Oleh: Mustofa B. Nahrawardaya
“APA manfaat sebuah film bagi kita, jika sehabis menonton film tersebut kemudian membuat kita benci pada produser dan sutradaranya?”
Paling tidak itulah yang bisa saya rasakan di film terbaru Hanung Bramantyo yang berjudul “?” (baca: Tanda Tanya).
Sebagai catatan, secara jujur saya katakan bahwa, saya sama sekali tidak mengenal Eric Tohir sang Produser Eksekutif film ini. Namun saya mengenal Hanung Bramantyo, meski saya sendiri tidak yakin bahwa ide film ini murni dari Hanung sendiri.
Hanung yang saya kenal, tidak akan mau membuat film murahan seperti itu. Saya menduga ada tukang sokong– yang justru membuat Hanung terlihat kehilangan idealismenya sebagai sineas muda berbakat. Film-film semacam itu saya pikir hanya patut dibuat oleh sutradara-sutradara berdarah Yahudi kolot atau sutradara yang memiliki dendam kesumat pada sejarah kelam masa lalunya.
Semula saya sangat menyukai film-film Hanung yang selain memang memiliki kualitas pesan yang cukup bernilai, juga memiliki daya kemas yang sangat unik dan artistik. Paling tidak, film “Sang Pencerah” yang dibikin Hanung, hampir saja membuat saya percaya bahwa suami Zaskia A. Mecca itu kelak akan menjadi insan film Muslim pertama yang mengedepankan pembelajaran etika, moral, agama, dan sosialisme dalam karya-karyanya. Paduan empat pilar itu, yang membuat Hanung akan menjadi sutradara besar terhormat. Maka dari itu, ketika mendengar Hanung selesai produksi film “?”, saya sudah telanjur angkat jempol sebelum menontonnya. Bahkan saya sudah kabarkan kepada banyak kawan soal kemungkinan manfaat besar dan perlunya menonton film “?” karya Hanung.
Kabar berantai itu sudah saya berikan paling tidak pada sebagian yang ada di daftar BB Contact yang ada di Blacberry saya, serta hampir 5000 phone contact di dua nomor GSM yang saya pakai. Memang jauh hari sebelum film dibuat, Hanung pernah menceritakan garis besar isi, alur, dan bagian-bagian unik dari film itu kepada saya. Namun usai menonton film ini, saya jadi sedih, benci dan hilang semua kebanggaan saya pada sang sutradara. Juga muncul perasaan bersalah karena saya terlalu mengagung-agungkan Hanung.
Dalam lubuk hati saya, sempat timbul rasa penasaran cukup besar, usai menonton film ini: siapa gerangan orang yang telah membuat Hanung tega menggadaikan idealismenya untuk sebuah film?
Untuk mengupas bagaimana betapa buruknya nilai film ini, saya pikir tidak usah menggunakan dasar-dasar fiqih dan aqidah. Itu mungkin urusan para ulama-ulama untuk membahas detailnya. Apalagi soal pluralisme. Kalaupun Hanung dititipi misi kampanye pluralisme, tidaklah mungkin kampanye pluralisme dilakukan secara terbuka. Hanung pasti akan membantahnya–atau paling tidak berusaha menutupinya.
Soal Terorisme
Hanung tampak sekali gagal membaca kegundahan mayoritas pemeluk agama di Indonesia, dimana umat Islam sesungguhnya menjadi korban terorisme. Kacamata Hanung dalam memandang konflik teroris, tampaknya sangat dangkal dan menjijikkan–mungkin kurang bahan bacaan atau hanya mengamini bisikan pihak tak bertanggungjawab. Terlihat di awal film, Hanung sengaja membuka adegan ngawur dengan olok-olokan antara warga etnis China dengan Jamaah Masjid. Mana mungkin etnis China dengan teriakan sedemikian keras di depan ratusan warga, menuduh Jamaah Masjid sebagai teroris! Kalau film ini hanya ditonton oleh Hanung dan kru nya saja, saya kira tidak ada masalah. Namun ketika film ini ditonton oleh segala umur, segala agama, segala etnis, bukankah ini Hanung bisa dituduh sebagai penyebar kebencian melalui produk seni?
