Home » Fiqih » Ushul Fiqih » 010. Syarah Waraqat – Pembagian Hukum Taklifiy (mahdzur dan makruh)

010. Syarah Waraqat – Pembagian Hukum Taklifiy (mahdzur dan makruh)

Pembagian Hukum Taklifiy

 

وَالـمَحْظُورُ مَا يُثَابُ عَلَى تَـرْكِهِ وَيُعَاقَبُ عَلَى فِعْلِهِ وَالـمَكْرُوهُ مَا يُثَابُ عَلَى تَـرْكِهِ وَلَا يُعَاقَبُ عَلَى فِعْلِهِ

Terjemahan

Al Mahdzûr adalah semua perbuatan yang orang mendapatkan pahala karena meninggalkannya dan diberikan hukuman karena mengerjakannya. Sedangkan al makrûh adalah semua perbuatan yang orang mendapatkan pahala karena meninggalkannya dan tidak diberikan hukuman karena mengerjakannya.

 

Jadi Mahdzûr definisinya (di atas) berkaitan dengan hukum. Begitu juga Makrûh. Seperti pernah disampaikan, di kalangan para ulama ushul fiqih dalam memberikan definisi ada dua model. Pertama, mendefinisikan sesuatu berdasarkan hakikatnya. Kedua, berdasarkan hukumnya.

Di sini definisi yang disajikan adalah berdasarkan hukum. Sebagaimana pembahasan sebelumnya, tidak semua ulama ushul fiqih sependapat dengan definisi ini. Mereka merasa ini kurang tepat. Lebih tepat didefinisikan dengan hakikat.

 

  1. Al Mahdzûr (al Muharram)

al Mahdzûr secara bahasa adalah isim maf’ul dari kata حظر bermakna melarang. Contohnya: حظرت الشيء bermakna إذا حرمته Kembali kepada menahan, melarang. Sebagaimana firman Allah ta’ala: وما كان عطاء ربك محظورا.

Kebiasaan para ahli bahasa pada saat menjelaskan sesuatu mereka beristidlal kepada pertama al Qur’an, kedua sunnah kemudian yang lain diantaranya adalah syair atau amtsal dan sejenisnya yang dikenal dengan masyarakat Arab di masa syair itu bisa dijadikan hujjah.

Dalam surat al Isra ayat 20 di atas yang perlu digaris bawahi adalah kata محظورا. Menahan, melarang itu makna dari حظر. Semakna dengan منع.

Sedangkan menurut istilah al Mahdzûr adalah segala sesuatu yang dalam syariat dituntut untuk ditinggalkan dengan tuntutan yang kuat dan tegas. Dari perbuatan seperti durhaka kepada kedua orang tua dan isbal pada pakaian. Atau dari ucapan seperti ghîbah dan namîmah. Atau amalan hati seperti iri, dengki.

Definisi al Mahdzûr ini kebalikan wajib. Huruf ما perlu dirinci karena perbuatan itu banyak. Biasanya yang disebutkan ada tiga. Perbuatan, ucapan dan amalan hati.

Perlu difahami, pada saat melihat penjelasan, definisi biasanya berusaha sebisa mungkin jâmi’ dan mâni. Maka setelah definisi selalu diikuti oleh penjelasan definisi.

Dengan batasan yang pertama (ما طلب الشرع تركه) maka otomatis keluar hukum taklif yang bernama wâjib, mandûb dan mubâh.

Dengan batasan yang kedua (طلبا جازما) maka otomatis keluar yang namanya makrûh.

Seperti itu memahami definisi. Sama seperti nanti ketika belajar qawaid fiqhiyah. Syarh dari kaidah itu sangat penting supaya bisa didudukkan pada tempatnya. Bisa jadi masalah bukan pada kaidah akan tetapi masalah ada pada pemahaman terhadap kaidah. Apalagi kalau sudah terlanjur dapat pemahaman tentang kaidah itu dari tempat atau lingkungan yang salah dalam menempatkan kaidah tersebut. Akhirnya menjadi salah dalam memahami kaidah.

Setelah definisi masuk kebahasaan berikutnya,

Harâm adalah kebalikan dari halâl. Dikatakan ini halal ini haram.

Penyebutan di atas untuk menunjukan kebalikan.

Sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat al Nahl ayat 116:

وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ

Artinya:

Janganlah kalian mengatakan terhadap sesuatu yang kalian sifati dengan lisan kalian secara dusta “ini halal dan ini haram” untuk membuat kedustaan mengatasnamakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala

Ayat di atas memposisikan bahwa mengatakan “ini halal atau ini haram” sama-sama dilarang. Larangan itu muncul dikarenakan perbuatan itu dilakukan mengatasnamakan Allah akan tetapi tidak ada dasarnya.

