Seorang ulama tak akan tergiur dengan nafsu duniawi. Fokus yang ada dihadapannya hanyalah rasa takut yang mendalam kepada Allah SWT.
Islam memberikan penghormatan terhadap ilmu dan ulama. Betapa tidak, ulama menempati posisi yang strategis dalam Islam. Agama Islam menempatkan para ulama sebagai pewaris para nabi. Sehingga, pendapat dan buah pemikiran ulama merupakan referensi hukum yang patut dijalankan.
Bahkan, sebuah pendapat mengatakan bahwa para ulama wajib ditaati sepeninggal Rasulullah. Pendapat ini sebagaimana dikemukakan oleh Mujahid. Menurut Mujahid, pendapat tersebut mengacu pada firman Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS an-Nisa [4]: 59).
Bagi Mujahid, arti kalimat ulil amri yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah para ulama dan ahli fikih. Akan tetapi, tidak semua ulama termasuk kategori yang dimaksud. Sebagai manusia biasa, para ulama tak luput dari kekhilafan selama hidup mereka.
Kitab Akhlak al-Ulama’ karya Abu Bakar Muhammad bin al-Husain bin Abdullah al-Ajurri (360 H), hadir untuk memenuhi dahaga umat akan sebuah kitab yang secara khusus mengupas segala yang berkaitan dengan etika ilmu dan hal ihwal seperti apakah seorang alim mesti berakhlak?
Ikhtiar yang dilakukan al-Ajurri tergolong langka. Di masanya, kitab yang fokus membahas persoalan serupa belum pernah ditulis. Sekalipun terdapat kitab-kitab raqaiq dan akhlak, tetapi uraiannya masih terpencar di berbagai kitab ummahat al-kutub, referensi-referensi utama.
Pada dasarnya, corak yang diterapkan tidak begitu asing lantaran menggunakan metode yang akrab dipakai di kalangan ahli hadis. Al-Ajurri menukil hadis-hadis yang berkenaan dengan topik yang dibahas. Banyak hal yang ingin disampaikan al-Ajurri.
Melalui kitabnya tersebut, al-Ajurri hendak memaparkan landasan filosofis peran dan posisi yang ditautkan kepada ulama, beberapa keutamaan baik di dunia maupun di akhirat turut pula disertakan oleh al-Ajurri. Selebihnya, berbagai ulasan yang disampaikannya menitikberatkan pada sisi terpenting yang lazim dimiliki ulama, yaitu aspek moralitas. Dengan aspek inilah terlihat jelas perbedaan antara alim dan orang awam.
Dalam pandangan al-Ajurri, ulama bukanlah orang yang sekadar menguasai ilmu syariat dengan berbagai variannya. Tetapi lebih dari itu, kriteria ulama adalah figur yang bisa menjadi rujukan dalam pelbagai persoalan umat. Beragam persoalan yang harus dijawab ulama tidak terbatas pada problematika hukum agama, yang tak kalah penting menyangkut etika yang penting diteladankan sang ulama.
Sisi moralitas inilah yang bisa menempatkan ulama sebagai panutan yang layak diteladani. Tanpa itu, ulama tak ubahnya termasuk dalam kategori manusia biasa lainnya. Sedangkan, inti dari moralitas seorang ulama adalah frekuensi dan tingkat ketakwaannya terhadap Allah. Konsistensi dan komitmennya melaksanakan tiap perintah dan menjauhi larangan diletakkan sebagai barometer derajat yang dimiliki.
Seorang ulama tak akan tergiur dengan nafsu duniawi. Fokus yang ada dihadapannya tak lain ialah rasa takut yang mendalam kepada Allah. “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS Faathir [35]: 27).
Sejatinya, umat harus bertindak atas dasar perkataan ulama. Sebab, ulama pemegang estafet risalah. “Ulama adalah lentera umat, mercusuar negara, dan sumber hikmah”. Tulis al-Ajurri dalam mukadimah kitabnya.
Menurut al-Ajurri, selama aspek etika dan moralitas bisa dipenuhi oleh ulama, maka dari sisi inilah Allah mengangkat derajat meraka. Allah menganugerahkan penghormatan kepada ulama yang berhasil memadukan kedua aspek sekaligus integritas ilmu dan moral.
Apresiasi terhadap ulama secara tegas disampaikan Allah dalam firman-Nya. “Hai orang-orang beriman, apabila dikatakan kepadamu: ‘Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.’ Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Mujadilah [58]: 11).
Keutamaan ulama
Beranjak dari poin apresiasi yang diberikan Allah kepada para ulama itulah, al-Ajurri mengawali bab pertama kitab Akhlak al-Ulama’ dengan memaparkan sejumlah hadis dan atsar tentang keutamaan ulama. Keutamaan yang dimaksud meliputi penghargaan yang diberikan Allah secara khusus di dunia serta kelak nanti di akhirat.
Penghormatan utama yang diberikan kepada para ulama yaitu melanjutkan estafet risalah yang disampaikan para nabi. Ulama adalah pewaris para nabi yang tidak mewariskan kekayaan harta baik dinar maupun dirham. Mereka hanya mewariskan ilmu. Dan para ulamalah yang mendapat kehormatan melanjutkan estafet tersebut.
Karenanya, jika dikomparasikan antara kedudukan seorang ahli ibadah yang buta ilmu dan ulama, menurut al-Ajurri, ibarat bulan purnama dengan bintang yang bertebaran di malam nan cerah. Inilah intisari hadis pertama yang dinukil oleh al-Ajurri dari hadis riwayat Abu Darda.
