Di tengah gegap gempita gerakan politik dan euphoria kebebasan berpendapat di Indonesia akhir-akhir ini telah merubah setting pemikiran umat Islam. Berbagai persoalan keagamaan baik itu aqidah ataupun syariah diselesaikan dengan pertimbangan kuat dari aspek politik atau kepentingan politik internasional sesaat.
Terdobraknya pola fikir (manhaj al-fikri) atau metodologi kajian Islam oleh sekluarisme, dalam berbagai bidang keilmuan Islam, khususnya disiplin ilmu-ilmu tradisional. Padahal metodologi atau pola fikir dalam berbagai bidang keilmuan tradisional itulah yang kini menjadi pegangan para ulama dalam membimbing umat pada saat ini.
Akibatnya, ketika otoritas ulama mulai dipertanyakan, yang terjadi adalah kesan bahwa fatwa ulama tidaklah mutlak karena masih terdapat ulama lain yang mempersoalkannya. Jika kemutlakan atau otoritas mulai dipersoalkan konsekuensi yang muncul adalah relativitas kebenaran fatwa. Apa yang sejatinya sedang terjadi adalah ghazwul fikri yang intinya adalah perang framework atau manhaj berfikir. Manhaj yang digunakan kelompok anti fatwa ini berasal dari framework berfikir Barat yang diinspirasi oleh metodologi dalam ilmu sosial yang tidak banyak diketahui oleh para ulama. Sementara mereka yang menentang otoritas ulama telah faham manhaj berfikir para ulama. Disini para ulama memerlukan dukungan dari intelektual muda Muslim dalam memperkuat manhaj berfikir Islam yang dapat merespon tantangan pemikiran.
Selain itu, umat Islam, yang kini kebanyakan telah terpelajar, memendam banyak persoalan yang memerlukan jawaban segera, serius, ilmiyah dan tuntas. Namun berbagai persoalan yang muncul itu tidak selalu mendapat tanggapan cepat dan serius dari para ulama yang tidak sekedar dalam bentuk fatwa. Umat memerlukan tanggapan yang bisa difahami secara rasional dalam bentuk tulisan yang lengkap akademik dan dapat dipertanggung jawabkan. Disini, lagi-lagi terdapat celah tugas yang harus diemban oleh intelektual muda.
Terlepas dari persoalan keilmuan, terdapat persoalan-persoalan lain yang dihadapi oleh umat Islam yang bersifat praktis dan memerlukan solusi praktis pula. Masalah-masalah sosial umat Islam tidak selalu dapat diselesaikan melalui kajian keilmuan. Banyak masalah yang memerlukan solusi dalam bentuk gerakan sosial, pendekatan personal dan juga lobby secara struktural dan kultural dan lain sebagainya. Disini kearifan generasi tua yang disegani perlu dipersatukan dengan semangat intelektual muda yang dinanti-nanti.
Itulah sejatinya ruang kosong yang akan diisi oleh intelektual dan ulama muda yang tergabung dalam Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI). Hari ini, tepat pada 28 Februari 2012, sejumlah intelektual dan ulama muda Indonesia mendeklarasikan diri dalam sebuah organisasi bernama Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI).
Mereka, para intelektual dan ulama muda yang mensepakati berdirinya MIUMI ini, selain DR. Adian Husaini yaitu, DR. Muchlis M. Hanafi (Manager Program Pusat Studi Al-Aqur’an Depag), M. Idrus Romli (PWNU Jember dan Jatim), Muhammad Zaitun Rasmin. (Wahdah Islamiyah-Makassar), Nashruddin Syarief, Jeje Zaenuddin (Pemuda Persis), Fahmi Salim (Komisi Kajian & Penelitian MUI), Ahmad Sarwat (Rumah Fiqih Indonesia), Farid A. Okbah (Yayasan Al Islam), Fadzlan Garamatan (Yayasan Al-Fatih Kaaffa Nusantara), Henri Shalahuddin (Peneliti & Sekretaris Insists), Asep Sobari (Redaksi Majalah Gontor), M. Khudori (Alumnus Gontor & Univ. Islam Madinah) serta Hamid Fahmi Zarkasyi (Ketua Insists) yang secara aklamasi ditunjuk sebagai Ketua Majelis Pimpinan MIUMI, dan Bachtiar Nasir sebagai Sekjend MIUMI.
Menurut M . Idrus Romli, fungsi majelis MIUMI ini lebih pada aksi, yang harus menjadi solusi bagi persoalan yang selama ini dihadapi umat Islam. “Dan tidak akan menajdi problem bagi ormas-ormas Islam yang sudah ada. Karena memang forum ini telah menjadi wadah bagi seluruh ormas islam yang ada, khususnya bagi kaum intelektual dan ulama muda. Sama halnya dengan MUI yang menjadi wadah berbagai ormas Islam yang ada dari kalangan ulama senior,” tambahnya.
Fadzlan Garamatan, Ustadz kelahiran Papua dan telah mengislamkan puluhan ribu orang Papua ini menegaskan, bahwa wadah ulama muda ini harus sungguh-sungguh dan hanya berorientasi pada Allah untuk kemanangan Islam dan kejayaan umat Islam. “Bukan mementingkan pada kepentingan kelompoknya masing-masing,” ungkapnya.
Tentang kepentingan kelompok ini, MIUMI akan menjadi organisasi yang netral. Kenetralan ini yang menjadikan MIUMI sebagai mediator dan menjadi organisasi yang menggerakkan kealpaan maupun keterlambatan organisasi Islam dalam mengeluarkan fatwa. Sebab, MIUMI harus objektif berjuang demi menegakkan akidah Islam.
