandang baik atau hebat. AS memilih burung elang sebagai simbol negaranya. Indonesia memilih burung garuda. Saat menikah, Anang dan Ashanti melepas burung merpati, bukan melepas kodok! Tentu akan menjadi masalah besar jika ada seorang mengganti simbol

Negara RI, burung Garuda, dengan kecoa!

Jika dalam berbagai kesempatan Lady Gaga memilih simbol setan dalam penampilannya, tentu itu bukan tanpa sebab. Apalagi, itu ditunjang oleh perilakunya yang memang khas bercorak “syaithaniy”. Ia pun tak segan-segan memberikan sokongannya terhadap praktik pornografi, seks bebas, homoseksual dan lesbianisme. Walhasil, dilihat berbagai segi, Lady Gaga memang sedang mempromosikan budaya dan pemujaan terhadap setan. [baca CAP ke-339: “Irshad Manji, Lady Gaga dan Logika Setan”]

Sementara itu, sebagai orang Muslim, kita diajari oleh Allah SWT, melalui Rasul-Nya, bahwa setan adalah musuh kita yang nyata: “Dan janganlah kamu sekali-kali dipalingkan oleh setan; sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS az-Zukhruf:62).

Bahkan, kita pun diberitahu, bagaimana cara kerja setan dalam menyesatkan manusia, yaitu merekayasa dan menghiasi perbuatan-perbuatan bejat, jahat, dan maksiat sehingga jadi tampak indah dalam pandangan manusia. “Iblis berkata: Ya Rabbi, karena Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, maka pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya.” (QS al-Hijr:39).

“Demi Allah, sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami kepada umat-umat sebelum kamu, tetapi setan menjadikan umat-umat itu memandang baik perbuatan mereka (yang buruk); maka setan menjadi pemimpin mereka di hari itu dan untuk mereka azab yang pedih. (QS an-Nahl:63)…”Setan pun menjadikan indah dalam pandangan mereka, apa yang mereka kerjakan.” (QS al-An’am:43). “Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya setan itu menyuruh mengerjakan perbuata keji dan munkar.” (QS an-Nuur: 21).

Hasil karya setan memang luar biasa! Manusia yang menjadi pemuja setan, bukan saja melakukan tindakan keliru, tetapi lebih jauh lagi, mereka bangga dan sama sekali tidak merasa bersalah dalam melaksanakan tindakan yang jahat. Manusia yang baik bukan tak pernah buat dosa. Tetapi, manusia yang baik, akan cepat sadar, bahwa dia telah berbuat dosa; ia malu dengan dosanya, dan segera bertaubat. Jika suatu ketika ia tergoda setan dan terjatuh dalam dosa lagi, ia pun segera bertaubat kembali kepada Allah SWT Yang

Maha Pengampun atas segala dosa!

Kita, sebagai Muslim, sudah sepatutnya bersyukur, konser Lady Gaga batal di Indonesia. Semoga ini menjadi bahan introspeksi bagi kita semua, bangsa Indonesia, bangsa Muslim terbesar di dunia. Di negeri inilah dulu para wali dan pejuang-pejuang dakwah Islam berjihad selama beratas-ratus tahun mempertaruhkan jiwa, harta, dan keluarga mereka, demi menegakkan ajaran Tauhid dan menghapuskan paham-paham kemusyrikan.
Namun, kita diwajibkan terus bersiap-siaga, karena setan tidak akan pernah berhenti menggoda dan berusaha menyesatkan manusia dengan berbagai cara! “Wahai orang-orang beriman, bersabarlah, perkuat kesabaranmu, dan bersiap-siagalah selalu, dan bertaqwalah kepada Allah, supaya kamu meraih kemenangan.” (QS Ali Imran:200).*/Depok, 1 Juni 2012

Penulis Ketua Program Studi Pendidikan Islam—Program Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor). CAP hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com

http://hidayatullah.com/read/22941/01/06/2012/%E2%80%9Cmakna-batalnya-konser-lady-gaga%E2%80%9D.html

Check Also

014. Syarah Waraqat – Definisi Dzan dan Syak

Definisi al Dzan dan al Syak Bahasan ini merupakan bahasan terakhir sebelum masuk ke bahasan …