Program pendidikan karakter, memerlukan keteladanan. Jika cuma slogan, Indonesia dikenal jagonya! Baca CAP Adian Husaini ke-287
Oleh: Dr. Adian Husaini*
PEMERINTAH, melalui Kementerian Pendidikan Nasional sudah mencanangkan penerapan pendidikan karakter untuk semua tingkat pendidikan, dari SD-Perguruan Tinggi. Menurut Mendiknas, Prof. Muhammad Nuh, pembentukan karakter perlu dilakukan sejak usia dini. Jika karakter sudah terbentuk sejak usia dini, kata Mendiknas, maka tidak akan mudah untuk mengubah karakter seseorang. Ia juga berharap, pendidikan karakter dapat membangun kepribadian bangsa. Mendiknas mengungkapkan hal ini saat berbicara pada pertemuan Pimpinan Pascasarjana LPTK Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) se-Indonesia di Auditorium Universitas Negeri Medan (Unimed), Sabtu (15/4/2010).
Munculnya gagasan program pendidikan karakter dalam dunia pendidikan di Indonesia, bisa dimaklumi, sebab selama ini dirasakan, proses pendidikan ternyata belum berhasil membangun manusia Indonesia yang berkarakter. Bahkan, banyak yang menyebut, pendidikan telah gagal membangun karakter. Banyak lulusan sekolah dan sarjana yang piawai dalam menjawab soal ujian, berotak cerdas, tetapi mentalnya lemah, penakut, dan perilakunya tidak terpuji.
Bahkan, bisa dikatakan, dunia Pendidikan di Indonesia kini sedang memasuki masa-masa yang sangat pelik. Kucuran anggaran pendidikan yang sangat besar disertai berbagai program terobosan sepertinya belum mampu memecahkan persoalan mendasar dalam dunia pendidikan, yakni bagaimana mencetak alumni pendidikan yang unggul, yang beriman, bertaqwa, profesional, dan berkarakter.
Dr. Ratna Megawangi, dalam bukunya, Semua Berakar Pada Karakter (Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI, 2007), mencontohkan, bagaimana kesuksesan Cina dalam menerapkan pendidikan karakter sejak awal tahun 1980-an. Menurutnya, pendidikan karakter adalah untuk mengukir akhlak melalui proses knowing the good, loving the good, and acting the good. Yakni, suatu proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik, sehingga akhlak mulia bisa terukir menjadi habit of the mind, heart, and hands.
Dalam bukunya, Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, (2010), Doni Koesoema Albertus menulis, bahwa pendidikan karakter bertujuan membentuk setiap pribadi menjadi insan yang berkeutamaan. Dalam pendidikan karakter, yang terutama dinilai adalah perilaku, bukan pemahamannya. Doni membedakan pendidikan karakter dengan pendidikan moral atau pendidikan agama. Pendidikan agama dan kesadaran akan nilai-nilai religius menjadi motivator utama keberhasilan pendidikan karakter.
Tetapi, Doni yang meraih sarjana teologi di Universitas Gregoriana Roma Italia, agama tidak dapat dipakai sebagai pedoman pengatur dalam kehidupan bersama dalam sebuah masyarakat yang plural. “Di zaman modern yang sangat multikultural ini, nilai-nilai agama tetap penting dipertahankan, namun tidak dapat dipakai sebagai dasar kokoh bagi kehidupan bersama dalam masyarakat. Jika nilai agama ini tetap dipaksakan dalam konteks masyarakat yang plural, yang terjadi adalah penindasan oleh kultur yang kuat pada mereka yang lemah,” tulisnya.
Oleh karena itu, simpul Doni K. Albertus, meskipun pendidikan agama penting dalam membantu mengembangkan karakter individu, ia bukanlah fondasi yang efektif bagi suatu tata sosial yang stabil dalam masyarakat majemuk. Dalam konteks ini, nilai-nilai moral akan bersifat lebih operasional dibandingkan dengan nilai-nilai agama. Namun demikian, nilai-nilai moral, meskipun bisa menjadi dasar pembentuk perilaku, tidak lepas dari proses hermeneutis yang bersifat dinamis dan dialogis.
Sebagai Muslim, kita tentu tidak sependapat dengan pandangan Doni K. Albertus semacam itu. Sebab, bagi Muslim, nilai-nilai Islam diyakini sebagai pembentuk karakter dan sekaligus bisa menjadi dasar nilai bagi masyarakat majemuk. Masyarakat Madinah yang dipimpin Nabi Muhamamd saw, berdasarkan kepada nilai-nilai Islam, baik bagi pribadi Muslim maupun bagi masyarakat plural. Tentu kita memahami pengalaman sejarah keagamaan yang berbeda antara Katolik dengan Islam.
Namun, dalam soal pendidikan karakter bagi anak didik, berbagai agama bisa bertemu. Islam dan Kristen dan berbagai agama lain bisa bertemu dalam penghormatan terhadap nilai-nilai keutamaan. Nilai kejujuran, kerja keras, sikap ksatria, tanggung jawab, semangat pengorbanan, dan komitmen pembelaan terhadap kaum lemah dan tertindas, bisa diakui sebagai nilai-nilai universal yang mulia. Bisa jadi, masing-masing pemeluk agama mendasarkan pendidikan karakter pada nilai agamanya masing-masing.
Terlepas dari perdebatan konsep-konsep pendidikan karakter, bangsa Indonesia memang memerlukan model pendidikan semacam ini. Sejumlah negara sudah mencobanya. Indonesia bukan tidak pernah mencoba menerapkan pendidikan semacam ini. Tetapi, pengalaman menunjukkan, berbagai program pendidikan dan pengajaran – seperti pelajaran Budi Pekerti, Pendidikan Pancasila dan Kewargaan Negara (PPKN), Pendidikan Moral Pancasila (PMP), Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), – belum mencapai hasil optimal, karena pemaksaan konsep yang sekularistik dan kurang seriusnya aspek pengalaman. Dan lebih penting, tidak ada contoh dalam program itu! Padahal, program pendidikan karakter, sangat memerlukan contoh dan keteladanan. Kalau hanya slogan dan ’omongan’, orang Indonesia dikenal jagonya!
Harap maklum, konon, orang Indonesia dikenal piawai dalam menyiasati kebijakan dan peraturan. Ide UAN, mungkin bagus! Tapi, di lapangan, banyak yang bisa menyiasati bagaimana siswanya lulus semua. Sebab, itu tuntutan pejabat dan orangtua. Guru tidak berdaya. Kebijakan sertifikasi guru, bagus! Tapi, karena mental materialis dan malas sudah bercokol, kebijakan itu memunculkan tradisi berburu sertifikat, bukan berburu ilmu! Bukan tidak mungkin, gagasan Pendidikan Karakter ini nantinya juga menyuburkan bangku-bangku seminar demi meraih sertifikat pendidikan karakter, untuk meraih posisi dan jabatan tertentu.
Mohammad Natsir, salah satu Pahlawan Nasional, tampaknya percaya betul dengan ungkapan Dr. G.J. Nieuwenhuis: ”Suatu bangsa tidak akan maju, sebelum ada di antara bangsa itu segolongan guru yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya.”
Menurut rumus ini, dua kata kunci kemajuan bangsa adalah “guru” dan “pengorbanan”. Maka, awal kebangkitan bangsa harus dimulai dengan mencetak “guru-guru yang suka berkorban”. Guru yang dimaksud Natsir bukan sekedar “guru pengajar dalam kelas formal”. Guru adalah para pemimpin, orangtua, dan juga pendidik. Guru adalah teladan. “Guru” adalah “digugu” (didengar) dan “ditiru” (dicontoh). Guru bukan sekedar terampil mengajar bagaimana menjawab soal Ujian Nasional, tetapi diri dan hidupnya harus menjadi contoh bagi murid-muridnya.
Mohammad Natsir adalah contoh guru sejati, meski tidak pernah mengenyam pendidikan di fakultas keguruan dan pendidikan. Hidupnya dipenuhi dengan idealisme tinggi memajukan dunia pendidikan dan bangsanya. Setamat AMS (Algemene Middelbare School) di Bandung, dia memilih terjun langsung ke dalam perjuangan dan pendidikan. Ia dirikan Pendis (Pendidikan Islam) di Bandung. Di sini, Natsir memimpin, mengajar, mencari guru dan dana. Terkadang, ia keliling ke sejumlah kota mencari dana untuk keberlangsungan pendidikannya. Kadangkala, perhiasan istrinya pun digadaikan untuk menutup uang kontrak tempat sekolahnya.
Disamping itu, Natsir juga melakukan terobosan dengan memberikan pelajaran agama kepada murid-murid HIS, MULO, dan Kweekschool (Sekolah Guru). Ia mulai mengajar agama dalam bahasa Belanda. Kumpulan naskah pengajarannya kemudian dibukukan atas permintaan Sukarno saat dibuang ke Endeh, dan diberi judul Komt tot Gebeid (Marilah Shalat).
Kisah Natsir dan sederet guru bangsa lain sangat penting untuk diajarkan di sekolah-sekolah dengan tepat dan benar. Natsir adalah contoh guru yang berkarakter dan bekerja keras untuk kemajuan bangsanya. Ia adalah orang yang sangat haus ilmu. Cita-citanya bukan untuk meraih ilmu kemudian untuk mengeruk keuntungan materi dengan ilmunya. Tapi, dia sangat haus ilmu, lalu mengamalkannya demi kemajuan masyarakatnya.
Pada 17 Agustus 1951, hanya 6 tahun setelah kemerdekaan RI, M. Natsir melalui sebuah artikelnya yang berjudul “Jangan Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut”, Natsir mengingatkan bahaya besar yang dihadapi bangsa Indonesia, yaitu mulai memudarnya semangat pengorbanan. Melalui artikelnya ini, Natsir menggambarkan betapa jauhnya kondisi manusia Indonesia pasca kemerdekaan dengan pra-kemerdekaan. Sebelum kemerdekaan, kata Natsir, bangsa Indonesia sangat mencintai pengorbanan. Hanya enam tahun sesudah kemerdekaan, segalanya mulai berubah. Natsir menulis:
“Dahulu, mereka girang gembira, sekalipun hartanya habis, rumahnya terbakar, dan anaknya tewas di medan pertempuran, kini mereka muram dan kecewa sekalipun telah hidup dalam satu negara yang merdeka, yang mereka inginkan dan cita-citakan sejak berpuluh dan beratus tahun yang lampau… Semua orang menghitung pengorbanannya, dan minta dihargai…Sekarang timbul penyakit bakhil. Bakhil keringat, bakhil waktu dan merajalela sifat serakah… Tak ada semangat dan keinginan untuk memperbaikinya. Orang sudah mencari untuk dirinya sendiri, bukan mencari cita-cita yang diluar dirinya…”
Peringatan Natsir hampir 60 tahun lalu itu perlu dicermati oleh para elite bangsa, khususnya para pejabat dan para pendidik. Jika ingin bangsa Indonesia menjadi bangsa besar yang disegani di dunia, wujudkanlah guru-guru yang mencintai pengorbanan dan bisa menjadi teladan bagi bangsanya. Beberapa tahun menjelang wafatnya, Natsir juga menitipkan pesan kepada sejumlah cendekiawan yang mewawancarainya, ”Salah satu penyakit bangsa Indonesia, termasuk umat Islamnya, adalah berlebih-lebihan dalam mencintai dunia.” Lebih jauh, kata Natsir:
”Di negara kita, penyakit cinta dunia yang berlebihan itu merupakan gejala yang ”baru”, tidak kita jumpai pada masa revolusi, dan bahkan pada masa Orde Lama (kecuali pada sebagian kecil elite masyarakat). Tetapi, gejala yang ”baru” ini, akhir-akhir ini terasa amat pesat perkembangannya, sehingga sudah menjadi wabah dalam masyarakat. Jika gejala ini dibiarkan berkembang terus, maka bukan saja umat Islam akan dapat mengalami kejadian yang menimpa Islam di Spanyol, tetapi bagi bangsa kita pada umumnya akan menghadapi persoalan sosial yang cukup serius.”
Seorang dosen fakultas kedokteran pernah menyampaikan keprihatinan kepada saya. Berdasarkan survei, separoh lebih mahasiswa kedokteran di kampusnya mengaku, masuk fakultas kedokteran untuk mengejar materi. Menjadi dokter adalah baik. Menjadi ekonom, ahli teknik, dan berbagai profesi lain, memang baik. Tetapi, jika tujuannya adalah untuk mengeruk kekayaan, maka dia akan melihat biaya kuliah yang dia keluarkan sebagai investasi yang harus kembali jika dia lulus kuliah. Ia kuliah bukan karena mencintai ilmu dan pekerjaannya, tetapi karena berburu uang!
Kini, sebagaimana dikatakan Natsir, yang dibutuhkan bangsa ini adalah “guru-guru sejati” yang cinta berkorban untuk bangsanya. Bagaimana murid akan berkarakter; jika setiap hari dia melihat pejabat mengumbar kata-kata, tanpa amal nyata. Bagaimana anak didik akan mencintai gurunya, sedangkan mata kepala mereka menonton guru dan sekolahnya materialis, mengeruk keuntungan sebesar-besarnya melalui lembaga pendidikan.
Pendidikan karakter adalah perkara besar. Ini masalah bangsa yang sangat serius. Bukan urusan Kementerian Pendidikan semata. Presiden, menteri, anggota DPR, dan para pejabat lainnya harus memberi teladan. Jangan minta rakyat hidup sederhana, hemat BBM, tapi rakyat dan anak didik dengan jelas melihat, para pejabat sama sekali tidak hidup sederhana dan mobil-mobil mereka – yang dibiayai oleh rakyat – adalah mobil impor dan sama sekali tidak hemat.
Pada skala mikro, pendidikan karakter ini harus dimulai dari sekolah, pesantren, rumah tangga, juga Kantor Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama. Dari atas sampai ke bawah, dan sebaliknya. Sebab, guru, murid, dan juga rakyat sudah terlalu sering melihat berbagai paradoks. Banyak pejabat dan tokoh agama bicara tentang taqwa; berkhutbah bahwa yang paling mulia diantara kamu adalah yang taqwa. Tapi, faktanya, saat menikahkan anaknya, yang diberi hak istimewa dan dipandang mulia adalah pejabat dan yang berharta. Rakyat kecil dan orang biasa dibiarkan berdiri berjam-jam mengantri untuk bersalaman.
Kalau para tokoh agama, dosen, guru, pejabat, lebih mencintai dunia dan jabatan, ketimbang ilmu, serta tidak sejalan antara kata dan perbuatan, maka percayalah, Pendidikan Karakter yang diprogramkan Kementerian Pendidikan hanya akan berujung slogan! [Depok, Juni 2010/hidayatullah.com]
http://www.hidayatullah.com/kolom/adian-husaini/12301-perlukah-pendidikan-berkarakter
sangat perlu pendidikan berkarakter…tanpa karakter apa jadinya kita….
PENDIDIKAN KARAKTER / NILAI DAN SISTEM PENDIDIKAN INTEGRAL
DI PONDOK PESANTREN DALAM USAHA MENGGAGAS
PERADABAN MUSLIM *
1. Pendahuluan
Seperti Negara berkembang lainnya, Indonesia kini sedang berusaha membangun citra bangsa sambil tetap mempertahankan identitas kulturalnya, proses ganda ini di ikhtiarkan dengan keseimbagan antara pertumbuhan dan pemerataan, sekaligus melestarikan pola kehidupan sosial budaya yang mendukung proses tersebut dalam rumusan yang yang lebih tetap dan sesuai. Indonesaia sedang berusaha bagaimana memantapkan kelangsungan psikologis dan dan kerangka proses perubahan yang lebih luas dalam membangun peradaban muslim.
Model pendidikan kepesantrenan menarik pula untuk kita kaji, melihat dari sejarah kepesantrenan, nampaknya model ini adalah pionir dalam gelanggang pendidikan bangsa Indonesia. Pada masa awal-awal masuknya Islam ke bumi nusantara ini para mubaligh mengajarkan ilmunya di rumah-rumah mereka dan masjid atau surau-surau.
Keilmuan di pesantren dalam perkembangan awalnya hanya berkutat masalah ilmu-ilmu agama. Banyak orang menyebutnya sebagai pesantren salaf atau pesantren tradisional, namun semakin kesini pesantren juga memasukkan kajian ilmu sains, komputer, bisnis dan kewirausahaan. Para pendirinya sebenarnya berasal dari pesantren tradisional, tapi alhamdulillah mayoritas pengasuh atau pimpinan pondok pesantren mau membuka diri untuk perkembangan dan kemajuan zaman sesuai dengan peradaban muslim saat ini.
Pesantren yang menerapkan sistem berasrama atau pondok amat memungkinkan melakukan pengawasan melekat (pekat) terhadap para santrinya, aktifitas mereka terpantau selama hampir 24 jam. Sehingga pesantren merupakan laboratorium kehidupan bagi pengelolanya maupun bagi para santrinya.
Santri atau siswa dididik dengan kemampuan memenej dirinya dalam segala hajat sehari-harinyan dari mulai kegiatan belajar, ritual peribadatan, urusan makan, kebersihan dan kesucian pakaian, tempat tinggal dan kesehatan badannya ataupun kegiatan belajar mengajar di pondok pesantren.
Tidak kalah pentingnya peningkatan ketrampilan hidup seperti bertani, berternak, dan berdagang juga diajarkan, untuk hal kepemimpinan biasanya diterapkan santri senior untuk menangani santri-santri yunior dalam wadah organisasi pelajar. Semua aktifitas tersebut ditempakan selama mereka dalam pondok, pada akhirnya santri diharapkan menguasai kemampuan ilmu agama, menejerial personal, menejerial organisasi dan ketrampilan hidup bahkan berkembang sesuai dengan peradaban muslim saat ini.
Pengelolaan pesantren dengan sistem yang pesantren tentunya akan menyempurnakan sistem kepesantrenan dengan pendidikan nilai dan sistem pendidikan integral yang ada di pesantren sehingga pesantren dijadikan sebagai menambah semangat dan jihadnya dan berusahan meningkatkan manejemen dengan standarisasi yang jelas sehingga dapat menggagas peradaban muslim khususnya di Indonesia.
Merujuk pada definis peradaban, dapat kita simpulkan bahwa struktur sebuah peradaban dibangun diatas tiga dimensi ; yaitu manusia, tanah, dan waktu. Demikian pendapat Malik bin Nabi, struktur yang paling penting dari ketiga bangun sebuah peradaban adalah unsur manusianya.
Manusia adalah pelaku peradaban, sedangkan tanah adalah medan penyemaian dari aktivitas-aktivitas manusia, sementara waktu adalah alokasi kerja dalam proses membangun peradaban tadi, jika manusia merupakan unsur yang paling fundamental dalam sebuah peradaban, maka langkah apapun bagi terwujudnya sebuah peradaban tidak akan pernah terealisir jika mengabaikan pendidikan dan pembinaan manusia.
Pembangunan manusia merupakan titik tolak rekontruksi peradaban Islam, demikian pentingnya manusia dalam posisinya sebagai supra struktur peradaban Islam, maka tidaklah mengherankan jika Allah kemudian menjelaskan sifat dan karakter manusia secara gamblang.
Konsep manusia di dalam Islam, sangat begitu jelas, dengan penjelasan ini, para aktivitis muslim memiliki landasan konseptual tentang bagaimana seharusnya mendidik manusia, misalnya hadits yang menjelaskan bahwa “Manusia itu seperti tambang emas dan perak, yang terbaik pada zaman jahiliyah, itu pulalah yang akan menjadi terbaik pada jaman Islam, asalkan dia paham”
Hadits ini menjelaskan bahwa pembinaan terhadap manusia harus juga dilakukan secara selektif, dalam arti harus ada upaya serius dari para aktivis muslim membidik dan mendidik manusia yang memiliki potensi dan kualitas-kualitas tertentu (anashir taghyir), sehingga kelak setelah selesai dilakukan pembinaan secara intensif dan berkesinambungan dalam waktu yang cukup lama, para manusia ini telah menjelma menjadi manusia-manusia unggul yang punya kesadaran dan kemampuan konseptual dan kontekstual tentang bagaimana membangun peradaban muslim.
