Adalah sangat keliru jika orang belajar ilmu bukan untuk meyakini kebenaran suatu ajaran, atau bahkan tidak ditujukan untuk mengenal Tuhan yang sebenarnya
Oleh: Dr. Adian Husaini
DI BERBAGAI perguruan tinggi, khususnya di tingkat Pasca Sarjana, para mahasiswa biasanya diajarkan mata kuliah “Filsafat Ilmu”. Sejauh ini, sudah banyak diterbitkan buku tentang Filsafat Ilmu. Sayangnya, kuatnya dominasi sekularisme – yang menolak campur tangan agama — dalam bidang keilmuan kontemporer turut berpengaruh dalam perumusan konsep Filsafat Ilmu yang diajarkan di perguruan tinggi saat ini. Beberapa kutipan isi buku Filsafat Ilmu berikut ini bisa disimak.
Sebagai contoh, sebuah buku yang sangat terkenal berjudul “Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer”, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995, cetakan kesembilan), mengutip pendapat Auguste Comte (1798-1857) yang membagi tiga tingkat perkembangan pengetahuan manusia, yaitu religius, metafisik, dan positif. Selanjutnya, diuraikan:
“Dalam tahap pertama maka asas religilah yang dijadikan postulat ilmiah sehingga ilmu merupakan deduksi atau penjabaran dari ajaran religi. Tahap kedua orang mulai berspekulasi tentang metafisika (keberadaan) wujud yang menjadi objek penelaahan yang terbebas dari dogma religi dan mengembangkan sistem pengetahuan di atas dasar postulat metafisik tersebut. Sedangkan tahap ketiga adalah tahap pengetahuan ilmiah, (ilmu) dimana asas-asas yang dipergunakan diuji secara positif dalam proses verifikasi yang obyektif.” (hal. 25).
Karakteristik berpikir “filsafat” dijelaskan dalam buku ini, yaitu: pertama, menyeluruh; kedua, mendasar; ketiga, spekulatif. Tentang bidang telaah filsafat, ditulis dalam buku ini: “Selaras dengan dasarnya yang spekulatif, maka dia menelaah segala masalah yang mungkin dapat dipikirkan oleh manusia. Sesuai dengan fungsinya sebagai pionir dia mempermasalahkan hal-hal yang pokok: terjawab masalah yang satu, dia pun mulai merambah pertanyaan lain.” (hlm. 23-25).
Ada lagi sebuah buku berjudul “Filafat Ilmu” yang disusun Tim Dosen Filsafat Ilmu sebuah Universitas terkenal di Yogyakarta (1996, cetakan pertama). Ditulis dalam pendahuluan buku ini:
“Ada beberapa pendekatan yang dipilih manusia untuk memahami, mengolah, dan menghayati dunia beserta isinya. Pendekatan-pendekatan tersebut adalah filsafat, ilmu pengetahuan, seni, dan agama. Filsafat adalah usaha untuk memahami atau mengerti dunia dalam hal makna dan nilai-nilainya… Filsafat berusaha untuk menyatukan hasil-hasil ilmu dan pemahaman tentang moral, estetika, dan agama. Para filsuf telah mencari suatu pandangan tentang hidup secara terpadu, menemukan maknanya serta mencoba memberikan suatu konsepsi yang beralasan tentang alam semesta dan tempat manusia di dalamnya. (Yogyakarta: Liberty, 1996), hlm. 1.)
****
Itulah beberapa contoh materi kuliah Filsafat Ilmu yang diajarkan kepada para mahasiswa. Jika ditelaah beberapa uraian pada dua buku “Filsafat Ilmu” tersebut, akan dijumpai problematika yang serius. Teori positivisme Comte – dalam perspektif Islam – jelas sangat bermasalah. Sebab, ia meletakkan agama sebagai jenis pengetahuan yang paling primitif dan akan punah saat manusia memasuki era positivisme atau empirisisme, dimana yang diakui sebagai ilmu hanyalah pengetahuan yang didapat dari panca indera manusia. Teori Comte ini pun sekarang tak terbukti. Sebab, manusia – di Barat dan di Timur – di tengah perkembangan yang fantastis dari sains dan teknologi tetap memegang kepercayaan pada hal-hal yang metafisik dan juga agama. Di negara-negara Barat sendiri, banyak manusia percaya kepada “dukun ramal” (fortune teller).
