oleh : Prof. DR. Nashir bin Abdul Kariem al-’Aql
6. Beberapa Masalah yang Sangat Penting di Mana Asya’irah Menyalahi Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Seolah-olah penulis di sini diminta oleh pembaca untuk menyebutkan hal-hal apa saja yang diperselisihkan Asya’irah terhadap Ahlus Sunnah di dalam masalah prinsip-prinsip agama dan aqidah. Maka penulis katakan secara singkat, dengan memohon taufiq kepada Allah :
- Di antara masalah yang sangat prinsipil di mana Asya’irah menyalahi Ahlus Sunnah adalah kelancangan mereka terhadap sifat-sifat Allah Subhaanahu Wata’ala dengan melakukan ta’wil yang dilarang oleh para ulama salaf, terutama sifat-sifat khabariyah yang dengan sifat-sifat itu Allah mensifati diri-Nya, atau dengannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mensifati Allah. Seperti sifat-sifat berikut: tangan (yad), mata (‘ain), diri (nafs), wajah (wajh), bersemayan di ‘arasy (istawa ‘alal ‘arsy), turun (nuzul), datang (maji’), rela (ridha), murka (ghadhab), mencintai (hubb), membenci (bughdhu) [56] dan sifat-sifat khabariyah lainnya yang disebutkan oleh Allah Subhaanahu Wata’ala di dalam al-Qur’an atau diungkapkan oleh Rasul-Nya di dalam hadits-hadits shahih. Mereka (Asya’irah) tidak mempercayainya sebagaimana adanya dan sebagaimana diyakini oleh para ulama salaf. Mereka menta’wilkannya dan memalingkan lafazh-lafzhnya dari (makna) lahirnya, karena takut terperosok ke dalam syubhat tajsim dan tamtsil. Mereka telah melupakan efek buruk dari perbuatan mereka men¬tahrif firman Allah, mengabaikan (ta’thil) maknanya, mengatakan sesuatu atas nama Allah tanpa dasar ilmu dan hal lain yang mengharuskan melakukan ta’wil dan bertentangan dengan prinsip taslim, patuh dan tunduk kepada Allah Subhaanahu Wata’ala. Sebab, bagaimana bisa layak, kalau Allah mengungkapkan tentang diri-Nya, dan Rasul-Nya mengungkapkan tentang-Nya dengan sifat-sifat yang tidak layak! atau mengharuskan tasybih dan tajsim, kemudian masalah ini tidak terungkap kecuali oleh para mutakallimun sesudah abad ketiga hijriyah!!?
- Bagaimana mungkin pemahaman ini tidak diketahui oleh para shahabat, tabi’in dan para pemuka ulama salaf, lalu hanya diketahui oleh para mutakallimun!! Ini benar-benar merupakan hal yang tidak pantas dilakukan terhadap firman Allah (kalamullah) Subhaanahu Wata’ala dan sabda Rasul-Nya, para shahabat, tabi’in dan para pemuka ulama terdahulu yang lebih alim (mengetahui) dari pada mereka dan lebih bertaqwa kepada Allah! Padahal Allah Subhaanahu Wata’ala ketika mensifati diri-Nya dengan sifat-sifat, seperti dua tangan, wajah, diri, ridha, murka, datang, bersemayam, tinggi dan sifat-sifat lainnya, Dia pun telah menutup rapat pintu syubhat tamtsil dan ketidakjelasan berdasarkan firman-Nya:“Tidak ada sesuatu apapun yang menyerupai-Nya. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (Asy-Syura: 11)
Apakah orang-orang yang melakukan penta’wilan terhadap sifat-sifat Allah itu lebih mengetahui tentang Allah daripada Allah sendiri?!
Apakah mereka lebih mensucikan Allah dari pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam??
Dan apakah mereka yang lebih mengetahui maksud Allah Subhaanahu Wata’ala dari pada para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para pemuka ulama salaf, para tabi’in, tabi’it tabi’in dan para pemuka ulama pembela petunjuk dan sunnah yang hidup dalam tiga qurun yang mulia?! Yaitu mereka yang memahami sifat-sifat Allah dan perkara-perkara ghaib yang lain yang bersumber dari Allah dan Rasul-Nya secara apa adanya baik lafazh maupun makna menurut maksud Allah dan Rasul-Nya tanpa tasybih, tanpa ta’thil dan tanpa ta’wil.
Kaum Mutakallimun, termasuk Asya’irah benar-benar telah ditimpa bencana disebabkan ta’wil yang mereka lakukan terhadap sifat-sifat Allah dan terhadap beberapa masalah aqidah lainnya. Yaitu bencana memasukkan istilah-istilah, lafazh-lafazh dan dugaan-dugaan akal yang tidak layak dikatakan di dalam hak Allah Subhaanahu Wata’ala, baik secara penafian ataupun itsbat (penetapan).
Setidaknya itu merupakan ungkapan bid’ah (kalam mubtada’) tidak bersumber dari Allah ataupun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka menahan diri darinya adalah lebih selamat, dan masuk ke dalam wilayah ini merupakan kelancangan terhadap Allah tanpa landasan ilmu, seperti masalah hudud (batas), ghayat (batas sesuatu), jihat (arah), mahiyah (hakikat), harakah (gerak), haiz (wilayah), ’aradh (accident), jauhar (substansi), huduts (baru) dan qidam (dahulu, lebih dahulu).
Dan klaim kepastian (qath’iyah) akal dan kezhanniyahan nash (naql)…. Seperti ungkapan mereka tentang: tarkib (tersusun, susunan) dan tab’idh (terbagi menjadi beberapa bagian). Dan juga perkataan mereka tentang Allah Subhaanahu Wata’ala :”Dia tidak berada di dalam alam semesta dan tidak pula di luarnya” [57], dan ungkapan-ungkapan lain yang mereka buat mengenai Allah Subhaanahu Wata’ala, baik secara nafi maupun itsbat dalam rangka penyesuaian diri dengan kaedah-kaedah teologis Mu’tazilah, jahmiyah dan falsafat rasionalis konfrontalis.
