Home » Aqidah » Iman Kepada Takdir

Iman Kepada Takdir

Definisi

Qadha` secara bahasa adalah ketetapan hukum, firman Allah, “Dan telah Kami tetapkan terhadap bani Israil dalam kitab itu..” (QS. Al-Isra`: 4).

Secara istilah qadhaâ adalah perkara yang Allah tetapkan pada makhlukNya dalam bentuk penciptaan, peniadaan atau perubahan.

Qadar secara bahasa adalah takdir (ukuran, kadar dan ketentuan), firman Allah, “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (Al-Qamar: 49). Firman Allah, “Lalu Kami tentukan (bentuknya), maka Kami-lah sebaik-baik yang menentukan.” (QS. Al-Mursalat: 23).

Takdir adalah perkara yang Allah takdirkan di azal untuk terjadi pada makhlukNya.

Oleh karena itu kami katakan, bahwa qadhaâ dan qadar memiliki arti berbeda jika berkumpul dan arti sama jika terpisah sesuai dengan ucapan ulama, keduanya adalah kata jika berkumpul terpisah dan jika terpisah berkumpul. Kalau dikatakan ini adalah qadar Allah maka ia mencakup qadhaâ. Kalau keduanya disebut secara bersama maka masing-masing mempunyai makna sendiri.

 

Kewajiban beriman kepada takdir

Takdir sebagai salah satu rukun iman merupakan perkara yang tidak diperselisihkan di kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Rasulullah saw menetapkannya dalam hadits Jibril,

أنْ تُؤمِنَ باللهِ، وَمَلائِكَتِهِ ، وَكُتُبهِ، وَرُسُلِهِ، وَاليَوْمِ الآخِر، وتُؤْمِنَ بالقَدَرِ خَيرِهِ وَشَرِّهِ .

“Engkau beriman kepada Allah, para malaikatNya, kitab-kitabNya, para rasulNya, kepada Hari Akhir dan engkau beriman kepada takdir, yang baik maupun yang buruk.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Takdir baik adalah yang sejalan dengan tabiat manusia di mana dengannya dia menjadi baik, berbahagia dan tenang, semua itu dari Allah.

Buruk dalam takdir adalah yang tidak sejalan dengan tabiat manusia di mana dengannya dia tertimpa kesulitan dan kesengsaraan.

Musykil, Bagaimana dikatakan takdir buruk sementara keburukan tidak patut dinisbatkan kepada Allah sebagaimana dalam hadits, “Dan keburukan tidak dinisbatkan kepadaNya.” (HR. Muslim)?

Jawab, Keburukan pada takdir tidak berdasarkan kepada takdir Allah padanya akan tetapi berdasarkan apa yang ditakdirkan, di sini ada qadar yang merupakan takdir dan apa yang ditakdirkan sebagaimana ada penciptaan dan apa yang diciptakan (makhluk), ada iradah (keinginan) dan apa yang diinginkan, kalau berdasar kepada takdir Allah maka ia bukan keburukan, justru ia baik bahkan seandainya itu menyengsarakan dan merugikan seseorang serta tidak sesuai dengan tabiatnya. Kalau berdasarkan apa yang ditakdirkan maka ada yang baik dan ada yang buruk. Jadi maksud dari takdir baik dan buruk adalah apa yang ditakdirkan baik dan buruk.

Contohnya adalah firman Allah, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka.” (QS. Ar-Rum: 41).

Di dalam ayat ini Allah menjelaskan kerusakan yang terjadi, pemicunya dan tujuan darinya. Kerusakan adalah keburukan, pemicunya adalah perbuatan buruk manusia dan tujuannya adalah, Supaya Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).

Kerusakan yang terlihat di daratan dan lautan mengandung hikmah meskipun ia sendiri buruk akan tetapi karena hikmahnya yang besar maka pentakdirannya menjadi baik.

Begitu pula kemaksiatan dan kekufuran, ia adalah keburukan, ia termasuk takdir Allah akan tetapi karena hikmah yang besar, kalau bukan karena itu niscaya batallah syariat, kalau bukan karena itu niscaya penciptaan manusia hanyalah main-main, kalau bukan karena itu niscaya tidak diketahui mana yang taat dalam arti sebenarnya, kalau bukan kerena itu niscaya tidak dibedakan mukmin sejati dengan mukmin yang berpuara-pura, dan begitu seterusnya.

Demikian pula musibah yang menimpa seseorang dalam bentuk lenyapnya harta atau wafatnya kerabat atau sakitnya diri sendiri, ia buruk karena ia tidak sejalan dengan keinginannya, akan tetapi ia baik dari sisi hikmah yang terkandung di dalamnya. Dengan lenyapnya harta seseorang mengetahui bahwa ia tidak kekal, dengan wafatnya kerabat dia mengatahui bahwa manusia pasti mati, dengan begitu dia akan berbekal, dengan sakit dia menyadari nikmat sehat, dan begitu seterusnya.

Iman kepada takdir baik dan buruknya tidak menuntut iman kepada segala apa yang ditakdirkan karena apa yang ditakdirkan terbagi menjadi kauni dan syar’i. Apa yang ditakdirkan secara kauni; Apabila Allah mentakdirkan sesuatu yang tidak kamu sukai atasmu maka ia pasti terjadi, kamu rela atau tidak.

Apa yang ditakdirkan secara syar’i: Mungkin dilaksanakan oleh seseorang dan mungkin tidak, akan tetapi dengan melihat kepada kerelaan kepadanya maka harus diperinci, jika ia adalah ketaatan kepada Allah maka wajib rela kepadanya, jika ia adalah kemaksiatan maka wajib dibenci, dihindari dan dilenyapkan

Dari sini maka kita wajib beriman kepada segala apa yang diputuskan dari sisi di mana ia merupakan qadha dari Allah. Adapun dari sisi ia sebagai keputusan maka kita mungkin rela dan mungkin tidak, seandainya kekufuran terjadi pada seseorang maka kita tidak rela terhadap kekufuran darinya akan tetapi kita rela sebagai ketetapan dari Allah.

 

Dari Syarah al-Aqidah al-Wasithiyah, Ibnu Utsaimin.

 

 

 

 

http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihataqidah&parent_id=170&parent_section=aq49&idjudul=1

 

Check Also

Fatwa: Amanah Diniyah atau Kompromi Politis?

  Fatwa: Amanah Diniyah atau Kompromi Politis?   Pada tanggal 27/11/2012, Harian Republika memuat artikel …