Home » Fiqih » Ushul Fiqih » 007. Syarah Waraqat – Al Ahkam Al Syariyyah

007. Syarah Waraqat – Al Ahkam Al Syariyyah

https://www.youtube.com/watch?v=ezPQwFxk0LI&t=450s

Al Ahkâm al Syar’iyyah

Perlu difahami alur seorang penulis menyusun sebuah bahasan. Imam al Juwaini dalam bahasan sebelumnya menyebutkan وَالفِقهُ مَعرِفَةُ الأَحْكَامِ الشَرْعِيَّةِ الَّتِي طَرِيقُهَا الِاجْتِهَادُ. Yang perlu di garis bawahi adalah redaksi al ahkâm al Syar’iyyah.  Oleh karena itu pembahasan kali ini masuk ke bahasan Ahkâm Syariyyah yang akan dijelaskan sebagai berikut:

وَالأَحْكَامُ سَبْعَةٌ: الوَاجِبُ وَالـمَنْدُوبُ وَالـمُبَاحُ وَالـمَحْظُورُ وَالـمَكْرُوهُ وَالصَّحِيحُ وَالبَاطِلُ

Terjemahan:

Al Ahkâm (al syar’iyyah) ada tujuh. Wâjib, mandûb, mubâh, mahdzûr, makrûh, shahîh dan bâthil.

Yang dimaksud dengan al Ahkâm adalah al ahkâm al syar’iyyah yang disebutkan sebelumnya dalam definisi fiqih.

Biasanya penyebutan sesuatu, bisa bentuknya tarkîb, susunan idhafah, isim dengan sifatnya (manut dan na’at nya) atau yang lainnya, ketika disebutkan cukup bagian depannya dengan tamban alif lam (ال) itu berarti sesuatu yang sudah diketahui atau disebutkan sebelumnya.

Al Ahkâm adalah bentuk jamak dari kata hukum. Hukum secara bahasa artinya melarang, menahan. Itulah sebabnya Qadhâ itu dikatakan hukum, karena dia menghalangi pada orang yang tidak diputuskan.

Qâdhi itu memutuskan untuk menahan yang memang harus ditahan. Lalu tidak menahan yang harusnya tidak ditahan. Dari situ muncul definisi menahan. Agar yang memang tidak berhak untuk diberikan sanksi tidak diberi sanksi.

Hukum juga bisa didefinisikan al Qadhâ.

Pendefinisian di atas karena dibalik. Sering disebut ini hakim. hakim itu qâdhi. Penyebutan seperti ini dikenal. Misalnya ada seorang ulama, beliau qâdhi pada zaman tertentu. Itu maknanya dia hakim yang dikenal. Meskipun kata hakim juga punya makna lain. akan tetapi istilah seperti ini dikenal. Definisi tersebut diambil dari ungkapan Imam Ibnu Âtsir:

Imam Ibnu Âtsir berkata: “Al hukmu bisa bermakna ilmu, fiqih atau memutuskan dengan adil). Hukum dengan makna yang pertama bisa dilihat dari perkataan Jarîr:

أبني حنيفة أحكموا سفهاءكم  #  إني أخاف عليكمو أن أغضبا

Terjemahan:

Wahai Bani Hanifah, ajarilah orang-orang yang bodoh diantara kalian. Sesungguhnya saya khawatir akan marah kepada kalian

Kalau dimaknai dengan ilmu sebagaimana yang dimaksud Jarîr, maka itu menggunakan makna pertama.

Dari makna secara Bahasa ini, menjadi jelas bahwa kalua kita mengatakan: “Hukum Allah dalam masalah ini adalah wajib”, maka hal itu wajib dan melarang mukallaf  melanggarnya.   

Sedangkan hukum menurut istilah adalah segala sesuatu yang  ditunjukkan oleh khitab syar’I yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf berupa thalab, takhyir atau wad’i.

Yang dimaksud dengan khitab syar’I adalah apa yang disampaikan oleh Allah azza wa jalla dalam al Qur’an juga apa yang disampaikan Rasulullah Shallalâhu ‘alaihi wasallam dalam Haditsnya. Khitab syar’I yang wujudnya al Quran dan al Sunnah (hadits) ketika disampaikan pasti menunjukkan sesuatu. Maka hukum itu adalah ketika khitab syar’I -berupa dalil al Qur’an dan al Sunnah- menunjukkan pada sesuatu.