Memang ungkapan-ungkapan mereka di dalam masalah-masalah ini kadang mengandung sebahagian kebenaran, akan tetapi Allah Subhaanahu Wata’ala telah melarang kita berbuat seperti mereka. Setidaknya perbuatan seperti itu dapat dipastikan merupakan al-qaul ‘alallahi bighairi ‘ilm, ucapan terhadap Allah tanpa ilmu. Padahal Allah Subhaanahu Wata’ala telah berfirman:
“Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya”. (al-Isra’: 46)
Dan Dia juga berfirman:
“Hanya milik Allah Asma’ul Husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asma’ul Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam menyebut nama-nama-Nya”. (al-A’raf: 180)
(Maka berdasarkan firman Allah di atas) Ahlus Sunnah tidak membicarakan masalah-masalah sifat-sifat ketuhanan kecuali dalam rangka memberikan sanggahan, menegakkan Hujjah (argumentasi) dan hanya sebatas kebutuhan. Jadi penyelisihan Asya’irah terhadap Ahlus Sunnah di dalam masalah sifat-sifat Allah adalah bukan masalah yang bersifat furu’iyah, karena permasalahannya berkaitan dengan salah satu bagian dasar (prinsip) teragung dari dasar-dasar agama, yaitu tauhid sifat-sifat yang berkaitan dengan Allah Maha Pencipta.
Sekalipun begitu, Asya’irah tetap merupakan kelompok aliran teologis yang lebih dekat kepada Ahlus Sunnah, karena maksud mereka melakukan ta’wil itu adalah tanzih (mensucikan Allah), hanya saja tidak berdasarkan petunjuk dan mengikuti tuntunan (para ulama salaf). Bahkan mereka terperosok ke dalam apa yang diperingatkan oleh Ahlus Sunnah, yaitu haram melakukan ta’wil, berdebat dan memberikan perumpamaan bagi Allah Subhaanahu Wata’ala dan hal-hal yang serupa yang bertentangan dengan kewajiban tunduk dan pasrah kepada nash-nash agama (syar’i). [58]
- Prinsip dasar lain yang diperselisihkan Asya’irah terhadap Ahlus Sunnah adalah sandaran mereka kepada akal, debat dan ilmu kalam (nazhor) di dalam masalah sifat-sifat Allah, masalah qadar (taqdir) dan masalah-masalah ghaib. Mereka lebih mengutamakan akal, apa yang mereka sebut al-qawathi’ al-’aqliyah, daripada an-naql (al-Qur’an dan as-Sunnah) di dalam mengkaji masalah-masalah ghaib, aqidah, bahkan di dalam masalah yang berhubungan dengan sifat-sifat Allah Subhaanahu Wata’ala.Kaidahnya menurut mereka, sebagaimana ditetapkan oleh Fakhrur Razi, al-Juwaini dan lain-lain adalah “bahwa sesungguhnya dalil-dalil naqli (al-Qur’an dan Hadits) itu tidak memberikan kepastian (keyakinan)” [59]. Dan “bahwasanya dalil-dalil naqli itu zhanniy (relatif), sedangkan dalil-dalil aqli (rasional) itu qath’i (pasti); dan zhanni itu tidak bisa menentang yang qath’i” [60]. Subhanallah!!
- Tafsiran mereka terhadap tauhid terbatas pada tauhid rububiyah saja. Mereka lupa akan tauhid uluhiyah dan ibadah hanya kepada Allah Subhaanahu Wata’ala semata, padahal tauhid uluhiyah ini merupakan tauhid yang karenanya para rasul diutus, sebagaimana firman Allah Subhaanahu Wata’ala:“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasannya tidak ada Tuhan (yang haq) melainkan Aku, maka sembahlah oleh kamu sekalian akan Aku”. (al-Anbiya: 25)
Ia merupakan tauhid yang karenanya Allah menciptakan manusia, sebagaimana firman-Nya:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan sekali-kali Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka hanya beribadah kepada-Ku”. (adz-Dzariyat:56)
Oleh karena itu, kita dapatkan perbuatan bid’ah di dalam berbagai bentuk ibadah dan terperosok di dalam perbuatan kesyirikan yang cukup banyak sekali pada orang-orang yang berintisab kepada Asya’irah muta’akhkhirin, disebabkan kelalaian mereka di dalam tauhid uluhiyah.
Ini tidak berarti bahwa Ahlus Sunnah menganggap remeh masalah tauhid rububiyah, sekali-kali tidak begitu! Akan tetapi memulai (dakwahnya) sesuai dengan dari mana Allah memulai dan dari mana pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memulainya. Tauhid Rububiyah itu juga bersifat fitri, hampir tidak ada yang mengingkarinya kecuali sangat jarang sekali. Dan kebanyakan ayat-ayat yang berbicara tentang tauhid rububiyah itu dalam konteks membicarakan konsekwensinya, yaitu tauhid ibadah dan ta’at (uluhiyah). Maka dari itu tidak dikenal adanya suatu umat yang mengingkari tauhid Rububiyah. Bahkan tidak ada satu golongan yang sepakat atas masalah ini sebenarnya; dan sekiranya ada, niscaya Allah Subhaanahu Wata’ala menyebutkannya di dalam kisah-kisah para nabi. Lain halnya dengan tauhid Uluhiyah, banyak sekali umat, golongan dan kelompok yang tersesat darinya hingga saat ini.
Dari itu pula kita lihat bahwa para peneliti dan pemuka Asya’irah memulai karya-karya mereka di dalam bidang aqidah dengan masalah-masalah aqliyat, teori-teori, keyakinan-keyakinan dan pandangan-pandangan, istilah-istilah teologis dan filosofis serta (ditegaskan) bahwasanya dali-dalil naqli (sam’iyat, wahyu) tidak memberikan kepastian (keyakinan)! Dan bahwasanya dalil-dalil aqli itu pasti dan meyakinkan. Lalu dibicarakan pula masalah hudutsul’alam (alam ini baru), kepastian ada Pencipta dan lain-lainnya (yang sangat sarat dengan) filsafat dan ilmu kalam, dan kemudian diakhiri dengan pembahasan tauhid Rububiyah. [61]
Yang demikian itu sangat jauh berbeda dengan metode yang ditempuh oleh Ahlus Sunnah, bahkan berbeda dengan metode (manhaj) al-Qur’an itu sendiri. Ayat-ayat yang datang untuk mengukuhkan tauhid Rububiyah itu sedikit dibanding dengan ayat-ayat yang datang untuk mengukuhkan tauhid Uluhiyyah, dan kebanyakan ayat-ayat yang berkenaan dengan tauhid Rububiyyah itu datang untuk mempertegas tauhid Uluhiyyah (tauhid Ibadah), sebagaimana dijelaskan di muka.
