Home » Fiqih » SHALAT JAMA’ TAQDIM

SHALAT JAMA’ TAQDIM

“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam peperangan Tabuk, apabila hendak berangkat sebelum tergelincir matahari, maka beliau mengakhirkan Dzuhur hingga beliau mengumpulkannya dengan Ashar, lalu beliau melakukan dua shalat itu sekalian. Dan apabila beliau hendak berangkat setelah tergelincir matahari, maka beliau menyegerakan Ashar bersama Dzuhur dan melakukan shalat Dzuhur dan Ashar sekalian. Kemudian beliau berjalan.

Dan apabila beliau hendak berangkat sebelum Maghrib maka beliau mengakhirkan Maghrib sehingga mengerjakan bersama Isya’, dan apabila beliau berangkat setelah Maghrib maka beliau menyegerakan Isya’ dan melakukan shalat Isya’ bersama Maghrib”.

Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Dawud (1220), At-Tirmidzi (2/438) Ad-Daruquthni (151), Al-Baihaqi (3/165) dan Ahmad (5/241-242), mereka semua memperolehnya dari jalur Qutaibah bin Sa’id : ” Telah bercerita kepadaku Al-Laits bin Sa’ad dari Yazid bin Abi Habib dari Abi Thufail Amir bin Watsilah dari Mu’adz bin Jabal, secara marfu. Dalam hal ini Abu Dawud berkomentar :”Tidak ada yang meriwayatkan hadits ini kecuali Qutaibah saja”.

Saya menilai : “Dia adalah tsiqah dan tepat. Maka tidak mengapa meskipun dia sendirian dalam meriwayatkan hadits ini dari Al-Laits selain darinya”.

Di tempat lain At-Tirmidzi juga berkata : “Hadits ini hasan shahih”.

Saya berpendapat : Inilah yang benar, semua perawinya tsiqah. Yakni para perawi Asy-Syaikhain. Juga telah dinilai shahih oleh Ibnul Qayyim dan lainnya. Namun Al-Hakim dan lainnya menganggapnya ada ‘illat yang tidak baik, seperti yang telah saya jelaskan dalam Irwa ‘Al-Ghalil (571). Di sana saya menyebutkan mutabi’ (hadits yang mengikuti) kepada Qutaibah dan beberapa syahid (hadits pendukung) yang memastikan keshahihannya.

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Malik (I/143/2) dari jalur lain yang berasal dari Abi Thufail dengan redaksi.

“Sesungguhnya mereka keluar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun Tabuk. Maka adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan antara Dzuhur dan Ashar serta Magrib dan Isya. Abu Thufail berkata : ‘Kemudian beliau mengakhirkan (jama’ takhir) shalat pada suatu hari. Lalu beliau keluar dan shalat Dzuhur dan Ashar sekalian. Kemudian beliau masuk (datang). Kemudian keluar dan shalat Maghrib serta Isya sekalian”.

Dan dari jalur Malik telah dikeluarkan oleh Imam Muslim (7/60) dan Abu Dawud (1206), An-Nasa’i (juz I, hal 98), Ad-Darimi (juz I, hal 356), Ath-Thahawi (I/95), Al-Baihaqi (3/162), Ahmad (5/237) dan dalam riwayat Muslim (2/162) dan lainnya dari jalur lain :

“Kemudian saya berkata : ‘Apa maksudnya demikian ?” Dia berkata : Maksudnya agar tidak memberatkan umatnya”.

Kandungan Hukumnya

Dalam hadits ini terdapat beberapa masalah.

[1]. Boleh mengumpulkan dua shalat pada waktu bepergian walaupun pada tempat selain Arafah dan Muzdalifah ; demikian pendapat jumhurul ulama. Berbeda dengan mazdhab Hanafiyah. Mereka menakwilkannya dengan ‘jama’ shuwari’ yakni mengakhirkan Dzhuhur sampai mendekati waktu Ashar demikian pula Maghrib dan Isya’. pendapat ini telah dibantah oleh jumhurul ulama dari berbagai segi.