Prilaku dakwah nabi yang sangat menginginkan agar Umar masuk Islam, cukuplah menjadi bukti dan hujjah tentang betapa pentingnya strategi ini, Islam tidak pernah puas hanya jika dipeluk oleh orang-orang yang tidak punya mental jadi pejuang dan pahlawan. Sungguh kita tak akan pernah berbuat adil jika kita tidak menjadikan Islam sebagai sebuah agama dan peradaban.
Tugas mendidik dan menjadikan manusia terbaik (khaira ummah) merupakan tanggung jawab yang paling utama dari sebuah pesantren peradaban, Pesantren yang berusaha membangun peradaban adalah sebuah institusi yang fokus utamamnya melahirkan manusia-manusia yang berfikir, berjiwa dan bertindak besar serta memiliki nilai-nilai luhur yang Islami.
Sebuah Pesantren yang mampu melahirkan “ustadzatul ‘alam” yang memiliki ilmu, iman dan jihad yang tidak ada keraguan di dalamnya, pesantren peradaban adalah lembaga kaderisasi yang mendidik dan melahirkan inti lapisan umat yaitu para pemimpinnya, pesantren peradaban adalah lingkungan ilmiah yang dibangun berdasarkan paradigma wahyu.
Pesantren yang memiliki peradaban memiliki budaya ilmu yang begitu kental dengan nilai-nilai perjuagan Islam dan membumikan risalah ilahi, pesantren peradaban mampu melahirakan ilmuan dan cendikiawan mulitidimensi yang keilmuwan mereka bersifat transdisipliner, karena itu struktur kurikulum pesantren peradaban harus bersifat tauhidi dan konfrehensif yang mencerminkan keutuhan ajaran keuniversalan Islam.
Dengan demikian, pesantren peradaban harus mampu memanifestasikan dirinya sebagai universitas yang mencerminkan ciri-ciri manusia universal. Konsepsi pesantren dengan model seperti itu, bukan saja tidak signifikan, tetapi juga riil. Alasannya, figur nabi Muhammad saw. adalah contoh riil insan yang kamil dan universal tersebut. (Al-Attas: 1994).
Karena itu pesantren peradaban haruslah mampu mewujudkan seseorang yang universal dalam cara pandangnya dan memiliki otoritas dalam beberapa bidang keilmuan yang saling berkaitan (Daud: 2006)
Sesungguhnya peran pesantren dalam proses membangun peradaban Islam adalah fakta yang tidak terbantahkan. Fakta ini bahkan menjadi sebuah aksioma sejarah untuk kebangkitan peradaban, hal ini berdasar dan bersandar pada apa-apa yang tercatat di dalam dinding-dinding sejarah kebangkitan perdaban umat ini .
Dr. Majid Irsan al-Kilani mencatat bagaimana proses ishlah dan kebangkitan umat beserta peradabannya dilakukan oleh madrasah (baca: pesantren) pembaharu, salah satunya adalah madrasah yang didirikan oleh imam al-Ghazali yang beliau dirikan dengan misi mengobati penyakit-penyakit umat yang fokusnya melahirkan generasi muslim baru yang holistik yang bersih dan unggul dalam bidang aqidah, akhlak dan pemikiran.
Sehingga lima puluh tahun setelah didirikannya madrasah ini lahirlah generasi baru ; generasi Shalahuddin al-Ayyubi, yang berhasil merebut kembali kekuasaan dan peradaban Islam. (Baca “Misteri Masa Kelam Islam dan Kemenangan Perang Salib”, DR. Majid Irsan Al-Kilani: 2007)
Jadi, tugas utama pesantren dalam membangun peradaban adalah melahirkan manusia yang berkualitas pada aspek pemikiran (tilawah/kognitif), akhlaq (Tazkiyah/afektif) dan amal (ta’lim/psikomotorik), pembinaan pada ketiga dimensi di atas sejalan dengan teori perubahan sosial dan filsafat sejarah bahwa sebuah perubahan bermula dari ide, keyakinan dan berakhir dengan tindakan.
Alhasil, kita berharap para alumni dari pesantren ini harus memiliki kekayaan ide yang kuat dan matang dan memiliki nilai islami serta kemampuan mensosialisasikannya kepada masyarakat, sehingga diharapkan masyarakat mempunyai kesadaran yang tinggi bergerak dan bertindak secara kolektif melakukan kerja-kerja rekontrusksi peradaban, inilah yang disebut oleh Ibnu Khaldun dengan ashabiyyah (solidaritas sosial).
Karena itu, secara subyektif dan obyektif, saya termasuk orang yang percaya bahwa pesantren memiliki kesempatan dan saham yang terbesar dalam proses rekontruksi ini, alasannya bahwa kemampuan mendidik manusia pada seluruh dimensinya hanya bisa mungkin terlaksana dengan model pesantren.
Dalam tradisi pesantren, pembinaan dan pendidikan bukan hanya pada ranah kognitif semata, tetapi juga pada ranah afektif dan psikomotorik. Dan itu secara diametral berbeda dengan sekolah umum yang hanya fokus pada ranah kognitif.
Dengan demikian, secara konsepsional sebenarnya pesantren peradaban ini telah real dan ada, yang harus kita lakukan adalah melakukan revitalisasi peran pesantren dalam membangun peradaban muslim.
Paradigma revitalisasi itu harus mengakar pada kesadaran akan visi misi eksistensial kita sebagai seorang muslim dan secara individu bertanggung jawab di hadapan Allah. Ringkasnya, pesantren harus berupaya melahirkan wa’yu al-hadhari (kesadaran berperadaban) bagi seluruh warga pesantren termasuk pengasuh dan santrinya.
Dalam relung sejarah panjang negeri ini, pondok pesantren dengan ciri utama pendidikan keislamannya telah menampilkan peran yang tidak sedikit bagi perkembangan pendidikan bangsa. Melalui model pendidikan agama Islam yang komprehensif pondok pesantren, yang bisa disebut sebagai satu-satunya lembaga pendidikan pribumi, telah mampu melahirkan banyak santri berkualitas yang secara riil dapat memberi sumbangsih peradaban Islam dan memiliki nilai dan pendidikan yang integral bagi negeri ini.
Sumbangsih ini bukan hanya berbentuk pada peningkatan moralitas yang menjadi ciri utama pesantren, tetapi juga dalam wujud pemberdayaan masyarakat dan lingkungan sekitar yang merupakan bagian integral dari lingkup kehidupan pondok pesantren.
Meskipun sama-sama menitik beratkan pola pendidikan pada materi-materi keislaman, terdapat beberapa perbedaan signifikan antara lembaga pendidikan Islam asli Indonesia ini dengan model pendidikan islam yang ada di dunia Islam lainnya.
Pesantren diakui atau tidak terutama di masa silam lebih banyak menggunakan pendekatan kultural yang begitu lekat dengan beberapa nilai budaya jawa, yang menjadi latar kehidupan para wali sebagai pendahulu yang telah berjasa dalam membangun pesantren pada awalnya.
Selain itu nilai islami atau sifat-sifat pesantren menjadi ciri khas yang tidak bisa lepas dari dunia santri, santri dan kyai menjalin sebuah ikatan yang terhubung oleh dasar inteletualitas dan budaya yang memberi nuansa tersendiri bagi kehidupan moral di masyarakat. Seolah mengejawantahkan sebuah hadits Nabi yang disitir Al-Ghazali “Semua orang akan rusak kecuali orang yang berfikir (terpelajar), yang terpelajar akan rusak kecuali yang mengamalkan pengetahuannya, yang mengamalkan pengetahuannya akan rusak kecuali yang menggunakan ketulusan.”
2. Pembahasan
a. Pengertian Pendidikan Nilai / Karakter
Banyak pakar telah mengembangkan berbagai pendekatan pendidikan nilai,
diantara berbagai pendekatan yang ada dan banyak digunakan, dapat
diringkas menjadi lima macam pendekatan, yaitu : pendekatan penanaman
nilai, pendekatan perkembangan kognitif, pendekatan analisis nilai,
pendekatan klarifikasi nilai, dan pendekatan pembelajaran berbuat.
Dalam pelaksanaan Pendidikan Budi Pekerti lebih tepat digunakan
Pendekatan Campuran, dengan penekanan pada Pendekatan Penanaman Nilai,
karena esensi dari tujuan antara Pendidikan Budi Pekerti dan
Pendekatan Penanaman Nilai adalah sama, yakni menanamkan nilai-nilai
sosial tertentu dalam diri santri di pondok pesantren.
Berbagai metoda pendidikan dan pengajaran yang digunakan dalam berbagai pendekatan lain dapat digunakan juga dalam proses pendidikan dan pengajaran pendidikan nilai atau budi pekerti. Hal ini penting, untuk memberi variasi kepada proses
pendidikan dan pengajarannya, sehingga lebih menarik dan tidak
membosankan.
Pendidikan budi pekerti memiliki esensi dan makna yang sama dengan
pendidikan nilai dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk
pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan
warga negara yang baik.
Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena
itu, hakikat dari Pendidikan budi Pekerti dalam konteks pendidikan di
Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur Islami
yang bersumber al-Qur’an dan as-Sunnah serta dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.
Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas
pelaksanaan Pendidikan nilai pada lembaga pendidikan formal.
Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang,
yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti
perkelahian masal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya.
Bahkan di kota-kota besar tertentu, seperti Jakarta dan Bandung, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan, oleh karena itu, lembaga
pendidikan formal seperti pesantren sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda
diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian
santri melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan nilai dan budi
pekerti.
Proses ini bersifat edukatif dan distributive dan menyiapkan langkah-langkah yang lebih tepat untuk menciptakan dan menyebarkan pesan pembangunan yang sarat akan nilai luhur dimana dapat merangsang motivasi. Proses pendidikan yang ada di pesantren di harapkan sesuai untuk memperlancar terbentuknya nilai-nilai atau tingkah laku yang dikehendaki, serta memberikan sanksi sosial sewajarnya terhadap tindakan yang menyimpang.
Hal ini sangat penting dalam kaitan upaya menemukan berbagai alternatif proses pendekatan pendidikan peradaban suatu bangsa dalam bentuk transformasi diri dalam rangka mengorganisir peradaban muslim agar lebih islami dengan kreatif dan produktif di dalam menghadap tugas- tugas barunya dalam proses pembangunan peradaban yang seyogyanya mampu menemukan dan memerankan secara tepat dan sistem nilai moralitas dalam kehidupan yang sudah eksis sebagai pendorong kearah positif. (Manfrred Oepen DKK, 1998)
Kehidupan manusia tidak lepas dari nilai, dan nilai itu selanjutnya perlu di institusikan, Institusi yang terbaik adalah melalui upaya pendidikan, keberadaan (eksistensi) pesantren beserta perangkatnya sebagai lembaga Islam, sudah barang tentu memiliki nilai-nilai khas yang membedakan dengan lembaga pendidikan lainnya, dalam realitasnya, nilai-nilai pesantren yang di kembangkan oleh pondok pesantren bersumberkan pada nilai-nilai ilahi dan nilai- insani. (H. Mansur , 2004)
Di Indonesia, institusi pendidikan Islam di Indonesia dikenal dengan nama pesantren yang perkembangannya berbarengan dengan proses penyebaran Islam itu sendiri. Lembaga pendidikan Islam ini bukan hanya memberi sumbangan yang penting dalam proses transmisi ilmu- ilmu Islam dan umum namun juga telah memberi andil yang besar dalam proses pendidikan nilai bagi terbinanya masyarakat Indonesia dalam membangun peradaban muslim.
Keberadaan pesantren serta perangkatnya yang ada sebagai lembaga pendidikan, sosial dan dakwah serta lembaga kemasyarakatan telah memberikan warna bagi perkembangan peradaban muslim di Indonesia. Hal ini erat kaitannya karena pesantren memberikan corak serta nilai-nilai Islami kepada warga pesantren dan masyarakat sekitarnya yang senantiasa selalu diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Figur kiyai, ustadz atau pembina pesantren, santri, serta seluruh perangkat fisik telah menandai sebuah lembaga pendidikan Islam yang dikelilingi oleh nilai dan kultur keagamaan.
Menurut Dr. Sutomo, ada beberapa aspek yang menarik dari pesantren, yaitu:
a. Sistem pondok. Dengan sistem ini, pendidikan, tuntunan, dan pengawasan dapat dilakukan secara langsung.
b. Keakraban hubungan antara kyai dan santri memungkinkan kyai atau ulama memberikan pengetahuan yang “hidup” kepada santrinya.
c. Kemampuan untuk mencetak atau mendidik manusia dalam memasuki lapangan pekerjaan secara merdeka dan madiri.
d. Kehidupan kyai / ulama yang sederhana tetapi penuh dengan kesenangan dan kegembiraan merupakan teladan yang baik masyarakat yang masih miskin.
e. Sistem pendidikan yang dapat diselenggarakan dengan biaya murah merupakan sarana yang baik untuk meningkatkan kecerdasan bangsa.
Inti pendidikan yang ditanamkan pada pondok pesantren adalah pendidikan nilai dan keagamaan sebagaimana Pondok Pesantren Darussalam Gontor. Pondok pesantren yang merupakan tempat masyarakat belajar (learning society) juga merupakan sumber informasi bagi masyarakat sekitarnya, informasi ini bukan hanya sebatas pada informasi agama saja, namun juga meliputi masalah- masalah agama, pendidikan, pertanian, ekonomi, sosial, dan budaya.
Pondok Pesantren, selama berabad-abad, telah menjadi sebuah institusi pendidikan yang memiliki peran cukup signifikan di Indonesia. Sebagai wadah penggemblengen generasi muslim, pondok pesantren tanpa henti menanamkan nilai Islami seperti akhlak dan adab, dan menjadi media transformasi ilmu pengetahuan.
Sebagaimana Pondok Pesantren Darussalam, yang lebih dikenal dengan sebutan pondok Gontor, karena letaknya di Gontor, Ponorogo Jawa Timur telah memberi banyak kontribusi dan jasanya dalam membangun peradaban bangsa. Sebagai pesantren sekaligus lembaga strategis untuk kaderisasi sumber daya manusia (SDM).
Pondok Pesantren Darussalam Gontor telah membuktikan kemampuannya dalam mewujudkan manusia yang saleh dengan dua model spesialisasi : ulama dalam bidang syariat dan ulama dalam bidang ilmu kauniah.
Perjalanan panjang Pondok Pesantren Darussalam bermula pada abad ke -18. Pondok Tegalsari sebagai cikal bakal Pondok Pesantren Darussalam Gontor didirikan oleh Kyai Ageng Hasan Bashari. Ribuan santri berduyun-duyun menuntut ilmu di pondok ini. Saat pondok tersebut dipimpin oleh Kyai Khalifah, terdapat seorang santri yang sangat menonjol dalam berbagai bidang.
Namanya Sulaiman Jamaluddin, putera Panghulu Jamaluddin dan cucu Pangeran Hadiraja, Sultan Kasepuhan Cirebon. Ia sangat dekat dengan Kyainya dan Kyai pun sayang padanya. Maka setelah santri Sultan Jamaluddin dirasa telah memperoleh ilmu yang cukup, ia dinikahkan dengan putri Kyai dan diberi kepercayaan untuk mendirikan pesantren sendiri di desa Gontor.
Gontor adalah sebuah tempat yang terletak lebih kurang 3 km sebelah timur Tegalsari dan 11 km ke arah tenggara dari kota Ponorogo. Pada saat itu, Pondok Pesantren Darussalam Gontor Gontor masih merupakan kawasan hutan yang belum banyak didatangi orang. Bahkan hutan ini dikenal sebagai tempat persembunyian para perampok, penjahat, penyamun bahkan pemabuk.
Dengan bekal awal 40 santri, Pondok Gontor yang didirikan oleh Kyai Sulaiman Jamaluddin ini terus berkembang dengan pesat, khususnya ketika dipimpin oleh putera beliau yang bernama Kyai Anom Besari. Ketika Kyai Anom Besari wafat, Pondok diteruskan oleh generasi ketiga dari pendiri Gontor Lama dengan pimpinan Kyai Santoso Anom Besari.
Setelah perjalanan panjang tersebut, tibalah masa bagi generasi keempat. Tiga dari tujuh putra-putri Kyai Santoso Anom Besari menuntut ilmu ke berbagai lembaga pendidikan dan pesantren, dan kemudian kembali ke Gontor untuk meningkatkan mutu pendidikan di Pondok Pesantren Darussalam Gontor. Mereka adalah;
• KH. Ahmad Sahal (1901-1977)
• KH. Zainuddin Fanani (1908-1967)
• KH. Imam Zarkasyi (1910-1985)
Mereka memperbaharui sistem pendidikan Pondok Pesantren Darussalam Gontor dan mendirikan Pondok Pesantren Darussalam Gontor pada tanggal 20 September 1926 bertepatan dengan 12 Rabiul Awwal 1345, dalam peringatan Maulid Nabi. Pada saat itu, jenjang pendidikan dasar dimulai dengan nama Tarbiyatul Athfal. Kemudian, pada 19 Desember 1936 yang bertepatan dengan 5 Syawwal 1355, didirikanlah Kulliyatu-l-Muallimin al-Islamiyah, yang program pendidikannya diselenggarakan selama enam tahun, setingkat dengan jenjang pendidikan menengah.
Dalam perjalanannya, sebuah perguruan tinggi bernama Perguruan Tinggi Darussalam (PTD) didirikan pada 17 November 1963 yang bertepatan dengan 1 Rajab 1383. Nama PTD ini kemudian berganti menjadi Institut Pendidikan Darussalam (IPD), yang selanjutnya berganti menjadi Institut Studi Islam Darussalam (ISID).
Saat ini ISID memiliki tiga Fakultas: Fakultas Tarbiyah dengan jurusan Pendidikan Agama Islam dan Pendidikan Bahasa Arab, FakultasUshuluddin dengan jurusan Perbandingan Agama, dan Akidah dan Filsafat, dan Fakultas Syariah dengan jurusan Perbandingan Madzhab dan Hukum, dan jurusan Manajemen Lembaga Keuangan Islam serta program Pasca Sarjana, sejak tahun 1996 ISID telah memiliki kampus sendiri di Demangan, Siman, Ponorogo.
Pondok Pesantren Darussalam Gontor saat ini dipimpin oleh: KH. Dr. Abdullah Syukri Zarkasyi, KH. Hasan Abdullah Sahal, KH. Syamsul Hadi Abdan , terletak di sebuah desa di Jawa Timur yang bernama Gontor, Pondok Pesantren Darussalam Gontor mengerahkan segenap konsentrasi dan potensinya untuk dunia pendidikan Islam serta menggagas peradaban muslim.
Hal ini semakin dipertegas dengan tidak terlibatnya Pondok Pesantren Darussalam Gontor dalam politik praktis. Karena Pondok ini tidak berafiliasi kepada partai politik ataupun organisasi kemasyarakatan apapun, ia dapat secara independen menentukan langkahnya, sehingga memiliki ruang gerak yang lebih luas dalam pendidikan dan pengajaran.
Gagasan dan cita-cita para pendiri Pondok Pesantren Darussalam Gontor Ponorogo sehingga mempunyai tekad yang begitu besar, cita-citanya terutama adalah rasa tanggung jawab memajukan peradaban ummat Islam dalan mencari ridha Allah, tempat yang dipilih untuk mewujudkan cita-cita itu adalah Pondok Pesantren, yaitu lembaga pendidikan Islam yang pernah berjaya pada masa nenek moyang mereka tatapi pada saat itu telah mati.
Pendidikan pondok pesantren adalah model pendidikan Islam yang banyak dipakai dan berlaku di beberapa negara Islam. Namun, di negara-negara itu pendidikan Islam telah banyak mengalami kemajuan dan perkembangan, sedangkan lembaga pendidikan pesantren di Indonesia karena situasi penjajahan dan lain-lain belum mampu berkembang pesat sebagaimana lembaga-lembaga pendidikan di negara-negara Islam lainnya.
