Home » Fiqih » Mu'amalah » Asal Segala Perjanjian Usaha dan Persyaratan adalah Mubah

Asal Segala Perjanjian Usaha dan Persyaratan adalah Mubah

Asal Segala Perjanjian Usaha dan Persyaratan adalah Mubah

Asal dari segala bentuk perjanjian usaha dan persyaratan adalah mubah, menurut pendapat ulama yang paling benar, (Mayoritas ulama berpendapat bahwa asal dari semua transaksi adalah halal. Namun asal dari persyaratan memang masih diperselisihkan. Mayoritas ulama berpendapat bahwa persyaratan itu harus diikat dengan nash-nash atau kesimpulan dari nash berdasarkan ijtihad. Kalangan Hambaliyah dan Ibnu Syurmah serta sebagian kalangan Malikiyah berpendapat lain. Mereka menyatakan bahwa transaksi dan persyaratan itu bebas) sehingga tidak ada yang diharamkan kecuali yang diindikasikan keharamannya oleh ajaran Islam, dengan dalil tegas atau qiyas. Di antara dalil-dalil mereka yang berpendapat demikian adalah sebagai berikut:

Asal dari perjanjian usaha adalah keridhaan kedua belah pihak. Konsekuensinya adalah komitmen yang mereka sepakati bersama untuk mereka. Allah berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu….” (An-Nisa : 29).

Allah mengecualikan harta yang diambil dari orang lain dengan saling ridha dari harta-harta yang diharamkan. Yang dipersyaratkan dalam jual beli di dalam ayat ini hanya saling ridha alias suka sama suka, sebagaimana kerelaan hati menjadi syarat berinfak. Itu menunjukkan bahwa segala transaksi yang didasari faktor saling meridhai adalah boleh, kecuali kalau terbukti ajaran syariat mengharamkannya, seperti jual beli mi-numan keras.

Perjanjian dan persyaratan termasuk soal kebiasaan, dan asalnya adalah tidak diharamkan, karena asal dari kebiasaan adalah mubah. Allah berfirman:

…. padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkanNya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.” (Al-An’am: 119).

Hukum ini berlaku umum untuk benda dan perbuatan. Hukumnya dijadikan sebagai standar hukum asli hingga ada penjelasan tentang keharamannya.

Nash atau dalil-dalil tegas yang melarang berbagai bentuk aktivitas amat sedikit sekali. Itu menunjukkan bahwa selain yang disebutkan keharamannya berada dalam kondisi asal, yakni mubah. Ibnul Arabi menyatakan, “Ada empat nash yang menjadi kaidah aktivitas kebiasaan dalam Islam:

1. Ayat-ayat tentang keridhaan dua pihak yang bertransaksi.
2. Firman Allah: “Dan Allah menghalalkan jual beli..”
3. Hadits-hadits tentang jual beli manipulatif.
4. Melihat tujuan dalam menjalankan aktivitas yang disyariatkan.

Sesungguhnya perjanjian usaha berbagai aktivitas yang berbeda-beda seperti jual beli, penyewaan, hibah dan sejenisnya, tidak diberi batasan khusus dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul. Tidak ada juga riwayat yang dinukil dari para ulama As-Salaf bahwa semua perjanjian itu adalah sebentuk materi dengan kriteria tertentu. Sementara semua hal yang bersifat umum tak terikat satu kriteria batasannya, semua dikembalikan kepada kebiasaan. Yang dianggap masyarakat sebagai jual beli atau penyewaan, dianggap sebagai jual beli dan penyewaan, meskipun mereka menyebutkan dengan istilah dan ungkapan lain.

Namun kalangan azh-Zhahiriyah berpendapat lain. Mereka menyatakan, Tidak ada perjanjian dan persyaratan yang diboleh-kan, kecuali yang ditunjukkan oleh nash dari Kitabullah dan Sunnah Rasul. Mereka beralasan dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang melakukan satu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka amalannya itu tertolak.”

Demikian juga dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :

كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فيِ كِتَابِ اللهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ

“Setiap persyaratan yang tidak ada dalam Kitabullah maka persyaratan itu batal, meskipun seratus persyaratan.”

Hadits pertama dapat disangkal bahwa yang dimaksud dalam hadits itu sebagai amalan adalah ibadah. Dan sudah disepakati bahwa ibadah itu bersifat baku. Sementara alasan dengan hadits kedua dapat disangkal bahwa yang dimaksud dengan persyaratan di situ adalah persyaratan yang bertentangan dengan ajaran Kitabullah dan Sunnah Rasul. Batalnya bentuk persyaratan semacam itu juga sudah menjadi kesepakatan. Na-mun tidaklah secara aksiomatik terindikasikan bahwa merupakan hal yang wajib bahwa setiap persyaratan itu harus disyariatkan secara khusus dengan dalil praktis secara langsung dari Kita-bullah dan Sunnah Rasul.

http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatekonomi&parent_id=30&idjudul=1&section=e002

Check Also

MENDAPAT HADIAH MAKANAN PADA HARI NATAL, BAGAIMANA MENYIKAPINYA?

Bagaimana sikap kita jika tetangga kita memberikan makanan Natal pada tanggal 25 Desember? Apakah makanan …