Ibadah puasa memiliki kedudukan tersendiri di sisi Allah سبحانه وتعلى Allah akan memberikan pahala yang berlipat ganda sesuai kualitas puasa yang dilakukan seorang hamba.
Semakin tinggi kualitas puasanya, semakin banyak pula pahala yang didapatnya, yaitu puasa yang tidak hanya sekadar manahan lapar dan dahaga. Puasa merupakan ibadah yang sangat dicintai oleh Allah سبحانه وتعلى. Hal ini sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah رضي الله عنه , bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda,
“Setiap amalan anak Adam akan dilipatgandakan pahalanya. Satu kebaikan akan berlipat menjadi 10 kebaikan sampai 700 kali lipat. Allah berkata, “Kecuali puasa, Aku yang akan membalas orang yang mengerjakannya, karena dia telah meninggalkan keinginan-keinginan hawa nafsu dan makannya karena Aku.” (HR. Muslim).
Hadits di atas dengan jelas menunjukkan betapa tingginya nilai puasa. Allah سبحانه وتعلى akan melipatgandakan pahalanya bukan sekadar 10 atau 700 kali lipat, namun akan dibalas sesuai dengan keinginan-Nya. Padahal kita tahu bahwa Allah سبحانه وتعلى Maha Pemurah, maka tentu Allah akan membalas pahala orang yang berpuasa dengan berlipat ganda.
Akan tetapi, bisa jadi ada orang yang berpuasa, namun tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali hanya lapar dan haus. Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda,
“Berapa banyak orang yang berpuasa, hanya mendapatkan lapar dan dahaga saja, dan berapa banyak orang yang mendirikan ibadah di malam hari, tapi hanya mendapatkan begadang saja.” (HR. Ahmad)
Dan di antara penyebabnya adalah:
1. Berpuasa Hanya Ikut-ikutan
Setiap Muslim harus membangun ibadah puasanya di atas iman kepada Allah سبحانه وتعلى dalam rangka mengharapkan ridha-Nya, bukan karena ingin dipuji atau sekadar ikut-ikutan keluarganya atau masyarakatnya yang sedang berpuasa. Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda,
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah سبحانه وتعلى, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Muttafaqun ‘alaih).
2. Berpuasa Tapi Meninggalkan Shalat
Di antara umat Islam, ada yang begitu semangat mengerjakan ibadah puasa di bulan Ramadhan, akan tetapi mereka meninggalkan shalat. Ketika ditanya, “Mengapa Anda berpuasa tapi meninggalkan shalat?” Mereka menjawab, “Saya juga ingin dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang masuk surga melalui pintu Ar-Rayyan. Bukankah Rasulullah صلى الله عليه وسلم telah bersabda, “Sesungguhnya di surga terdapat pintu bernama ar-Rayyan, di mana orang-orang yang berpuasa masuk lewat pintu itu pada hari kiamat. Tidak ada seorang pun yang masuk dari situ selain mereka (orang yang berpuasa) dan jika mereka telah masuk, maka pintu itu ditutup.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dan bukankah antara Ramadhan dengan Ramadhan berikutnya adalah penghapus dosa-dosa?”
Yah, Rasulullah صلى الله عليه وسلم memang telah berkata demikian. Tapi mereka tidak mengetahui—atau pura-pura tidak tahu—kelanjutan dari hadits ini.
“Antara Ramadhan ke Ramadhan berikutnya adalah penghapus dosa-dosa antara keduanya apabila dosa-dosa besar dijauhi.” (HR. Muslim).
Jadi Rasulullah صلى الله عليه وسلم mempersyaratkan dijauhinya dosa-dosa besar. Sedangkan mereka justru meninggalkan shalat. Apakah mereka menganggap dosa meninggalkan shalat adalah dosa sepele? Para shahabat memandang orang yang meninggalkan shalat hukumnya kafir.
Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda,
“Perjanjian antara kami dan mereka adalah shalat, barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir” (HR. Ahmad dan para penulis kitab Sunan).
Dan sebagaimana diketahui bahwa orang kafir tidak diterima amalannya.
Allah سبحانه وتعلى berfirman, (artinya):
“Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka tidak mengerjakan shalat, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan.” (QS. At-Taubah: 54).
Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda,
“Sesungguhnya amalan yang paling pertama yang akan dihisab atas seorang hamba dari amalan-amalannya pada hari kiamat kelak adalah shalatnya. Apabila shalatnya baik, maka sungguh ia telah bahagia dan berhasil. Akan tetapi, jika shalatnya buruk, maka sungguh ia telah binasa dan merugi.” (HR. Nasai)
Karena itu sudah sepantasnya seorang yang meninggalkan shalat menjadikan Ramadhan sebagai moment yang tepat baginya untuk bertaubat dan melaksanakan shalat secara kontinu baik di bulan yang suci ini maupun di bulan-bulan lainnya.
3. Melakukan Hal-hal atau Kegiatan-kegiatan yang Mengundang Syahwat
Seseorang yang berpuasa lalu mengeluarkan mani tanpa berhubungan badan baik lewat onani atau pun hal-hal lain yang memancing syahwatnya seperti menonton atau bacaan-bacaan porno maka puasanya pada hari itu batal dan diwajibkan atasnya untuk mengqadhanya (mengganti puasa yang batal tersebut) pada hari lain setelah Ramadhan.
Syaikh Shalih Al Utsaimin—rahimahullah—mengatakan bahwasanya seseorang yang bermimpi basah pada saat berpuasa maka tidak ada sanksi baginya, karena mani yang keluar bukan atas keinginannya, bahkan keluarnya mani tersebut tanpa ia sadari, sedangkan bagi yang sengaja mengeluarkan mani dengan onani, maka sesungguhnya ia berdosa besar kepada Allah سبحانه وتعلى, sehingga hal itu menyebabkan puasanya batal dan wajib baginya untuk mengqadha dan bertaubat dengan benar (Lihat Majâlis Syahri Ramadhân hal:160).
4. Tidak Menjaga Lidah
Seseorang yang sedang berpuasa hendaknya bersabar untuk menahan diri dan tidak membalas kejelekan yang ditujukan kepadanya. Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda,
“Puasa adalah perisai, maka apabila salah seorang dari kalian sedang berpuasa, maka janganlah ia berkata kotor dan janganlah bertengkar dengan mengangkat suara. Jika dia dicela dan disakiti, maka katakanlah, ‘saya sedang berpuasa’.” (HR. Muslim).
Rasulullah صلى الله عليه وسلم juga telah bersabda,
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan kata ‘zuur’ dan beramal dengannya maka tidak ada keperluan bagi Allah untuk memberinya ganjaran pahala terhadap makanan dan minuman yang ia tinggalkan (puasanya).” (HR. Bukhari dan Muslim).
Lalu apakah yang dimaksud dengan kata-kata zuur ? Imam Ath-Thibi menjelaskan hadits ini, “Kata-kata zuur adalah kata-kata bohong dan dusta, yaitu barangsiapa yang tidak meninggalkan kata-kata yang batil baik ia berupa kata-kata yang mengandung kekufuran, saksi palsu, memfitnah, menceritakan kejelekan orang lain (ghibah), berdusta, menuduh, mencela, melaknat dan semisalnya dari perkataan-perkataan yang diwajibkan atas setiap orang untuk menjauhinya dan diharamkan baginya untuk melakukannya”. (Lihat. Tuhfatul Ahwadzi 3:320). Wallohul Hâdî Ilâ Sawâ-is Sabîl (Al Fikrah)
Abu Ubaidillah Syahrul Kurani
http://www.wahdah.or.id/