Karena itu pengembangan pondok pesantren di Indonesia perlu mengambil kaca perbandingan dari lembaga-lembaga Islam di luar negeri yang serupa dengan sistem pendidikan pesantren.
” Pondok Pesantren Darussalam Gontor di atas dan untuk semua golongan.” Demikian prinsip yang dipegang Pondok Pesantren Darussalam Gontor sejak pertama kali didirikan. dengan terbebasnya institusi ini dari muatan politis, pondok ini dapat lebih memfokuskan diri dalam menunaikan amanat pendidikan dan pengajaran yang berada di pundaknya, iklim pendidikan yang lebih tenang dan kondusif pun tercipta, dengan didasari jiwa keikhlasan dan tanpa dipengaruhi oleh kepentingan apapun.
Salah satu nikmat yang dianugerahkan oleh Allah Swt. Bahwa instusi ini, dalam usianya yang ke-84, dapat terus meningkatkan peran dan eksistensinya dalam mendidik generasi muda muslim yang berkualitas. Para alumninya kini bergerak dalam berbagai bidang ; agama, sosial, kemasyarakatan, dan pemerintahan.
Beberapa di antaranya meneruskan studi di berbagai perguruan tinggi di Indonesia, maupun di perguruan tinggi di negara-negara Timur Tengah dan Barat. Peran serta prestasi para alumni inilah yang mengharumkan nama Pondok Pesantren Darussalam Gontor sebagai lembaga pendidikan Islam yang disegani di Asia Tenggara. Dan dengan dukungan mereka pula, pondok ini menjadi kokoh dan teguh dalam menghadapi pelbagai tantangan dan cobaan serta perkembangan zaman.
Meski kadang harus menghadapi masalah-masalah psikologis dalam pondok, para santri juga para ustadz di Pondok Pesantren Darussalam Gontor tetap melaksanakan tugas-tugas kesehariannya penuh ceria. Sejak tahun pertama, para santri diberi arahan lewat pelajaran seperti mahfuzhat: ash shobru kash shobiri murrun fi madzaqotihi, lakin ‘awaqibuhu ahla minal ‘asali, (sabar itu ibarat minuman yang sangat pahit rasanya, tetapi dampak pengaruhnya lebih manis dari madu)”.
Ketenteraman para santri dirasakan dengan segala agenda yang padat, program pesantren yang sarat dengan nilai-nilai pendidikan, dan nuansa sosial yang membekas sampai saat mereka menjadi alumni. Ketenteraman saat menjadi alumni dirasakan dengan suasana keakraban dan kebersamaan, meskipun mereka berada di tempat yang berjauhan.
Dalam perjalanan sejarah, pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam strategis untuk mewujudkan generasi Muslim yang siap menjalankan amanat kehidupan dalam membagun peradaban ummat, pesantren memiliki banyak fungsi yang sangat tinggi nilai dan martabatnya dalam dunia pendidikan.
Setidaknya ada tiga fungsi utama pesantren untuk merealisasi tujuan mulianya dalam mewujudkan kekuatan sumber daya manusia pada semua aspeknya. Ketiganya adalah :
1. fungsi taklim (pengajaran ilmu pengetahuan yang dibutuhkan santri),
2. fungsi tarbiyah (yaitu mendidik santri, agar mereka terarah dan terbimbing),
3. fungsi Lembaga Dakwah Islam yang melayani masyarakat.
Keberhasilan pelaksanaan fungsi ini sangat ditentukan oleh keharmonisan hubungan antara guru, santri dan materi-materi itu sendiri. Pondok bukan hotel, karena pondok didirikan santri. Pondok adalah tempat berlatih menjadi orang yang suka dan pandai menolong, bukan yang hanya selalu minta ditolong.
Ajaran atau didikan yang utama di pondok ialah tidak menggantungkan diri kepada orang lain, itulah diantara nilai-nilai Islami yang diterapkan di Pondok Pesantren Darussalam Gontor. Kemajuan zaman telah ditandai oleh pesatnya perkembangan pengetahuan, teknologi dan kecanggihan sistem informasi. Di satu sisi, kemajuan tersebut tidak sedikit memberikan manfaat bagi kehidupan manusia masa kini. Di sisi lain, kemajuan tersebut banyak menimbulkan masalah sosial yang serius, terutama liberalisasi pola hidup anak-anak remaja.
Hedonisme merupakan gejala kehidupan remaja yang diakibatkan oleh kosongnya remaja dari nilai-nilai agama. Prinsip para remaja yang menganggap bahwa masa muda adalah masa bersenang-senang, membuat kalangan remaja sulit diarahkan. Hal ini menjadi salah satu tantangan bagi pendidikan pesantren.
Tantangan lain berupa kehidupan yang semakin permisif, pergaulan bebas, narkoba, dan sejenisnya, lahir akibat pola hidup yang permisif. Para remaja masa kini juga punya kebiasaan hura-hura.Tantangan itu dilengkapi dengan persoalan kependudukan di Indonesia yang semakin kompleks dan kualitas masyarakat yang memprihatinkan.
Dalam kaitan ini, Pondok Pesantren Darussalam Gontor sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam, memiliki potensi dan peluang yang positif dalam membantu pengembangan potensi dasar manusia berupa pengembangan akalnya dan akhlaknya.
Pesantren merupakan salah satu jenis pendidikan Islam di Indonesia yang bukan hanya untuk mendalami agama Islam dan umum, tetapi juga menanamkan niali-nilai islami dan dapat diamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian, dengan menekankan pentingnya moral dalam kehidupan bermasyarakat dalam membangun peradan muslim.
Pondok Darussalam Gontor adalah salah satu Pondok Pesantren yang turut mewarnai dunia pendidikan Indonesia. Terletak di sebuah desa di Jawa Timur yang bernama Gontor, Pondok Darussalam Gontor mengerahkan segenap konsentrasi dan potensinya untuk dunia pendidikan Islam dalam membangun peradaban muslim di Indonesia.
Hal ini semakin dipertegas dengan tidak terlibatnya Pondok Pesantren Darussalam Gontor dalam politik praktis, karena Pondok ini tidak berafiliasi kepada partai politik ataupun organisasi kemasyarakatan apapun, ia dapat secara independen menentukan langkahnya, sehingga memiliki ruang gerak yang lebih luas dalam pendidikan dan pengajaran dalam menanamkan nilai-nilai Islami dalam membangun peradaban muslim.
Nilai-nilai yang terkandung di dalam pendidikan pesantren seperti Pondok Pesantren Darussalam Gontor adalah fikih sufistik yang lebih mengedepankan nilai / character keagamaan demi membangun peradaban dunia dan akhirat kelak. Nilai-nilai tersebut kemudian menjadi ciri khas nilai dalam pendidikan pesantren yang harus diserap oleh warga pesantren dan masyarakat sekitarnya.
Nilai tersebut kemudian membentuk pandangan hidup santri, seperti pada nilai-nilai yang dijiwai oleh suasana-suasana yang dapat disimpulkan dalam Panca Jiwa di pesantren, Darussalam Gontor selain itu pula sebagai agen pewaris budaya (agen of of conservative), pesantren berperan sebagai pewaris budaya melalui pendidikan sistem nilai dan kepercayaan, pengetahuan, norma-norma, serta dat kebiasaan dan berbagai perilaku tradisional yang telah membudaya diwariskan pada suatu generasi ke genaerasi berikutnya.
Tegasnya, lembaga pendidikan pesantren merupakan tempat sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai yang telah membudaya. Oleh karena itu, pada nilai-nilai yang dijiwai dalam Panca Pondok pesantren Darussalam Gontor dan tujuannya atas nilai-nilai pengetahuan serta aspirasi dan pandangan hidup yang yang berlaku dan diamalkan bagi warga pesantren yang kelak dapat membangun peradaban muslim khususnya di Indonesia.
Sebagaimana layaknya lembaga pendidikan, pendidikan Pondok Pesantren Darussalam Gontor juga memiliki pendidikan yang jelas, tujuan umum pendidikn pesantren adalah membimbing anak didik (santri) untuk menjadi kepribadian Islam yang dengan dengan nilai-nilai yang terangkum dalam Panca Jiwa Pondok Pesantren.
Dengan itu warga pesantren sanggup menjadi Muballigh Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya. Sedangkan tujuan khususnya adalah mempersiapkan santri menjadi orang alim dan mendalami ilmu agamanya yang diajarkan oleh ustadz atau kyai yang bersangkutan serta mengamalkannya nilai-nilai Islami di dalam masyarakat.
Dengan demikian tujuan terpenting pendidikan pesantren adalah membangunn nilai dan moralitas agama santri dengan pengamalannya. Dalam hal ini berarti yang menjadi fokus tujuan pendidikan pesantren apalagi melihat perkembangan dunia yang begitu cepat ini bagi banyak kalangan telah memunculkan respond an spekulasi yang beragam.
Tidak terkecuali bagi umat Islam, perubahan-perubahan yang terus muncul belakangan ini di dalamnya menyentuh hampir seluruh aspek kehidupan manusia, aspek budaya, ekonomi hingga aspek nilai-nilai moral. Secara sederhana, era global ini dapat di ilustrasikan dengan persaingan sengit dalam bidang ilmu dan politik, kemajuan sains, dan teknologi, arus informasi yang cepat, dan perubahan sosial yang tinggi.
Sebaliknya, berbagai upaya proteksi yang di lakukan oleh suatu pihak atau Negara tertentu, bagi Negara-negara yang telah lama melakukan proyek pesantrenisasi, tentu hanya di pandang sebagai penentangan terhadap keterbukaannya. Sebagai implikasinya, wacana mengenai plurarisme akan menjadi pergulatan serius dalam mempertemukan antar peradaban yang yang berkeingianan untuk eksis di dunia.
Dalam maknanya yang global, pluralisme di satu sisi mempunyai ‘keterbukaan’ dan di sisi lain bisa jadi muncul sebagai bentuk arena persaingan. Dalam kondisi seperti ini , umat manusia dihadapkan pada realitas, dimana tafsir mengenai ‘persaingan’ sangat erat kaitannya dengan siapa yang kuat dialah yang akan memenangkan arena perdebatan dan sebaliknya, pihak yang lemah akan menanggung kekalahan dan menerima sistem keterbukaan tersebut .
Oleh karena pengaruh abad industri ini tidak saja menyentuh aspek ekonomi, tetapi juga moral dan agama, Islam dengan paradigma yang dimilikinya , yaitu ra ahmatan lil alamin, bertanggung jawab atas terjadi benturan-benturan peradaban atau implikasi negatif dari perkembangan dunia, termasuk juga didalamnya adalah masyarakat pesantren yang menjadi bagian integral dari masyarakat secara kesuluruhan tidak bisa menutup mata dan menjauh dari realitas ini.
Pertanyaannya adalah bagimana bentuk akomodasi pesantren dalam merespon pesantrenitas sebagaimana fenomenanya telah diuraikan di atas, kiranya nilai- nilai apa sajakah yang dianggap akomodatif dan mampu menjawab tantangan zaman. Dengan demikian Pondok Pesantren Darussalam Gontor memiliki nilai-nilai yang dijiwai oleh suasana-suasana yang dapat disimpulkan dalam Panca Jiwa.
b. Lima Nilai di dalam Panca Jiwa Pondok Pesantren Darsussalam Gontor
Panca Jiwa adalah lima nilai yang mendasari kehidupan Pondok Darussalam Gontor yaitu :
1. Jiwa Keikhlasan
Jiwa ini berarti sepi ing pamrih, yakni berbuat sesuatu bukan karena didorong oleh keinginan untuk mendapatkan keuntungan tertentu. Segala perbuatan dilakukan dengan niat semata-mata untuk ibadah, lillah. Kyai ikhlas medidik dan para pembantu kyai ikhlas dalam membantu menjalankan proses pendidikan serta para santri yang ikhlas dididik.
Jiwa ini menciptakan suasana kehidupan Pondok Pesantren Darussalam Gontor yang harmonis antara kyai yang disegani dan santri yang taat, cinta dan penuh hormat. Jiwa ini menjadikan santri senantiasa siap berjuang di jalan Allah, di manapun dan kapanpun berada.
Pendidikan keikhlasan ini tak hanya diterapkan pada santri / siswa. Para ustadz, bahkan Kiai sekali pun terkena disiplin untuk berlatih keikhlasan setiap saat. Kenapa? Pengalaman pendidikan di pesantren membuktikan bahwa peranan metode pengajaran itu memang lebih penting dari materinya. Tapi, jiwa si pengajar lebih penting ketimbang metode dan materinya. Dan pengajar yang mukhlis akan beda hasilnya dengan yang tidak mukhlis.
Lalu, kenapa keikhlasan dijadikan ruh pesantren Pondok Pesantren Darussalam Gontor diletakkan dalam urutan pertama Panca Jiwa Pondok ? Jawabannya, karena terkait dengan cita-cita pesantren yang tak lain adalah untuk mendidik pejuang di masyarakat, terlepas apa pun profesi, spesialisasi, atau pekerjaannya.
Sungguh tak terbayangkan, bagaimana cita-cita itu akan terwujud apabila para santri tidak dilatih keikhlasan. Tak terbayangkan, bagaimana seandainya para santri itu tidak dilatih menghilangkan persyaratan pribadi ketika hendak berbuat baik. Pejuang yang tidak memiliki landasan spiritual dalam perjuangannya pasti akan mudah patah di tengah jalan.
Itulah kenapa keikhlasan Pondok Pesantren Darussalam Gontor itu disebut sebagai ruhnya tindakan. Dengan ikhlas, orang tak larut ke dalam kekecewaan yang panjang saat menghadapi kegagalan. Dengan ikhlas, orang selalu punya motivasi untuk berbuat baik, untuk apa pun dan kepada siapa pun.
2. Jiwa kesederhanaan
Kehidupan di Pondok Pesantren Darussalam Gontor diliputi oleh suasana kesederhanaan, sederhana tidak berarti pasif atau nerimo, tidak juga berarti miskin dan melarat, justru dalam jiwa kesederhanan itu terdapat nilai-nilai kekuatan, kesanggupan, ketabahan dan penguasaan diri dalam menghadapi perjuangan hidup.
Di balik kesederhanaan ini terpancar jiwa besar, berani maju dan pantang mundur dalam segala keadaan. Bahkan di sinilah hidup dan tumbuhnya mental dan karakter yang kuat, yang menjadi syarat bagi perjuangan dalam segala segi kehidupan .
3. Jiwa Berdikari
Berdikari atau kesanggupan menolong diri sendiri merupakan senjata ampuh yang dibekalkan pesantren kepada para santrinya. Berdikari tidak saja berarti bahwa santri sanggup belajar dan berlatih mengurus segala kepentingannya sendiri, Pondok Pesantren Darussalam Gontor itu sendiri sebagai lembaga pendidikan juga harus sanggup berdikari sehingga tidak pernah menyandarkan kehidupannya kepada bantuan atau belas kasihan pihak lain .
Inilah Zelp berdruiping systeem (sama-sama memberikan iuran dan sama-sama memakai). Dalam pada itu, Pondok tidaklah bersifat kaku, sehingga menolak orang-orang yang hendak membantu. Semua pekerjaan yang ada di dalam pondok dikerjakan oleh kyai dan para santrinya sendiri, tidak ada pegawai di dalam pondok, santri dituntut untuk hidup mandiri, tidak tergantung pada orang lain.
Salah satu orientasi pendidikan di Pondok Darussalam Gontor adalah kemasyarakatan. Para santri dicetak untuk menjadi pejuang Islam yang mandiri di masyarakat. Kenyataannya, perkembangan iptek dan meluasnya informasi di segala sektor kehidupan menimbulkan perubahan sosial yang cepat di masyarakat, sehingga menimbulkan jarak antara kesiapan individu santri dengan tuntutan lingkungannya.
Perkembangan dan perubahan zaman ini telah diantisipasi oleh Pondok Pesantren Darussalam Gontor melalui berbagai cara dan program. Di antaranya adalah dengan mendirikan Pusat Latihan Menejemen dan Pengembangan Masyarakat (PLMPM), tahun 1988, yang dirancang khusus bagi alumni KMI dan ISID yang memang betul-betul akan terjun langsung ke masyarakat. Di lembaga ini para alumni itu diberi bekal tambahan untuk menyempurnakan dan mempercepat karya mereka di masyarakat sehingga dapat hidup berdikari.
4. Jiwa Ukhuwwah Diniyyah
Kehidupan di Pondok Pesantren Darussalam Gontor diliputi suasana persaudaraan yang akrab, sehingga segala suka dan duka dirasakan bersama dalam jalinan ukhuwwah diniyyah, tidak ada dinding yang dapat memisahkan antara mereka, ukhuwah ini bukan saja selama mereka di Pondok, tetapi juga mempengaruhi ke arah persatuan ummat dalam masyarakat setelah mereka terjun di masyarakat.
Kehidupan di Pondok Pesantren Darussalam Gontor yang berjalan selama 24 jam harus diliputi suasana persaudaraan akrab, sehingga segala kesenangan dirasakan bersama dengan jalinan persamaan agama. Jiwa ukhuwah ini tidak hanya berlaku ketika seorang santri tersebut masih menimba ilmu di pondok, akan tetapi jiwa ukhuwah ini ditujukan kepada persatuan ummat ketika sudah menjadi alumni dari pondok. Dari jiwa ukhuwah ini K.H. Ahmad Sahal berwasiat kepada siswa kelas enam yang telah menyelesaikan pelajaran mereka di kelas VI KMI Pondok Pesantren Gontor: Jadilah anak-anakku perekat ummat; dan fahamilah benar-benar arti perekat ummat
5. Jiwa Bebas
Bebas dalam berpikir dan berbuat, bebas dalam menentukan masa depan, bebas dalam memilih jalan hidup, dan bahkan bebas dari berbagai pengaruh negatif dari luar, masyarakat. Jiwa bebas ini akan menjadikan santri berjiwa besar dan optimis dalam menghadapi segala kesulitan. Hanya saja dalam kebebasan ini seringkali ditemukan unsur-unsur negatif, yaitu apabila kebebasan itu disalahgunakan, sehingga terlalu bebas (liberal) dan berakibat hilangnya arah dan tujuan atau prinsip.
Sebaliknya, ada pula yang terlalu bebas (untuk tidak mau dipengaruhi), berpegang teguh kepada tradisi yang dianggapnya sendiri telah pernah menguntungkan pada zamannya, sehingga tidak hendak menoleh ke zaman yang telah berubah. Akhirnya dia sudah tidak lagi bebas karena mengikatkan diri pada yang diketahui saja.
Maka kebebasan ini harus dikembalikan ke aslinya, yaitu bebas di dalam garis-garis yang positif, dengan penuh tanggungjawab; baik di dalam kehidupan pondok pesantren itu sendiri, maupun dalam kehidupan masyarakat. Jiwa yang meliputi suasana kehidupan Pondok Pesantren Darussalam Gontor itulah yang dibawa oleh santri sebagai bekal utama di dalam kehidupannya di masyarakat. Jiwa ini juga harus dipelihara dan dikembangkan dengan sebaik-baiknya.
Peranan panca jiwa di Pondok Pesantren Darussalam Gontor yang menjiwai setiap detik kehidupan di pesantren, salah satu peranan penting panca jiwa adalah sebagai falsafat hidup santrinya. Dan dalam proses pendidikannya, K.H. Imam Zarkasyi dalam sambutannya pada acara resepsi kesyukuran setengah Abad dan peresmian masjid Jami’ Pondok Pesantren Gontor menyatakan beberapa semboyan pendidikan yang terilhami dari panca jiwa pondok pesantren. Semboyan pendidikan itu adalah: “Berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas dan berpikiran bebas”. (Imam Zarkasyi, 1991)
Dan semboyan ini bukan hanya sekedar slogan atau sekedar rencana, tetapi adalah suatu hal yang sudah terlaksana selama bertahun-tahun hingga sekarang. Dan semboyan Pondok Pesantren Darussalam Gontor ini sekarang dikenal dengan “Motto Pondok Pesantren”.