Riwayat lain yang disebutkan al-Ajurri menyangkut keutamaan ulama salah satunya ialah riwayat dari Abu Hurairah. Riwayat yang dinukil dalam Sunan Turmudzi itu menyatakan, tidak ada ibadah yang ditujukan kepada Allah yang lebih utama selain yang ditunaikan oleh seorang yang mengerti agama.
Seorang fakih lebih sulit digoda oleh setan dari seribu ahli ibadah yang kurang mengerti agama. Sebab itu, dalam hadis tersebut dinyatakan, tiap segala sesuatu mempunyai tiang, dan tiang agama adalah ilmu.
Salman al-Farisi pernah menulis surat kepada Abu Darda. Dalam suratnya itu, Salman berkata, “Ilmu ibarat sumber mata air yang membasahi umat manusia. Allah memberikan manfaat bagi semua dari sumber itu. Dan, sesungguhnya sebuah hikmah yang tidak diperbincangkan ibarat jasad tanpa roh. Sedangkan, ilmu yang tidak dikeluarkan ibarat kekayaan yang tak dibelanjakan. Perumpamaan seorang pengajar seperti orang yang membawa lentera di kegelapan jalan, siapa pun yang berlalu di hadapannya akan tersinari.”
Keberadaan seorang alim di tengah-tengah umat terlihat jelas dalam sebuah kisah diceritakan oleh Mujahid. Kala itu, para tabi’in sedang berkumpul di masjid. Mereka antara lain Thawus, Said bin Jubair, dan Ikrimah. Sementara Ibnu Abbas sedang melaksanakan shalat.
Lantas seseorang datang menanyakan suatu persoalan yang membuatnya bingung. Tepatnya, lelaki tersebut hendak bertanya tentang hukum air yang keluar tiap kali habis buang air kecil. Para tabi’in itu pun menjawab, “Apakah air itu seperti air sperma? Jika demikian, Anda wajib mandi.” Lelaki itu pun mengiyakan, lalu segara berpaling dan beranjak pergi.
Ibnu Abbas mendengar jawaban mereka. Dia pun bergegas menyelesaikan shalat, lalu meminta Ikrimah memanggil kembali lelaki itu. Ibnu Abbas lalu mempertanyakan dari manakah dalil pendapat yang mereka ambil? Ternyata jawaban diambil dari pendapat mereka.
Ibnu Abbas menegaskan, keutamaan seorang ahli fikih lebih baik dibanding ahli ibadah. Ibnu Abbas pun mengutarakan pendapatnya, selama air yang keluar tidak disertai syahwat dan kondisi lemas di badan, air yang keluar setelah buang air kecil bukan dikategorikan sperma. Karena itu, cukup berwudhu tanpa mandi junub. ed; heri ruslan
Fitnah Ulama
Oleh Nashih Nashrullah
Al-Ajurri dalam kitab Akhlak al-Ulama’ secara khusus mengupas tentang moralitas ulama. Di tengah-tengah keprofanan masyarakat, sikap dan integritas ulama dipertaruhkan. Integritas ulama tak boleh tergadaikan dengan kekuatan kaum elitis, baik dari rezim pemerintah yang berkuasa maupun para pemegang kekuasaan seperti kaum bangsawan.
Jika moralitas tersebut diabaikan, sesungguhnya mereka telah mengenakan baju kehormatan ulama, tetapi akhlaknya seperti mereka yang tak berpendidikan. “Lidahnya lidah ulama, tapi tingkah lakunya perilaku orang bodoh,” papar al-Ajurri.
Al-Ajurri mengingatkan agar para ulama terhindar dari fitnah yang menimpa seorang alim. Beberapa hadis yang menyinggung hal tersebut pun dinukil dalam kitabnya itu. Riwayat pertama yang disebutkan adalah riwayat Abdullah bin Umar. Disebutkan bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang mencari ilmu bukan karena Allah atau menginginkan tujuan selain (rida) Allah, hendaknya dia mencari tempat duduknya di neraka.”
Fenomena fitnah yang menimpa ulama telah diberitakan secara jelas oleh Rasulullah. Integritas moral yang mestinya dipertahankan oleh ulama berangsur hilang. Bahkan, ulama akan kerap terlibat dengan masalah-masalah yang menggerus moralitas dan akhlak mereka.
Dalam sebuah riwayat Anas bin Malik diberitakan, Rasulullah SAW bersabda, “Akan muncul di akhir zaman nanti para ahli ibadah yang bodoh dan ulama yang fasik.” Sebab itulah, hadis tersebut tampaknya disikapi serius oleh kalangan salaf.
Dalam sebuah pesannya, Sufyan ats-Tsauri pernah mengingatkan akan kemunculan fenomena itu. Kewaspadaan dan antisipasi penting dilakukan. Apa pasal? Tak lain karena dampak akibat fitnah yang menimpa ulama akan berimbas pada umat secara kesuluruhan.”Maka dari itu, berlindunglah kalian dari fitnah ahli ibadah yang bodoh dan ulama yang fasik. Karena fitnah keduanya berimbas kepada semua lapisan,” seru al-Ajurri.
http://www.koran.republika.co.id/koran/153/130897/Akhlak_al_Ulama_Integritas_Moral_Ulama