Home » Fiqih » Ushul Fiqih » 013. Syarah Waraqat – Pembagian Ilmu

013. Syarah Waraqat – Pembagian Ilmu

Jenis-Jenis Ilmu

Ragam, jenis atau macam ilmu itu bisa dibagi menjadi beberapa bagian. Pembagian ilmu itu bisa dikaitkan dengan hal-hal tertentu dalam ilmu tersebut. Pembahasan berikut difokuskan pada bahasan yang berhubungan dengan ushul fiqih. Terutama di bahasan pengantar Ilmu ushul fiqih ini. Berikut ini imam al Juwaini mengatakan:

وَالْعِلْمُ الضَّرُورِيُّ مَا لَا يَقَعُ عَنْ نَظَرٍ وَاسْتِدْلَالٍ كَالْعِلْمِ الوَاقِعِ بِإِحْدَى الـحَوَاسِّ الـخَمْسِ وَهِيَ السَّمْعُ وَالبَصَرُ وَالشَّمُّ وَاللَمْسُ وَالذَّوْقُ أَو بِالتَّوَاتُرِ وَأَمَّا العِلْمُ الـمُكْتَسَبُ فَهُوَ مَا يَقَعُ عَن نَظَرٍ وَاسْتِدْلَالٍ وَالنَّظَرُ هُوَ الفِكْرُ فِي حَالِ الـمَنْظُورِ فِيهِ وَالاِسْتِدْلَالُ طَلَبُ الدَّلِيلِ وَالدَّلِيلُ هُوَ الـمُرْشِدُ إِلَي الـمَطْلُوبِ

Terjemahan:

Ilmu al Dharûri adalah ilmu yang diperoleh tidak perlu dengan nadzar dan Istidlâl. Seperti ilmu yang diperoleh dengan salah satu panca indera. Yaitu pendengaran, penglihatan, penciuman, sentuhan dan rasa atau ilmu yang diperoleh karena informasinya mutawattir. Sedang kan ilmu al Muktasab adalah ilmu yang diperoleh dengan nadzar dan Istidlâl. Nadzar adalah memikirkan tentang keadaan sesuatu yang difikirkan (direnungkan atau dikaji). Istidlâl adalah mencari dalîl. Dalîl adalah adalah yang membimbing pada sesuatu yang dicari. 

Dharûriy ini istilah. Tidak ditemukan terjemah yang pas untuk istilah tersebut. Kalau dilihat dari asal katanya, dharûri asal katanya dari darûrah (darurat). Ilmu al Dharûri ilmu yang bisa di dapat tanpa harus melakukan serangkaian penelitian. Ilmu tersebut bisa langsung ditangkap dengan panca indera atau dengan informasi yang mutawattir. Sedangkan Ilmu muktasab ilmu yang diperoleh dengan usaha, penelitian dan mengkaji.  Termasuk juga membaca dalil yang kemudian menyimpulkan dari dalil tersebut. Beberapa rumusan ini tentu masih membutuhkan penjelasan lebih lanjut. Berikut penjelasan syaikh al Fauzan:

Setelah beliau (syaikh al Juwaini) mendefinisikan ilmu, beliau menyebutkan jenis-jenis ilmu. Yang dimaksud ilmu disini adalah ilmu makhluk. Ilmu tersebut terbagi dua:

  1. Ilmu al Dharûri

Ilmu al Dharûri adalah ilmu yang diperoleh tanpa perlu nadzar dan Istidlâl. Hal itu berlaku untuk ilmu yang jika untuk memperolehnya sudah otomatis bisa langsung diperoleh tanpa perlu penelitian, pengkajian secara mendalam.

Seperti ilmu bahwa api itu panas. Ka’bah itu kiblat kaum muslim dan nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam itu utusan Allah.

Contoh-contoh yang disebutkan disini untuk memperjelas bahwa ilmu al Dharûri itu tidak selalu yang bisa ditangkap oleh panca indera saja. Termasuk ilmu al Dahrûri ilmu yang diperoleh dengan mutawatir.

di antara ilmu yang tidak membutuhkan nadzar dan Istidlâl adalah ilmu yang diperoleh dengan salah satu panca indera yang nampak jelas. Yaitu pendengaran, penglihatan, penciuman, sentuhan dan rasa.

