Pengertian Thaharah
Menurut bahasa thaharah berarti an nazhaafah wannazaahah minal ahdaats ’ bersih dan suci dari berbagai hadas’. Adapun menurut istilah fiqih adalah raf’ul hadats au izaalatun najas ’ menghilangkan hadas atau membersihkan najis.’ (Lihat Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, jilid 1 hal. 79)
Bab Air
Semua air yang turun dari langit atau yang keluar dari dalam bumi, adalah suci dan mensucikan. Ini didasarkan pada firman Allah SWT, ”Dan kami menurunkan dari langit air yang amat suci.” (TQS. Al-Furqan: 48)
Dan sabda Nabi saw. tentang air laut, ”Ia (laut itu) suci airnya halal bangkainya.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no; 309,Muwaththa’ Imam Malik hal 26 no 40, Sunan Abu Dawud I: 152 no: 83, Sunan Tirmidzi I:47 no: 69, Sunan Ibnu Majah I: 136:386, dan Sunan Nasa’ I: 176).
Serta pada sabda Nabi saw. tentang sumur budha’ah, ”Sesungguhnya air itu suci, tidak bisa dinajiskan oleh sesuatupun”. (Shahih: Irwa’ul Ghalil no:14 ‘Aunul Ma’bud I :126-127 no: 66-67, Sunan Tirmidzi I:45 no: 66, Sunan Nasa’i I: 147).
Air tersebut tetap suci meskipun bercampur dengan sesuatu yang suci pula selama tidak keluar dari batas kesuciannya yang mutlak. Karena ada sabda Nabi SAW kepada sekelompok wanita yang akan memandikan puteri Beliau SAW., ”Mandikanlah dia tiga kali, atau lima kali atau lebih dari itu kalau kamu berpendapat begitu dengan air dan daun bidara. Dan pada kali yang terakhir berilah kapur barus atau sedikit kapur barus”. (Fathul Bari III:125 no:1253 dan Shahih Muslim II:646 no:939).
Tidak boleh terburu-buru menghukumi bahwa air itu najis, sekalipun kejatuhan barang yang najis, kecuali apabila berubah (baunya, atau rasanya, atau warnya) karena pengaruh barang yang najis tersebut. Ini didasarkan pada hadits Abu Sa’id, ia berkata, ”Ada seorang sahabat yang bertanya Ya Rasulullah, bolehkah kami berwudlu’ dengan (air) sumur budha’ah? Yaitu sebuah sumur yang darah haidh, daging anjing, dan barang yang bau busuk dibuang ke dalamnya.” Maka jawab Beliau SAW ”Air itu suci, tidak bisa dinajiskan oleh sesuatu apapun.” (Takhrij hadits ini persis dengan tarikhrij hadits tentang sumur budha’ah sebelumnya). (Dalam Tuhfatul Ahwadzi I:204 al-Mubarakfuri menulis bahwa Ath-Thiybi berkata: ”Makna ’Dibuang ke dalamnya’ ini, bahwa sumur ini adalah tempat berkumpulnya air dari sebagian lembah, sehingga tidak sedikit penduduk pedalaman yang singgah di sekitarnya, lalu mereka membuang kotoran yang dibawa dari rumahnya ke saluran air yang menuju ke sumur itu, sehingga akhirnya masuk ke dalamnya. Kemudian si penanya dalam riwayat di atas mengungkapkan dengan memberi kesan bahwa ada sejumlah orang yang kurang ta’at kepada agamanya sengaja membuang kotoran ke dalamnya, padahal ini adalah perbuatan yang tidak boleh dilakukan seorang muslim. Kemudian pantaskah tuduhan ini dialamatkan kepada generasi terbaik dan generasi paling bersih.” Selesai. Saya (al-Mubarakfuri) berkata, ”Bukan hanya satu ulama’ yang ‘ berpendapat seperti ini adalah pendapat yang jelas dan harus diambil” Selesai.)
Sumber: Diadaptasi dari kitab Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil ‘Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, karya Syaikh ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi terj. Ma’ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 55–56.