Juga, faktanya, saat ini, dunia ilmu pengetahuan pun sudah menerima kebenaran di luar positivisme. Seorang mahasiswa tidak mungkin mengklarifikasi semua pernyataan keilmuan yang diajarkan kepadanya oleh dosennya. Misalnya, saat dosen menjelaskan, bahwa kecepatan cahaya adalah sekitar 270.000 km/detik, maka si mahasiswa hanya diminta untuk percaya, tanpa perlu membuktikan secara empiris. Ketika si dosen menjelaskan, bahwa suatu rumus adalah rumus buatan Phytagoras, maka si mahassiwa juga harus percaya saja, dan tidak mungkin membuktikan secara empiris.
Bahkan, seorang Profesor filsafat akan puas menjadi “muqallid” (pentaqlid); hanya percaya saja kepada segala macam penjelasan pramugari, saat bepergian menggunakan pesawat terbang. Ia begitu mudah percaya kepada orang yang mungkin sama sekali tidak pernah dikenalinya. Ia percaya kepada orang yang dikatakan sebagai pilot, meskipun ia sama sekali tidak kenal. Sang profesor tadi juga tidak minta pembuktian, apa benar pilot pesawat itu, benar-benar seorang pilot. Ia hanya percaya pada cerita orang yang mungkin tak dikenalnya. Alhasil, si professor menerima “kebenaran ilmiah”, bukan berdasarkan metode empiris, tetapi menerima kebenaran ilmiah dari jalur pemberitaan. Inilah yang dalam konsep epistemologi Islam disebut sebagai jalur kebenaran ilmiah melalui “khabar shadiq” (true report).
Bagi seorang Muslim, pengetahuan yang didapat dari jalur khabar shadiq ini juga merupakan ilmu. Sebab, ia diperoleh dari sumber-sumber terpercaya, semisal al-Quran dan hadits Nabi Muhammad SAW. Ilmu yang diraih dari jalur khabar shadiq ini juga diterima secara universal. Misal, dalam soal pengakuan anak terhadap kedua orang tuanya. Sangat jarang terjadi, ada anak yang meminta pembuktian secara rasional dan empiris berkenaan dengan status hubungannya dengan kedua orang tuanya. Misalnya, anak meminta bukti ilmiah berupa tes DNA. Kita biasanya menerima saja cerita-cerita dari orang yang kita percayai, bahwa orang tua kita adalah A dan B. Pengetahuan semacam ini – dalam konsep epistemologi Islam – juga disebut sebagai “ilmu”, yang juga diraih dengan metode ilmiah.
Karena itu, dalam perspektif Islam, tidaklah tepat jika dikatakan, suatu ilmu hanya dapat diraih dari metode empiris dan rasional. Pengetahuan tentang Allah, tentang para Nabi, tentang akhirat, tentang keutamaan bulan Ramadhan, keutamaan ibadah haji, dan sebagainya, juga dikatakan sebagai “ilmu” sebab didapatkan dari sumber-sumber terpercaya (khabar shadiq), meskipun hal itu di atas jangkauan akal (supra rasional). Masalah “cara-cara meraih ilmu” (epistemologi) saat ini telah banyak dibahas oleh para pakar keilmuan Islam.
Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud, Direktur Center for Advanced Studies on Islam, Science, and Civilization — Universiti Teknologi Malaysia, dalam makalahnya yang berjudul Konsep Ilmu dalam Tinjauan Islam, menjelaskan, bahwa dalam Tradisi Islam, ilmu pengetahuan tiba melalui pelbagai saluran, yaitu pancaindera (al-hawass al-khamsah), akal fikiran sihat (al-’aql al-salim), berita yang benar (al-khabar al-sadiq), dan intuisi (ilham).