Sesuatu yang dihasilkan dari panca indera itu yang masuk dalam kategori ilmu dharuri.

Ilmu tentang hal ini diperoleh tanpa harus nadzar (berpikir keras) dan tanpa harus Istidlâl (melakukan penelitian).

Semua orang bisa mendapatkan ilmu tersebut.

Contohnya kalau Suhail mendengar suara kuda dia tahu itu suara suara hewan tersebut.

Atau misal disekitar kita suara burung, suara ayam hutan, tidak perlu berfikir keras, tidak perlu belajar langsung tahu di suara ayam, suara burung. Begitu juga suara-suara yang masuk rumah di pagi hari, sudah mulai banyak yang tahu ini suara motor diketahui tidak perlu berpikir keras karena sudah diketahui bersama.

Atau melihat warna putih atau memegang organ tubuh, dia tahu bahwa ini warna putih dan dia tahu kainnya lembut atau kainnya kasar. Dia mencium bau tertentu dan dia tahu bau itu sedap wangi atau bau busuk. Dia mencoba mencicipi makanan, dia tahu bahwa makanan tersebut rasanya pahit atau manis.

Penjelasan contoh di atas dinamakan dengan ilmu Dharûri. Ilmu yang diperoleh tanpa harus bekerja keras, tanpa proses yang panjang untuk bisa berkesimpulan.

Perkataan penulis (atau dengan mutawatir) maksudnya ilmu yang diperoleh dengan mutawatir ini termasuk ilmu Dharûri.

Dia (syaikh aj Juwaini) ingin menjelaskan bahwa ilmu Dharûri itu beragam atau bermacam-macam yang tidak diperoleh dengan indera.

Sebagaimana dicontohkan di atas, nabi Muhammad shalallâhu ‘alaihi wasallam adalah utusan Allah ta’ala. Nabi Muhammad shalallâhu ‘alaihi wasallam adalah rasul terakhir. Informasi seperti ini tidak perlu kajian yang mendalam. Semua kaum muslimin meyakini itu.

Sumbernya cukup berita dari sekompulan orang yang jumlahnya banyak. Mereka mustahil sepakat berdusta mengatasnamakan agama.

Ka’bah tidak perlu dibuktikan bahwa benar-benar ada karena sudah cukup. Riwayatnya mutawatir. Seandainya sekarang tidak ada foto, tidak ada video, tidak ada YouTube, tidak ada Facebook dan yang lainnya, orang dari dulu sudah percaya itu.  Sejak zaman mbah kita dulu, meskipun tanpa ada foto karena semua yang berangkat haji pasti cerita yang sama. Ada yang cerita tentang Ka’bah, cerita tentang Thawaf, Sa’I lalu ke Mina, Arafah, Muzdalifah. Ada bagian sedikit-sedikit yang berubah, pengalaman yang berbeda, tapi semua ceritanya sama. Jadi tidak perlu berpikir keras tentang keberadaannya.

Seperti ilmu kita tentang keberadaan sebuah negeri yang belum pernah kita lihat.

Bisa di peta, bisa provinsi. Termasuk negara yang belum pernah dikunjungi tapi kita mendengar orang cerita itu.

Beberapa pekan yang lalu ada teman kuliah yang kembali menghubungi dari Yugoslavia. Dulu ketika kita pertama kenalan, mendengar namanya. Sambil berfikir di peta itu lokasinya sebelah mana. Tapi riwayatnya mutawatir bahwa ada nama negara dengan nama tertentu. Termasuk nama kota.

Dan kejadian yang terjadi pada masa silam dan sejenis itu.

Ada peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu dan semua disepakati. Seperti peristiwa kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Ada peristiwa perang melawan penjajah. Kemudian ada dalam beberapa peperangan dikisahkan bagaimana kekuatan penjajah bekerjasama dengan beberapa pengkhianat negeri ini untuk menguasai negeri ini.