Dalil yang terdapat pada al Quran dan al Sunnah itu beragam. Sehingga syaikh fauzan membatasi dengan sifat perbuatan mukallaf. Karena betapa banyaknya perbuatan mukallaf itu, dalam bahasan hukum perbuatan mukallaf ini dibatasi hanya pada:

  1. Thalab itu ada dua:
    1. Thalab fi’li, yaitu permintaan untuk mengerjakan sesuatu. Thalab fi’li terbagi dua, wajib dan sunnah yang juga dikenal dengan istilah mandub.
    2. Thalabtarki, yaitu permintaan untuk tidak mengerjakan sesuatu. Thalab tarki ini terbagi dua, haram dan makruh.
  2. Pilihan. Pilihan antara keduanya(thalab fi’li dan thalab tarki). Antara mengerjakan dan tidak mengerjakan. Kemudian istilah takhyir ini dikenal dengan istilah mubah.
  3. Wad’i. Penjelasannya ada bab selanjutnya setelah bab ini.

Kalau kata sesudah مِن itu diposisikan sebagai penjelas kata ما (dalam definisi hukum tersebut di atas), maka semua thalab, semua takhyir dan semua wad’I yang ditunjukkan oleh khitab syar’I berhubungan dengan perbuatan mukallaf.

Sedangkan untuk dalil-dalil yang terdapat pada nash al Qur’an dan al Sunnah berhubungan perbuatan mukallaf itulah yang dinamakan dengan hukum.

Bisa dilihat, hukum yang dimaksud di sini adalah hukum dalam istilah yang dikenal oleh banyak ulama fiqih atau ulama ushul fiqih dari dulu sampai zaman sekarang. Supaya semakin jelas maknanya perlu disebutkan dengan contoh.

contohnya firman Allah ta’ala وَأَقِيمُوا الصَلَوةَ ini khitâb syar’I yang menunjukkan wajibnya shalat. Wajib itu adalah hukum.

Yang dibahas dalam fiqih kau sudah masuk ke hukumnya adalah ما دل (yang ditunjukkan) bukan membahas أقيموا الصلوة nya. Ketika ada nash yang berwujud أقيموا الصلوة itu menunjukkan apa? Ini menunjukkan wajibnya shalat.

Ketika disebutkan fiqih itu disebut مَعرِفَةُ الأَحْكَامِ الشَرْعِيَّةِ lalu Imam Al Juwaini mengatakan al Ahkâm al Syar’iyyah itu ada 7. Maka, ketika berbicara fiqih itu berbicara hukum. Semua yang berhubungan dengan khitab itu lah hukum.

Yang dimaksud dengan khitâb al syar’I sederhananya al Qur’an dan al Sunnah.

Ketika berbicara khitâb, nanti ada yang dituju yaitu mukhâtab. Siapa mukhotobnya? Kita (bolehkah diganti dengan redaksi “mukallaf”?).

Sebelum lanjut, perlu difahami tahapan belajar ushul fiqih tahap awal. Setidaknya ada dua hal akan di dapat ketika para ulama membahas bahasan di ushul fiqih. Pertama, para ulama selalu memberikan rumusan, definisi untuk masing-masing bahkan bagian-bagian terkecil dari rumusan tersebut. Agar jelas difahami. Kedua, ketika bahasan tersebut memiliki sub bab atau cabang pembahasan, itu semua akan diberikan penjelasan ke tahap berikutnya. Di kalangan para ulama dikenal dengan istilah al tafrî’at. al tafrî’at maknanya ada furû’nya.

Orang yang belajar ushul fiqih itu harus mulai terlatih memahami bahwa bahasan itu bercabang. dari cabang suatu bahasan bisa bercabang kembali. Dalam bahasa arab disebut rasmul bayan. Upaya memudahkan memahami cabang suatu bahasan, bisa dibuat seperti bagan atau pohon yang memiliki cabang dan ranting. Membuat hal semacam itu melatih kemampuan otot intelektual dan mengasah pembuatan maping kelompok bahasan. Upaya itu dilakukan demi memahami bahasan dan difahami alurnya. Dan menjadi tidak  merepotkan pada saat belajar materi lebih lanjut dan ditemukan lebih banyak lagi cabang-cabangnya. Model belajar ushul fiqih yang berkembang belakangan bisa dilihat bahwa beberapa kitab/buku ushul fiqih dibuat dalam bentuk bagan-bagan seperti itu.