- Mereka juga menyalahi Ahlus Sunnah pada prinsip-prinsip yang lain, seperti dalam masalah al-Qur’an dan Kalamullah, [62] Iman [63], Qadar [64] dan Nubuwwat (masalah kenabian) [65] di mana mereka sangat terpengaruh dengan kaedah-kaedah kalam dan filosofis di dalam pandangan mereka terhadap masalah-masalah tersebut. Maka aqidah mereka lahir dalam bentuk campuran dari haq dan kebatilan, campuran antara aqidah Ahlus Sunnah, Mu’tazilah dan kaum filosof. Oleh kerena itu, banyak kita dapatkan mereka menggunakan istilah-istilah filosofis dialektis mengandung makna haq dan batil dan berbeda jauh dengan lafazh (istilah-istilah) yang ada dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Demikianlah… Sesungguhnya masalah-masalah yang diperselisihkan Asya’irah terhadap Ahlus Sunnah tersebut di atas adalah merupakan prinsip-prinsip aqidah dan furu’ (cabang)nya menuntut peneliti yang obyektif dikala melakukan penelitian, agar memberikan penilaian –sebagaimana pendapat para Ahli dari pemuka-pemuka Ahlus Sunnah [66]– bahwa sesungguhnya aliran (madzhab) Asya’irah di dalam aqidah merupakan madzhab independen di dalam beberapa aspek terpisah dari Ahlus Sunnah, mempunyai prinsip-prinsip, metodologi, pandangan-pandangan, dan ketetapan-ketetapan tersendiri, terutama di dalam masalah-masalah sifat-sifat Allah, iman, wahyu, nubuwwat, al-Qur’an, kalamullah dan qadar atau taqdir. Maka, Asya’irah di dalam beberapa masalah sependapat dengan Ahlussunnah, namun berselisih di dalam masalah-masalah yang lain.
Sesungguhnya tidak boleh kita membebani Salaf (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) dengan aqidah dan istilah-istilah yang dibuat oleh Asya’irah, seperti ilmu kalam dan filsafat. Dan sesungguhnya merupakan tindakan tidak etis kalau kita menisbatkan keyakinan-keyakinan dan istilah-istilah seperti itu kepada para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, para tabi’in dan para pemuka ulama sunnah yang ada dalam generasi mulia, padahal keyakinan-keyakinan dan istilah-istilah itu lebih mendominasi di dalam aqidah Asya’irah, sebagaimana penulis uraikan di muka.
Ahlus Sunnah adalah mereka yang tidak melenceng dan tidak menambah madzhab salaf hingga masa kini. Maka orang yang ber-intima’ dan ber-intisab (berafiliasi) kepada Ahlus Sunnah harus meyakini dan beraqidahkan apa yang telah dijadikan aqidah oleh Ahlus Sunnah di dalam masalah prinsip-prinsip (ushul) agama, mengikuti apa yang telah mereka katakan dan telah mereka tetapkan, bukan malah meyakini (apa) yang sesuai dengan kaidah-kaidah rasional dan filosofis yang ia miliki, lantas kemudian menisbatkan keyakinannya dan aqidahnya itu kepada Salaf, sebagaimana dilakukan oleh tidak sedikit dari para pengkaji di kalangan Asya’irah.
Jika kita suguhkan keyakinan dan aqidah Asya’irah kepada keyakinan dan aqidah yang kita nukil dari Salaf yang hidup pada qurun (generasi) yang mulia, niscaya kita temukan perbedaan yang sangat menonjol. Kita akan temukan bahwa Asya’irah telah melakukan bid’ah (hal baru) dan membuat beberapa keyakinan dan istilah yang dilarang oleh para pemuka ulama Salaf seperti mengkaji masalah sifat-sifat ketuhanan, perkara-perkara yang ghaib dengan meraba-raba dan pendekatan-pendekatan bid’ah teologis. Sebagaimana telah kami sampaikan contoh-contohnya di muka. [67]
Adalah haq dan adil kalau kita katakan: Sesungguhnya Asya’irah, secara umum, merupakan aliran yang paling dekat kepada Ahlus Sunnah daripada aliran-aliran teologis lainnya, dan di antara mereka (penganut aliran Asya’irah) itu sendiri ada orang-orang yang lebih dekat kepada Sunnah dari pada yang lain, dan ada pula dari pengikut aliran Asya’irah ini yang tergolong : Ahli hadits terkemuka, ulama ahli tafsir terkenal, ahli fiqih, ahli bahasa Arab, dll. Ada di antara mereka yang mempunyai kedudukan dan keutamaan tinggi di dalam ilmu dan agama. Bahkan ada di antara tokoh-tokoh ulama Ahlul Hadits yang berintisab atau dinisbatkan kepada Asya’irah yang secara umum di dalam aqidahnya tergolong Ahlus Sunnah, maka menisbatkan mereka kepada Asya’irah membutuhkan kehati-hatian dan penelitian lebih jauh, terutama seperti: Imam al-Qadhi ‘Iyadh, Ibnu ‘Asakir, Imam an-Nawawi dan Ibnu Hajar al-’Asqalani serta para tokoh dan pemuka ulama sunnah dan hadits yang lain. Mereka lebih dekat kepada Ahlussunnah daripada kepada kaum mutakallimin.
Orang yang alim dari Asya’irah, setiap kali ilmu mereka di dalam sunnah, hadits dan atsar makin bertambah, maka kebanyakannya mereka makin lebih dekat kepada Ahlus Sunnah di dalam aqidah.