Disamping semboyan yang sudah disebut diatas masih banyak lagi semboyan-semboyan pendidikan untuk para santri sebagai pencerminan dari Panca Jiwa Pondok Pesantren Darussalam Gontor tadi. Hal tersebut diungkapkan oleh K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi M.A dalam pidatonya pada acara puncak kesyukuran delapan windu 1991. Beliau mengungkapkan:
“Dari sinilah keluar filsafat hidup, pencerminan dari Panca Jiwa Pondok Pesantren Darussalam Gontor itu, sehingga banyak semboyan-semboyan pendidikan untuk para santri seperti:
• “Hidupilah pondok, jangan menggantungkan hidup dari pondok”
• “Berjasalah dan jangan minta jasa”
• “Jadilah Santri yang: Berani hidup tak takut mati, takut mati jangan hidup takut hidup mati saja”
• Hidup sekali, hiduplah yang berarti”
• Jadilah Santri yang pandai menciptakan pekerjaan, bukan yang mencari pekerjaan”
• “Berkorbanlah dalam berjuang, dengan Bondo, bahu, piker, lek perlu saknyawane pisan” (Abullah Syukri Zarkasyi, 1991)
Dapat disimpulkan dari ungkapan diatas bahwa kelima panca jiwa Pondok Pesantren Darussalam Gontor yang selalu menjiwai kehidupan dipondok mempunyai peran yang sangat penting dalam jalan pendidikan di pondok pesantren. Karena Pondok Pesantren lebih mementingkan pendidikan daripada pengajarannya. Adapun arah dan tujuan pendidikan di Pondok Pesantren Darussalam Gontor adalah: Kemasyarakatan, Hidup sederhana, Tidak berpartai dan Tujuan pokoknya “ibadah talabul ‘ilmi”, bukan untuk menjadi pegawai. (Abullah Syukri Zarkasyi, 1991)
Arah dan tujuan tersebut adalah wujud kongkrit dari panca jiwa Pondok Pesantren yang selalu menjiwai kehidupan di Pondok Pesantren Gontor dan dalam hal ini lebih menekankan pada masalah jalannya pendidikan dan pengajaran di Pondok Pesantren Gontor.
Dengan tekad untuk menjadi sebuah lembaga pendidikan berkualitas, Pondok Darussalam Gontor bercermin pada lembaga-lembaga pendidikan internasional terkemuka. Empat lembaga pendidikan yang menjadi sintesa Pondok Darussalam Gontor yang bersamaan dengan nilai-nilai di dalam Panca Jiwa adalah:
1. Universitas Al-Azhar Kairo Mesir, yang memiliki wakaf yang sangat luas sehingga mampu mengutus para ulama ke seluruh penjuru dunia, dan memberikan beasiswa bagi ribuan pelajar dari berbagai belahan dunia untuk belajar di Universitas tersebut.
2. Aligarh, yang terletak di India, yang memiliki perhatian sangat besar terhadap perbaikan sistem pendidikan dan pengajaran.
3. Syanggit, di Mauritania, yang dihiasi kedermawanan dan keihlasan para pengasuhnya.
4. Santiniketan, di India, dengan segenap kesederhanaan, ketenangan dan kedamaiannya.
Selain Panca Jiwa Pondok Darussalam Gontor juga memiliki Motto yang agak berbeda dari pesantren lain pada umumnya dalam menekankan pada pembentukan pribadi mukmin yang sholeh sehingga pendidikan nilai yang ada dapat menggagas peradaban muslim di Indonesia yaitu :
1. Berbudi tinggi
Berbudi tinggi merupakan landasan paling utama yang ditanamkan oleh Pondok Pesantren Darussalam Gontor ini kepada seluruh santrinya dalam semua tingkatan; dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi. Realisasi penanaman motto ini dilakukan melalui seluruh unsur pendidikan yang ada.
2. Berbadan Sehat
Tubuh yang sehat adalah sisi lain yang dianggap penting dalam pendidikan di Pondok Pesantren Darussalam Gontor ini. Dengan tubuh yang sehat para santri akan dapat melaksanakan tugas hidup dan beribadah dengan sebaik-baiknya. Pemeliharaan kesehatan dilakukan melalui berbagai kegiatan olahraga, dan bahkan ada olahraga rutin yang wajib diikuti oleh seluruh santri sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan.
3. Berpengetahuan Luas
Para santri di Pondok Pesantren Darussalam Gontor ini dididik melalui proses yang telah dirancang secara sistematik untuk dapat memperluas wawasan dan pengetahuan mereka, santri tidak hanya diajari pengetahuan, lebih dari itu mereka diajari cara belajar yang dapat digunakan untuk membuka gudang pengetahuan. Kyai sering berpesan bahwa pengetahuan itu luas, tidak terbatas, tetapi tidak boleh terlepas dari berbudi tinggi, sehingga seseorang itu tahu untuk apa ia belajar serta tahu prinsip untuk apa ia manambah ilmu.
4. Berpikiran Bebas
Arti bebas disini dititik beratkan pada perbuatan berpikir dan berbuat, bebas menentukan masa depannya. Dengan prinsip jiwa bebas ini para santri harus bebas dalam memilih dan menentukan jalan hidupnya di masyarakat kelak, dengan jiwa besar dan optimis dalam menghadapi kesulitan.
Tetapi sangat di sayangkan apabila jiwa bebas ini diartikan dengan arti-arti yang negatif. Seperti kebebasan yang keterlaluan (liberal), sehingga kehilangan arah dan tujuah serta prinsip. Sehingga arti bebas disini harus dikembalikan kepada aslinya, yaitu garis-garis disiplin yang positif dengan penuh tanggungjawab, baik didalam kehidupan pondok dan masyarakat. Dan jiwa-jiwa pondok yang terangkum dalam panca jiwa Pondok Pesantren Darussalam Gontor harus dihidupkan dan dipelihara dan dikembangkan dengan sebaik-baiknya.
Berpikiran bebas tidaklah berarti bebas sebebas-bebasnya (liberal). Kebebasan di sini tidak boleh menghilangkan prinsip, teristimewa prinsip sebagai muslim mukmin. Justru kebebasan di sini merupakan lambang kematangan dan kedewasaan dari hasil pendidikan yang telah diterangi petunjuk ilahi (hidayatullah). Motto ini ditanamkan sesudah santri memiliki budi tinggi atau budi luhur dan sesudah ia berpengetahuan luas.
2. Pendidikan Integral
a. Sistem Pendidikan Integral
Dengan segala bentuk dan aneka model pembelajaran keagamaan yang masih dapat dirunut keberadaanya, pondok pesantren di masa depan jelas mampu memberi nuansa dan pencerahan baru bagi dunia pendidikan terutama di Indonesia. Tentu saja jika dibarengi dengan kesungguhan pada pengembangan ilmu-ilmu pesantren dengan metodologi yang lebih komprehensif.
Sehingga khazanah intelektual pesantren yang begitu kaya dengan berbagai disiplin ilmu agama dapat bersinergi dengan ilmu pesantren yang akhirnya mampu melahirkan paradigma pembelajaran yang integratif dan tidak dikotomis. Hal demikian dapat dilaksanakan antara lain dengan memperkenalkan beberapa aspek pengetahuan pesantren yang aplikatif (applied sciences) dan mengkomparasikannya dengan berbagai disiplin ilmu Islam yang menjadi keahlian pesantren.
Integrasi semacam ini tidak semata-mata menguntungkan dunia santri. Tetapi juga akan berdampak pada pengembangan masyarakat yang lebih dinamis karena integrasi pengetahuan yang terjadi. Sehingga keseimbangan pemikiran Islam yang bersifat samawi dan pengayaan ilmu pengetahuan pesantren yang lebih humanis dapat tersinergi dengan optimal.
Terlebih di zaman yang semakin kompleks ini, di mana sisi-sisi religiusitas manusia yang dulu digerus oleh pengetahuan yang dibiarkan bebas nilai (free value), tampak mulai kembali menampakkan diri, yang jika tidak disikapi secara arif oleh dunia pendidikan Islam macam pondok pesantren, maka kembalinya manusia pada spirit agama akan berdampak negatif, semisal radikalisme dan fundmentalisme.
Karena itulah perencanaan ke depan bagi pengembangan kelembagaan pesantren di dunia pendidikan menjadi perlu untuk diperhatikan semua pihak. Apalagi dalam kerangka membangun masyarakat madani (civil society) yang mumpuni dan bertanggung jawab dalam tugas-tugas kemasyarakatan bagi masa depan bangsa.
Tarbiyah (pendidikan) menurut makna etimologisnya adalah menyampaikan sesuatu pada taraf kesempurnaannya (iblaghu al-syai’ ila kamalihi). Sedang menurut makna terminologisnya adalah segala sesuatu yang bisa mempengaruhi yang sengaja kita pilih untuk membentuk kesempurnaan intelektual, mentalitas kepribadian dan jasmani anak didik .
Dengan mempertimbangkan kompleksitas aspek kepribadian manusia, maka pendidikan harus mampu menyentuh semua aspek manusiawi secara komprehensif dan proporsional . Tidak bisa dibenarkan pendidikan yang hanya menekankan salah satu aspek kemanusiaan dan mengabaikan aspek lainnya. Namun hal ini tidak akan efektif bila dijalankan secara parsial, karena itu penerapan pendidikan yang komprehenship dan integralistik merupakan suatu keniscayaan.
Sistem integralistik adalah bagian dari sunnatullah di alam semesta, dimana antara yang satu dengan lainya saling berkaitan dan mempengaruhi, ayat-ayat al-Qur’an menurut kesimpulan para pakar tafsir juga mempunyai prinsip “wihdah mutanasiqah”, satu kesatuan yang terpadu dan serasi. Semua ini salaras dengan semangat tauhid, karena bersumber dari Allah yang Esa.
b. Bentuk Integritas Pondok Pesantren Darussalam Gontor
Pondok Pesantren Darussalam Gontor, selama bertahun-tahun mencoba untuk menerapkan totalitas pendidikan yang komprehenship – integralistik bagi para santri dan gurunya. Diantara bentuk integralitas pendidikan Pondok Pesantren Darussalam Gontor adalah :
1. Integralitas tri pusat pendidikan
2. Integralitas intra, co dan ekstra kurikuler
3. Integralitas ilmu agama dan umum (non dikotomis)
4. Integralitas teori dan aplikasi (amaliah)
5. Integralitas sistem pendidikan pesantren dan sistem pengajaran madrasah
(klasikal)
6. Integralitas keteladanan, penciptaan lingkungan dan berbagai macam kegiatan.
7. Integralitas ruh (spirit), sistem, metode dan materi
Di sini penulis akan membahas satau-persatu, walau dalam pembahasan integral Pendidikan Pondok Pesantren Darussalam Gontor tidak jauh berbeda dengan panca jiwa atau nilai-nilai yang ada di pesantren Gontor tesebut.
1. Integralitas Tri Pusat Pendidikan
Tri pusat pendidikan terdiri dari pendidikan rumah tangga, pendidikan sekolah dan pendidikan masyarakat. Dalam pendidikan pesantren ketiganya menyatu dan saling menopang. Pendidikan sekolah berada di pesantren, keluarganya adalah teman-teman di asrama dan orang tuanya adalah para pembimbing, serta masyarakatnya adalah warga pesantren secara menyeluruh.
Efektivitas dan evesiensi pengajaran di kelas-kelas Pondok Pesantren Darussalam Gontor n sangat optimal, karena guru dan murid tinggal dalam satu pesantren, bimbingan belajar bisa dilaksanakan kapan saja dan dimana saja dari lokasi pesantren, setiap saat santri mempunyai ekses untuk bertanya dan belajar dari para seniornya. Pendidikan keluarga di pesantren juga sangat efektif, karena santri mendapat pengawasan selama 24 jam, terbimbing, terarahkan, terkawal, tersugesti dalam berbagai aktivitas kehidupannya.
Penerapan sistem pendidikan sebaya memberikan kesempatan untuk berlatih leadership bagi para seniornya , sekaligus menanamkan kemandirian melalui prinsip self government di Pondok Pesantren Darussalam Gontor. Para pembimbing selalu memonitor keadaan dan perkembangan santri.
Pendidikan masyarakat pesantren juga sangat efektif. Santri belajar bergaul dengan teman-temannya yang datang dari berbagai pelosok tanah air, bahkan luar negri, masing-masing mempunyai kekayaan kultur, kebiasaan dan wisdom, hal ini mendidik santri untuk bisa bergaul dengan siapa saja, di masyarakat mana saja, meskipun beragam latarbelakang suku, bahasa dan budayanya .
Ketiga pusat pendidikan ini menyatu dalam sistem pendidikan pesantren, saling menopang dan mendukung. Berbeda dengan anak-anak yang bersekolah di luar pesantren. Sangat sulit untuk menemukan tri pusat pendidikan yang serba kondusif. .
2. Integralitas Intra, Co dan Ekstra Kurikuler
Pondok Pesantren Darussalam Gontor menerapkan kurikulum pendidikan terpadu antara intra, co dan ekstra kurikuler. Kurikulum pondok adalah semua aktivitas selama 24 jam, dari anak bangun tidur, hingga tidur kembali, bahkan tidurnya pun bagian dari kurikulum. Anak didik bukan hanya belajar ilmu pengetahuan di ruang kelas, mereka juga belajar berbagaimacam ketrampilan dan kecakapan hidup di luar kelas.
Masjid, perpustakaan, dapur umum hingga lapangan olah raga, menjadi kelas besar santri. Di Pondok Pesantren Darussalam Gontor santri belajar tentang hidup dan kehidupan, tentang life skill (ketrampilan hidup) dan kecerdasan hidup. Intra, co dan ekstra kurikuler terpadu dan saling mendukung.
Apa yang dipelajari anak didik di dalam kelas, akan diulang kembali pada malam hari dalam kegiatan belajar terpimpin, kecakapan berbahasa asing dikuatkan dengan praktek percakapan sehari-hari, penerapan disiplin tinggi, pemberian kosa kata setiap pagi, latihan berpidato tiga bahasa setiap pekan, bahkan ketika berolah raga, berpramuka dan aktivitas lainnya, para santri tetapmempraktekkan bahasa resmi. .
3. Integralitas Ilmu Pengetahuan
Salah satu tujuan belajar di Pondok Pesantren Darussalam Gontor adalah untuk bertafaqquh fiddin (menekuni agama) (QS. 9 : 122), namun hal ini tidak berarti harus melalaikan ilmu pengetahuan umum.
Pondok Pesantren Darussalam Gontor tidak membedakan antara ilmu agama dan umum, karena pandanngan yang demikian bagian dari prinsip dikotomis sekularistik. Memahami agama dengan baik dan benar sebagai bekal hidup, mempelajari akidah yang lurus dan kuat, ibadah yang benar dan produktif, akhlak yang mulia adalah fardhu ain.
Sedang menjadi pakar dalam disiplin ilmu-ilmu agama hukumnya fardhu kifayah, para santri dibekali dengan pola fikir yang benar dan kunci-kunci ilmu untuk dikembangkan sendiri, diberi kail bukan ikan yang dimakan habis.
Tetapi mereka tidak boleh awam dari pengetahuan umum. Pondok Pesantren Darussalam Gontor memandang bahwa menekuni pengetahuan umum juga fardhu kifayah, dari antara umat Islam harus ada yang menekuni ilmu membuat pesawat, berbagaimacam senjata, teknik konstruksi dll, agar kita tidak dijajah dan dihegemoni bangsa lain.
Karena itu Pondok Pesantren Darussalam Gontor menyeimbangkan antara “ilmu agama” dan “ilmu umum”. Belajar fisika dan biologi melalui perspektif Islam, mampu menguatkan keimanan kepada Allah (QS. 3 : 190 – 191), belajar matematika dan hitung, akan memudahkan menghitung faraidl (hukum waris) dan zakat. Ilmu ekonomi akan membuat mereka pandai berusaha, mandiri, agar mampu berzakat dan menunaikan ibadah haji dll.
Meski demikian, Pondok Pesantren Darussalam Gontor tetap mempertahankan kemandiriannya, termasuk kemandirian kurikulumnya. Tidak menyerahkan kurikulum pendidikannya kepada Depag maupun Diknas, hal itu menjadi konsekwensi logis untuk menjaga konsistensi visi, misi dan orientasi pendidikannya.
4. Integralitas Teori dan Aplikasi
Ilmu bukan untuk ilmu, tetapi untuk diamalkan. Ilmu tidak bebas nilai, tetapi harus bermuatan Islamic worldview yang benar. Ilmu tanpa amal ibarat pohon tanpa buah. Perpaduan antara teori dan praktek bukan hanya dalam percobaan kimia, fisika serta biologi, tetapi meliputi semua ilmu yang dipelajari di Pondok Pesantren Darussalam Gontor.
Seorang yang bertambah ilmu tetapi tidak bertambah hidayah (petunjuk) maka ia hanya akan semakin bertambah jauh dari Allah. Idealnya semakin banyak ilmu yang diserap anak didik, akan semakin luhur pula akhlak budi pekertinya, semakin tinggi idealisme dan cita-cita perjuangannya, semakin bijak perilakunya.
Bila ilmu terpisah dari amal, akan terjadi gap – kesenjangan yang membahayakan. Pencapaian jenjang pendidikan tinggi tidak menjamin seseorang akan bebas dari perilaku primitif di masyarakat, seperti menghancurkan sumberdaya alam, membangkrutkan negara dengan berbagaimacam KKN dll.
5. Integralitas sistem pendidikan pesantren dan sistem pengajaran madrasah(klasikal)
Prof. Dr. H.A. Mukti Ali (alm) mantan Mentri agama RI, ketika berkunjung ke Pondok Pesantren Darussalam Gontor pernah membuat stetemen bahwa sistem pendidikan yang terbaik adalah pesantren, sedang sistem pengajaran yang terbaik adalah madrasah.
Pesantren mempunyai keunggulan dalam pendidikan karena keteladanan nyata dari para pengasuh, pengamalan langsung dari ilmu yang dipelajari, lingkungan yang kondusif, tarbawi dan Islami, kebersamaan para pendidik dengan santri di dalam satu pesantren, adanya jiwa keikhlasan, zuhud, wara’ dan kesederhanaan yang merasuki semua kegiatan santri di Pondok Pesantren Darussalam Gontor.
Namun pesantren lemah dalam sistem pengajaran, karena tidak ada jenjang yang jelas, tidak ada disiplin masuk kelas, tidak ada ujian dll, seperti yang ada di madrasah. Apabila kedua sistem ini dipadukan, maka akan melahirkan sistem pendidikan yang unggul .
Dalam hal ini Pondok Pesantren Darussalam Gontor menerapkan perpaduan antara sistem pendidikan pesantren dan sistem pengajaraan madrasah (sekolah). Istilah yang terkenal di kalanagan pesantren adalah “Al-muhafadzatu ‘ala al- qadim al-shalih, wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah”. Memelihara nilai lama yang baik, serta mengambil nilai baru yang lebih baik.
5. Integralitas Sarana Pendidikan (Keteladanan, Penciptaan lingkungan dan
Kegiatan).
Pendidikan mentalitas dan intelektualitas tidak bisa disampaikan hanya melalui pidato, tetapi harus dengan keteladanan nyata dan penciptaan lingkungan yang kondusif, sehingga segala apa yang dilihat, didengar dan dirasakan para santri di Pondok Pesantren Darussalam Gontor , menjadi bagian dari sarana dan media pendidikan mereka .
Memberi keteladanan sekali lebih baik dari pidato seribu kali. Seorang pendidik harus mempunyai sifat amanah (dapat dipercaya), dan diantara bentuk amanah tarbawiyah adalah menyelaraskan antara ucapan dengan perbuatan. Mendidik dengan keteladanan inilah yang telah diterapkan Rasulullah SAW, sehingga berhasil menciptakan generasi terbaik sepanjang zaman (QS. 33 : 21).
Keteladanan harus diberikan oleh para pendidik dalam segala hal, dalam akhlak, shilahnya ma’allah, produktivitas, kegigihan dan semangat perjuangan serta pengorbanannya.