Kalau mau cari di internet, silahkan dicari dengan kata kunci “التشجير”. Sebagai contoh ketik di mesin pencarian dengan kata kunci “تشجير أصول الفقه” maka nanti akan ditemukan bagan-bagan. Ada buku ushul fiqih روضة الناظر وجنة المناظر yang dikenal dikalangan mahasiswa yang belajar di Madinah. Di dalamnya ada dua model. Ada yang menggunakan matan seperti ini dan ada pula yang menggunakan bagan-bagan. Kerangkanya akan lebih mudah difahami. Biasanya bahasan lebih cepat difahami kalau ada bagannya.

Selanjutnya perlu didefinisikan apa itu mukallaf dan apa itu Af’âl.

Perkataan kami (Syaikh Fauzan): yang dimaksud dengan perbuatan mukallaf adalah  semua perbuatan anggota tubuh meskipun perbuatan itu biasanya disandingkan dengan perkataan dalam penyebutan yang sudah menjadi kebiasaan.

Biasanya ada ungkapan “bentuknya seperti perkataan dan perbuatan”. Ungkapan tersebut seakan-akan perkataan itu berbeda dengan perbuatan. Padahal perkataan bagian dari perbuatan.

Penyebutan ungkapan di atas tidak perlu diluruskan. Ungkapan di atas sudah menjadi kebiasaan yang dikenal dikalangan para ulama. Penyebutan itu dilakukan untuk memberikan penekanan apa saja yang masuk kategori perkataan dan apa saja yang masuk kategori perbuatan.     

Dengan definisi menggunakan redaksi “perbuatan mukallaf”, ini menyebabkan:

  1. Mengeluarkan segala hal yang berhubungan dengan fisik atau Seperti firman Allah azza wa jalla ولقد خلقنكم ثم صورنكم (sungguh kami telah menciptakan kalian kemudian membentuk kalian).

Ayat ini tidak masuk dalam bahasan hukum. Ayat ini berhubungan dengan dzat/fisik.  Manusia diciptakan. Ada rambut, kepala, mata sampai ke ujung kaki. Semua ini tidak masuk dalam perbuatan mukallaf. Akan tetapi apabila sudah masuk ke perbuatan fisik tersebut (aktifitas manusia dengan fisik/dzat) maka hal tersebut disebut perbuatan mukallaf.

  1. Keluarnya segala hal yang berhubungan dengan keyakinan.

Keyakinan pun sebenarnya masuk dalam bahasan hukum. Namun, bahasan tersebut muncul dalam bahasan aqidah. Di dalam bahasan aqidah, ada bahasan yang terkait dengan muslim, kafir, iman, syirik, nifaq, murtad dan lain sebagainya. Di dalam bahasan tersebut akan terkait hukum-hukum. Seperti contoh, ketika seseorang disebutkan muslim, maka perlu diketahui hak-hak nya sebagai muslim jang dikeluarkan. Namun ini semua tempatnya bukan di bahasan perbuatan mukallaf akan tetapi di bahasan keyakinan.  

Perlu diketahui dalam mendefinisikan sesuatu akan ditemukan pemahaman dalam dua pengertian. Pertama, hal-hal apa saja yang dimaksud oleh definisi tersebut. Kedua, hal-hal apa saja yang dikeluarkan dari definisi tersebut. Semua itu dilakukan untuk membatasi. Itulah yang sering diistilahkan oleh para ulama dengan ungkapan “jâmi’ wal mâni’”. Jâmi’ artinya mengumpulkan yang harus dimasukan sedangkan mâni’ artinya menghalangi atau mengeluarkan yang harus diluar.

Mukallaf itu mencakup kepada dua:

  1. Mukallaf al ân. Yang dimaksud adalah semua yang sudah baligh dan berakal.

Disini pembatasnya ada dua. Baligh dan berakal. Istilah baligh dan berakal ini istilah yang masing-masing bisa berdiri sendiri. Artinya bisa ada yang baligh tapi tidak berakal. Ada pula yang berakal tapi tidak atau belum baligh.

Dalam bahasa Indonesia sering terdengar istilah aqil baligh. Istilah tersebut sudah dikenal dalam syari’at. Tinggal penempatannya perlu kehati-hatian. Penyebutan aqil baligh ini kadang difahami seakan-akan satu paket. Padahal sangat mungkin ada yang baligh namun belum berakal, atau bisa jadi berakal namun tidak baligh atau bisa juga tidak baligh dan tidak berakal.  