Kisah Cut Nyak Dien, kisah perang Diponegoro dan sekian banyak kisah yang bisa didapati. Kisah-kisah tersebut bukan hanya dari sumber satu atau dua orang bahkan bukan dari seratus atau dua ratus orang, semua menceritakan hal yang sama atau sejarah di masa lalu. Ini yang disebut dengan mutawatir.

  1. Ilmu al Nadzari

Sengaja tidak diterjemahkan karena istilah-istilah seperti ini dibiarkan apa adanya. Tinggal coba difahami maksudnya. Beberapa istilah ketika sudah menjadi istilah yang digunakan pada ilmu-ilmu tertentu maka perlu coba difahami apa adanya. Istilahnya tetap digunakan. Pembiaran ini untuk memudahkan pada saat membahas beberapa bahasan yang terkait dengan turunan dari pembagian ilmu tersebut.

Ilmu al Nadzari mempunyai nama lain yaitu al muktasab. Yaitu ilmu yang diperoleh dengan nadzar dan istidlâl.

Didapatkan dengan berpikir, menelaah, mengkaji kalau perlu kadang-kadang sampai eksperimen. Kemudian perlu bukti-bukti dan seterusnya.

Perkataan penulis (ما يقع): ilmu yang diperoleh. Makna ما di sini jenis untuk mendefinisikan sesuatu yang spesifik.

Perkataan penulis (عن نظر) adalah batasan yang yang mengeluarkan ilmu dharûri karena ilmu dharûri itu diperoleh tanpa perlu pemikiran. Seperti ilmu bahwa madzi itu najis.

Pemahaman madzi itu najis tidak bisa dengan panca indera. Perlu dengan belajar, menelaah, mengkaji sampai pada kesimpulan bahwa madzi itu najis. Apakah najis nya itu ijma’ atau ada perbedaan pendapat? Semua itu perlu dengan menelaah. Apalagi ada sebagian di pembahasan seperti ini masih perlu didefinisikan terlebih dahulu madzi itu apa?

Dan thawaf wada’ itu wajib.

Dari mana menyimpulkan thawaf wada’ itu wajib? Bukan sunnah? Kenapa bukan rukun? Karena dalam penyebutan hukumnya wajib, tentu ada konsekuensi kalau tidak dilaksanakan.

Bahwa sewa itu akad yang mengikat.

Ketika akad tersebut dijalankan akan mengikat maka konsekuensinya adalah muncul konsekwensi pada dua pihak yang menyewakan dan yang menyewa.

Kemudian beliau mendefinisikan nadzar dan istidlâl.

Definisi yang sederhana namun bisa cukup untuk memaknai definisi tersebut.

Karena nadzar dan istidlâl itu berlaku pada definisi ilmu dharûri dalam bentuk menafikan. Sedangkan dalam ilmu al muktasab berlaku dalam bentuk menetapkan.

Maksud dari kata “menafikan” pada ilmu dharûri adalah tidak membutuhkan nadzar dan istidlâl sementara pada ilmu al muktasab “menetapkan” maksudnya membutuhkan nadzar dan istidlâl.

Nadzar secara bahasa digunakan untuk beberapa makna. Diantaranya melihat dengan mata itu disebut nadzar.

Termasuk dalam bahasan fiqih nikah nadzar itu melihat.

berfikir juga disebut nadzar. Inilah yang dimaksud dengan bahasan ini.

Nadzar yang dimaksud dalam bahasan syaikh al waraqat ini adalah berfikir bukan melihat dengan mata. Berfikir artinya memikirkan, merenungkan, mengkaji, mengolah kemampuan berpikir.

Nadzar menurut istilah syaikh al Juwaini mendefiniskan dengan الفكر في حال المنظور فيه maksudnya memikirkan sesuatu yang dilihat (objek) untuk mencari pengetahuan tentang hakikatnya. Karena proses berpikir seperti ini jalan atau cara untuk mengetahui hukum-hukum syar’I jika syarat-syaratnya terpenuhi.