Yang tidak kalah penting dalam menggapai keberhasilan pendidikan adalah menciptakan lingkungan yang baik. Lingkungan pendidikan harus steril dari hal-hal yang bisa menggerogoti nilai-nilai pendidikan. Karena ilmu dan informasi masuk ke dalam diri manusia melalui pintu-pintu pendengaran, penglihatan dan akal fikiran/hati nurani (QS. 16 : 78), maka semua itu harus terjaga agar selalu mendapat suplai informasi dan pengetahuan yang bebas dari polusi dan pencemaran.
Kegiatan yang banyak juga akan mewarnai dinamika dan produktifitas pribadi santri. Seseorang akan tumbuh menjadi manusia dewasa, sesuai dengan kebiasaan yang dia lalui. Maka kegiatan yang padat dan disiplin yang ketat, mempunyai andil besar dalam membentuk pola fikir, sikap dan tingkah laku anak didik.
6. Integralitas ruh (spirit), sistem, metode dan materi
Ruh, jiwa atau spirit adalah substansi dari segela sesuatu. Kita disebut manusia ketika mempunyai ruh, tanpa nyawa hanyalah sebuah jasad mati. Demikian pula suatu perbuatan, tanpa ruh keikhlasan, tidak akan memberikan keberkahan di dunia dan tidak akan diterima Allah di akhirat. Materi pendidikan memang sangat penting, tetapi metode lebih penting dari materi, dan guru tentu lebih penting dari metode, namun ruh gurulah yang paling penting .
Seorang guru/pendidik tanpa ruh, meskipun menguasai metode dan materi tidak akan mampu menyentuh hati dan menanamkan nilai-nilai luhur kepada anak didiknya. Pondok Pesantren Darussalam Gontor sangat mementingkan ruh dan jiwa ini, dalam tataran kelembagaan ada Panca Jiwa yang menjadi landasan ideal, yakni : Keikhlasan, Kesederhanaan, Kemandirian, Ukhuwah Islamiyah dan Kebebasan.
Jiwa ini benar-benar menjadi pegangan, prinsip yang dihayati dan diterapkan dengan penuh kesungguhan oleh para pendidik, selanjutnya diterapkan dalam semua kegiatan yang ada di Pondok Pesantren Darussalam Gontor.
Panca jiwa ini dikuatkan oleh filsafat-filsafat hidup kelembagaan, pendidikan dan pengajaran yang bukan hanya slogan, melainkan sudah menjadi kenyataan, seperti : Berjasalah tetapi jangan minta jasa, berkorbanlah tetapi jangan menjadi korban, Pondok Pesantren Darussalam Gontor berdiri diatas dan untuk semua golongan.
Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberikan manfaat bagi orang lain. Sebesar keinsyafanmu, sebesar itu pula keuntunganmu. Berani hidup tak takut mati, takut mati jangan hidup, takut hidup mati saja. Hidup sekali hiduplah yang berarti dll.
Pondok Pesantren Darussalam Gontor juga mempunyai empat Moto Pendidikan : Berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas dan berfikrian bebas. Moto pendidikan ini menggambarkan bahwa target dan sasaran pendidikan Pondok Pesantren Darussalam Gontor adalah pembentukan mental kepribadian yang luhur, sebagaimana misi yang diemban Rasulullah “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. Karena dengan kepribadian yang unggul, kita akan mempunyai pasukan yang berkualitas untuk berbagaimacam tugas.
Sedang kesehatan badan, keluasan wawasan adalah prasarat mutlak untuk bisa berkiprah di masayarakat, sementara itu berfikiran bebas, berarti memberikan kesempatan kepada anak didik untuk membuka berbagai macam pintu penghidupan dan perjuangan “min abwabin mutafarriqah”, bukan hanya dari satu pintu perjuangan. Setiap santri dipersilahkan berprofesi apa saja di masayarakat, tetapi tetap harus menjadi muslim yang baik, menjadi da’i dan pendidik umat
Pondok Pesantren Darussalam Gontor mempunyai orientasi pendidikan : Kemasyarakatan, Kesederhanaan, Tidak berpartai dan Ibadah thalbul ilmi lillah, tidak untuk menjadi pegawai. Orientasi ini menegaskan perlunya perjuangan di masyarakat, bukan malah menjauhi masyarakat. Program pendidikan yang diagendakan mencakup segala sesuatu yang akan ditemui di masyarakat.
Kesederhanaan untuk mendidik jiwa besar dan survival, tidak berpartai untuk menghindari fanatisme golongan dan kelompok yang masih menjadi penyakit akut bagi umat Islam Indonesia, serta thalabul ilmi ibadah lillah untuk senantiasa memanefestasikan nilai-nilai ibadah dalam segala hal, terutama dalam belajar
Dalam operasionalnya Pondok Pesantren Darussalam Gontor mempunyai Panca Jangka, Lima program jangka panjang yang dijabarkan dalam berbagai sistem dan kegiatan nyata di dalam pondok. Panca jangka tersebut adalah : Pendidikan dan pengajaran, Sarana dan pergedungan, Khizanatullah, Kaderisasi dan Kesejahteraan keluarga.
Tidak ada kegiatan yang tidak mempunyai kaitan dengan panca jangka ini. Semuanya terpadu, terintegrasi dengan serasi untuk mendidik generasi unggul yang berakhlak mulia, cerdas dan mandiri . Semua nilai-nilai, jiwa, dan filosofi-filosofi tersebut menjadi landasan paradikmatik bagi sistem pendidikan Pondok Pesantren Darussalam Gontor, kemudian terjabarkan lewat setrategi yang rapi dan teliti dalam berbagaimacam bentuk program, metode, hingga materi kurikulum pendidikannya.
Membangun budaya pendidikan integratif pada sebuah lembaga pendidikan semacam pondok pesantren jelas tidak mudah. Banyak aspek dan sisi yang harus dikuasai dengan baik, terutama yang terkait dengan pola pengembangan kemasyarakatan sebagai betuk aplikasi ilmu dan nilai pembelajaran podok pesantren.
Meningkatkan kualitas pemahaman kegamaan di satu sisi diiringi dengan peningkatan apresiasi pada problem sosial di masyarakat jelas membutuhkan keseriusan dan ketekunan tersendiri. Apalagi jika dilihat dari aspek kompleksitas masalah pada masyarakat pesantren saat ini.
Dan jangan lupa membangun sebuah pola pendidikan pesantren semacam ini merupakan sebuah human capital yang berdimensi jangka panjang, tidak dapat dinikmati hasilnya dalam waktu dekat.
Bak menanam buah kelapa, berinvestasi pada pengembangan pendidikan akan membutuhkan kesabaran dan keteguhan hati. Karena pada dasarnya para santri memang tidak dididik untuk menjadi para sales ataupum marketer yang mampu mendatangkan keuntungan (profit) dalam waktu yang singkat bagi institusi pendidikan yang mengampunya.
Bukan pula menjadi robot berteknologi tinggi yang mampu mengerjakan sekian banyak tugas dalam waktu relatif singkat. Karena bagaimana pun sumber daya manusia pada pendidikan pesantren adalah manusia biasa juga, sehingga dibutuhkan ruang yang cukup lama antara pencapaian intelektual santri yang dididik dan implementasi ilmu di dalam masyarakat secara komprehensif.
Jika hal ini dapat dilaksanakan dengan baik, maka peran aktif dari para santri demi pembangunan pendidikan Islam di masa depan akan mudah diimplementasikan dengan hasil yang lebih baik dalam membangun peradaban Islam.
III. Penutup
Islam se
PENDIDIKAN KARAKTER / NILAI DAN SISTEM PENDIDIKAN INTEGRAL
DI PONDOK PESANTREN DALAM USAHA MENGGAGAS
PERADABAN MUSLIM *
1. Pendahuluan
Seperti Negara berkembang lainnya, Indonesia kini sedang berusaha membangun citra bangsa sambil tetap mempertahankan identitas kulturalnya, proses ganda ini di ikhtiarkan dengan keseimbagan antara pertumbuhan dan pemerataan, sekaligus melestarikan pola kehidupan sosial budaya yang mendukung proses tersebut dalam rumusan yang yang lebih tetap dan sesuai. Indonesaia sedang berusaha bagaimana memantapkan kelangsungan psikologis dan dan kerangka proses perubahan yang lebih luas dalam membangun peradaban muslim.
Model pendidikan kepesantrenan menarik pula untuk kita kaji, melihat dari sejarah kepesantrenan, nampaknya model ini adalah pionir dalam gelanggang pendidikan bangsa Indonesia. Pada masa awal-awal masuknya Islam ke bumi nusantara ini para mubaligh mengajarkan ilmunya di rumah-rumah mereka dan masjid atau surau-surau.
Keilmuan di pesantren dalam perkembangan awalnya hanya berkutat masalah ilmu-ilmu agama. Banyak orang menyebutnya sebagai pesantren salaf atau pesantren tradisional, namun semakin kesini pesantren juga memasukkan kajian ilmu sains, komputer, bisnis dan kewirausahaan. Para pendirinya sebenarnya berasal dari pesantren tradisional, tapi alhamdulillah mayoritas pengasuh atau pimpinan pondok pesantren mau membuka diri untuk perkembangan dan kemajuan zaman sesuai dengan peradaban muslim saat ini.
Pesantren yang menerapkan sistem berasrama atau pondok amat memungkinkan melakukan pengawasan melekat (pekat) terhadap para santrinya, aktifitas mereka terpantau selama hampir 24 jam. Sehingga pesantren merupakan laboratorium kehidupan bagi pengelolanya maupun bagi para santrinya.
Santri atau siswa dididik dengan kemampuan memenej dirinya dalam segala hajat sehari-harinyan dari mulai kegiatan belajar, ritual peribadatan, urusan makan, kebersihan dan kesucian pakaian, tempat tinggal dan kesehatan badannya ataupun kegiatan belajar mengajar di pondok pesantren.
Tidak kalah pentingnya peningkatan ketrampilan hidup seperti bertani, berternak, dan berdagang juga diajarkan, untuk hal kepemimpinan biasanya diterapkan santri senior untuk menangani santri-santri yunior dalam wadah organisasi pelajar. Semua aktifitas tersebut ditempakan selama mereka dalam pondok, pada akhirnya santri diharapkan menguasai kemampuan ilmu agama, menejerial personal, menejerial organisasi dan ketrampilan hidup bahkan berkembang sesuai dengan peradaban muslim saat ini.
Pengelolaan pesantren dengan sistem yang pesantren tentunya akan menyempurnakan sistem kepesantrenan dengan pendidikan nilai dan sistem pendidikan integral yang ada di pesantren sehingga pesantren dijadikan sebagai menambah semangat dan jihadnya dan berusahan meningkatkan manejemen dengan standarisasi yang jelas sehingga dapat menggagas peradaban muslim khususnya di Indonesia.
Merujuk pada definis peradaban, dapat kita simpulkan bahwa struktur sebuah peradaban dibangun diatas tiga dimensi ; yaitu manusia, tanah, dan waktu. Demikian pendapat Malik bin Nabi, struktur yang paling penting dari ketiga bangun sebuah peradaban adalah unsur manusianya.
Manusia adalah pelaku peradaban, sedangkan tanah adalah medan penyemaian dari aktivitas-aktivitas manusia, sementara waktu adalah alokasi kerja dalam proses membangun peradaban tadi, jika manusia merupakan unsur yang paling fundamental dalam sebuah peradaban, maka langkah apapun bagi terwujudnya sebuah peradaban tidak akan pernah terealisir jika mengabaikan pendidikan dan pembinaan manusia.
Pembangunan manusia merupakan titik tolak rekontruksi peradaban Islam, demikian pentingnya manusia dalam posisinya sebagai supra struktur peradaban Islam, maka tidaklah mengherankan jika Allah kemudian menjelaskan sifat dan karakter manusia secara gamblang.
Konsep manusia di dalam Islam, sangat begitu jelas, dengan penjelasan ini, para aktivitis muslim memiliki landasan konseptual tentang bagaimana seharusnya mendidik manusia, misalnya hadits yang menjelaskan bahwa “Manusia itu seperti tambang emas dan perak, yang terbaik pada zaman jahiliyah, itu pulalah yang akan menjadi terbaik pada jaman Islam, asalkan dia paham”
Hadits ini menjelaskan bahwa pembinaan terhadap manusia harus juga dilakukan secara selektif, dalam arti harus ada upaya serius dari para aktivis muslim membidik dan mendidik manusia yang memiliki potensi dan kualitas-kualitas tertentu (anashir taghyir), sehingga kelak setelah selesai dilakukan pembinaan secara intensif dan berkesinambungan dalam waktu yang cukup lama, para manusia ini telah menjelma menjadi manusia-manusia unggul yang punya kesadaran dan kemampuan konseptual dan kontekstual tentang bagaimana membangun peradaban muslim.
Prilaku dakwah nabi yang sangat menginginkan agar Umar masuk Islam, cukuplah menjadi bukti dan hujjah tentang betapa pentingnya strategi ini, Islam tidak pernah puas hanya jika dipeluk oleh orang-orang yang tidak punya mental jadi pejuang dan pahlawan. Sungguh kita tak akan pernah berbuat adil jika kita tidak menjadikan Islam sebagai sebuah agama dan peradaban.
Tugas mendidik dan menjadikan manusia terbaik (khaira ummah) merupakan tanggung jawab yang paling utama dari sebuah pesantren peradaban, Pesantren yang berusaha membangun peradaban adalah sebuah institusi yang fokus utamamnya melahirkan manusia-manusia yang berfikir, berjiwa dan bertindak besar serta memiliki nilai-nilai luhur yang Islami.
Sebuah Pesantren yang mampu melahirkan “ustadzatul ‘alam” yang memiliki ilmu, iman dan jihad yang tidak ada keraguan di dalamnya, pesantren peradaban adalah lembaga kaderisasi yang mendidik dan melahirkan inti lapisan umat yaitu para pemimpinnya, pesantren peradaban adalah lingkungan ilmiah yang dibangun berdasarkan paradigma wahyu.
Pesantren yang memiliki peradaban memiliki budaya ilmu yang begitu kental dengan nilai-nilai perjuagan Islam dan membumikan risalah ilahi, pesantren peradaban mampu melahirakan ilmuan dan cendikiawan mulitidimensi yang keilmuwan mereka bersifat transdisipliner, karena itu struktur kurikulum pesantren peradaban harus bersifat tauhidi dan konfrehensif yang mencerminkan keutuhan ajaran keuniversalan Islam.
Dengan demikian, pesantren peradaban harus mampu memanifestasikan dirinya sebagai universitas yang mencerminkan ciri-ciri manusia universal. Konsepsi pesantren dengan model seperti itu, bukan saja tidak signifikan, tetapi juga riil. Alasannya, figur nabi Muhammad saw. adalah contoh riil insan yang kamil dan universal tersebut. (Al-Attas: 1994).
Karena itu pesantren peradaban haruslah mampu mewujudkan seseorang yang universal dalam cara pandangnya dan memiliki otoritas dalam beberapa bidang keilmuan yang saling berkaitan (Daud: 2006)
Sesungguhnya peran pesantren dalam proses membangun peradaban Islam adalah fakta yang tidak terbantahkan. Fakta ini bahkan menjadi sebuah aksioma sejarah untuk kebangkitan peradaban, hal ini berdasar dan bersandar pada apa-apa yang tercatat di dalam dinding-dinding sejarah kebangkitan perdaban umat ini .
Dr. Majid Irsan al-Kilani mencatat bagaimana proses ishlah dan kebangkitan umat beserta peradabannya dilakukan oleh madrasah (baca: pesantren) pembaharu, salah satunya adalah madrasah yang didirikan oleh imam al-Ghazali yang beliau dirikan dengan misi mengobati penyakit-penyakit umat yang fokusnya melahirkan generasi muslim baru yang holistik yang bersih dan unggul dalam bidang aqidah, akhlak dan pemikiran.
Sehingga lima puluh tahun setelah didirikannya madrasah ini lahirlah generasi baru ; generasi Shalahuddin al-Ayyubi, yang berhasil merebut kembali kekuasaan dan peradaban Islam. (Baca “Misteri Masa Kelam Islam dan Kemenangan Perang Salib”, DR. Majid Irsan Al-Kilani: 2007)
Jadi, tugas utama pesantren dalam membangun peradaban adalah melahirkan manusia yang berkualitas pada aspek pemikiran (tilawah/kognitif), akhlaq (Tazkiyah/afektif) dan amal (ta’lim/psikomotorik), pembinaan pada ketiga dimensi di atas sejalan dengan teori perubahan sosial dan filsafat sejarah bahwa sebuah perubahan bermula dari ide, keyakinan dan berakhir dengan tindakan.
Alhasil, kita berharap para alumni dari pesantren ini harus memiliki kekayaan ide yang kuat dan matang dan memiliki nilai islami serta kemampuan mensosialisasikannya kepada masyarakat, sehingga diharapkan masyarakat mempunyai kesadaran yang tinggi bergerak dan bertindak secara kolektif melakukan kerja-kerja rekontrusksi peradaban, inilah yang disebut oleh Ibnu Khaldun dengan ashabiyyah (solidaritas sosial).
Karena itu, secara subyektif dan obyektif, saya termasuk orang yang percaya bahwa pesantren memiliki kesempatan dan saham yang terbesar dalam proses rekontruksi ini, alasannya bahwa kemampuan mendidik manusia pada seluruh dimensinya hanya bisa mungkin terlaksana dengan model pesantren.
Dalam tradisi pesantren, pembinaan dan pendidikan bukan hanya pada ranah kognitif semata, tetapi juga pada ranah afektif dan psikomotorik. Dan itu secara diametral berbeda dengan sekolah umum yang hanya fokus pada ranah kognitif.
Dengan demikian, secara konsepsional sebenarnya pesantren peradaban ini telah real dan ada, yang harus kita lakukan adalah melakukan revitalisasi peran pesantren dalam membangun peradaban muslim.
Paradigma revitalisasi itu harus mengakar pada kesadaran akan visi misi eksistensial kita sebagai seorang muslim dan secara individu bertanggung jawab di hadapan Allah. Ringkasnya, pesantren harus berupaya melahirkan wa’yu al-hadhari (kesadaran berperadaban) bagi seluruh warga pesantren termasuk pengasuh dan santrinya.
Dalam relung sejarah panjang negeri ini, pondok pesantren dengan ciri utama pendidikan keislamannya telah menampilkan peran yang tidak sedikit bagi perkembangan pendidikan bangsa. Melalui model pendidikan agama Islam yang komprehensif pondok pesantren, yang bisa disebut sebagai satu-satunya lembaga pendidikan pribumi, telah mampu melahirkan banyak santri berkualitas yang secara riil dapat memberi sumbangsih peradaban Islam dan memiliki nilai dan pendidikan yang integral bagi negeri ini.
Sumbangsih ini bukan hanya berbentuk pada peningkatan moralitas yang menjadi ciri utama pesantren, tetapi juga dalam wujud pemberdayaan masyarakat dan lingkungan sekitar yang merupakan bagian integral dari lingkup kehidupan pondok pesantren.
Meskipun sama-sama menitik beratkan pola pendidikan pada materi-materi keislaman, terdapat beberapa perbedaan signifikan antara lembaga pendidikan Islam asli Indonesia ini dengan model pendidikan islam yang ada di dunia Islam lainnya.
Pesantren diakui atau tidak terutama di masa silam lebih banyak menggunakan pendekatan kultural yang begitu lekat dengan beberapa nilai budaya jawa, yang menjadi latar kehidupan para wali sebagai pendahulu yang telah berjasa dalam membangun pesantren pada awalnya.
Selain itu nilai islami atau sifat-sifat pesantren menjadi ciri khas yang tidak bisa lepas dari dunia santri, santri dan kyai menjalin sebuah ikatan yang terhubung oleh dasar inteletualitas dan budaya yang memberi nuansa tersendiri bagi kehidupan moral di masyarakat. Seolah mengejawantahkan sebuah hadits Nabi yang disitir Al-Ghazali “Semua orang akan rusak kecuali orang yang berfikir (terpelajar), yang terpelajar akan rusak kecuali yang mengamalkan pengetahuannya, yang mengamalkan pengetahuannya akan rusak kecuali yang menggunakan ketulusan.”