  1. Yangsekarang belum Tetapi dia berada pada tingkatan seorang mukallaf. Yang dimaksud adalah anak kecil dan orang gila.

anak kecil belum mukallaf akan tetapi dia akan sampai pada tingkatan mukallaf. Anak kecil akan tumbuh dan itu pasti. Dulu kecil kemudian bertambah besar akhirnya menjadi besar. Itu sebuah keniscayaan, sesuatu yang umum terjadi pada manusia. Begitu juga orang gila.

Masing-masing dari keduanya masuk dalam tingkatan mukallaf. Akan tetapi ada penghalang untuk keduanya. Yaitu masih kecil dan hilangnya akal dan jika keduanya hilang maka otomatis taklif tersebut berlaku.

Sebenarnya anak kecil akan atau bisa jadi mukallaf. Akan tetapi karena ada penghalang maka dia belum. Jika penghalang itu hilang maka taklif tersebut berlaku.

Itu sebabnya dalam pendidikan anak, salah satu yang harus dipenuhi dan diperhatikan oleh orang tua adalah “apakah anak sudah menginjak usia mukallaf?”.

Orang tua mempunyai kewajiban memperkenalkan, memberitahu dan membimbing anak tadi agar mengerti bahwa nanti kalau sudah sampai pada tingkat mukallaf berarti hukum-hukum syar’i berlaku. Pengkondisian pada usia belia itu diperlukan. Sehingga saat dia memasuki usia mukallaf dia sudah tahu. Lebih khusus pada wanita. Jangan sampai terjadi si anak ternyata sudah mukallaf berbulan-bulan namun si anak tidak tahu. Ketidak tahuan si anak bisa jadi karena orang tua tidak memperkenalkan itu. Jika pun memperkenalkan namun yang diperkenalkan keliru dan salah.

Contoh kekeliruan memahami konsep baligh, ketika disodorkan pertanyaan “apa tanda seseorang dikatakan mukallaf?” atau “apa tanda orang itu baligh?” lalu di jawab “suaranya sudah tambah besar” atau “tumbuh jakun”. Dua jawaban tersebut bukanlah jawaban yang dikenal dalam rumusan para ulama untuk kriteria baligh. Dikarenakan dua hal tersebut tidak selalu ada pada diri anak menuju baligh.

Adapun rumusan baligh dari kalangan para ulama adalah si anak ihtilâm (mimpi), rambut yang tumbuh disekitar kemaluan. Sedangkan untuk wanita datangnya haid. Itulah tanda-tanda yang perlu dipastikan pada anak-anak yang berada pada usia anak tadi. Dalam parenting ini masuk dalam kurikulum pendidikan anak.

Taklîf secara bahasa mewajibkan -bisa sampai pada tingkat memaksakan- perbuatan atau segala sesuatu yang di dalamnya ada masyaqqah (sesuatu yang berat).

Seperti shalat Shubuh misalnya, bagi sebagian orang adanya rasa ngantuk itu memberatkan untuk menunaikan shalat shubuh, dan itu masuk kategori masyaqqah. Namun ngantuk masih masuk kategori masyaqqah dalam batas wajar sehingga orang tersebut masih bisa untuk mengerjakan shalat.

Sehingga secara umum masyaqqah dapat difahami sesuatu yang berat namun masih bisa dikerjakan oleh mukallaf. Bukan di luar kemampuan. Banyak syari’at yang masuk kategori mukallaf itu masih bisa dikerjakan. Di bahasan lanjutan nanti ada pembagian macam-macam masyaqqah.

Ketika ada masyaqqah di luar kemampuan pada beberapa orang tertentu maka munculah istilah rukhshah (keringanan). Rukhshah pun dibahasan lanjutan akan dibagi dalam beberapa macam.

Adapun taklîf secara istilah adalah menuntut, meminta, mengerjakan atau meninggalkan sesuatu yang di dalamnya ada masyaqqah.

Bisa jadi pekerjaannya berat atau berat pada suasana hati dalam mengerjakannya. Seperti firman Allah azza wa jalla كتب عليكم القتال وهو كره لكم (diwajibkan kepada kalian berperang. Sedangkan berperang itu sesuatu yang tidak kalian sukai). Perang ini berat namun tetap secara umum masyaqqah ini bisa dikerjakan oleh manusia.

Perkataan kami (Syaikh Fauzan): terkait thalab. Thalab terbagi dua: 

  1. Thalab fi’il. Tuntutan untuk mengerjakan. Bahasa lainnya perintah.  Jikapermintaan, perintahnya itu betul-betul mengikat atau memaksa maka hukumnya wajib. Jika tidak maka hukumnya mandub.