Tentang akal fikiran sehat, Prof. Wan Mohd Nor menjelaskan, bahwa aspek akal manusia merupakan saluran penting yang dengannya diperoleh ilmu pengetahuan tentang sesuatu yang jelas, yaitu perkara yang dapat difahami dan dikuasai oleh akal, dan tentang sesuatu yang dapat dicerap dengan indera. Akal fikiran (al-’Aql) bukan hanya rasio. Akal adalah “fakultas mental” yang mensistematisasikan dan mentafsirkan fakta-fakta empiris menurut kerangka logika, yang memungkinkan pengalaman inderawi menjadi sesuatu yang dapat difahami. Akal adalah entitas spiritual yang rapat dengan hati (al-qalb), yaitu menjadi tempat intuisi. Dengan demikian, akal adalah perantara yang menghubungkan akal-fikiran dengan intuisi.
“Oleh sebab itu, sesiapa yang membatasi fungsi akal-fikiran sebagai aspek yang rasional dan dapat dicerap oleh indera, maka ia telah menyelewengkan akal fikiran daripada kualiti yang sebenarnya dan, dengan demikian, menjadikan akal fikirannya tidak sihat. Perlu diketahui bahwa hati yang dikatakan sebagai sumber intuisi bukanlah hati fisik, melainkan realiti yang terdapat di alam roh yang menggunakan semua daya yang lain sebagai instrument,” tulis Prof. Wan Mohd Nor.
‘Berita yang benar’, jelas Prof. Wan Mohd Nor, adalah sumber lain ilmu pengetahuan yang terdiri daripada dua jenis. Jenis yang pertama adalah berita yang terbukti secara terus-menerus dan disampaikan oleh mereka yang kebaikan akhlaknya tidak mengizinkan akal fikiran kita untuk membayangkan bahwa mereka akan melakukan dan menyebarkan kesalahan. Hadis mutawatir adalah contoh yang sangat tepat tentang jenis berita ini. Kesepakatan umum para ahli, ilmuwan, dan sarjana juga dianggap sebagai bahagian daripada jenis ini. Meskipun memiliki autoriti, kesepakatan tersebut masih dapat dipersoalkan menurut kaedah rasional dan empirikal, sebagaimana yang terjadi dalam kes laporan sejarah, geografi, dan sains. Jenis yang kedua adalah berita mutlak, yang dibawa oleh Nabi berdasarkan wahyu.
Demikian paparan Prof. Wan Mohd Nor tentang sumber-sumber ilmu dalam Islam, yang tidak membatasi hanya dari sumber panca indera (empiris) dan akal (rasional). Pandangan Islam tentang sumber ilmu – yang bisa disebut sebagai metode ilmiah – ini berbeda dengan penjelasan pada sebagian buku Filsafat Ilmu dan Metode Penelitian sekular yang membatasi kategori “ilmiah” hanya pada hal-hal yang rasional dan empiris. (Dikutip dari Makalah yang pernah dibentangkan oleh Prof Wan Mohd Nor Wan Daud saat bertindak sebagai Pembicara Utama dalam Workshop Dasar-Dasar Epistemologis Dalam Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi, Universitas Muhamadiyah Yogyakarta, Indonesia, 11 April 2005. Dengan sedikit editing, makalah ini telah dipublikasikan di Jurnal Ta’dibuna, Jurnal Program Doktor Pendidikan Islam, UIKA Bogor, Nomor 2, Vol. I, 2012.)
****
Konsep ilmu dalam Islam itu berbeda dengan banyak buku Filsafat Ilmu yang kini diajarkan kepada para mahasiswa. Dalam buku “Filsafat Ilmu” yang telah disebut terdahulu, dinyatakan: “Dapat disimpulkan bahwa ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang disusun secara konsisten dan kebenarannya telah diuji secara empiris. Dalam hal ini harus disadari bahwa proses pembuktian dalam ilmu tidaklah bersifat absolut…. Ilmu tidak bertujuan untuk mencari kebenaran absolut melainkan kebenaran yang bermanfaat bagi manusia dalam tahap perkembangan tertentu.” (1995:131-132).
Jika konsep dan definisi “ilmu” itu diterapkan untuk Ilmu Ushuluddin, Ilmu Tafsir al-Quran, atau Ilmu Ushul Fiqih, maka akan menimbulkan kerancuan yang sangat serius. Sebab, pengetahuan bahwa Allah itu Satu adalah ilmu yang mutlak yang didasarkan pada sumber yang mutlak benar, yaitu al-Quran. Begitu juga ilmu tentang keharaman babi, zina, dan khamr, adalah ilmu yang mutlak juga. Penafsiran bahwa Nabi Isa a.s. tidak wafat di tiang salib, juga merupakan ilmu yang mutlak benarnya, yang tidak akan berubah sampai Akhir Zaman.