Yang sangat menyakitkan, olok-olok “Dasar Chino” yang diumpatkan Jamaah Masjid melalui logat Semarang yang kental kepada warga China di film itu juga sangat dipaksakan, karena olok-olokan semacam itu hanya pantas dilakukan oleh para tukang mabuk dan kumpulan orang yang mungkin sudah sangat akrab, bukan dalam kondisi serius seperti dalam film “?”.
Kata-kata umpatan “Asu” (baca: Anjing) pada beberapa kali adegan, tampak ngawur dan dilakukan secara sarkastis. Kalaupun itu pernah terjadi di sebuah sudut kecil di Semarang, tak elok rasanya diangkat ke layar lebar karena tidak sebanding dengan manfaatnya. Kalau boleh saya sebut, untuk membuat film seburuk ini, tak perlu menggunakan sutradara besar lulusan IKJ.
Sampai di sini, Hanung saya kira sudah tidak sepantasnya melanjutkan film ini. Sayangnya, adegan-adegan tolol, terus diblow-up Hanung, di mana umpatan-umpatan-umpatan itu justru digambarkan berasal dari mulut jamaah yang sedang menuju masjid lengkap dengan baju Muslimnya. Sungguh ini hinaan paling dramatis dari sebuah film yang diproduksi perusahaan dalam negeri sendiri. Saya sempat mencurigai, ada apa dengan apa dengan LSF (Lembaga Sensor Film) kok bisa meloloskan film sarkas dan rasialis seperti itu? Jangan-jangan Hanung menyuap LSF. Tapi itu dugaan yang belum tentu benar.
Kampanye Pro Babi
Bagi yang beragama Islam, memang harus menerima kenyataan tidak diperbolehkannya berdekatan dengan hewan yang bernama Babi. Apalagi memakan dagingnya. Dalam film ini Hanung mencoba menawarkan (baca: mengajari) secara buruk kepada penonton, bagaimana agar babi menjadi sahabat seorang Muslim.
Hanung berkali-kali mengkampanyekan bahwa babi rasanya gurih tanpa banyak bumbu dalam film itu, namun yang namanya babi tetap saja haram. Meskipun dalam film itu dikampanyekan betapa nikmatnya makanan daging babi dibanding ayam yang harus banyak ramuan bumbu untuk rasa nikmatnya, namun babi tetaplah makanan paling dibenci pemeluk Islam.
Untuk menghindari kecurigaan kampanye pro-babi Hanung, dia mengemasnya dengan cukup confidence. Caranya, dia gambarkan seorang Muslimah cantik, taat, berjilbab, yang justru dengan ikhlasnya bekerja di restoran babi. Dia makan gaji dari restoran babi milik Tan Kat Sun. Untuk menggambarkan betapa ikhlasnya si Muslimah, bahkan ia shalat pun rela dikelilingi onggokan daging babi yang menjijikkan!
Tidak hanya itu, entah apa tujuan Hanung, si Menuk–nama karyawati cantik yang diperankan Revaline S. Temat, melakukan ibadah 5 waktu di samping ruangan altar pemujaan agama Konghucu yang penuh dengan hio lengkap dengan asapnya. Kalau tidak salah, si Menuk malah shalat menghadap ke altar. Sungguh sebuah penggambaran yang hanya pantas dibuat oleh orang-orang berperadaban rendah.
Parahnya, pada sebagian adegan dan dialog, Hanung juga mencoba mempengaruhi penonton, bahwa perempuan Muslim yang menolak bekerja di restoran babi, seolah-olah tidak memiliki toleransi. Waduh-waduh. Tampaknya ini sebuah kampanye pelunturan nilai ibadah yang sangat nyata. Hanung menggambarkan betapa tolerannya bos restoran, Tan Kat Sun, hingga memperkerjakan seorang Muslimah berjilbab di restoran babinya. Seakan tidak ada karyawan lain yang sesuai dengan ciri restorannya. Inikah yang sebenarnya diinginkan Hanung dengan filmnya?