Perintah itu ada dua jenis. Perintahnya sangat meningkat, betul-betul menekan, tidak diberi ruang untuk pilihan, maka itu wajib. Kalau tidak seperti itu maka hukumnya mandub atau istilah lainnya adalah sunnah. Istilah mandub ini perlu dibiasakan di dalam bahasan ushul fiqih. 

Agar program ta’shil ilmi berjalan baik, sebaiknya harus dimulai belajar mengenal istilah-istilah. Istilah-istilah itu sebuah keniscayaan dalam pembahasan di ushul fiqih. Istilah-istilah tersebut dimunculkan yang kemudian didefinisikan. Istilah-istilah itu hendaknya diupayakan jangan sampai lupa saat memasuki bahasan apapun.

Kuatnya istilah-istilah tersebut dalam benak akan memudahkan menjawab suatu persoalan. Mudah dan cepatnya menjawab persoalan dikarenakan baiknya pemahaman dan tepat menempatkan definisi suatu istilah.

Sebagai contoh, ketika ada yang bertanya, orang tua saya sudah sangat sepuh. Jangankan untuk puasa, aktifitas sehari-hari sudah sulit untuk mengerjakan. Asupan makanan juga harus teratur. ditambah lagi dengan obat. Bagaimana puasanya?” Yang menjawab harusnya langsung ingat peta ushul fiqihnya. Persoalan ini masuk ke dalam hukum taklîf. Hukum taklifnya masuk ke dalam thalab fi’il. Thalab fi’il nya sudah sampai pada tingkat kewajiban yang gugur kepada yang bersangkutan. Kesimpulannya sudah tidak masuk hukum taklîf.

Istilah hukum taklif nya muncul. Istilah wajib (thalab fi’il) muncul. Istilah-istilah itu muncul menandakan bahwa yang membahas itu faham.

Istilah dalam ushul fiqih itu harus sering dilatih. Makanya belajar ushul fiqih yang paling bagus adalah setelah dipelajari dibiasakan dilatih pada hukum-hukum yang sudah dipahami. Meskipun baru sedikit semua itu harus terus dibiasakan sehingga nanti akan sampai pada hukum-hukum yang lain, akan didapati tangga-tangga yang masuk ke bahasan-bahasan berikutnya menjadi lebih mudah untuk difahami.

  1. Thalab tarkin.Yaitu larangan. jika tuntutan untuk meninggalkan dengan kuat, memaksa dan harus ditinggalkan maka hukumnya haram. Jika tidak maka hukumnya makruh.   

Pembahasan lebih lanjut nanti ada perbuatan-perbuatan atau hal-hal yang ditinggalkan. Jenisnya bermacam-macam termasuk perbuatan yang ditinggalkan oleh Rasulullah Shallallâhu alaihi wa sallam. Pembahasan semua ini ada di ushul fiqih.

Selain mengenal istilah-isitilah di ushul fiqih, perlu juga mengenal uslub. Seperti ungkapan penjelasan di atas. Kata “jika” di jawab “maka” lalu dikecualikan dengan redaksi “jika tidak”.   

Perkataan kami (Syaikh Fauzan): terkait takhyîr. Yang dimaksud adalah mubah.

Mubah itu adalah pilihan dikerjakan atau tidak dikerjakan. Sepintas nampak bukan masuk bahasan hukum. Di kalangan para ulama ushul fiqih nanti akan dibahas alasan kenapa mubah masuk ke dalam hukum.  Salah satu alasannya mubah menjadi pasangan yang saling berhubungan antara makruh, mubah dan yang lainnya. Di beberapa buku ushul fiqih mengurai atau menjelaskan bahasan tersebut.

Perkataan kami (Syaikh Fauzan): terkait wad’i. Yang dimaksud di sini adalah hukum wad’i.

Hukum itu terbagi dua:

  1. Hukumtaklîf.  Hukum taklîf adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh al Qur’an dan al Sunnah berupa tuntutan untuk mengerjakan, tuntutan untuk meninggalkan atau pilihan di antara keduanya. Hukum taklîf itu ada lima. Wâjib, mandûb, mahdzûr, makrûh dan mubâh.  Insya Allah akan ada penjelasannya kenapa mubah itu dimasukkan dalam hukum taklîf padahal dalam mubah tidak dituntut untuk mengerjakan dan tidak dituntut meninggalkan.
  2. Hukum wad’i. Hukum wad’Iadalah segala yang ditunjukkan oleh al Qur’an dan al Sunnah berupa sebab-sebab, syarat-syarat dan penghalang. Ketika ada sebab, syarat atau penghalang maka akan diketahui hukum-hukum syar’i. baik dikerjakan atau tidak dikerjakan. Dan konsekuensi bahasan ini adalah munculnya istilah sah dan rusak (tidak sah).