Pertama : Pendapat ini jelas menyalahi pengertian jama’ secara dhahir.

Kedua : Tujuan disyariatkan jama’ adalah untuk mempermudah dan enghindarkan kesulitan, seperti yang telah dijelaskan oleh riwayat Muslim. Sedangkan jama’ dalam pengertian ‘shuwari’ masih mengandung kesulitan.

Ketiga : Sebagian hadits tentang jama’ jelas menyalahkan pendapat mereka itu. Seperti hadits Anas bin Malik yang berbunyi. “Mengakhirkan Dzuhur sehingga masuk awal Ashar, kemudian dia menjama’ (mengumpulkan) keduanya”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim (2/151) dan lainya.

Keempat : Bahkan pendapat itu juga bertentangan dengan pengertian jama taqdim sebagaimana dijelaskan oleh hadits Mu’adz berikut ini.

“Dan apabila dia berangkat setelah tergelincir matahari, maka dia akan menyegerakan Ashar kepada Dzuhur”.

Dan sesungguhnya hadits-hadits yang serupa ini adalah banyak, sebagaimana telah disinggung.

[2]. Sesungguhnya soal jama’ (mengumpulkan dua shalat) disamping boleh jama takhir, boleh juga jama taqdim. Ini dikatakan oleh Imam Asy-Syafi’i dalam Al-Um (I/67), disamping oleh Imam Ahmad dan Ishaq, sebagaimana dikatakan oleh At-Tarmidzi (2/441).

[3]. Sesungguhnya diperbolehkan jama’ pada waktu turunnya (dari kendaraan) sebagaimana diperbolehkan manakala berlangsung perjalanan. Imam Syafi’i dalam Al-Um, setelah meriwayatkan hadits ini dari jalur Malik, mengatakan : “Ini menunjukkan bahwa dia sedang turun bukan sedang jalan. Karena kata ‘dakhala’ dan ‘kharaja’ (masuk dan keluar) adalah tidak lain bahwa dia sedang turun. Maka bagi seorang musafir boleh menjama’ pada saat turun dan pada saat berjalan’.

Saya berpendapat : Dengan nash ini maka tidaklah perlu menghiraukan kata Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Zadul Ma’ad (1/189) menuturkan : “Bukanlah petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, melakukan jama’ sambil naik kendaraan dalam perjalanannya, sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan orang, dan tidak juga jama’ itu harus pada waktu dia turun”.

Nampaknya banyak kaum muslimin yang terkecoh oleh kata-kata Ibnul Qayyim ini. Oleh karenanya mestilah ingat kembali.

Adalah janggal bila Ibnul Qayyim tidak memahi nash yang ada dalam Al-Muwatha’, Shahih Muslim dan lain-lain ini. Akan tetapi keheranan tersebut akan hilang manakala kita ingat bahwa dia menulis kitab Az-Zad itu, adalah pada waktu dimana dia jauh dari kitab-kitab lain, yakni dia dalam perjalanan, sebagai seorang musafir. Inilah sebabnya mengapa dalam kitab tersebut disamping kesalahan itu, banyak juga kesalahan yang lain. Dan mengenai hal ini telah saya jelaskan dalam At-Ta’liqat Al-Jiyad ‘Ala Zadil Ma’ad.

Yang membuat pendapat ini tetap janggal adalah bahwa gurunya, yakni Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, telah menjelaskan dalam sebuah bukunya, berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim. Mengapa hal itu tidak diketahui oleh Ibnul Qayyim padahal dia orang yang paling mengenal Ibnu Taimiyah dengan segala pendapatnya.? Setelah menuturkan hadits itu, Syaikhul Islam dalam Majmu’atur Rasail wal-Masa’il (2/26-27) mengatakan : “Pengertian jama’ itu ada tiga tingkatan : Manakala sambil berjalan maka pada waktu yang pertama.