Selain lambannya fatwa, MIUMI juga ingin menatakelola masalah yang berkaitan dengan hari raya besar umat Islam. MIUMI sangat prihatin dengan kasus Idul Fitri 2011, dimana terdapat 2 (dua) hari yang berbeda dalam merayakan Idul Fitri. “Peristiwa itu membuat umat bingung,” ujar Bachtiar Nasir. “Sebetulnya bisa diselesaikan, tetapi karena masing-masing memiliki ego, sehingga hal itu terjadi”.
Masih tetang kepentingan, bahwa MIUMI tidak akan berafiliasi dengan organisasi politik manupun, yang mencoba memanfaatkan. Justru menjelang Pemilu 2014, MIUMI akan mengadvokasi umat yang selama ini dimanfaatkan oleh elit politik demi kepentingan partai politik maupun ambisi pribadi.
“Di MIUMI tidak ada orang partai agar organisasi kami tidak tergantung pada parti. Bersama MIUMI, kami akan mendudukkan umat pada tempatnya. Kami akan mengatakan pada para ulama dan umat, bahwa berpolitik itu tidak harus masuk ke dalam partai politik. Berdakwah itu adalah berpolitik. Jangan pecah belah umat lagi. Politik MIUMI adalah untuk Islam dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” ungkap Bachtiar Nasir lagi.
Selama ini sejumlah intelektual dan ulama tersebut tersebar di dalam maupun luar negeri, secara individu dan memiliki agenda kegiatan, serta aktif di berbagai ormas Islam di Indonesia. Padahal mereka memiliki potensi sangat besar untuk membangun bangsa Indonesia menjadi jauh lebih baik, terlebih lagi latar belakang keilmuan, keorganisasian, dan aktivitas mereka yang begitu beragam. Dengan terbentuknya MIUMI, beberapa aktivis dakwah ini bertekad mengkonstrasikan diri dengan menyatukan potensi untuk membangun kekuatan bersama. Meski terdiri berbagai ormas, ke-15 ulama muda pendiri MIUMI ini sepakat untuk tidak mempertajam perbedaan-perbedaan di tingkat khilafiyah atau zhanniyyah.
“Sudah bersatu saja kita belum tentu mampu menghadapi tantangan yang begitu kuat, apalagi sendiri-sendiri,” tandas Ustadz Adian Husaini, Dosen Pasca Sarjana Universitas Ibnu Khaldun (UIKA), Bogor, Jawa Barat. “Sangat indah, berbagai latar belakang ini bersepakat untuk bersilaturrahim dengan mengedepankan ukhuwah islamiyah, menyatukan wawasan, serta mengkonsentrasikan diri pada masalah-masalah besar umat yang disepakati,” ujar Adian.
Cikal bakal pendirian MIUMI dilakukan di awal tahun 2012. Saat itu, sejumlah intelektual muda diatas dan ulama muda dari berbagai organisasi masa (ormas) Islam untuk bersama. Alhamdulillah, tepat pada 3 Januari 2012 lalu, 15 ulama muda berkumpul tepatnya di markas Ar-Rahman Quranic Learning Center (AQL) yang saat itu berada di jalan Karang Asem Raya no 23, Kuningan, Jakarta Selatan.
Dalam pertemuan tersebut, para pendiri MIUMI meyakini, wadah yang akan dibentuk dapat memberikan harapan yang besar pada dunia dakwah Islam di Indonesia. Sebab, mereka sepakat tidak melakukan konfrontasi atau pertentangan dengan lembaga Islam atau ormas Islam yang sudah ada.
“Kita sepakat untuk memberikan yang terbaik demi membantu ormas-ormas atau lembaga-lembaga yang sudah ada. Jadi keberadaan kami ini tidak untuk mempertajam perbedaan yang ada, tetapi kita ingin memberikan kontribusi yang yang nyata yang dibutuhklan oleh umat,” ungkap Bachtiar Nasir, pimpinan AQL yang ditunjuk sebagai Sekjend MIUMI.
Ustadz M. Khudori dari Jakarta menambahkan, ormas dan lembaga Islam di Indonesia sangat banyak, tetapi tidak berwibawa. Setiap lembaga mengeluarkan fatwa, tapi persoalannya pada rendahnya tingkat penerimaan atau respon masyarakat terhadap fatwa tersebut.
“Respons kita selama ini terhadap persoalan-persoalan umat tidak orisinal, karena fatwa tersebut tidak didasari oleh basis penelitian yang kuat. Sehingga solusi yang kita sodorkan bersifat permukaan,” tandasnya. “Dengan keberadaan MIUMI ini, dapat berfungsi sebagai penyalur bahan-bahan observasi berdasarkan penelitian kepada institusi-institusi yang sudah ada, yang lebih berkompoten mengeluarkan fatwa. Produk-produk maupun kebijakan majelis ini harus menyentuh segmentasi yang jelas, yakni pada aplikasi umat di lapangan” tambahnya.
Berkaitan dengan sosialisasi fatwa, ustadz M. Idrus menegaskan sudah begitu banyak keputusan fatwa yang dikeluarkan oleh ormas Islam dan MUI, namun sosialisasinya masih terasa kurang efektif. “Insya Allah melalui forum ini, fatwa-fatwa yang telah dikeluarkan berbagai ormas, akan dapat diakses oleh kalangan yang lebih luas dan disosialisasikan lebih merata di berbagai lapisan kalangan masyarakat,” utadz yang tengah meneliti pecahnya kasus di Sampang, Madura, baru-baru ini. (*)
http://www.miumipusat.org/index.php?option=com_content&view=article&id=26:persrilis&catid=5:tentangm