2. Pembahasan
a. Pengertian Pendidikan Nilai / Karakter
Banyak pakar telah mengembangkan berbagai pendekatan pendidikan nilai,
diantara berbagai pendekatan yang ada dan banyak digunakan, dapat
diringkas menjadi lima macam pendekatan, yaitu : pendekatan penanaman
nilai, pendekatan perkembangan kognitif, pendekatan analisis nilai,
pendekatan klarifikasi nilai, dan pendekatan pembelajaran berbuat.
Dalam pelaksanaan Pendidikan Budi Pekerti lebih tepat digunakan
Pendekatan Campuran, dengan penekanan pada Pendekatan Penanaman Nilai,
karena esensi dari tujuan antara Pendidikan Budi Pekerti dan
Pendekatan Penanaman Nilai adalah sama, yakni menanamkan nilai-nilai
sosial tertentu dalam diri santri di pondok pesantren.
Berbagai metoda pendidikan dan pengajaran yang digunakan dalam berbagai pendekatan lain dapat digunakan juga dalam proses pendidikan dan pengajaran pendidikan nilai atau budi pekerti. Hal ini penting, untuk memberi variasi kepada proses
pendidikan dan pengajarannya, sehingga lebih menarik dan tidak
membosankan.
Pendidikan budi pekerti memiliki esensi dan makna yang sama dengan
pendidikan nilai dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk
pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan
warga negara yang baik.
Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena
itu, hakikat dari Pendidikan budi Pekerti dalam konteks pendidikan di
Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur Islami
yang bersumber al-Qur’an dan as-Sunnah serta dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.
Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas
pelaksanaan Pendidikan nilai pada lembaga pendidikan formal.
Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang,
yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti
perkelahian masal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya.
Bahkan di kota-kota besar tertentu, seperti Jakarta dan Bandung, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan, oleh karena itu, lembaga
pendidikan formal seperti pesantren sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda
diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian
santri melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan nilai dan budi
pekerti.
Proses ini bersifat edukatif dan distributive dan menyiapkan langkah-langkah yang lebih tepat untuk menciptakan dan menyebarkan pesan pembangunan yang sarat akan nilai luhur dimana dapat merangsang motivasi. Proses pendidikan yang ada di pesantren di harapkan sesuai untuk memperlancar terbentuknya nilai-nilai atau tingkah laku yang dikehendaki, serta memberikan sanksi sosial sewajarnya terhadap tindakan yang menyimpang.
Hal ini sangat penting dalam kaitan upaya menemukan berbagai alternatif proses pendekatan pendidikan peradaban suatu bangsa dalam bentuk transformasi diri dalam rangka mengorganisir peradaban muslim agar lebih islami dengan kreatif dan produktif di dalam menghadap tugas- tugas barunya dalam proses pembangunan peradaban yang seyogyanya mampu menemukan dan memerankan secara tepat dan sistem nilai moralitas dalam kehidupan yang sudah eksis sebagai pendorong kearah positif. (Manfrred Oepen DKK, 1998)
Kehidupan manusia tidak lepas dari nilai, dan nilai itu selanjutnya perlu di institusikan, Institusi yang terbaik adalah melalui upaya pendidikan, keberadaan (eksistensi) pesantren beserta perangkatnya sebagai lembaga Islam, sudah barang tentu memiliki nilai-nilai khas yang membedakan dengan lembaga pendidikan lainnya, dalam realitasnya, nilai-nilai pesantren yang di kembangkan oleh pondok pesantren bersumberkan pada nilai-nilai ilahi dan nilai- insani. (H. Mansur , 2004)
Di Indonesia, institusi pendidikan Islam di Indonesia dikenal dengan nama pesantren yang perkembangannya berbarengan dengan proses penyebaran Islam itu sendiri. Lembaga pendidikan Islam ini bukan hanya memberi sumbangan yang penting dalam proses transmisi ilmu- ilmu Islam dan umum namun juga telah memberi andil yang besar dalam proses pendidikan nilai bagi terbinanya masyarakat Indonesia dalam membangun peradaban muslim.
Keberadaan pesantren serta perangkatnya yang ada sebagai lembaga pendidikan, sosial dan dakwah serta lembaga kemasyarakatan telah memberikan warna bagi perkembangan peradaban muslim di Indonesia. Hal ini erat kaitannya karena pesantren memberikan corak serta nilai-nilai Islami kepada warga pesantren dan masyarakat sekitarnya yang senantiasa selalu diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Figur kiyai, ustadz atau pembina pesantren, santri, serta seluruh perangkat fisik telah menandai sebuah lembaga pendidikan Islam yang dikelilingi oleh nilai dan kultur keagamaan.
Menurut Dr. Sutomo, ada beberapa aspek yang menarik dari pesantren, yaitu:
a. Sistem pondok. Dengan sistem ini, pendidikan, tuntunan, dan pengawasan dapat dilakukan secara langsung.
b. Keakraban hubungan antara kyai dan santri memungkinkan kyai atau ulama memberikan pengetahuan yang “hidup” kepada santrinya.
c. Kemampuan untuk mencetak atau mendidik manusia dalam memasuki lapangan pekerjaan secara merdeka dan madiri.
d. Kehidupan kyai / ulama yang sederhana tetapi penuh dengan kesenangan dan kegembiraan merupakan teladan yang baik masyarakat yang masih miskin.
e. Sistem pendidikan yang dapat diselenggarakan dengan biaya murah merupakan sarana yang baik untuk meningkatkan kecerdasan bangsa.
Inti pendidikan yang ditanamkan pada pondok pesantren adalah pendidikan nilai dan keagamaan sebagaimana Pondok Pesantren Darussalam Gontor. Pondok pesantren yang merupakan tempat masyarakat belajar (learning society) juga merupakan sumber informasi bagi masyarakat sekitarnya, informasi ini bukan hanya sebatas pada informasi agama saja, namun juga meliputi masalah- masalah agama, pendidikan, pertanian, ekonomi, sosial, dan budaya.
Pondok Pesantren, selama berabad-abad, telah menjadi sebuah institusi pendidikan yang memiliki peran cukup signifikan di Indonesia. Sebagai wadah penggemblengen generasi muslim, pondok pesantren tanpa henti menanamkan nilai Islami seperti akhlak dan adab, dan menjadi media transformasi ilmu pengetahuan.
Sebagaimana Pondok Pesantren Darussalam, yang lebih dikenal dengan sebutan pondok Gontor, karena letaknya di Gontor, Ponorogo Jawa Timur telah memberi banyak kontribusi dan jasanya dalam membangun peradaban bangsa. Sebagai pesantren sekaligus lembaga strategis untuk kaderisasi sumber daya manusia (SDM).
Pondok Pesantren Darussalam Gontor telah membuktikan kemampuannya dalam mewujudkan manusia yang saleh dengan dua model spesialisasi : ulama dalam bidang syariat dan ulama dalam bidang ilmu kauniah.
Perjalanan panjang Pondok Pesantren Darussalam bermula pada abad ke -18. Pondok Tegalsari sebagai cikal bakal Pondok Pesantren Darussalam Gontor didirikan oleh Kyai Ageng Hasan Bashari. Ribuan santri berduyun-duyun menuntut ilmu di pondok ini. Saat pondok tersebut dipimpin oleh Kyai Khalifah, terdapat seorang santri yang sangat menonjol dalam berbagai bidang.
Namanya Sulaiman Jamaluddin, putera Panghulu Jamaluddin dan cucu Pangeran Hadiraja, Sultan Kasepuhan Cirebon. Ia sangat dekat dengan Kyainya dan Kyai pun sayang padanya. Maka setelah santri Sultan Jamaluddin dirasa telah memperoleh ilmu yang cukup, ia dinikahkan dengan putri Kyai dan diberi kepercayaan untuk mendirikan pesantren sendiri di desa Gontor.
Gontor adalah sebuah tempat yang terletak lebih kurang 3 km sebelah timur Tegalsari dan 11 km ke arah tenggara dari kota Ponorogo. Pada saat itu, Pondok Pesantren Darussalam Gontor Gontor masih merupakan kawasan hutan yang belum banyak didatangi orang. Bahkan hutan ini dikenal sebagai tempat persembunyian para perampok, penjahat, penyamun bahkan pemabuk.
Dengan bekal awal 40 santri, Pondok Gontor yang didirikan oleh Kyai Sulaiman Jamaluddin ini terus berkembang dengan pesat, khususnya ketika dipimpin oleh putera beliau yang bernama Kyai Anom Besari. Ketika Kyai Anom Besari wafat, Pondok diteruskan oleh generasi ketiga dari pendiri Gontor Lama dengan pimpinan Kyai Santoso Anom Besari.
Setelah perjalanan panjang tersebut, tibalah masa bagi generasi keempat. Tiga dari tujuh putra-putri Kyai Santoso Anom Besari menuntut ilmu ke berbagai lembaga pendidikan dan pesantren, dan kemudian kembali ke Gontor untuk meningkatkan mutu pendidikan di Pondok Pesantren Darussalam Gontor. Mereka adalah;
• KH. Ahmad Sahal (1901-1977)
• KH. Zainuddin Fanani (1908-1967)
• KH. Imam Zarkasyi (1910-1985)
Mereka memperbaharui sistem pendidikan Pondok Pesantren Darussalam Gontor dan mendirikan Pondok Pesantren Darussalam Gontor pada tanggal 20 September 1926 bertepatan dengan 12 Rabiul Awwal 1345, dalam peringatan Maulid Nabi. Pada saat itu, jenjang pendidikan dasar dimulai dengan nama Tarbiyatul Athfal. Kemudian, pada 19 Desember 1936 yang bertepatan dengan 5 Syawwal 1355, didirikanlah Kulliyatu-l-Muallimin al-Islamiyah, yang program pendidikannya diselenggarakan selama enam tahun, setingkat dengan jenjang pendidikan menengah.
Dalam perjalanannya, sebuah perguruan tinggi bernama Perguruan Tinggi Darussalam (PTD) didirikan pada 17 November 1963 yang bertepatan dengan 1 Rajab 1383. Nama PTD ini kemudian berganti menjadi Institut Pendidikan Darussalam (IPD), yang selanjutnya berganti menjadi Institut Studi Islam Darussalam (ISID).
Saat ini ISID memiliki tiga Fakultas: Fakultas Tarbiyah dengan jurusan Pendidikan Agama Islam dan Pendidikan Bahasa Arab, FakultasUshuluddin dengan jurusan Perbandingan Agama, dan Akidah dan Filsafat, dan Fakultas Syariah dengan jurusan Perbandingan Madzhab dan Hukum, dan jurusan Manajemen Lembaga Keuangan Islam serta program Pasca Sarjana, sejak tahun 1996 ISID telah memiliki kampus sendiri di Demangan, Siman, Ponorogo.
Pondok Pesantren Darussalam Gontor saat ini dipimpin oleh: KH. Dr. Abdullah Syukri Zarkasyi, KH. Hasan Abdullah Sahal, KH. Syamsul Hadi Abdan , terletak di sebuah desa di Jawa Timur yang bernama Gontor, Pondok Pesantren Darussalam Gontor mengerahkan segenap konsentrasi dan potensinya untuk dunia pendidikan Islam serta menggagas peradaban muslim.
Hal ini semakin dipertegas dengan tidak terlibatnya Pondok Pesantren Darussalam Gontor dalam politik praktis. Karena Pondok ini tidak berafiliasi kepada partai politik ataupun organisasi kemasyarakatan apapun, ia dapat secara independen menentukan langkahnya, sehingga memiliki ruang gerak yang lebih luas dalam pendidikan dan pengajaran.
Gagasan dan cita-cita para pendiri Pondok Pesantren Darussalam Gontor Ponorogo sehingga mempunyai tekad yang begitu besar, cita-citanya terutama adalah rasa tanggung jawab memajukan peradaban ummat Islam dalan mencari ridha Allah, tempat yang dipilih untuk mewujudkan cita-cita itu adalah Pondok Pesantren, yaitu lembaga pendidikan Islam yang pernah berjaya pada masa nenek moyang mereka tatapi pada saat itu telah mati.
Pendidikan pondok pesantren adalah model pendidikan Islam yang banyak dipakai dan berlaku di beberapa negara Islam. Namun, di negara-negara itu pendidikan Islam telah banyak mengalami kemajuan dan perkembangan, sedangkan lembaga pendidikan pesantren di Indonesia karena situasi penjajahan dan lain-lain belum mampu berkembang pesat sebagaimana lembaga-lembaga pendidikan di negara-negara Islam lainnya.
Karena itu pengembangan pondok pesantren di Indonesia perlu mengambil kaca perbandingan dari lembaga-lembaga Islam di luar negeri yang serupa dengan sistem pendidikan pesantren.
” Pondok Pesantren Darussalam Gontor di atas dan untuk semua golongan.” Demikian prinsip yang dipegang Pondok Pesantren Darussalam Gontor sejak pertama kali didirikan. dengan terbebasnya institusi ini dari muatan politis, pondok ini dapat lebih memfokuskan diri dalam menunaikan amanat pendidikan dan pengajaran yang berada di pundaknya, iklim pendidikan yang lebih tenang dan kondusif pun tercipta, dengan didasari jiwa keikhlasan dan tanpa dipengaruhi oleh kepentingan apapun.
Salah satu nikmat yang dianugerahkan oleh Allah Swt. Bahwa instusi ini, dalam usianya yang ke-84, dapat terus meningkatkan peran dan eksistensinya dalam mendidik generasi muda muslim yang berkualitas. Para alumninya kini bergerak dalam berbagai bidang ; agama, sosial, kemasyarakatan, dan pemerintahan.
Beberapa di antaranya meneruskan studi di berbagai perguruan tinggi di Indonesia, maupun di perguruan tinggi di negara-negara Timur Tengah dan Barat. Peran serta prestasi para alumni inilah yang mengharumkan nama Pondok Pesantren Darussalam Gontor sebagai lembaga pendidikan Islam yang disegani di Asia Tenggara. Dan dengan dukungan mereka pula, pondok ini menjadi kokoh dan teguh dalam menghadapi pelbagai tantangan dan cobaan serta perkembangan zaman.
Meski kadang harus menghadapi masalah-masalah psikologis dalam pondok, para santri juga para ustadz di Pondok Pesantren Darussalam Gontor tetap melaksanakan tugas-tugas kesehariannya penuh ceria. Sejak tahun pertama, para santri diberi arahan lewat pelajaran seperti mahfuzhat: ash shobru kash shobiri murrun fi madzaqotihi, lakin ‘awaqibuhu ahla minal ‘asali, (sabar itu ibarat minuman yang sangat pahit rasanya, tetapi dampak pengaruhnya lebih manis dari madu)”.
Ketenteraman para santri dirasakan dengan segala agenda yang padat, program pesantren yang sarat dengan nilai-nilai pendidikan, dan nuansa sosial yang membekas sampai saat mereka menjadi alumni. Ketenteraman saat menjadi alumni dirasakan dengan suasana keakraban dan kebersamaan, meskipun mereka berada di tempat yang berjauhan.
Dalam perjalanan sejarah, pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam strategis untuk mewujudkan generasi Muslim yang siap menjalankan amanat kehidupan dalam membagun peradaban ummat, pesantren memiliki banyak fungsi yang sangat tinggi nilai dan martabatnya dalam dunia pendidikan.
Setidaknya ada tiga fungsi utama pesantren untuk merealisasi tujuan mulianya dalam mewujudkan kekuatan sumber daya manusia pada semua aspeknya. Ketiganya adalah :
1. fungsi taklim (pengajaran ilmu pengetahuan yang dibutuhkan santri),
2. fungsi tarbiyah (yaitu mendidik santri, agar mereka terarah dan terbimbing),
3. fungsi Lembaga Dakwah Islam yang melayani masyarakat.
Keberhasilan pelaksanaan fungsi ini sangat ditentukan oleh keharmonisan hubungan antara guru, santri dan materi-materi itu sendiri. Pondok bukan hotel, karena pondok didirikan santri. Pondok adalah tempat berlatih menjadi orang yang suka dan pandai menolong, bukan yang hanya selalu minta ditolong.
Ajaran atau didikan yang utama di pondok ialah tidak menggantungkan diri kepada orang lain, itulah diantara nilai-nilai Islami yang diterapkan di Pondok Pesantren Darussalam Gontor. Kemajuan zaman telah ditandai oleh pesatnya perkembangan pengetahuan, teknologi dan kecanggihan sistem informasi. Di satu sisi, kemajuan tersebut tidak sedikit memberikan manfaat bagi kehidupan manusia masa kini. Di sisi lain, kemajuan tersebut banyak menimbulkan masalah sosial yang serius, terutama liberalisasi pola hidup anak-anak remaja.
Hedonisme merupakan gejala kehidupan remaja yang diakibatkan oleh kosongnya remaja dari nilai-nilai agama. Prinsip para remaja yang menganggap bahwa masa muda adalah masa bersenang-senang, membuat kalangan remaja sulit diarahkan. Hal ini menjadi salah satu tantangan bagi pendidikan pesantren.
Tantangan lain berupa kehidupan yang semakin permisif, pergaulan bebas, narkoba, dan sejenisnya, lahir akibat pola hidup yang permisif. Para remaja masa kini juga punya kebiasaan hura-hura.Tantangan itu dilengkapi dengan persoalan kependudukan di Indonesia yang semakin kompleks dan kualitas masyarakat yang memprihatinkan.
Dalam kaitan ini, Pondok Pesantren Darussalam Gontor sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam, memiliki potensi dan peluang yang positif dalam membantu pengembangan potensi dasar manusia berupa pengembangan akalnya dan akhlaknya.
Pesantren merupakan salah satu jenis pendidikan Islam di Indonesia yang bukan hanya untuk mendalami agama Islam dan umum, tetapi juga menanamkan niali-nilai islami dan dapat diamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian, dengan menekankan pentingnya moral dalam kehidupan bermasyarakat dalam membangun peradan muslim.
Pondok Darussalam Gontor adalah salah satu Pondok Pesantren yang turut mewarnai dunia pendidikan Indonesia. Terletak di sebuah desa di Jawa Timur yang bernama Gontor, Pondok Darussalam Gontor mengerahkan segenap konsentrasi dan potensinya untuk dunia pendidikan Islam dalam membangun peradaban muslim di Indonesia.
Hal ini semakin dipertegas dengan tidak terlibatnya Pondok Pesantren Darussalam Gontor dalam politik praktis, karena Pondok ini tidak berafiliasi kepada partai politik ataupun organisasi kemasyarakatan apapun, ia dapat secara independen menentukan langkahnya, sehingga memiliki ruang gerak yang lebih luas dalam pendidikan dan pengajaran dalam menanamkan nilai-nilai Islami dalam membangun peradaban muslim.
Nilai-nilai yang terkandung di dalam pendidikan pesantren seperti Pondok Pesantren Darussalam Gontor adalah fikih sufistik yang lebih mengedepankan nilai / character keagamaan demi membangun peradaban dunia dan akhirat kelak. Nilai-nilai tersebut kemudian menjadi ciri khas nilai dalam pendidikan pesantren yang harus diserap oleh warga pesantren dan masyarakat sekitarnya.
Nilai tersebut kemudian membentuk pandangan hidup santri, seperti pada nilai-nilai yang dijiwai oleh suasana-suasana yang dapat disimpulkan dalam Panca Jiwa di pesantren, Darussalam Gontor selain itu pula sebagai agen pewaris budaya (agen of of conservative), pesantren berperan sebagai pewaris budaya melalui pendidikan sistem nilai dan kepercayaan, pengetahuan, norma-norma, serta dat kebiasaan dan berbagai perilaku tradisional yang telah membudaya diwariskan pada suatu generasi ke genaerasi berikutnya.