Definisi ini dibahas agar orang bisa tahu bahwa mengetahui hukum syar’i itu perlu nadzar. Perlu hadir sikap berpikir, menelaah atau mengkaji karena tidak semua orang bisa menelaah, mengkaji atau membahas. Dalam prakteknya bisa jadi ada orang-orang yang mencoba untuk membahas namun tidak bisa dan tidak sanggup.

Orang yang nadzar ini harus memiliki alat yang sempurna. Sebagaimana Insyaallah akan ada pembahasannya dalam bab ijtihad.

Tidak semua orang bisa ijtihad.

Kegiatan nadzar ini dilakukan terhadap dalil bukan dalam kesamaran. Orang yang melakukan nadzar harus berusaha untuk melengkapi pengetahuan tentang dalil dan mengetahui syarat-syarat istidlâl.

Mencari dengan pencarian yang lengkap dan utuh tentang dalil tersebut serta mengetahui syarat-syarat menyimpulkan dalil. Jadi bukan sekedar tahu dalilnya saja namun juga mengetahui cara menyimpulkan dari dalil tersebut.

Inilah yang kadang-kadang oleh sebagian orang tidak difahami dengan baik bahwa ketika bertemu dengan bahasan-bahasan yang berhubungan hukum-hukum syar’i perlu pemikiran, penelaahan dan pengkajian. Sebagian orang mungkin ada yang mengatakan “saya juga punya kemampuan berpikir dan menelaah” tapi lupa bahwa ada alat untuk memahami itu semua.

Misalnya pengetahuan bahasa arab untuk memahami itu apakah memadai? Karena semua tahu bahwa pengetahuan bahasa arab bertingkat-tingkat. Pengetahuan bahasa arab yang sederhana belum layak untuk sampai pada tingkatan istidlâl.

Begitu juga pengetahuan tentang dalil. Pengetahuan dalil juga bertingkat-tingkat. Dalil yang wujudnya Qur’an dan sunnah, ternyata pengetahuan orang sangat beragam. Pengetahuan Qur’an yang sudah jelas tentang jumlah surat, ayat dan itu semua sudah disepakati bersama masih saja pengetahuannya berbeda-beda. Apalagi hadits. Pengetahuan terkait hadits juga sangat beragam. Ditambah hadits tidak terkumpulkan dalam satu buku.

Pengetahuan yang beragam inilah yang membuat cara membahas suatu bahasan itu menjadi berbeda-beda.

Atas kondisi di atas, maka perlu difahamkan kepada masyarakat umum perlu sikap menyadari bahwa apa yang diketahui, dipahami sekarang ini sebenarnya belum memadai untuk bisa nadzar.

Sebagai ilustrasi, dalam membaca karya ulama saja kadang-kadang membaca sudah namun tidak faham. Membuktikan ketidakfahaman itu caranya dengan membaca buku-buku satu bahasan namun berada di level yang lebih tinggi dari yang selama ini kita baca. Ketika mendapati suasana membaca namun tidak faham, itu artinya belum memadai untuk melakukan nadzar. Tahapan Ini bukan dalam kapasitas sebagai mujtahid, namun hanya membaca karya seorang ulama yang sudah berada pada level mujtahid.

Contoh lain membaca karya imam an Nawawi misalnya, semua tahu beliau masuk kategori mujtahid. Ketika membaca karyanya di Al majmu’, akan didapati beberapa bahasan ternyata membutuhkan kemampuan, pemahaman yang baik. Itu baru tulisan dari imam an Nawawi yang beliau sudah sajikan dengan bahasa yang bisa ditangkap. Akan lebih sulit lagi kalau langsung menyimpulkan dari Quran dan hadits dengan sekian banyak perangkat ilmu yang begitu banyak. Tentu itu lebih sulit.

Dengan hanya membaca saja apa yang menjadi hasil ijtihad, kadang-kadang mencermatinya tidak mudah.

Menghadirkan contoh-contoh ini untuk menumbuhkan kesadaran bahwa ini berada pada level yang sangat tinggi. Tidak mudah membahas beragam persoalan yang ada ketika kemampuan menimbang mashlahat dan mafsadat belum berada pada level yang memadai.