Ada satu hal lain yang layak disebut di sini adalah bahwa uraian di atas mengandung bukti yang sangat kuat bahwa Asya’irah menyalahi Ahlus Sunnah di dalam beberapa masalah besar prinsip aqidah, dan bahwasanya ketika mereka melakukan kajian dan penelitian mendalam secara obyektif, maka mereka meninggalkan aqidah Asya’irah dan kembali kepada aqidah Ahlus Sunnah. Bukti yang dimaksud adalah kembalinya kebanyakan tokoh terkemuka Asya’irah dan para peneliti kawakan mereka kepada haribaan aqidah Ahlus Sunnah, tunduk dan patuh kepadanya pada akhir petualangan mereka atau di akhir usia mereka, sebagaimana terjadi pada Imam Abul Hasan Ali al-Asy’ari itu sendiri, dimana beliau memastikan menganut Aqidah Salaf Ahlus Sunnah di dalam kitabnya “al-Ibanah” [68], juga Imam Abul Ma’ali al-Juwaini, Abu Muhammad al-Juwaini, Imam Fakhrurrazi, Imam Asy-Syahristani, Imam Ghazali, Imam Ibnul Arabi dan lain-lain. [69]
Di antara mereka ada yang kembali kepada aqidah Ahlus Sunnah dan meninggalkan ilmu kalam. Hal itu dijelaskan melalui tulisannya tentang aqidah yang menjadi pegangannya. Dan di antara mereka ada pula yang memproklamirkan keyakinannya kepada aqidah Ahlus Sunnah dengan gamblang sebelum wafat dan ia tidak sempat untuk menuangkannya dalam bentuk tulisan. [70]
Penulis akan mengakhiri pembahasan ini dengan menjelaskan bahwa tampak jelas bagi penulis bahwa kelompok Asya’irah masa kini (kontemporer) jauh dari Ahlus Sunnah melebihi para pendahulu mereka, hal itu disebabkan minimnya pengetahuan mereka tentang Aqidah Salaf, juga karena mereka telah terkontaminasi dengan faham filsafat, ilmu kalam, berbagai bid’ah, khurafat dan kebanyakan mereka bernaung di bawah payung tarikat-tarikat tasawwuf dan yang serupa dengannya. [71] Semoga Allah memberi mereka petunjuk, membukakan mata hati kita dan mereka semua bagi kebenaran dan jalan yang lurus.
Perlu disebutkan di sini bahwa apa yang telah penulis uraikan di atas tentang menjauhnya Asya’irah dari Ahlus Sunnah di dalam beberapa prinsip-prinsip aqidah tidak berarti penulis mengkafirkan atau memandang mereka sesat. Penulis sama sekali tidak menyinggung masalah ini, karena bagi penulis, masalah ini sangat besar lagi berbahaya, membutuhkan uraian lebih lanjut dan bukan di sini tempatnya.
7. Di Mana Ahlus Sunnah Berada?
Pada bagian terdahulu telah penulis singgung mengenai definisi Ahlus Sunnah, ciri dan karakteristik aqidah mereka, dan telah penulis jelaskan bahwa Asya’irah, mazhab yang paling banyak tersebar di hampir seluruh dunia Islam, mereka bukan Ahlus Sunnah. Maka adalah benar kalau seseorang bertanya-tanya: Kalau begitu di mana Ahlus Sunnah? Bagaimana kita dapat mengenal mereka di tengah-tengah kaum muslimin?
Secara singkat, jawabannya menurut hemat penulis adalah sebagai berikut:
Bahwa sesungguhnya Ahlus Sunnah itu telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan telah ditentukan sejelas-jelasnya hingga tampak jelas seperti matahari, bagi orang yang diberi taufiq oleh Allah dan selamat dari cengkeraman hawa nafsu, fanatisme dan taklid buta. Di antara sifat dan ciri-ciri Ahlus Sunnah yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu ialah:
- Mereka adalah orang-orang yang konsisten dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, baik secara penampilan, tutur kata, aqidah, prilaku maupun ibadah. Petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu telah dijelaskan sejelas-jelasnya oleh Sunnah-nya.Jadi, Ahlus Sunnah adalah tokoh-tokoh yang menonjol lagi terkemuka dari generasi ke generasi semenjak generasi para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hingga generasi kita sekarang ini, mereka dikenal dengan sikap ittiba’, iqtida’ dan ihtida’ (patuh, meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam konsisten dan berpegang teguh kepada sunnah).
- Mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh kepada aqidah salaf, yaitu para shahabat Nabi, para tabi’in dan para tokoh pemuka agama yang ada pada tiga masa generasi yang utama. Aqidah salaf itu diriwayatkan dan dikenal serta tercatat –alhamdulillah- di dalam karya-karya para ulama terkemuka seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Bukhari, Imam Ibnu Abi ‘Ashim, Imam Ad-Darimi, Imam Abdullah bin Ahmad, Imam Ibnu Khuzaimah, Ibnu Baththah, Ibnu Mandah, Imam al-Khallal, Imam al-Asy’ari [72] setelah ia memproklamirkan aqidah salaf, Imam Isma’il as-Shabuni, Imam ath-Thahawi, Imam Ibnu Taimiyah dan banyak lagi imam-imam lainnya, mereka sangat dikenal oleh para ahli ilmu (ulama) dan oleh setiap orang yang mempunyai keinginan untuk mengenal mereka.
- Mereka adalah orang-orang yang selamat (bebas), tidak tercemar oleh bid’ah, kesyirikan dan ajaran-ajaran tarikat sufi. Anda tidak pernah melihat Ahlus Sunnah, kapan saja dan di mana saja mengusap-usap kuburan, manusia, bebatuan, benda-benda peninggalan nenek moyang dan patung-patung; mereka juga tidak berdo’a (memohon) kepada selain Allah, tidak meminta keselamatan kepada orang-orang yang sudah mati, tidak mendirikan bangunan atau kubah di atas kuburan, dan mereka tidak melakukan perayaan-perayaan hari kelahiran (maulid) dan berbagai perkumpulan bid’ah lainnya. Dan amat sangat jarang anda temukan seorang Ahlus Sunnah yang bernaung di bawah asuhan tarekat sufi, kecuali karena kebodohan, keawaman, kelalaian atau karena bertaqlid buta tidak berdasarkan pengetahuan, sebagaimana dilakukan oleh sebahagian orang awam.
- Mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh kepada syi’ar-syi’ar agama, yang lahir maupun yang batin, sebagaimana diperintahkan oleh Allah dan dijelaskan oleh Rasul-Nya. Maka mereka selalu menegakkan shalat fardhu (secara berjama’ah), mengerjakan amalan-amalan sunnah dan mengajak orang lain kepadanya, dan mereka meninggalkan dosa, kemunkaran, hal-hal yang diharamkan dan segala bentuk bid’ah serta melarang (manusia) melakukannya.