Tegasnya, lembaga pendidikan pesantren merupakan tempat sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai yang telah membudaya. Oleh karena itu, pada nilai-nilai yang dijiwai dalam Panca Pondok pesantren Darussalam Gontor dan tujuannya atas nilai-nilai pengetahuan serta aspirasi dan pandangan hidup yang yang berlaku dan diamalkan bagi warga pesantren yang kelak dapat membangun peradaban muslim khususnya di Indonesia.
Sebagaimana layaknya lembaga pendidikan, pendidikan Pondok Pesantren Darussalam Gontor juga memiliki pendidikan yang jelas, tujuan umum pendidikn pesantren adalah membimbing anak didik (santri) untuk menjadi kepribadian Islam yang dengan dengan nilai-nilai yang terangkum dalam Panca Jiwa Pondok Pesantren.
Dengan itu warga pesantren sanggup menjadi Muballigh Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya. Sedangkan tujuan khususnya adalah mempersiapkan santri menjadi orang alim dan mendalami ilmu agamanya yang diajarkan oleh ustadz atau kyai yang bersangkutan serta mengamalkannya nilai-nilai Islami di dalam masyarakat.
Dengan demikian tujuan terpenting pendidikan pesantren adalah membangunn nilai dan moralitas agama santri dengan pengamalannya. Dalam hal ini berarti yang menjadi fokus tujuan pendidikan pesantren apalagi melihat perkembangan dunia yang begitu cepat ini bagi banyak kalangan telah memunculkan respond an spekulasi yang beragam.
Tidak terkecuali bagi umat Islam, perubahan-perubahan yang terus muncul belakangan ini di dalamnya menyentuh hampir seluruh aspek kehidupan manusia, aspek budaya, ekonomi hingga aspek nilai-nilai moral. Secara sederhana, era global ini dapat di ilustrasikan dengan persaingan sengit dalam bidang ilmu dan politik, kemajuan sains, dan teknologi, arus informasi yang cepat, dan perubahan sosial yang tinggi.
Sebaliknya, berbagai upaya proteksi yang di lakukan oleh suatu pihak atau Negara tertentu, bagi Negara-negara yang telah lama melakukan proyek pesantrenisasi, tentu hanya di pandang sebagai penentangan terhadap keterbukaannya. Sebagai implikasinya, wacana mengenai plurarisme akan menjadi pergulatan serius dalam mempertemukan antar peradaban yang yang berkeingianan untuk eksis di dunia.
Dalam maknanya yang global, pluralisme di satu sisi mempunyai ‘keterbukaan’ dan di sisi lain bisa jadi muncul sebagai bentuk arena persaingan. Dalam kondisi seperti ini , umat manusia dihadapkan pada realitas, dimana tafsir mengenai ‘persaingan’ sangat erat kaitannya dengan siapa yang kuat dialah yang akan memenangkan arena perdebatan dan sebaliknya, pihak yang lemah akan menanggung kekalahan dan menerima sistem keterbukaan tersebut .
Oleh karena pengaruh abad industri ini tidak saja menyentuh aspek ekonomi, tetapi juga moral dan agama, Islam dengan paradigma yang dimilikinya , yaitu ra ahmatan lil alamin, bertanggung jawab atas terjadi benturan-benturan peradaban atau implikasi negatif dari perkembangan dunia, termasuk juga didalamnya adalah masyarakat pesantren yang menjadi bagian integral dari masyarakat secara kesuluruhan tidak bisa menutup mata dan menjauh dari realitas ini.
Pertanyaannya adalah bagimana bentuk akomodasi pesantren dalam merespon pesantrenitas sebagaimana fenomenanya telah diuraikan di atas, kiranya nilai- nilai apa sajakah yang dianggap akomodatif dan mampu menjawab tantangan zaman. Dengan demikian Pondok Pesantren Darussalam Gontor memiliki nilai-nilai yang dijiwai oleh suasana-suasana yang dapat disimpulkan dalam Panca Jiwa.
b. Lima Nilai di dalam Panca Jiwa Pondok Pesantren Darsussalam Gontor
Panca Jiwa adalah lima nilai yang mendasari kehidupan Pondok Darussalam Gontor yaitu :
1. Jiwa Keikhlasan
Jiwa ini berarti sepi ing pamrih, yakni berbuat sesuatu bukan karena didorong oleh keinginan untuk mendapatkan keuntungan tertentu. Segala perbuatan dilakukan dengan niat semata-mata untuk ibadah, lillah. Kyai ikhlas medidik dan para pembantu kyai ikhlas dalam membantu menjalankan proses pendidikan serta para santri yang ikhlas dididik.
Jiwa ini menciptakan suasana kehidupan Pondok Pesantren Darussalam Gontor yang harmonis antara kyai yang disegani dan santri yang taat, cinta dan penuh hormat. Jiwa ini menjadikan santri senantiasa siap berjuang di jalan Allah, di manapun dan kapanpun berada.
Pendidikan keikhlasan ini tak hanya diterapkan pada santri / siswa. Para ustadz, bahkan Kiai sekali pun terkena disiplin untuk berlatih keikhlasan setiap saat. Kenapa? Pengalaman pendidikan di pesantren membuktikan bahwa peranan metode pengajaran itu memang lebih penting dari materinya. Tapi, jiwa si pengajar lebih penting ketimbang metode dan materinya. Dan pengajar yang mukhlis akan beda hasilnya dengan yang tidak mukhlis.
Lalu, kenapa keikhlasan dijadikan ruh pesantren Pondok Pesantren Darussalam Gontor diletakkan dalam urutan pertama Panca Jiwa Pondok ? Jawabannya, karena terkait dengan cita-cita pesantren yang tak lain adalah untuk mendidik pejuang di masyarakat, terlepas apa pun profesi, spesialisasi, atau pekerjaannya.
Sungguh tak terbayangkan, bagaimana cita-cita itu akan terwujud apabila para santri tidak dilatih keikhlasan. Tak terbayangkan, bagaimana seandainya para santri itu tidak dilatih menghilangkan persyaratan pribadi ketika hendak berbuat baik. Pejuang yang tidak memiliki landasan spiritual dalam perjuangannya pasti akan mudah patah di tengah jalan.
Itulah kenapa keikhlasan Pondok Pesantren Darussalam Gontor itu disebut sebagai ruhnya tindakan. Dengan ikhlas, orang tak larut ke dalam kekecewaan yang panjang saat menghadapi kegagalan. Dengan ikhlas, orang selalu punya motivasi untuk berbuat baik, untuk apa pun dan kepada siapa pun.
2. Jiwa kesederhanaan
Kehidupan di Pondok Pesantren Darussalam Gontor diliputi oleh suasana kesederhanaan, sederhana tidak berarti pasif atau nerimo, tidak juga berarti miskin dan melarat, justru dalam jiwa kesederhanan itu terdapat nilai-nilai kekuatan, kesanggupan, ketabahan dan penguasaan diri dalam menghadapi perjuangan hidup.
Di balik kesederhanaan ini terpancar jiwa besar, berani maju dan pantang mundur dalam segala keadaan. Bahkan di sinilah hidup dan tumbuhnya mental dan karakter yang kuat, yang menjadi syarat bagi perjuangan dalam segala segi kehidupan .
3. Jiwa Berdikari
Berdikari atau kesanggupan menolong diri sendiri merupakan senjata ampuh yang dibekalkan pesantren kepada para santrinya. Berdikari tidak saja berarti bahwa santri sanggup belajar dan berlatih mengurus segala kepentingannya sendiri, Pondok Pesantren Darussalam Gontor itu sendiri sebagai lembaga pendidikan juga harus sanggup berdikari sehingga tidak pernah menyandarkan kehidupannya kepada bantuan atau belas kasihan pihak lain .
Inilah Zelp berdruiping systeem (sama-sama memberikan iuran dan sama-sama memakai). Dalam pada itu, Pondok tidaklah bersifat kaku, sehingga menolak orang-orang yang hendak membantu. Semua pekerjaan yang ada di dalam pondok dikerjakan oleh kyai dan para santrinya sendiri, tidak ada pegawai di dalam pondok, santri dituntut untuk hidup mandiri, tidak tergantung pada orang lain.
Salah satu orientasi pendidikan di Pondok Darussalam Gontor adalah kemasyarakatan. Para santri dicetak untuk menjadi pejuang Islam yang mandiri di masyarakat. Kenyataannya, perkembangan iptek dan meluasnya informasi di segala sektor kehidupan menimbulkan perubahan sosial yang cepat di masyarakat, sehingga menimbulkan jarak antara kesiapan individu santri dengan tuntutan lingkungannya.
Perkembangan dan perubahan zaman ini telah diantisipasi oleh Pondok Pesantren Darussalam Gontor melalui berbagai cara dan program. Di antaranya adalah dengan mendirikan Pusat Latihan Menejemen dan Pengembangan Masyarakat (PLMPM), tahun 1988, yang dirancang khusus bagi alumni KMI dan ISID yang memang betul-betul akan terjun langsung ke masyarakat. Di lembaga ini para alumni itu diberi bekal tambahan untuk menyempurnakan dan mempercepat karya mereka di masyarakat sehingga dapat hidup berdikari.
4. Jiwa Ukhuwwah Diniyyah
Kehidupan di Pondok Pesantren Darussalam Gontor diliputi suasana persaudaraan yang akrab, sehingga segala suka dan duka dirasakan bersama dalam jalinan ukhuwwah diniyyah, tidak ada dinding yang dapat memisahkan antara mereka, ukhuwah ini bukan saja selama mereka di Pondok, tetapi juga mempengaruhi ke arah persatuan ummat dalam masyarakat setelah mereka terjun di masyarakat.
Kehidupan di Pondok Pesantren Darussalam Gontor yang berjalan selama 24 jam harus diliputi suasana persaudaraan akrab, sehingga segala kesenangan dirasakan bersama dengan jalinan persamaan agama. Jiwa ukhuwah ini tidak hanya berlaku ketika seorang santri tersebut masih menimba ilmu di pondok, akan tetapi jiwa ukhuwah ini ditujukan kepada persatuan ummat ketika sudah menjadi alumni dari pondok. Dari jiwa ukhuwah ini K.H. Ahmad Sahal berwasiat kepada siswa kelas enam yang telah menyelesaikan pelajaran mereka di kelas VI KMI Pondok Pesantren Gontor: Jadilah anak-anakku perekat ummat; dan fahamilah benar-benar arti perekat ummat
5. Jiwa Bebas
Bebas dalam berpikir dan berbuat, bebas dalam menentukan masa depan, bebas dalam memilih jalan hidup, dan bahkan bebas dari berbagai pengaruh negatif dari luar, masyarakat. Jiwa bebas ini akan menjadikan santri berjiwa besar dan optimis dalam menghadapi segala kesulitan. Hanya saja dalam kebebasan ini seringkali ditemukan unsur-unsur negatif, yaitu apabila kebebasan itu disalahgunakan, sehingga terlalu bebas (liberal) dan berakibat hilangnya arah dan tujuan atau prinsip.
Sebaliknya, ada pula yang terlalu bebas (untuk tidak mau dipengaruhi), berpegang teguh kepada tradisi yang dianggapnya sendiri telah pernah menguntungkan pada zamannya, sehingga tidak hendak menoleh ke zaman yang telah berubah. Akhirnya dia sudah tidak lagi bebas karena mengikatkan diri pada yang diketahui saja.
Maka kebebasan ini harus dikembalikan ke aslinya, yaitu bebas di dalam garis-garis yang positif, dengan penuh tanggungjawab; baik di dalam kehidupan pondok pesantren itu sendiri, maupun dalam kehidupan masyarakat. Jiwa yang meliputi suasana kehidupan Pondok Pesantren Darussalam Gontor itulah yang dibawa oleh santri sebagai bekal utama di dalam kehidupannya di masyarakat. Jiwa ini juga harus dipelihara dan dikembangkan dengan sebaik-baiknya.
Peranan panca jiwa di Pondok Pesantren Darussalam Gontor yang menjiwai setiap detik kehidupan di pesantren, salah satu peranan penting panca jiwa adalah sebagai falsafat hidup santrinya. Dan dalam proses pendidikannya, K.H. Imam Zarkasyi dalam sambutannya pada acara resepsi kesyukuran setengah Abad dan peresmian masjid Jami’ Pondok Pesantren Gontor menyatakan beberapa semboyan pendidikan yang terilhami dari panca jiwa pondok pesantren. Semboyan pendidikan itu adalah: “Berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas dan berpikiran bebas”. (Imam Zarkasyi, 1991)
Dan semboyan ini bukan hanya sekedar slogan atau sekedar rencana, tetapi adalah suatu hal yang sudah terlaksana selama bertahun-tahun hingga sekarang. Dan semboyan Pondok Pesantren Darussalam Gontor ini sekarang dikenal dengan “Motto Pondok Pesantren”.
Disamping semboyan yang sudah disebut diatas masih banyak lagi semboyan-semboyan pendidikan untuk para santri sebagai pencerminan dari Panca Jiwa Pondok Pesantren Darussalam Gontor tadi. Hal tersebut diungkapkan oleh K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi M.A dalam pidatonya pada acara puncak kesyukuran delapan windu 1991. Beliau mengungkapkan:
“Dari sinilah keluar filsafat hidup, pencerminan dari Panca Jiwa Pondok Pesantren Darussalam Gontor itu, sehingga banyak semboyan-semboyan pendidikan untuk para santri seperti:
• “Hidupilah pondok, jangan menggantungkan hidup dari pondok”
• “Berjasalah dan jangan minta jasa”
• “Jadilah Santri yang: Berani hidup tak takut mati, takut mati jangan hidup takut hidup mati saja”
• Hidup sekali, hiduplah yang berarti”
• Jadilah Santri yang pandai menciptakan pekerjaan, bukan yang mencari pekerjaan”
• “Berkorbanlah dalam berjuang, dengan Bondo, bahu, piker, lek perlu saknyawane pisan” (Abullah Syukri Zarkasyi, 1991)
Dapat disimpulkan dari ungkapan diatas bahwa kelima panca jiwa Pondok Pesantren Darussalam Gontor yang selalu menjiwai kehidupan dipondok mempunyai peran yang sangat penting dalam jalan pendidikan di pondok pesantren. Karena Pondok Pesantren lebih mementingkan pendidikan daripada pengajarannya. Adapun arah dan tujuan pendidikan di Pondok Pesantren Darussalam Gontor adalah: Kemasyarakatan, Hidup sederhana, Tidak berpartai dan Tujuan pokoknya “ibadah talabul ‘ilmi”, bukan untuk menjadi pegawai. (Abullah Syukri Zarkasyi, 1991)
Arah dan tujuan tersebut adalah wujud kongkrit dari panca jiwa Pondok Pesantren yang selalu menjiwai kehidupan di Pondok Pesantren Gontor dan dalam hal ini lebih menekankan pada masalah jalannya pendidikan dan pengajaran di Pondok Pesantren Gontor.
Dengan tekad untuk menjadi sebuah lembaga pendidikan berkualitas, Pondok Darussalam Gontor bercermin pada lembaga-lembaga pendidikan internasional terkemuka. Empat lembaga pendidikan yang menjadi sintesa Pondok Darussalam Gontor yang bersamaan dengan nilai-nilai di dalam Panca Jiwa adalah:
1. Universitas Al-Azhar Kairo Mesir, yang memiliki wakaf yang sangat luas sehingga mampu mengutus para ulama ke seluruh penjuru dunia, dan memberikan beasiswa bagi ribuan pelajar dari berbagai belahan dunia untuk belajar di Universitas tersebut.
2. Aligarh, yang terletak di India, yang memiliki perhatian sangat besar terhadap perbaikan sistem pendidikan dan pengajaran.
3. Syanggit, di Mauritania, yang dihiasi kedermawanan dan keihlasan para pengasuhnya.
4. Santiniketan, di India, dengan segenap kesederhanaan, ketenangan dan kedamaiannya.
Selain Panca Jiwa Pondok Darussalam Gontor juga memiliki Motto yang agak berbeda dari pesantren lain pada umumnya dalam menekankan pada pembentukan pribadi mukmin yang sholeh sehingga pendidikan nilai yang ada dapat menggagas peradaban muslim di Indonesia yaitu :
1. Berbudi tinggi
Berbudi tinggi merupakan landasan paling utama yang ditanamkan oleh Pondok Pesantren Darussalam Gontor ini kepada seluruh santrinya dalam semua tingkatan; dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi. Realisasi penanaman motto ini dilakukan melalui seluruh unsur pendidikan yang ada.
2. Berbadan Sehat
Tubuh yang sehat adalah sisi lain yang dianggap penting dalam pendidikan di Pondok Pesantren Darussalam Gontor ini. Dengan tubuh yang sehat para santri akan dapat melaksanakan tugas hidup dan beribadah dengan sebaik-baiknya. Pemeliharaan kesehatan dilakukan melalui berbagai kegiatan olahraga, dan bahkan ada olahraga rutin yang wajib diikuti oleh seluruh santri sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan.
3. Berpengetahuan Luas
Para santri di Pondok Pesantren Darussalam Gontor ini dididik melalui proses yang telah dirancang secara sistematik untuk dapat memperluas wawasan dan pengetahuan mereka, santri tidak hanya diajari pengetahuan, lebih dari itu mereka diajari cara belajar yang dapat digunakan untuk membuka gudang pengetahuan. Kyai sering berpesan bahwa pengetahuan itu luas, tidak terbatas, tetapi tidak boleh terlepas dari berbudi tinggi, sehingga seseorang itu tahu untuk apa ia belajar serta tahu prinsip untuk apa ia manambah ilmu.
4. Berpikiran Bebas
Arti bebas disini dititik beratkan pada perbuatan berpikir dan berbuat, bebas menentukan masa depannya. Dengan prinsip jiwa bebas ini para santri harus bebas dalam memilih dan menentukan jalan hidupnya di masyarakat kelak, dengan jiwa besar dan optimis dalam menghadapi kesulitan.
Tetapi sangat di sayangkan apabila jiwa bebas ini diartikan dengan arti-arti yang negatif. Seperti kebebasan yang keterlaluan (liberal), sehingga kehilangan arah dan tujuah serta prinsip. Sehingga arti bebas disini harus dikembalikan kepada aslinya, yaitu garis-garis disiplin yang positif dengan penuh tanggungjawab, baik didalam kehidupan pondok dan masyarakat. Dan jiwa-jiwa pondok yang terangkum dalam panca jiwa Pondok Pesantren Darussalam Gontor harus dihidupkan dan dipelihara dan dikembangkan dengan sebaik-baiknya.
Berpikiran bebas tidaklah berarti bebas sebebas-bebasnya (liberal). Kebebasan di sini tidak boleh menghilangkan prinsip, teristimewa prinsip sebagai muslim mukmin. Justru kebebasan di sini merupakan lambang kematangan dan kedewasaan dari hasil pendidikan yang telah diterangi petunjuk ilahi (hidayatullah). Motto ini ditanamkan sesudah santri memiliki budi tinggi atau budi luhur dan sesudah ia berpengetahuan luas.
2. Pendidikan Integral
a. Sistem Pendidikan Integral
Dengan segala bentuk dan aneka model pembelajaran keagamaan yang masih dapat dirunut keberadaanya, pondok pesantren di masa depan jelas mampu memberi nuansa dan pencerahan baru bagi dunia pendidikan terutama di Indonesia. Tentu saja jika dibarengi dengan kesungguhan pada pengembangan ilmu-ilmu pesantren dengan metodologi yang lebih komprehensif.
Sehingga khazanah intelektual pesantren yang begitu kaya dengan berbagai disiplin ilmu agama dapat bersinergi dengan ilmu pesantren yang akhirnya mampu melahirkan paradigma pembelajaran yang integratif dan tidak dikotomis. Hal demikian dapat dilaksanakan antara lain dengan memperkenalkan beberapa aspek pengetahuan pesantren yang aplikatif (applied sciences) dan mengkomparasikannya dengan berbagai disiplin ilmu Islam yang menjadi keahlian pesantren.