Anti Kesucian Masjid
Berbeda dengan tempat ibadah lain, masjid memiliki ciri khusus. Meskipun sama-sama tempat suci, namun di dalam masjid, orang tidak boleh dalam keadaan kotor. Sandal pun harus dicopot. Bahkan di lingkungan masjid, harus dijaga etika. Kalau Hanung kemudian menggambarkan seorang Muslim sedang belajar menjadi Yesus di masjid, wajar saja kalau saya mempertanyakan motivasi Hanung. Tidak usah saya mempertanyakan kadar keimanan Hanung karena hanya dia yang tahu. Apalagi, Hanung mencoba memunculkan David Chalik sebagai ustadz yang membolehkan jamaahnya melakukan itu. Muncul sebuah pertanyaan: mengertikah anda, bahwa gambaran ini sungguh amat menyakitkan dan tidak layak difilmkan?
Semestinya orang berpendidikan seperti Hanung mengerti bahwa adegan semacam itu, bisa dipahami sebagai pelecehan terhadap kesucian masjid. Tidak hanya pelecehan, Hanung telah ‘merobohkan’ masjidnya sendiri dengan cara menusuk pada jantung masjidnya.
Bukan Pluralisme?
Tentu Hanung akan mencari alasan agar gambaran umum film berujung pada tidak dituduhkannya sebagai produk pluralis.
Silahkan Anda bilang bukan kampanye pluralisme, tetapi film ini bagi saya sama saja telah mencanangkan strategi budaya berperadaban rendah untuk mencari satu tuhan bagi semua agama. Tidak ada sisi dan ruang privasi sebuah agama, karena semua pemeluk bisa saling beribadah bersama dan bahkan tidak dilarang mengumpat dan menghina, asalkan memiliki status agama pada masing-masing manusia.
Visualisasi Jihad atau Bunuh Diri?
Hanung ingin mencari muka kepada warga NU dengan menampilkan peran Banser yang heroik. Namun apa yang saya lihat, Hanung justru memberikan gambar sadis ketika seorang anggota Banser melakukan bunuh diri sambil memeluk bom. Penempatan bom di gereja, mengesankan sebuah justifikasi bahwa ada pemeluk agama lain yang sengaja menaruh bom di jemaat gereja. Apakah Hanung ingin berkata bahwa orang Islam radikal yang memasang bom itu? Kalau iya, sungguh picik benar Hanung.
Reza Rahardian yang memerankan anggota Banser bernama Soleh, semula terlihat ingin ‘berjihad’ membuang bom setelah ia mengambilnya dari bawah kursi jemaat gereja. Namun, anehnya dia malah bunuh diri dengan meledakkan diri bersama bom itu, setelah mengucapkan kalimat tahlil. Secara visual, memang sangat buruk kualitasnya.
Tradisi Kekerasan Saat Lebaran
Hanung mengaku bahwa film diilhami (diinspirasi) oleh kisah nyata. Sayangnya, dia membuat tradisi baru kekerasan. Tradisi yang saya maksud, bahwa film ini membuat cerita khayalan namun dimaksudkan untuk kejadian yang relistis.
Yang sering kita dengar dan kita lihat, adalah adanya kasus penutupan diskotik dengan kekerasan di bulan ramadhan, atau mungkin amukan warga yang gemas melihat warung sengaja buka warung makan secara mencolok pada siang hari di bulan Ramadhan.
Kini Hanung mencoba membuat tradisi baru dalam film ini, dimana warga dibuat marah dan melakukan kekerasan terhadap restoran babi milik Tan Kat Sun yang membuka restorannya pada hari kedua lebaran. Sepertinya kualitas daya khayal Hanung melebihi kenyataan yang ada. Hehehe (saya sengaja tertawa saat menulis ini). Mengapa saya tertawa? Karena saya meragukan pada sutradara, dapat darimana kisah seperti itu? Daripada film diembel-embeli ‘Terinspirasi Kisah Nyata’, mendingan ditulisi ‘Menginspirasi Kisah Bohong’….
Ingin tahu bohong paling nyata?
Lihat, dalam film itu tak ada alur mundur. Artinya, film itu mungkin menggambarkan peristiwa yang terjadi beberapa bulan terakhir. Setidaknya setahun lalu. Namun, kostum beberapa adegan, mengesankan situasi tahun 1970-an. Bahkan, kasir restoran masih memakai pesawat telepon dengan tombol putar! Namun disisi lain, tokoh Hendra (anak pemilik restoran China Tan Kat Sun), sudah memegang handset Blackberry Onyx.#
Penulis adalah Koordinator Indonesian Crime Analyst Forum (ICAF) dan Pengurus Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah
http://www.hidayatullah.com/read/16358/13/04/2011/film-