- Mereka adalah orang-orang yang lantang (tampil) di tengah-tengah mesyarakatnya menyuarakan kebenaran (al-haq), beramar ma’ruf dan bernahi munkar, memberantas segala bentuk bid’ah dengan tidak peduli terhadap celaan orang yang mencela mereka. Terkadang sifat atau karekter ini berbeda-beda di satu negeri dari negeri-negeri muslim lainnya, karena ada sebagian negeri dimana kaum muslimin yang tidak bisa menampakkan syi’ar-syi’ar agama mereka di sana atau melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar.
Secara umum, Ahlus Sunnah itu tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Mereka –alhamdulillah- berada di berbagai tempat dan di berbagai negeri; di suatu negeri jumlah mereka sedikit, namun di negeri yang lain jumlah mereka banyak. Jadi, mereka tersebar luas di bumi Allah yang luas ini sesuai dengan kondisi masing-masing.
Jika anda perhatikan kondisi kaum muslimin saat ini, niscaya anda temukan bahwa di antara Ahlus Sunnah itu mempunyai keunggulan tersendiri sesuai dengan kondisi yang melingkupinya, banyak atau sedikit, kuat atau lemah. Anda temukan mereka di Mesir dan di Sudan kebanyakannya ada di dalam wadah gerakan Ansharus Sunnah al-Muhammadiyah, dan sedikit sekali yang berada di gerakan-gerakan yang lain. Di negeri Syam (Suria, Yordan, Palestina) mayoritas mereka terdapat pada kelompok Ahli hadits dan atsar dan sedikit sekali yang ada pada kelompok yang lain, di India, Pakistan dan Afganistan kebanyakan mereka terdapat pada Ahli hadits, kelompok-kelompok dan ormas-ormas keagamaan salafiyah dari pada di tempat-tempat lainnya. [73]
Telah penulis singgung di muka bahwa di antara ciri khas Ahlus Sunnah yang paling menonjol di negeri yang tidak banyak terdapat hal-hal bid’ah dan ajaran tarekat sufi di dalamnya adalah cap Wahabiyah bagi mereka, yaitu nisbat kepada dakwah yang dilakukan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, atau cap Hanabilah, yaitu nisbat kepada Imam Ahmad bin Hanbal.
Da’wah yang diserukan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab itu merupakan contoh nyata yang hidup bagi Ahlus Sunnah wal Jama’ah, baik yang berupa aqidah maupun berupa prilaku. Dengan da’wah yang beliau serukan itu sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam benar-benar menjadi kenyataan:
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ حَتَّى تَقُوْمَ السَّاعَةُ.
“Akan tetap ada segolongan dari umatku yang tampil di atas kebenaran hingga hari kiamat kelak”. [74] Dakwah beliau (Syaikh) ini masih tampak sampai saat ini. Segala puji hanya bagi Allah.
Perlu diketahui pula bahwa awam kaum muslimin yang masih menegakkan syi’ar-syi’ar agama, sedangkan mereka bersih dari perbuatan kesyirikan (penyekutuan terhadap Allah), sesungguhnya mereka masih dalam kondisi fitrah dan mereka tergolong dalam sawadul ummah dan Ahlus Sunnah di mana pun dan kapan pun mereka berada.
Ahlus Sunnah (wallahu a’lam) di akhir zaman nanti tidak merupakan mayoritas ummat, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa mereka adalah tha’ifah (segolongan atau sekelompok), mereka adalah orang-orang asing, bahkan mereka adalah sekelompok kecil saja dan merupakan salah satu golongan dari tujuh puluh tiga golongan yanga ada. [75]
Dengan demikian, gugurlah klaim sebahagian kaum Asya’irah dan Maturidiyah akhir-akhir ini bahwa mereka adalah Ahlus Sunnah, dengan alasan karena mereka merupakan kelompok mayoritas di berbagai negeri kaum muslimin. Jadi secara kuantitas (mayority) itu sama sekali tidak dapat dijadikan sebagai argumen atau dalil yang cukup untuk kebenaran. Yang menjadi ukuran itu adalah ittiba’, patuh dan ta’at kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, berpegang teguh kepada ajaran al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, menelusuri jejak para shahabat, para tabi’in dan para pemuka tokoh agama yang ada di dalam tiga generasi utama dan meniti langkah orang-orang yang mengikuti jejaknya dengan tidak mengganti atau mengubah (sedikitpun dari ajaran Rasulullah) hingga hari kiamat meskipun jumlah mereka sedikit.
Dari sisi lain, perlu diketahui bahwa mayoritas kaum muslimin saat ini adalah orang awam yang diliputi kebodohan, tidak mengerti rincian ‘Aqidah Islam, dan kebanyakan mereka masih dalam kondisi fitrah (tauhidnya masih murni), hati mereka masih bersih dan aqidah mereka masih lurus. Jika demikian adanya, maka mereka masih tergolong dalam sawadul muslimin, Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dengan catatan: mereka belum diseret oleh syetan-syetan bid’ah dan khurafat, syetan-syetan aliran sesat, tariqat-tariqat sufi dan menyeru kepada kesesatan. Wallahu a’lam.
Catatan Kaki :
[1] Penulis menyimpulkan kaidah-kaidah tersebut dari hasil kajian penulis terhadap sebagian literatur para tokoh agama. Di antara buku-buku yang banyak memberikan pelajaran kepada saya di dalam menyimpulkan kaidah-kaidah tersebut adalah:
1. Kitabul Iman, karya Qasim bin Sallam (wafat 224 H)
2. Ar- Raddu ‘alaz zanadiqah wal Jahmiyyah, karya Imam Ahmad (wafat 241 H)
3. Kitabul Iman, karya al-Hafizh al ‘Adani, (243)
4. Al-Ikhtilaf fil Lafzhi war Raddu alal Jahmiyyah wal Musyabbihah, karya Ibnu Qutaibah (276 H)
5. As Sunnah, karya Ibnu ‘Ashim (wafat 287 H)
6. Ar-Raddu alal Jahmiyah dan Ar-Raddu alal Murisi, karya Imam Ad-Darimi (wafat 280 H)
7. al-Ibanah ‘an Ushulid Diyanah, karya Abul Hasan al-Asy’ari (324 H)
8. Asy-Syari’ah, karya al-Ajuri (wafat 360 H)
9. As-Sunnah, karya Abdullah bin Ahmad bin Hanbal (wafat 290)
10. Aqidatus Salaf Ash habil Hadits, karya Abu Ismail as Shabuni (wafat 449 H)
11. Asy-Syarh wal Ibanah, karya Ibnu Baththah (wafat 387 H)
12. Dzammut Ta’wil, karya Ibnu Qudamah al-Maqdisi, (wafat 620)
13. Beberapa buku Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (wafat 728) , terutama at-Tadmuriyah, al-Wasithiyah, Hamuwiyah, Majmu’ Fatawa (1-9), al-‘Aql wan Naql, Minhajus Sunnah, Naqdlut ta’sis, dan lain-lain.