Kadang-kadang, ada orang mengatakan “jangan cepat-cepat mengharamkan sesuatu”. Statement tersebut bisa dibalik “jangan cepat-cepat menghalalkan sesuatu”. Halal dan Haram ditempatkan pada posisi yang sama. Artinya sama-sama jika masuk ke wilayah tersebut membutuhkan tuntunan.

Adapun perkataan ulama ushul fiqih “haram itu kebalikan dari wajib” dilihat dari sisi hukum taklif. Maka haram itu diberikan definisi dengan kebalikannya wajib. Sebagaimana terdahulu.

Dilihat dari sisi hukum taklif yang lima, haram kebalikan dari wajib. Adapun hukum taklif yang lima itu wajib, mandub, mubah, haram dan makruh. Definisi wajib ما طلب الشرع فعله sedangkan haram ما طلب الشرع تركه.

dari paraghraf ini bisa dipahami, kalau ada orang mengatakan “ini haram sebagai lawan dari halal” itu benar. Contohnya ada di surat al nahl ayat 116 halalin. Akan tetapi dalam bahasan ushul fiqih haram itu kebalikan dari wajib.

Selanjutnya hukum haram sebagaimana yang disebutkan oleh penulis (penulis al waraqat) diberi pahala karena meninggalkannya akan tetapi dengan maksud melakukan ketaatan.

Ada keterangan tambahan “dengan maksud melakukan ketaatan” ini sebagai batasan. bisa jadi orang meninggalkan sesuatu bukan karena ketaatan.

Menahan diri dari yang diharamkan karena ketaatan terhadap larangan syariat dengan maksud mengharapkan wajah Allah semata. Kalau seandainya seseorang meninggalkan perbuatan yang diharamkan karena semacam takut dari makhluk yang lain, malu, riya’ atau karena tidak mampu melakukan (padahal ingin melakukan), maka dia selamat dari dosa karena dia tidak mengerjakan perbuatan yang diharamkan. Akan tetapi dia tidak mendapatkan pahala dari Allah ta’ala karena dia tidak bermaksud mengharapkan wajah Allah semata dalam meninggalkan perbuatan haram tersebut.

Ada dua orang yang sama-sama meninggalkan perbuatan haram. Yang satu meninggalkan karena tidak sempat andai kata ada kesempatan sebenarnya ingin melakukan. Yang kedua betul-betul meninggalkan perbuatan karena tahu perbuatan tersebut dilarang dalam agama. Dia meninggalkan betul-betul karena Allah semata. Maka hasilnya berbeda. Yang satu tidak mendapatkan pahala. Sedangkan yang kedua mendapatkan pahala.

Berikut beberapa contoh orang meninggalkan perbuatan haram yang bukan karena Allah semata. Misal takut didenda. Atau karena malu, karena riya atau mau mencuri karena tidak sempat, waktunya singkat. Perbuatan itu semua tidak mendapat pahala.

Dalam hadits riwayat Muslim berkaitan dengan tiga orang yang masuk gua. Lalu pintu gua tertutup batu yang besar. Kemudian masing-masing berdoa menyebutkan amal shaleh yang dikerjakan di masa lalu. Salah satu diantaranya adalah ada yang pernah hampir berbuat zina, perbuatan nista kemudian ketika diingatkan akhirnya dia mengurungkan rencana perbuatan zinanya karena Allah semata, maka dia mendapatkan pahala karena meninggalkannya. Meninggalkannya bukan disebabkan karena tidak mampu, bukan karena tidak sempat, bukan karena malu, bukan karena riya’, bukan karena takut makhluk lain akan tetapi ditunggalkan karena Allah.

Adapun pelaku perbuatan haram tanpa udzur. Dia berhak atau layak mendapatkan hukuman. Tanpa harus hukuman tersebut terjadi pada orang tersebut.

Artinya kalau seseorang melakukan sesuatu yang haram, tidak serta merta dikatakan pasti di adzab. Mengatakan bahwa perbuatan haram itu mengundang adzab, Iya. Namun pelakunya pasti di adzab, belum tentu. Sebab Al Qur’an yang sudah disebutkan sebelumnya (dalam bahasan hukum taklif wajib) menyebutkan:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

Artinya:

Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik dan mengampuni dosa selain syirik terhadap orang yang dikehendaki oleh Allah

Perbuatan haram itu dinamakan juga dengan Mahdzûr. Sebagaimana yang disebutkan oleh penulis (al waraqat).