Sedangkan bila turun maka pada waktu yang kedua. Inilah jama’ sebagaimana disebutkan dalam Ash-Shahihain dari hadits Anas dan Ibnu Umar. Itu menyerupai jama’ di Muzdalifah. Adapun manakala di waktu yang kedua baik dengan berjalan maupun dengan kendaraan, maka di-jama’ pada waktu yang pertama. Ini menyerupai jama’ di Arafah. Sungguh hal ini telah diriwayatkan dalam As-Sunnan (yakni hadits Mu’adz ini). Adapun manakala turun pada waktu keduanya, maka dalam hal ini tidak aku ketahui hadits ini menunjukkan bahwa beliau Nabi turun di kemahnya dalam bepergian itu. Dan bahwa beliau mengakhirkan Dzuhur kemudian keluar lalu shalat Dzuhur dan Ashar sekalian.

Kemudian beliau masuk ke tempatnya, lalu keluar lagi dan melakukan shalat Maghrib dan Isya’ sekalian. Sesungguhnya kala ‘ad-dukhul’ (masuk) dan ‘khuruj’ (keluar), hanyalah ada di rumah (kemah saja). Sedangkan orang yang berjalan tidak akan dikatakan masuk atau keluar. Tetapi turun atau naik.

“Dan Tabuk adalah akhir peperangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Beliau sesudah itu, tidak pernah bepergian kecuali ketika haji Wada’. Tidak ada kasus jama’ darinya kecuali di Arafah dan Muzdalifah. Adapun di Mina, maka tidak ada seorangpun yang menukil bahwa beliau pernah menjama’ di sana.

Mereka hanya menukilkan bahwa beliau memang mengqashar di sana. Ini menunjukkan bahwa beliau dalam suatu bepergian terkadang menjama’ dan terkadang tidak. Bahkan yang lebih sering adalah bahwa beliau tidak men-jama’ . Hal ini menunjukkan bahwa beliau tidak menjama’. Dan juga menunjukkan bahwa jama’ bukan menjadi sunah Safar sebagaimana qashar, tetapi dilakukan hanya bila diperlukan saja, baik dalam bepergian maupun sewaktu tidak dalam bepergian supaya tidak memberatkan umatnya. Maka seorang musafir bilamana memerlukan jama’ maka lakukan saja, baik pada waktu kedua atau pertama, baik ia turun untuknya atau untuk keperluan lain seperti tidur dan istirahat pada waktu Dzuhur dan waktu Isya’. Kemudian dia turun pada waktu Dzuhur dan waktu Isya. Dia turun pada waktu Dzuhur karena lelah dan mengantuk serta lapar sehingga memerlukan istirahat, tidur dan makan. Dia boleh mengakhirkan Dzuhur kepada waktu Ashar kemudian menjama’ taqdim Isya dengan Maghrib lalu sesudah itu bisa tidur agar bisa bangun di tengah malam dalam bepergiannya.

Maka menurut hadits ini dan lainnya adalah diperbolehkan men-jama’. Adapun bagi orang yang singgah beberapa hari di suatu kampong atau kota, maka meskipun ia boleh mengqashar, karena dia musafir, namun tidak diperkenankan men-jama’. Ia seperti halnya tidak boleh shalat di atas kendaraan, tidak boleh shalat dengan tayamum dan tidak boleh makan bangkai.

Hal-hal seperti ini hanya diperbolehkan sewaktu diperlukan saja. Lain halnya dengan soal qashar. sesungguhnya ia memang menjadi sunnah dalam shalat perjalanan”.

[Disadur dari buku Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah wa Syaiun Min Fiqhiha wa Fawaaidiha, edisi Indonesia Silsilah Hadits Shahih dan Sekelumit Kandungan Hukumnya oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, terbitan Pustaka Mantiq, hal 368-372 penerjemah Drs.HM.Qodirun Nur]

Check Also

Keutamaan 10 hari Pertama Bulan Dzulhijjah

  Sebuah karunia Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa yang sangat besar, disediakan untuk hamba-hamba-Nya yang beriman, …