14. Ash Shawa’iq al-mursalah ‘alal jahmiyah al-mu’aththilah, karya Ibnu Qayyim, (wafat 792 H)
15. Syarah al-Aqidah ath-Thawiyyah, karya Ibnu Abil ‘Izz, (wafat 792)
16. Syarah Kitabuttauhid dari Shahih Bukhari di dalam fathul Bari, karya Ibnu Hajar (wafat 852 H)
Syarah Kitabuttauhid min Shahihil Bukhari, karya Syekh Abdullah bin Muhammad al-Ghunaiman. Dll.
[2] Mukhtashar ash-Shawa’iq al-Mursalah, karya Ibnu Al-Qayyim. Vol. 2, hal. 359-446. Diringkas oleh Muhammad bin al-Mushili.
[3] Al-I’tiqad wal Hidayah ila Sabilir Rasyad, karya Imam Al-Baihaqi, hal. 227.
[4] Diriwayatkan oleh Bukhari kitab “ash Shulh” dan Muslim, kitab al-Aqdhiyah.
[5] Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyah, karya Ibnul Abi Al-‘Izzi al-Hanafi, hal. 143.
[6] Ibid, hal.140.
[7] Asy-Syarah wal Ibanah, hal. 123-127; Syarah al-Asidiq ath-Thahawiyyah, hal. 258; dan asy-Syari’ah, karya al-Ajurri, hal. 54-67.
[8] Ini berbeda dengan nash-nash yang berkenaan dengan hukum-hukum, sebab ia boleh dita’wil dan dialihkan dari zhahirnya bila ada dasar syar’inya dan memenuhi syarat-syarat yang disebutkan oleh para tokoh agama terpandang.
[9] Ash-Shawa’iq al-Mursalah, karya Ibnu Qayyim, hal. 10-90. Dzammut Ta’wil, karya Muwaffiquddin Ibnu Qudamah al-Maqdisi, wafat 620 H.
[10] Silakan pembaca merujuk kepada As-Sunnah, karya Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, vol 1, hal. 264-307. Di sana disebutkan perkataan para ulama salaf dalam hal ini. Dan asy-Syarhul wal Ibanah, karya Ibnu Baththah, hal.127-129 dan 213-218.
[11] As-Sunnah (opcit), vol.1/307, asy-Syarhul wal ibanah (opcit) hal. 176-177., al-Itiqad, karya Imam Baihaqi, hal 174, al-Iman, karya Ibnu Taimiyah, hal. 186-288, ‘Aqidatus Salaf, karya As-Shabuni, hal. 68 dan Syarhus Sunnah, karya Imam al-Baghawi. Vol.1, hal. 33.
[12] Tauhid asma’ wa shifat maksudnya adalah menetapkan dan meyakini nama dan sifat yang telah ditetapkan oleh Allah bagi diri-Nya atau ditetapkan oleh Rasul-Nya, dan menafikan apa yang dinafikan oleh Allah dari diri-Nya dan dinafikan oleh Rasul-Nya serta mensucikan Allah dari segala aib dan kekurangan.
[13] Asy-Syarhul wal Ibanah (opcit), hal. 210, dan Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyah (opcit) hal. 243-248.
[14] Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyah, (opcit), hal. 257.
[15] Asy-Syarhu wal Ibanah (opcit), hal. 211 dan Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyah, hal 256-257.
[16] Syarah Aqidah Thahawiyah,, opcit, hal. 103-105 dan al-I’tiqad , opcit. hal. 255-305.
[17] Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyah, opcit, hal. 344-353 dan 369, Aqidatus Salaf Ashhabil Hadits, opcit, hal.60-63 dan asy-Syarh wal Ibanah, opcit, hal. 197-208, 219-223.
[18] Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyyah, hal. 447 dan Lum’atul i’tiqad . opcit. hal. 30-31.
[19] Aqidatus Salaf, opcit, Hal. 75-82, asy Syarh wal Ibanah, opcit. Hal. 192. , al-Ibanah, opcit, hal. 56, dan Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyyah, opcit, hal. 185 dan 185. Lihat pula Tafsir Ibnu Katsir, hal. 227-229.
[20] As-Sunnah, karya Abdullah bin Ahmad, vol. 1 hal. 132, Lum’atul I’tiqad, opcit, hal. 15-18, al-I’tiqad, opcit, hal. 94-110, asy-Syarhu wal Ibanah, hal. 184-186, al-Ibanah, hal. 56. Syarah Thahawiyah, hal. 107-109 dan Aqidatus Salaf Ashhabil Hadits, hal. 7.
[21] As-sunnah, karya Ibnu Abi ‘Ashim, vol. 2, hal. 364, Syarah ath-Thahawiyah, hal. 174, asy-Syari’ah, opcit, hal. 321-326, Lum’atul I’tiqad, hal. 34, Majmu Fatawa, opcit, vol. 1, hal. 116-117.
[22] Syarah Al-Aqidah ath-Thahawiyah, opcit, hal. 167. Asy-Syari’ah, opcit, karya al-Ajuri, hal. 481.
[23] Al-Ibanah, opcit, hal. 59; Lum’atul I’tiqad, opcit, karya al-Maqdisi, hal. 36 asy-Syarh wal Ibanah, opcit, hal 159-170, 264-265, 271, dan al-Washiyah al-Kubra, karya Ibnu Taimiyah, hal 55-58.
[24] Al-Washiyah al-Kubra, hal. 59-60; Asy-Syarh, wal Ibanah hal 414, karya Ibnu Baththah, hal. 257-261; al-I’tiqad, karya al-Baihaqi, hal 323; al-Ibanah, karya al-Asy’ari, hal. 59; Aqidatus Salaf, karya al-Shabuni, hal. 86.