Perkataan penulis (والاستدلال طلب الدليل) hurufس   dan ت pada kata الاستدلال untuk thalab (untuk menunjukan mencari). Seperti kata الاستنصار bermakna cari pertolongan. Yang dimaksud dengan dalil adalah sesuatu yang dijadikan dalil, wujudnya berupa nash, ijma’ atau selain keduanya.

Bisa jadi pada saat proses mencari nash, ijma’ menjadi pekerjaan tersendiri yang belum tentu orang bisa menyimpulkan dengan tepat bahwa ini adalah ijma’. Misalnya ada tulisan yang menyebutkan “Bahwa ini adalah sudah menjadi ijma’” Apakah pernyataan itu otomatis menjadi Ijma’? dalam memahami ini juga ada ilmunya. Ilmu memahami tentang bagaimana mencari pendapat yang sudah menjadi ijma’

Nadzar dan istidlâl maknanya satu. keduanya mengantarkan kepada yang dicari.

Mau dinamakan nadzar atau pun istidlâl itulah porses untuk menyimpulkan dari dalil yang ada sampai pada kesimpulan hukum syar’i. Proses ini terjadi pada ushul fiqih.

Syaikh al Juwaini mengumpulkan dua kata tersebut dalam definisi ilmu dharûri dan ilmu al muktasab sebagai penegasan.

Dua kata yang dimaksud yaitu kata nadzar dan istidlâl. Jika kajian nya diperinci atau diperdalam,

Sebagian ulama berpendapat bahwa nadzar itu lebih bersifat umum daripada istidlâl. Karena nadzar itu berlaku pada sesuatu yang membutuhkan pemikiran kemudian orang akan mempersepsikan hal tersebut.

Orang akan membayangkan sampai gambaran tersebut muncul di benak dan menjadi persepsi. Itulah yang disebut tashawwur. Tashawwur tidak selalu berhubungan dengan dalil. Bisa jadi bersifat umum pada hal-hal yang lain. Namun bisa juga berhubungan dengan yang sifatnya membenarkan sesuatu.

Tashawwur adalah menangkap sebuah makna yang berdiri sendiri tanpa memberikan hukum dengan menegasikan atau menetapkan. Seperti mengetahui makna manusia, sekretaris, pohon dan makna yang lainnya.

Sedangkan istidlâl khusus untuk tashdîq.

Tashdiq adalah menetapkan sesuatu karena ada sesuatu yang lain karena betul-betul nyata. Atau menafikan dengan betul-betul menafikan. Tashdiq itu lebih spesifik. Di Ilmu balaghah seperti isnad khabar. Di ilmu nahwu seperti jumlah ismiyah.

Contoh kalimat الكاتب إنسان. Mengetahui maknaالكاتب  (sekretaris) dan makna إنسان (manusia) itu tashawwur. Sedangkan mengetahui seseorang tersebut betul-betul sekretaris atau betul-betul bukan sekretaris itu tashdiq.

Contoh yang lain, العلم حادث (alam itu sesuatu yang baru) alam itu bukan sesuatu yang qadim. Alam itu diciptakan. Kemunculan dan keberadaannya setelah diciptakan.

Itu penjelasan terkait dengan tashawwur dan tashdiq.

Perkataan penulis (والدليل هو المرشد إلي المطلوب) kata دليل berwazan فعيل bermakna فاعل dari bentuk mashdar دلالة bermakna membimbing atau menunjukan.

Perlu pembiasaan bahwa wazan فعيل bisa bermakna فاعل meskipun juga bisa bermakna مفعول.

Dalil itu adalah yang mengarahkan kepada yang dicari. Definisi ini secara bahasa karena masih bersifat umum. Kadang-kadang dalil itu mengantarkan pada yang dicari namun menurut istilah syar’I tidak dikatakan dalil.

Zaman sekarang dikenal namanya peta. Peta itu dalil untuk sampai kepada lokasi yang dituju. Ketika disebut ini denahnya itu dalil secara bahasa. Berangkat ke suatu tempat ada buku panduan, petunjuk, peta untuk sampai ke sana. Itu semua disebut dalil namun scara bahasa.