Integrasi semacam ini tidak semata-mata menguntungkan dunia santri. Tetapi juga akan berdampak pada pengembangan masyarakat yang lebih dinamis karena integrasi pengetahuan yang terjadi. Sehingga keseimbangan pemikiran Islam yang bersifat samawi dan pengayaan ilmu pengetahuan pesantren yang lebih humanis dapat tersinergi dengan optimal.
Terlebih di zaman yang semakin kompleks ini, di mana sisi-sisi religiusitas manusia yang dulu digerus oleh pengetahuan yang dibiarkan bebas nilai (free value), tampak mulai kembali menampakkan diri, yang jika tidak disikapi secara arif oleh dunia pendidikan Islam macam pondok pesantren, maka kembalinya manusia pada spirit agama akan berdampak negatif, semisal radikalisme dan fundmentalisme.
Karena itulah perencanaan ke depan bagi pengembangan kelembagaan pesantren di dunia pendidikan menjadi perlu untuk diperhatikan semua pihak. Apalagi dalam kerangka membangun masyarakat madani (civil society) yang mumpuni dan bertanggung jawab dalam tugas-tugas kemasyarakatan bagi masa depan bangsa.
Tarbiyah (pendidikan) menurut makna etimologisnya adalah menyampaikan sesuatu pada taraf kesempurnaannya (iblaghu al-syai’ ila kamalihi). Sedang menurut makna terminologisnya adalah segala sesuatu yang bisa mempengaruhi yang sengaja kita pilih untuk membentuk kesempurnaan intelektual, mentalitas kepribadian dan jasmani anak didik .
Dengan mempertimbangkan kompleksitas aspek kepribadian manusia, maka pendidikan harus mampu menyentuh semua aspek manusiawi secara komprehensif dan proporsional . Tidak bisa dibenarkan pendidikan yang hanya menekankan salah satu aspek kemanusiaan dan mengabaikan aspek lainnya. Namun hal ini tidak akan efektif bila dijalankan secara parsial, karena itu penerapan pendidikan yang komprehenship dan integralistik merupakan suatu keniscayaan.
Sistem integralistik adalah bagian dari sunnatullah di alam semesta, dimana antara yang satu dengan lainya saling berkaitan dan mempengaruhi, ayat-ayat al-Qur’an menurut kesimpulan para pakar tafsir juga mempunyai prinsip “wihdah mutanasiqah”, satu kesatuan yang terpadu dan serasi. Semua ini salaras dengan semangat tauhid, karena bersumber dari Allah yang Esa.
b. Bentuk Integritas Pondok Pesantren Darussalam Gontor
Pondok Pesantren Darussalam Gontor, selama bertahun-tahun mencoba untuk menerapkan totalitas pendidikan yang komprehenship – integralistik bagi para santri dan gurunya. Diantara bentuk integralitas pendidikan Pondok Pesantren Darussalam Gontor adalah :
1. Integralitas tri pusat pendidikan
2. Integralitas intra, co dan ekstra kurikuler
3. Integralitas ilmu agama dan umum (non dikotomis)
4. Integralitas teori dan aplikasi (amaliah)
5. Integralitas sistem pendidikan pesantren dan sistem pengajaran madrasah
(klasikal)
6. Integralitas keteladanan, penciptaan lingkungan dan berbagai macam kegiatan.
7. Integralitas ruh (spirit), sistem, metode dan materi
Di sini penulis akan membahas satau-persatu, walau dalam pembahasan integral Pendidikan Pondok Pesantren Darussalam Gontor tidak jauh berbeda dengan panca jiwa atau nilai-nilai yang ada di pesantren Gontor tesebut.
1. Integralitas Tri Pusat Pendidikan
Tri pusat pendidikan terdiri dari pendidikan rumah tangga, pendidikan sekolah dan pendidikan masyarakat. Dalam pendidikan pesantren ketiganya menyatu dan saling menopang. Pendidikan sekolah berada di pesantren, keluarganya adalah teman-teman di asrama dan orang tuanya adalah para pembimbing, serta masyarakatnya adalah warga pesantren secara menyeluruh.
Efektivitas dan evesiensi pengajaran di kelas-kelas Pondok Pesantren Darussalam Gontor n sangat optimal, karena guru dan murid tinggal dalam satu pesantren, bimbingan belajar bisa dilaksanakan kapan saja dan dimana saja dari lokasi pesantren, setiap saat santri mempunyai ekses untuk bertanya dan belajar dari para seniornya. Pendidikan keluarga di pesantren juga sangat efektif, karena santri mendapat pengawasan selama 24 jam, terbimbing, terarahkan, terkawal, tersugesti dalam berbagai aktivitas kehidupannya.
Penerapan sistem pendidikan sebaya memberikan kesempatan untuk berlatih leadership bagi para seniornya , sekaligus menanamkan kemandirian melalui prinsip self government di Pondok Pesantren Darussalam Gontor. Para pembimbing selalu memonitor keadaan dan perkembangan santri.
Pendidikan masyarakat pesantren juga sangat efektif. Santri belajar bergaul dengan teman-temannya yang datang dari berbagai pelosok tanah air, bahkan luar negri, masing-masing mempunyai kekayaan kultur, kebiasaan dan wisdom, hal ini mendidik santri untuk bisa bergaul dengan siapa saja, di masyarakat mana saja, meskipun beragam latarbelakang suku, bahasa dan budayanya .
Ketiga pusat pendidikan ini menyatu dalam sistem pendidikan pesantren, saling menopang dan mendukung. Berbeda dengan anak-anak yang bersekolah di luar pesantren. Sangat sulit untuk menemukan tri pusat pendidikan yang serba kondusif. .
2. Integralitas Intra, Co dan Ekstra Kurikuler
Pondok Pesantren Darussalam Gontor menerapkan kurikulum pendidikan terpadu antara intra, co dan ekstra kurikuler. Kurikulum pondok adalah semua aktivitas selama 24 jam, dari anak bangun tidur, hingga tidur kembali, bahkan tidurnya pun bagian dari kurikulum. Anak didik bukan hanya belajar ilmu pengetahuan di ruang kelas, mereka juga belajar berbagaimacam ketrampilan dan kecakapan hidup di luar kelas.
Masjid, perpustakaan, dapur umum hingga lapangan olah raga, menjadi kelas besar santri. Di Pondok Pesantren Darussalam Gontor santri belajar tentang hidup dan kehidupan, tentang life skill (ketrampilan hidup) dan kecerdasan hidup. Intra, co dan ekstra kurikuler terpadu dan saling mendukung.
Apa yang dipelajari anak didik di dalam kelas, akan diulang kembali pada malam hari dalam kegiatan belajar terpimpin, kecakapan berbahasa asing dikuatkan dengan praktek percakapan sehari-hari, penerapan disiplin tinggi, pemberian kosa kata setiap pagi, latihan berpidato tiga bahasa setiap pekan, bahkan ketika berolah raga, berpramuka dan aktivitas lainnya, para santri tetapmempraktekkan bahasa resmi. .
3. Integralitas Ilmu Pengetahuan
Salah satu tujuan belajar di Pondok Pesantren Darussalam Gontor adalah untuk bertafaqquh fiddin (menekuni agama) (QS. 9 : 122), namun hal ini tidak berarti harus melalaikan ilmu pengetahuan umum.
Pondok Pesantren Darussalam Gontor tidak membedakan antara ilmu agama dan umum, karena pandanngan yang demikian bagian dari prinsip dikotomis sekularistik. Memahami agama dengan baik dan benar sebagai bekal hidup, mempelajari akidah yang lurus dan kuat, ibadah yang benar dan produktif, akhlak yang mulia adalah fardhu ain.
Sedang menjadi pakar dalam disiplin ilmu-ilmu agama hukumnya fardhu kifayah, para santri dibekali dengan pola fikir yang benar dan kunci-kunci ilmu untuk dikembangkan sendiri, diberi kail bukan ikan yang dimakan habis.
Tetapi mereka tidak boleh awam dari pengetahuan umum. Pondok Pesantren Darussalam Gontor memandang bahwa menekuni pengetahuan umum juga fardhu kifayah, dari antara umat Islam harus ada yang menekuni ilmu membuat pesawat, berbagaimacam senjata, teknik konstruksi dll, agar kita tidak dijajah dan dihegemoni bangsa lain.
Karena itu Pondok Pesantren Darussalam Gontor menyeimbangkan antara “ilmu agama” dan “ilmu umum”. Belajar fisika dan biologi melalui perspektif Islam, mampu menguatkan keimanan kepada Allah (QS. 3 : 190 – 191), belajar matematika dan hitung, akan memudahkan menghitung faraidl (hukum waris) dan zakat. Ilmu ekonomi akan membuat mereka pandai berusaha, mandiri, agar mampu berzakat dan menunaikan ibadah haji dll.
Meski demikian, Pondok Pesantren Darussalam Gontor tetap mempertahankan kemandiriannya, termasuk kemandirian kurikulumnya. Tidak menyerahkan kurikulum pendidikannya kepada Depag maupun Diknas, hal itu menjadi konsekwensi logis untuk menjaga konsistensi visi, misi dan orientasi pendidikannya.
4. Integralitas Teori dan Aplikasi
Ilmu bukan untuk ilmu, tetapi untuk diamalkan. Ilmu tidak bebas nilai, tetapi harus bermuatan Islamic worldview yang benar. Ilmu tanpa amal ibarat pohon tanpa buah. Perpaduan antara teori dan praktek bukan hanya dalam percobaan kimia, fisika serta biologi, tetapi meliputi semua ilmu yang dipelajari di Pondok Pesantren Darussalam Gontor.
Seorang yang bertambah ilmu tetapi tidak bertambah hidayah (petunjuk) maka ia hanya akan semakin bertambah jauh dari Allah. Idealnya semakin banyak ilmu yang diserap anak didik, akan semakin luhur pula akhlak budi pekertinya, semakin tinggi idealisme dan cita-cita perjuangannya, semakin bijak perilakunya.
Bila ilmu terpisah dari amal, akan terjadi gap – kesenjangan yang membahayakan. Pencapaian jenjang pendidikan tinggi tidak menjamin seseorang akan bebas dari perilaku primitif di masyarakat, seperti menghancurkan sumberdaya alam, membangkrutkan negara dengan berbagaimacam KKN dll.
5. Integralitas sistem pendidikan pesantren dan sistem pengajaran madrasah(klasikal)
Prof. Dr. H.A. Mukti Ali (alm) mantan Mentri agama RI, ketika berkunjung ke Pondok Pesantren Darussalam Gontor pernah membuat stetemen bahwa sistem pendidikan yang terbaik adalah pesantren, sedang sistem pengajaran yang terbaik adalah madrasah.
Pesantren mempunyai keunggulan dalam pendidikan karena keteladanan nyata dari para pengasuh, pengamalan langsung dari ilmu yang dipelajari, lingkungan yang kondusif, tarbawi dan Islami, kebersamaan para pendidik dengan santri di dalam satu pesantren, adanya jiwa keikhlasan, zuhud, wara’ dan kesederhanaan yang merasuki semua kegiatan santri di Pondok Pesantren Darussalam Gontor.
Namun pesantren lemah dalam sistem pengajaran, karena tidak ada jenjang yang jelas, tidak ada disiplin masuk kelas, tidak ada ujian dll, seperti yang ada di madrasah. Apabila kedua sistem ini dipadukan, maka akan melahirkan sistem pendidikan yang unggul .
Dalam hal ini Pondok Pesantren Darussalam Gontor menerapkan perpaduan antara sistem pendidikan pesantren dan sistem pengajaraan madrasah (sekolah). Istilah yang terkenal di kalanagan pesantren adalah “Al-muhafadzatu ‘ala al- qadim al-shalih, wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah”. Memelihara nilai lama yang baik, serta mengambil nilai baru yang lebih baik.
5. Integralitas Sarana Pendidikan (Keteladanan, Penciptaan lingkungan dan
Kegiatan).
Pendidikan mentalitas dan intelektualitas tidak bisa disampaikan hanya melalui pidato, tetapi harus dengan keteladanan nyata dan penciptaan lingkungan yang kondusif, sehingga segala apa yang dilihat, didengar dan dirasakan para santri di Pondok Pesantren Darussalam Gontor , menjadi bagian dari sarana dan media pendidikan mereka .
Memberi keteladanan sekali lebih baik dari pidato seribu kali. Seorang pendidik harus mempunyai sifat amanah (dapat dipercaya), dan diantara bentuk amanah tarbawiyah adalah menyelaraskan antara ucapan dengan perbuatan. Mendidik dengan keteladanan inilah yang telah diterapkan Rasulullah SAW, sehingga berhasil menciptakan generasi terbaik sepanjang zaman (QS. 33 : 21).
Keteladanan harus diberikan oleh para pendidik dalam segala hal, dalam akhlak, shilahnya ma’allah, produktivitas, kegigihan dan semangat perjuangan serta pengorbanannya.
Yang tidak kalah penting dalam menggapai keberhasilan pendidikan adalah menciptakan lingkungan yang baik. Lingkungan pendidikan harus steril dari hal-hal yang bisa menggerogoti nilai-nilai pendidikan. Karena ilmu dan informasi masuk ke dalam diri manusia melalui pintu-pintu pendengaran, penglihatan dan akal fikiran/hati nurani (QS. 16 : 78), maka semua itu harus terjaga agar selalu mendapat suplai informasi dan pengetahuan yang bebas dari polusi dan pencemaran.
Kegiatan yang banyak juga akan mewarnai dinamika dan produktifitas pribadi santri. Seseorang akan tumbuh menjadi manusia dewasa, sesuai dengan kebiasaan yang dia lalui. Maka kegiatan yang padat dan disiplin yang ketat, mempunyai andil besar dalam membentuk pola fikir, sikap dan tingkah laku anak didik.
6. Integralitas ruh (spirit), sistem, metode dan materi
Ruh, jiwa atau spirit adalah substansi dari segela sesuatu. Kita disebut manusia ketika mempunyai ruh, tanpa nyawa hanyalah sebuah jasad mati. Demikian pula suatu perbuatan, tanpa ruh keikhlasan, tidak akan memberikan keberkahan di dunia dan tidak akan diterima Allah di akhirat. Materi pendidikan memang sangat penting, tetapi metode lebih penting dari materi, dan guru tentu lebih penting dari metode, namun ruh gurulah yang paling penting .
Seorang guru/pendidik tanpa ruh, meskipun menguasai metode dan materi tidak akan mampu menyentuh hati dan menanamkan nilai-nilai luhur kepada anak didiknya. Pondok Pesantren Darussalam Gontor sangat mementingkan ruh dan jiwa ini, dalam tataran kelembagaan ada Panca Jiwa yang menjadi landasan ideal, yakni : Keikhlasan, Kesederhanaan, Kemandirian, Ukhuwah Islamiyah dan Kebebasan.
Jiwa ini benar-benar menjadi pegangan, prinsip yang dihayati dan diterapkan dengan penuh kesungguhan oleh para pendidik, selanjutnya diterapkan dalam semua kegiatan yang ada di Pondok Pesantren Darussalam Gontor.
Panca jiwa ini dikuatkan oleh filsafat-filsafat hidup kelembagaan, pendidikan dan pengajaran yang bukan hanya slogan, melainkan sudah menjadi kenyataan, seperti : Berjasalah tetapi jangan minta jasa, berkorbanlah tetapi jangan menjadi korban, Pondok Pesantren Darussalam Gontor berdiri diatas dan untuk semua golongan.
Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberikan manfaat bagi orang lain. Sebesar keinsyafanmu, sebesar itu pula keuntunganmu. Berani hidup tak takut mati, takut mati jangan hidup, takut hidup mati saja. Hidup sekali hiduplah yang berarti dll.
Pondok Pesantren Darussalam Gontor juga mempunyai empat Moto Pendidikan : Berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas dan berfikrian bebas. Moto pendidikan ini menggambarkan bahwa target dan sasaran pendidikan Pondok Pesantren Darussalam Gontor adalah pembentukan mental kepribadian yang luhur, sebagaimana misi yang diemban Rasulullah “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. Karena dengan kepribadian yang unggul, kita akan mempunyai pasukan yang berkualitas untuk berbagaimacam tugas.
Sedang kesehatan badan, keluasan wawasan adalah prasarat mutlak untuk bisa berkiprah di masayarakat, sementara itu berfikiran bebas, berarti memberikan kesempatan kepada anak didik untuk membuka berbagai macam pintu penghidupan dan perjuangan “min abwabin mutafarriqah”, bukan hanya dari satu pintu perjuangan. Setiap santri dipersilahkan berprofesi apa saja di masayarakat, tetapi tetap harus menjadi muslim yang baik, menjadi da’i dan pendidik umat
Pondok Pesantren Darussalam Gontor mempunyai orientasi pendidikan : Kemasyarakatan, Kesederhanaan, Tidak berpartai dan Ibadah thalbul ilmi lillah, tidak untuk menjadi pegawai. Orientasi ini menegaskan perlunya perjuangan di masyarakat, bukan malah menjauhi masyarakat. Program pendidikan yang diagendakan mencakup segala sesuatu yang akan ditemui di masyarakat.
Kesederhanaan untuk mendidik jiwa besar dan survival, tidak berpartai untuk menghindari fanatisme golongan dan kelompok yang masih menjadi penyakit akut bagi umat Islam Indonesia, serta thalabul ilmi ibadah lillah untuk senantiasa memanefestasikan nilai-nilai ibadah dalam segala hal, terutama dalam belajar
Dalam operasionalnya Pondok Pesantren Darussalam Gontor mempunyai Panca Jangka, Lima program jangka panjang yang dijabarkan dalam berbagai sistem dan kegiatan nyata di dalam pondok. Panca jangka tersebut adalah : Pendidikan dan pengajaran, Sarana dan pergedungan, Khizanatullah, Kaderisasi dan Kesejahteraan keluarga.
Tidak ada kegiatan yang tidak mempunyai kaitan dengan panca jangka ini. Semuanya terpadu, terintegrasi dengan serasi untuk mendidik generasi unggul yang berakhlak mulia, cerdas dan mandiri . Semua nilai-nilai, jiwa, dan filosofi-filosofi tersebut menjadi landasan paradikmatik bagi sistem pendidikan Pondok Pesantren Darussalam Gontor, kemudian terjabarkan lewat setrategi yang rapi dan teliti dalam berbagaimacam bentuk program, metode, hingga materi kurikulum pendidikannya.
Membangun budaya pendidikan integratif pada sebuah lembaga pendidikan semacam pondok pesantren jelas tidak mudah. Banyak aspek dan sisi yang harus dikuasai dengan baik, terutama yang terkait dengan pola pengembangan kemasyarakatan sebagai betuk aplikasi ilmu dan nilai pembelajaran podok pesantren.
Meningkatkan kualitas pemahaman kegamaan di satu sisi diiringi dengan peningkatan apresiasi pada problem sosial di masyarakat jelas membutuhkan keseriusan dan ketekunan tersendiri. Apalagi jika dilihat dari aspek kompleksitas masalah pada masyarakat pesantren saat ini.
Dan jangan lupa membangun sebuah pola pendidikan pesantren semacam ini merupakan sebuah human capital yang berdimensi jangka panjang, tidak dapat dinikmati hasilnya dalam waktu dekat.
Bak menanam buah kelapa, berinvestasi pada pengembangan pendidikan akan membutuhkan kesabaran dan keteguhan hati. Karena pada dasarnya para santri memang tidak dididik untuk menjadi para sales ataupum marketer yang mampu mendatangkan keuntungan (profit) dalam waktu yang singkat bagi institusi pendidikan yang mengampunya.
Bukan pula menjadi robot berteknologi tinggi yang mampu mengerjakan sekian banyak tugas dalam waktu relatif singkat. Karena bagaimana pun sumber daya manusia pada pendidikan pesantren adalah manusia biasa juga, sehingga dibutuhkan ruang yang cukup lama antara pencapaian intelektual santri yang dididik dan implementasi ilmu di dalam masyarakat secara komprehensif.
Jika hal ini dapat dilaksanakan dengan baik, maka peran aktif dari para santri demi pembangunan pendidikan Islam di masa depan akan mudah diimplementasikan dengan hasil yang lebih baik dalam membangun peradaban Islam.
III. Penutup
Is