[25] Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyyah, hal. 413; al-I’tiqad, karya al-Baihaqi, hal. 331-332; dan Aqidatus Salaf, karya ash-Shabuni, hal. 83.
[26] al-Washiyah al-Kubra, karya Ibnu, Taimiyah, hal. 58-59; al-I’tiqad, karya al-Baihaqi, hal. 324-330; Lam’ atul Itiqad, opcit, hal. 42.
[27] Termasuk di dalamnya aliran-aliran pemikiran, madzhab dan isme-isme modern, seperti Komunisme, Qadyanisme, Bahaisme, dan demikian pula Sosialisme, Sekulerisme dan segenap nasionalisme atau kebangsaan yang berdasarkan Fanatisme kelompok.
[28] Al-Ibanah, karya Al-Asy’ari, hal. 64; Lum’atul I’tiqad, hal. 42-43; Aqidatus Salaf, karya ash-Shabuni, hal. 112; dan Syarhus Sunnah, karya al-Baghawi, hal. 217-230.
[29] Yang dimaksud Jama’ah di sini adalah Ahlus Sunnah, yaitu mereka yang konsisten mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, para shahabatnya, para tabi’in dan para pemuka agama terkemuka yang ada pada tiga qurun (tiga generasi) yang utama serta orang-orang yang menempuh jalan mereka hingga hari kiamat baik dalam beraqidah, ucapan maupun dalam beramal. (Lihat pembahasan pertama dari kajian ini).
[30] Syarhus Sunnah, karya al-Baghawi, hal 189-209; al-Washiyyah al-Kubra, karya Ibnu Taimiyah, hal. 74; Syarah al-Aqidah at-Thahawiyah, hal. 458; dan al-I’tiqad, karya al-Baihaqi, hal. 242-246.
[31] Syarah al-Aqidah ash-Thahawiyah, hal. 327-330; Lum’atul I’tiqad, al-Maqdisi, hal. 42; al-Ibanah, hal. 64; asy-Syarhu wal Ibanah, karya Ibnu Baththah, hal. 277-280. dll.
[32] Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 336; al-Aqidah al-Wasithiyah, hal. 181; Aqidafus Salaf Ashabul Hadits, karya ash-Shabuni, hal. 92-93.
[33] Risalah fil Amri bil Ma’ruf, karya Ibnu Taimiyah.
[34] Lihat Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 258.
[35] Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 258, 261-262; al-Ibanah, karya Al-Asyari, hal. 57; Lum’atul I’tiqad, karya Maqdisi, hal. 39.
[36] Al-Ibanah, karya al-Asy’ari, hal. 58; Lum’atul I’tiqad, hal. 39.
[37] Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 317; al-Ibanah, hal. 58.
[38] Syarah al-Aqidah ash-Thahawiyah, hal. 321-326; al-Ibanah, hal. 62-63; ‘Aqidatus Salaf, hal 92.
[39] Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyyah, hal. 331-332; Kitabul Iman, karya al-Adani, hal. 128.
[40] Al-Furqan baina Auliyaui Rahman wa Auliyaisy Syaithan, karya Ibnu Taimiyah, hal. 159-188; an-Nubuwwat, karya Ibnu Taimiyah, hal. 7-10; Syarah al-Aqidah ash-Thahawiyyah, hal. 442-446.
[41] Hadits riwayat Abu ‘Ashim di dalam as-Sunnah dengan beberapa sanad yang shahih. Lihat vol.1, hal. 29, hadits no. 54.
[42] Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah di dalam asy-Syarhu wal Ibanah, hal. 407; dan hadits ini mempunyai banyak syawahid di dalam Musnad Ahmad: 2/338 dan 378; dan al-Baghawi di dalam Syarhus Sunnah: 2/270; dan Al-Albani menilai hasan hadits tersebut di dalam Tarkhrijul Misykat, 1/63.
[43] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Ashim di dalam As-Sunnah dengan banyak sanad, dan dinilai shahih oleh Al-Albani (As-Sunnah: 1/26-27. Hadits no. 47, 48 dan 49. Ibnu Majid di dalam muqaddimahnya, hal. 16, hadits no. 43, 44.
[44] Klaim kelompok Asya’irah dan Maturidiyah beserta yang lainnya bahwasanya mereka adalah Ahlus Sunnah atau termasuk Ahlus Sunnah adalah merupakan klaim yang berlebihan, pengelabuan dan penga-buran. Maka dari itu penulis akan membahas pasal tersendiri pada akhir kajian ini mengenai hal ini.
[45] Yang penulis maksud di sini adalah para da’i, penuntut ilmu dan ulama. Adapun masyarakat awam, maka para ulama salaf berpandangan bahwa mereka tidak dibebani tugas untuk mengetahui segala rincian masalah Aqidah. Cukup bagi mereka mengetahuinya secara global saja. (Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 10-11 dan Dar’u Ta’arudhil ‘Aqli wan Naqli,Ibnu Taimiyah. Vol. 1, hal. 51.
[46] Biasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila mencela suatu perbuatan para shahabatnya tidak menyebut langsung nama pelakunya dan tidak pula dimaksudkan untuk menyebarkan kesalahan orang itu. Beliau hanya berkata: “Kenapa kok kaum ini…” sebagaimana pernah beliau ucapkan: “Kenapa kok ada sekelompok orang yang enggan melakukan apa yang aku lakukan…”. (Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Bukhari)
[47] Ini diarahkan kepada kelompok Asya’irah, karena pemikiran mereka menyebar hampir ke seluruh penjuru dunia Islam.
[48] Penulis katakan “tanpa alasan yang benar”, karena menurut pengetahuan penulis ada sebahagian kaum muslimin yang hidup di beberapa negeri muslim disiksa, diintimidasi dan dilecehkan hak-haknya karena mereka memanjangkan jenggotnya. La haula wala quwwata illa billah.
[49] Lihat kajian pertama dari buku ini.
[50] Tepatnya pada akhir abad ketiga hijriyah, yaitu setelah Imam Abul Hasan al-Asy’ari meninggalkan aqidah Mu’tazilah pada tahun 300 H.