Hukum wad’I berkaitan dengan sebab, syarat dan penghalang. Istilah ini akan berpengaruh pada sah dan tidak sah nya ada orang dalam beribadah. Sebagai contoh, shalat Shubuh dikerjakan sebelum waktunya maka tidak sah salatnya dikarenakan syaratnya tidak terpenuhi yaitu sudah masuk waktunya.  Ini bahasan hukum wad’i. Dan tentu saat membahas lebih lanjut, pembahasan tentang sebab ada beragam, begitu juga syarat. Termasuk nanti ada kaidah-kaidah yang berhubungan dengan ini. Misalnya kaidah المشروط شرطا كالمعروف عرفا ini salah satu kaidah fiqhiyyah dalam bahasan tentang syarat.

Maka melihat hilal sebab wajibnya puasa. Masuknya waktu syarat untuk shalat. Haid adalah penghalang shalat (bagi wanita).

Seseorang tidak bisa mengerjakan shalat dikarenakan adanya penghalang-penghalang tertentu. Pada kaum wanita punya penghalang Namanya haid. Sedangkan untuk laki-laki penghalang tersebut tidak sampai meninggalkan sama sekali. Bentuk penghalang untuk laki-laki misalnya tidak bisa mengerjakan di awal waktu. Bisa juga berbentuk tidak bisa mengerjakan ke masjid bagi yang berpendapat berjama’ah di masjid itu hukumnya wajib.

Imam al Juwaini menyebutkan bahwa hukum wad’I itu ada shahih dan bathil.

Dalam keseharian sering ada ungkapan “ini sah, ini batal” itu disebut hukum wad’i.

Ketahuilah, yang nampak dari perkataan imam al Juwaini, bahwa fiqih itu pengetahuan tentang 7 hal ini. Karena sesungguhnya untuk mengetahui al ahkâm al syar’iyyah dengan mengetahui hukum itu ada 7. Penjelasan beliau terhadap sesuatu yang masih tersembunyi sebagai bentuk penjelasan bagi pemula.

Ketika beliau mengatakan mengetahui hukum syar’i lalu disambung dengan mengatakan al ahkâm sab’atun. Maksudnya adalah hukum syar’I itu ada 7.

Akan tetapi perlu diketahui fiqih itu bukan mengetahui hakikat wajib, mandub, mahdzur, makruh, mubah, shahih dan batal. Itu semua adalah bagian dari ushul fiqih. Sesungguhnya yang dimaksud dengan fiqih itu adalah mengetahui bagian-bagian, cabang-cabang dari istilah-istilah di atas. (Fiqih itu membahas) apa-apa yang diwajibkan, apa-apa yang disunnahkan, apa-apa yang diharamkan, apa-apa yang dimakruhkan, hal-hal yang mensahkan dan hal-hal yang membatalkan.

Kalau masuk ke buku fiqih akan ditemukan bahasan wajib-wajib shalat, sunnah-sunnah shalat, hal-hal yang dilarang dalam shalat, hal-hal yang membatalkan shalat.

 

Berbicara bahasan fiqih, dikenal dikalangan para ulama dengan dua metode belajar fiqih. Pertama, menggunakan metode kitab-kitab hadis. Di sini ushul fiqih nya harus kokoh. Kedua, menggunakan matan-matan. Penggunaan matan-matan itu langsung pada pengertian. Contoh, pembahasan kitab thahârah, bab miyâh. Di dalam bab miyâh ada bahasan jenis-jenis air. Itu lebih mudah difahami karena langsung ke dalam bahasan fiqih. Itu mengapa sebagian ulama cenderung memilih pendapat bahwa menggunakan matan itu lebih mudah dan lebih gampang difahami.

Wallahu a’lam

Check Also

011. Syarah Waraqat – Sebagian Hukum Wad’i (Shahih dan Bathil)

  Sebagian Hukum Wad’i   Kesempatan ini masuk ke bahasan ahkâm Wad’i. lebih tepatnya sebagian …