Dalil menurut istilah adalah:

ما يمكن التوصل بصحيح النظر فيه إلي مطلوب خبري

Artinya:

Yang memungkinkan mengantarkan kepada yang dituju berupa khabar dengan cara meneliti atau berpikir yang benar.

Penjelasan kami (Syaikh al Fauzan):

Kata “ما” adalah isim mausul artinya “الذي يمكن التوصل” (yang memungkinkan mengantarkan pada tujuan)

Kata “بصحيح النظر” adalah bentuk diidhofahkan sifat kepada yang disifati. Maknanya berarti “النظر الصحيح” (berfikir yang benar atau berfikir yang lurus)

Kata “فيه” adalah kepada yang dicari atau yang dituju.

Maksudnya sesuatu yang memungkinkan mengantarkan kepada yang dicari atau yang dituju sebuah kabar. Cara mendapatkannya dengan nadzar yang shahih.

Kata “إلي مطلوب خبري” adalah membenarkan.

Maksudnya untuk sesuatu yang didapatkan dengan cara membenarkan hal tersebut.  Di atas sudah disinggung bagaimana yang dinamakan dengan tashdiq bukan tashawwur.

Sebagaimana contohnya adalah yang berkaitan dengan haramnya “nabidz”. Nabidz itu memabukkan. Semua yang memabukkan itu haram. Sebagaimana Nabi bersabda “Semua yang memabukan itu haram”. Maka Nabidz itu haram.

Nanti dibahasan qiyas berhubungan dengan illatnya. diharamkan nabidz karena memabukannya. Yang ditangkap adalah persoalan memabukan atau tidak memabukannya. Bukan lagi persoalan nama. Nama bisa sama tetapi hakikatnya bisa berbeda.

Ketahuilah bahwa dalil itu adalah sebuah nama yang mengantarkan pada al ilm seperti mutawatir dan ijma’. Dan juga sebuah nama yang mengantarkan kepada dzan seperti qiyas, khabar yang diriwayatkan oleh satu orang atau yang sejenis itu.

Dalil bisa mengantarkan kepada ilmu sampai tingkat yakin karena mutawatir dan ijma’ atau dalil bisa mengantarkan hanya sampai dzan karena ada qiyas atau khabar wahid.

Adapun yang masyhur di banyak kalangan para penulis buku ushul fiqih bahwa dalil itu adalah sesuatu yang memberikan atau mengantarkan sampai pada ilmu, Sementara yang mengantarkan sampai pada dzan itu cuma hanya amârah (Amarah itu tanda seperti isyarat), sementara amârah itu lebih lemah daripada dalil, definisi seperti ini tidak benar.

Definisi seperti ini (definisi bahwa dalil itu dari itu aku ada sementara itu ya bukan dalil dia cuma kamar definisi-definisi di sini tidak tidak benar

Nampak pemisahan dan pembedaan ini muncul dari kalangan orang-orang mu’tazilah dan yang sepemahaman dengan mereka dari orang-orang yang menafikan sifat.  Karena dalîl yang mengantarkan anda pada sesuatu yang dicari. Dalîl itu terkadang mengantarkan anda kepada ilmu terkadang kepada dzan. Maka penamaan dalîl layak digunakan untuk kedua-duanya. Orang arab tidak membedakan sesuatu yang menghasilkan ilmu dan dzan pada penggunaan nama dalîl. Allah memerintahkan kita untuk beribadah dengan meyakini hal tersebut.

Check Also

09. Syarah Waraqat – Pembagian Hukum Taklifiy (mandub dan mubah)

Pembagian Hukum Taklifiy Al Mandûb وَالـمَنْدُوبُ مَا يُثَابُ عَلَى فِعْلِهِ وَلَا يُعَاقَبُ عَلَى تَـرْكِهِ وَالـمُبَاحُ مَالَا يُثَابُ عَلَى فِعْلِهِ وَلَا يُعَاقَبُ عَلَى تَـرْكِهِ Terjemahan Al Mandûb adalah …