 

  1. Al Makrûh

Perkataan penulis: (والمكروه ما يثاب على تركه ولا يعاقب على فعله) ini bahasan kelima dari hukum taklif. Yaitu makrûh. Secara bahasa adalah isim maf’ul. Bentukan dari kata كراهة yang bermakna benci.  Makrûh maknanya yang dibenci dengan wazan Isim maf’ul.

Kenapa isytiqâq (bentukan) ini perlu dikenalkan? Karena bisa ditemukan di beberapa buku penggunaannya bukan “makrûh” tapi “karâhah”. Apalagi saat menjelaskan, kata “karâhah” yang muncul bisa lebih banyak daripada istilah “makrûh”. Perlu dikenalkan dua istilah tersebut.

Sedangkan definisi menurut istilah adalah perbuatan yang syariat ini dituntut untuk ditinggalkan dengan tuntutan tidak kuat dan tidak tegas.

Ada kesamaan definisi antara muharram dengan makruh. Sama-sama dituntut oleh syari’at untuk ditinggalkan. Bedanya di redaksi tidak dengan tegas. Sedangkan untuk muharram dengan kuat dan tegas.

Contohnya: seperti menoleh dalam shalat dengan menggerakkan lehernya. Bergerak sedikit ke kanan atau di kiri. Menyerahkan dan menerima sesuatu dengan tangan kiri.

Dengan batasan yang pertama, mengeluarkan apa yang sudah disebutkan di dalam bahasan mahdzûr.

Maksudnya mengeluarkan wajib, mandub dan mubah

Dengan batasan yang kedua, mengeluarkan perbuatan yang masuk kategori diharamkan.

Ada tambahan keterangan imtitsâlan,

Makrûh itu orang yang meninggalkan perbuatan tersebut akan mendapatkan pahala karena ketaatan kepada Allah semata. Dan tidak akan di hukum bagi orang yang melakukannya.

Adanya penjelasan tambahan ini dilakukan karena bisa jadi meninggalkan itu bukan karena ketaatan. Bisa jadi karena takut sama orang, karena sungkan, malu atau karena ingin dilihat orang, dipuji orang atau bisa jadi karena sebab-sebab yang lain. Jika orang meninggalkan karena bukan ketaatan kepada Allah semata, maka orang yang melakukan hal tersebut tidak diberikan pahala.

Ketahuilah, di kalangan para ulama makrûh ini ada tiga istilah:

Pertama, perbuatan yang dilarang, namun larangannya bersifat tanzîh. Sebagaimana sudah dijelaskan definisinya.

Yang dimaksud dengan tanzih adalah membersihkan, mensucikan. Lebih karena menjaga kehormatan diri.

Hukum itu ada empat. Masing-masing sudah diberikan nama khusus yang sudah umum digunakan. Hendaknya ketika istilah makrûh itu disebutkan maka yang terbersit pertama kali adalah kepada penamaannya bukan kepada yang lain yang kadang digunakan.

Itu menjadi kaidah umum. Ketika mendefinisikan sesuatu atau menggunakan istilah dan menggunakannya maka gunakan yang umum digunakan. Demikian pula istilah yang umum digunakan ulama ushul fiqih, istilah yang umum digunakan oleh ulama fiqih. Jadi istilah untuk makrûh yang pertama itu adalah “nahyu (larangan) tanzih”.

Kedua, haram. Ini istilah umum yang digunakan oleh para ulama mutaqaddimin. Seperti Imam Ahmad dan Imam Syafi’i. Mereka mengungkapkan haram itu dengan karâhah. Karena sikap wara’  dan kehati-hatiannya terjerumus dalam perbuatan yang dilarang dari mengatakan “ini halal, ini haram”. Sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat al Nahl ayat 116:

وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ

Artinya:

Janganlah kalian mengatakan terhadap sesuatu yang kalian sifati dengan lisan kalian secara dusta “ini halal dan ini haram” untuk membuat kedustaan mengatasnamakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala

Karena kehati-hatian ulama terdahulu, mereka mengatakan dengan ungkapan makrûh.

Tapi banyak dari mutaakhirin mereka keliru memahami perkataan imam-imam mereka.  Mereka menafsirkan kata karâhah dari perkataan imam-imam mereka dengan makna karohah tanzîh. Ini bukan yang dimaksud oleh para Imam.

Contohnya dari perkataan imam Ahmad “Saya tidak suka (mak’ruh) mut’ah dan shalat di kuburan”. Keduanya diharamkan.

Jika mut’ah difahami dengan ungkapan makruh tanzih jelas ini keliru. Di tempat-tempat yang lain pernyataan imam Ahmad jelas menunjukkan bahwa perbuatan tersebut diharamkan.