[51] Tabyin Kadzibil Muftari, karya Ibnu Asakir, hal 38-45. Dan Pengantar Syaikh Hammad al-Anshari pada kitab Al-Ibanah ‘an Ushulid diyanah, karya Imam Al-Asy’ari, penerbit: Islamic Univercity in Madinah.
[52] Lihat kedua sumber sebelumnya (Ibid).
[53] Di dalam kitab tersebut Imam al-Asy’ari meyakini madzhab Ahlus Sunnah wal-Jama’ah di dalam semua masalah prinsip aqidah. (Silakan merujuk kitab tersebut karena sudah diterbitkan)
[54] Lihat al-Ibanah ‘an Ushulid Diyanah, hal. 52.
[55] Berkat taufiq dari Allah kepada para tokoh terkemuka tersebut, kebanyakan mereka meninggalkan seluruh keyakinan mereka di dalam ta’wil atau sebahagiannya yang menyalahi Aqidah Ahlus Sunnah.
[56] Sebagai contoh, silahkan lihat di dalam kitab Asasut taqdis, karya Fakhrurrazi, hal. 111-19, dan Al-Irsyad, karya Juwaini, hal. 146-154.
[57] Lihat Al-Iqtishad fil I’tiqad, karya al-Ghazali, hal. 12-135; Al-Arbain fi Ushuludin, karya Al-Ghazali, hal. 13-16; Ushuludin, karya Fakhrurrazi, hal. 19-55; Asasut Taqdis, karya fakhrurrazi, hal. 15-49; At-Tauhid, karya Al-Baqlani, hal. 40-50; dan Syarhul Maqashid, karya At-Taftazani, vol. 2, hal 57-68. Telah driwayatkan dari para Imam yang senior, seperti Imam Ahmad, Ibnu Madini, Auzail, Bukhari, Abu Zur’ah, Abu Hatim dan banyak lagi bahwa mereka memperingatkan dari perkataan debat, ta’wil dan ilmu kalam, Lihat Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah, karya Abi Qashim al-Lalakai, vol. 1, hal. 151-186).
[58] Lihat Ushuludin, karya Fakhrurrazi, hal. 24, dan Al-Irsyad, karya Juwaini, hal. 25-37.
[59] Ushuludin, karya Fakhrurrazi, hal. 24.
[60] Lihat permulaan kitab At-Tauhid dan kitab Lushaf, keduanya karya Al-Baqlain; permulaan kitab Ushuluddin, karya Fakhrurrazi; permulaan kitab Al-Iqtishad fil I’tiqad, karya Ghozali; permulaan kitab Ushuluddin, karya Al-Baghdadi; permulaan kitab Al-Irsyad, karya Juwaini; permulaan kitab Al-I’tiqad wal Hidayah ila Sabilir Rasyad, karya Al-Baihaqi; dan kitab-kitab lain yang menjadi pegangan kaum Asya’irah, semuanya dimulai dengan pemikiran, teori-teori akal, ilmu kalam, menetapkan kaidah-kaidah pemikiran akal dan filsafat, hampir tidak disebutkan tauhid ibadah dan tujuan kecuali hanya sedikit sekali, padahal umat yang dulu dan sekarang ini sangat membutuhkannya.
[61] Lihat Al-Inshaf, hal. 62-126; Ushuludin, hal. 63-67; Al-Arbain fi Ushuluddin, hal. 27-28.
[62] Lihat kitab Al-Iman, karya Ibnu Taimiyah, hal. 100-102; Ushuluddin, hal. 91-105; Al-Iqtishad, hal. 165-179.
[63] Lihat Al-Inshaf, hal. 39-44; Al-Arbain fi Ushuluddin hal. 16-27.
[64] Lihat An-Nubuwwat, karya Ibnu Taimiyah, hal. 100-102; Ushuluddin, hal. 91-105; Al-Iqtishad, hal. 165-179.
[65] Di antara ulama yang banyak menjelaskan permasalahan ini juga meletakan pundamennya adalah syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, silakan lihat beberapa karyanya, di antaranya Al-Aqidah At-Tadmuriyah, Al-Fatwa Al-Hawariyah Al-Kubra, Al-Aqidah Al-Wasithiyah dan lihat pula Majmu’ Fatawa, vol. 4 ha. 1-190.
[66] Lihat pembahasannya yang telah lalu.
[67] lihat kitabnya Al-Ibanah ‘an Ushulid Diyanah.
[68] Lihat kitabnya Al-Ibanah ‘an Ushulid Diyanah.
[69] Lihat pembahasan pada hal yang terdahulu.
[70] Syarh Ath-Thahawiyah, hal. 150-153.
[71] Ini sangat berbeda dengan tokoh-tokoh Aya’irah pertama, karena mereka lebih dekat kepada Sunnah, mereka belum terkontaminasi dengan sufisme, falsafat dan perdebatan (dialegtika), mereka adalah Ahlus Sunnah di dalam amal dan peribadatannya. Sedangkan kaum Asya’irah masa kini, kebanyakan mereka adalah pembela tarekat-tarekat sufi dan ahlu bid’ah di dalam masalah keyakinan dan peribadatan. Yang demikian itu, karena sikap tasahul (mengampang-gampangkan, kendor) di dalam masalah tauhid uluhiyah di dalam prinsip-prinsip dasar aqidah kaum Asya’irah, sebagaimana telah penulis ungkapkan di atas.
[72] Abul Hasan al-Asy’ari telah memproklamirkan kepatuhannya kepada aqidah salaf di dalam kitabnya “al-Ibanah…”. Silahkan anda pelajari.
[73] Itu hanya sekedar contoh saja, tidak secara pasti, karena untuk menetapkan ketetapan yang sesungguhnya membutuhkan studi yang lebih serius dan secara teliti. Penulis dalam hal ini hanya memberikan contoh saja.
[74] Hadits ini bersumber dari sejumlah besar para shahabat nabi diriwayatkan di dalam shahihain (Bukhari dan Muslim) dan lain-lain dengan redaksi yang berbeda-beda. Lihat: Shahih Bukhari- Fathul Bari, kitab al-Manaqib, bab ke 27 (6/632), Shahih Muslim, kitab: al-Imarat, bab 53. Hadits no. 1920-1924.
[75] Lihat hadits terdahulu di dalam bahasan “Mengenal Ahlus Sunnah”
http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatkajian&parent_id=1953&parent_section=kj070&idjudul=1887