Adalah sangat keliru jika orang belajar ilmu bukan untuk meyakini kebenaran suatu ajaran, atau bahkan tidak ditujukan untuk mengenal Tuhan yang sebenarnya. Prof. Wan Mohd Nor, dalam makalahnya yang dirujuk pada bagian terdahulu, menjelaskan, bahwa dari segi linguistik, perkataan ‘ilm berasal daripada akar kata ‘ain-lam-mim yang diambil daripada perkataan ‘alamah, yaitu “tanda, penunjuk, atau petunjuk yang dengannya sesuatu atau seseorang dikenal; kognisi atau label; ciri; petunjuk; tanda”. Dengan demikian, ma’lam (jamak: ma’alim) berarti “tanda jalan” atau “sesuatu yang dengannya seseorang membimbing dirinya atau sesuatu yang membimbing seseorang”. Seiring dengan itu, ‘alam juga dapat diartikan sebagai “penunjuk jalan”. Maka bukan tanpa alasan jika penggunaan istilah âyah (jamak: ayat) dalam al-Qur’an yang secara literal berarti “tanda” merujuk pada ayat-ayat al-Qur’an dan fenomena alam.
Demikian, penjelasan Prof. Wan Mohd Nor. Dan memang, kata ilmu, alam, dan ‘ilm (‘ilm dengan makna “yakin”), memiliki akar kata yang sama. Ini menarik, karena “alam” jika dipahami sebagai ayat Allah, maka akan menghasilkan ilmu yang mengantarkan manusia kepada keyakinan pada Allah SWT. Karena itulah, Allah SWT memperingatkan bahwa nanti di akhirat, neraka jahanam akan dijejali dengan manusia-manusia dan jin yang mereka memiliki mata tetapi tidak sampai dapat memahami ayat-ayat Allah; juga telinga dan akal mereka tak sampai mengantarkan mereka kepada pemahaman dan keimanan kepada Allah. Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat. (QS al-A’raf: 179).
Orang yang berilmu diletakkan pada derajat yang tinggi, karena dengan ilmunya itu dia mengenal Tuhannya dan mengenal agama Tuhan yang sebenarnya. ”Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan demikian). Tiada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan (’ilm) kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) diantara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.” (QS 3:18-19).
Tentu, agar manusia menjadi mulia, tidak boleh ia sembarangan menerima ilmu. Ilmu-ilmu yang baiklah yang perlu dipelajari. Sebab, ilmu-ilmu yang baik itulah yang akan mengantarkan manusia kepada keimanan dan kebahagiaan. Sangatlah keliru, jika manusia justru bangga dengan ilmu yang mengantarkan kepada keraguan dan pengingkaran kepada al-Khaliq. Imam Malik rahimahullah berkata: “Haqqun ‘alaa man thalaba al-ilma an-yakuuna lahuu waqaarun wa-sakiinatun wa-khasyyatun.” (Orang yang mencari ilmu seharusnya memiliki sifat ketenangan, ketenteraman, dan rasa takut kepada Allah SWT). (Dikutip dari buku, Mengapa Saya Harus Mondok, terbitan Pesantren Sidogiri, Pasuruan, 1431 H).
Karena begitu penting dan strategisnya kedudukan ilmu dalam Islam, maka seyogyanya Perguruan Tinggi tidak lagi mengajarkan mata kuliah Filsafat Ilmu yang sekular, yang menafikan wahyu sebagai sumber ilmu. Kini, menjadi tugas berat dan mulia bagi para cendekiawan Muslim untuk merumuskan mata kuliah Filsafat Ilmu yang benar. Wallaahu a’lam bil-shawab.*/Jakarta, 11 Januari 2013
Penulis Ketua Program Doktor Pendidikan Islam – Universitas Ibn Khaldun Bogor. Catatan Akhir Pekan [CAP] adalah hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com
http://www.hidayatullah.com/read/26735/12/01/2013/%E2%80%9Chati-hati-belajar-filsafat-ilmu-sekular%E2%80%9D.html