Contoh lain di dalam kitab Mukhtashar al Kharqiy “dimakruhkan seorang itu berwudhu dengan menggunakan bejana dari emas dan perak” Ibnu Qudamah mengatakan “Makruh di teks tersebut dimaksudkan haram. dan saya tidak tahu ada perbedaan pendapat tentang hal ini”. Karena adanya dalil yang menunjukkan makna haram.

Jika ada kata karâhah dari perkataan Imam Ahmad tanpa ada dalil yang lain yang menunjukkan makna tahrîm atau tanzîh maka karâhah dibawa kepada karâhah tahrîm. Ada juga yang pendapat yang lain, dibawa kepada karâhah tanzîh. Ini perkataan imam al Thufiy.

Inilah yang bisa difahami bahwa di madzhab itu tidak mudah untuk memahami perkataan Imam lalu menafsirkan ke arah mana maksud dari perkataan imam tersebut.  

Berkata imam al Fatuhiy “inilah yang dipilih oleh sebagian besar ulama-ulama di madzhab Hambali”. Sedangkan perkataan imam Ahmad “Saya tidak suka meniup pada makanan, terus-menerus makan daging, roti yang besar”. Bahwa makruh (tidak suka) di sini lebih tepat karâhah tanzîh.

Meniup makan ini hukumnya apa? Kalau kaidah nya dibawa kepada karâhah tahrîm, maka hukumnya karâhah tahrîm. Kalau dibawa kepada karâhah tanzîh maka perbuatan meniup makanan itu termasuk karâhah tanzîh. Dari mana kesimpulan itu? Ulama muhaqqiqîn pada masa berikutnya yang menentukan. Bahwa itu kalau pada tempat ini lebih tepat karâhah tanzîh. Begitu juga memahami “terus-menerus makan daging” dan “roti yang besar”, statement ini tidak mungkin dibawa kepada karâhah tahrim.

Ketiga, istilah karâhah dikenal dengan Tarkul aula. Artinya meninggalkan yang lebih utama.  Istilah ini oleh kebanyakan ulama ushul fiqih diabaikan. Tetapi para ahli fiqih menyebutkannya. Tarkul aula ini diantara karâhah dan ibâhah. Perbedaan antara makrûh dan khilâful aula (tarkul aula) adalah untuk semua perbuatan yang ada larangan secara khusus tertuju ke situ maka dinamakan makrûh. Sebagaimana terdahulu penjelasannya. Sedangkan untuk yang tidak ada larangan khusus tertuju ke situ maka dinamakan khilâful aula. Tidak dikatakan makrûh. Seperti meninggalkan shalat sunnah Dzuhur. Imam Zarkasyi berkata setelah menyebutkan pendapat para ulama tentang masalah ini,

Ini hasil kesimpulan dari kajian berbagai pendapat tadi

“Bahwa khilâful aula itu bagian dari makrûh. Makrûh itu bertingkat-tingkat sebagaimana dalam sunnah. Khilâful aula tidak pantas dijadikan bagian tersendiri. Jika tidak, maka hukum bisa jadi enam. Ini jelas menyalahi dengan apa yang sudah umum dikenal. Atau khilâful aula dianggap di luar syariat. tidak begitu.

Khilâful aula jelas bagian dari syariat. Ditempatkan menjadi bagian dari makruh. Namun beda tingkatannya. Bukan bagian tersendiri. Jika khilâful aula bagian tersendiri, maka hukum taklifi menjadi enam (wajib, mandub, mubah, haram, makruh dan khilaful aula). Susunan ini jelas salah. Hukum taklifi yang umum dikenal dikalangan para ulama ada 5. Khilâful aula atau tarkul aula adalah istilah yang digunakan juga untuk makruh.  Dua bahasan ini berkaitan dengan ilmu haram dan makruh.

Pembahasan tentang lafadz-lafadz yang digunakan untuk muharram dan makruh sengaja tidak dibahas disini karena nanti akan ada pembahasan tersediri di belakang.

Check Also

09. Syarah Waraqat – Pembagian Hukum Taklifiy (mandub dan mubah)

Pembagian Hukum Taklifiy Al Mandûb وَالـمَنْدُوبُ مَا يُثَابُ عَلَى فِعْلِهِ وَلَا يُعَاقَبُ عَلَى تَـرْكِهِ وَالـمُبَاحُ مَالَا يُثَابُ عَلَى فِعْلِهِ وَلَا يُعَاقَبُ عَلَى تَـرْكِهِ Terjemahan Al Mandûb adalah …