Oleh: Kholili Hasib
GERAKAN radikalisme Syiah di dunia Arab sudah sangat mengkhawatirkan negara-negara Muslim lainnya. Kekerasan pemberontak Syiah Hautsi (media Barat menyebut al Houti) di Yaman, misalnya, telah mencapai puncaknya pada Ahad (21/09/2014) kemarin.
Kelompok ini berhasil merebut Ibu Kota Yaman, Sana’a, menduduki istana kepresidenan dan menduduki Universitas al Iman.
Kelompok pemberontak Syiah ini dikabarkan juga berhasil menguasai pos-pos penting seperti gedung parlemen, gedung kementerian, maskapai penerbangan, bank pusat, kamp militer dan gedung Kementerian. Sebelumnya, pada Juli lalu pemberontak Syiah dari suku Hautsi telah melakukan serangan selama tiga di dekat ibu kota.
Keganasan Syiah di Yaman ini menambah daftar pemberontakan yang dilakukan kaum Syiah di berbagai negara. Radikalisme Syiah dalam bentuk pemberontakan dan pembunuhan tidak hanya berbasis ideologis, namun juga sarat ambisi politis yang berbahaya.
Dr. Khalid Muslih, pakar Syiah dari Universitas Islam Darussalam (UNIDA) Gontor, baru-baru ini mengutarakan kelompok SYiah berpotensi melakukan pemberontakan di negeri-negeri Muslim. “Yang perlu diketahui oleh seluruh umat Islam, Syi’ah di berbagai negara selalu ingin memberontak karena dalam rangka urusan politik mereka” ujar Khalid di hidayatullah.com (23/09/2014).
Secara ideologis dan politis, semangat Syiah melakukan ekspansi ke negeri-negeri Sunni telah ditanamkan oleh tokoh spiritual Syiah, Ayatullah Khomeini.
Pada tahun 1981, Iran menggelar Konferensi Internasional untuk Imam Jum’at dan Jama’ah mengundang pemimpin Negara-negara Muslim di dunia serta para muftinya. Syaikh Muhammad Abdu Qodir Azad, Ketua Majelis Ulama’ Pakistan, yang ikut konferensi menyaksikan pidato Khomeini yang berapi-api hendak memprovokasi untuk melakukan pemberontakan di negeri-negeri Muslim.
Khomeini mengatakan: “Karena itu wahai para ulama! Berangkatlah dari muktamar ini untuk mengadakan revolusi Iran di Negara-negara masing-masing, agar anda semuanya dapat menang dalam usaha yang besar ini. Kalau anda bermalas-malas, maka pada hari kiamat nanti di hari semua manusia dikumpulkan, Allah akan meminta pertanggungjawaban dari masing-masing Anda karena tidak melakukan sesuatu tentang hak Allah dan hak bangsa-bangsa Anda. Lalu ketika itu nanti jawaban apakah yang akan Anda berikan?” (Muhammad Abdul Qodir Azad, Bahaya Faham Syiah Khomeini, hal.14).
Provokasi Khumaini ini sangat berbahaya. Revolusinya yang akan diekspor ke negeri-negeri Muslim akan menjadi musibah besar kaum Muslimin. Iran rupanya telah merancang peta kekuasaan di semenanjung Arab. Tak menutup kemungkinan di negeri-negeri Muslim non-Arab. Setiap negera yang di dalamnya terdapat kelompok Syiah dengan kekuatan dipastikan terjadi gejolak.
Nyatanya memang, radikalisme Syiah hasil ramuan Khumaini antara praktik ideologis dan target politis. Radikalisme yang dibangun sangat berbahaya, menyuruh umatnya memberontak kepada pemerintah yang memicu pertumpahan darah.
Lihatlah pidato Khumaini ini dalam kitabnya al-Hukumah al-Islamiyah: “Kenyataanya tidak ada pilihan lain selain menghancurkan sistem pemerintahan yang rusak dan menghapus pemerintahan yang penuh dengan pengkhianatan, kerusakan dan kedzaliman. Ini adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap Muslim yang ada di Negara Islam sehingga dapat tercapailah kejayaan Revolusi Politik Islam” (Imam Khomeini, Sistem Pemerintahan Islam,hal.46).
Vali Nasr dalam bukunya Shia Revival (edisi Indonesia Kebangkitan Syiah: Islam, Konflik dan Masa Depan, 2007: hal. 254) mengatakan, target pertama Iran melakukan hegemoni semenanjung Arab adalah negara Iraq. Menurut Vali, Iran memiliki klaim regional dan akan merembet ke Liebanon dan sekitarnya. Di Iraq ini, kata Vali, Syiah akan memulai kebangkitan dengan semangat persianisme.
Mari kita lihat ambisi Syiah yang mengancam negara-negara Muslim. Bahkan tanah suci, Makkah-Madinah pun menjadi target penghancuran. Al-Majlisi, dalam kitabnya Bihar al-Anwar, 52/386 menulis: “Tahukah kalian, apa perbuatan yang pertama kali dilakukan oleh al-Mahdi?” Yang pertama kali dia lakukan adalah mengeluarkan jasad kedua orang ini ( Abu Bakar dan Umar), kemudian membakar keduanya dan menerbangkan debunya di udara. Lalu menghancurkan Masjid (Nabawi)”.
Pada tahun 317 H, Abu Thahir al-Qarmathi, pemimpin Syiah Qaramithah pernahmenyerang Makkah pada 8 Dzulhijjah. Dia dan tentaranya membantai para jama’ah haji di sekitar Ka’bah, ketika mereka sedang thawaf. Di antara jamaah haji tersebut ada yang berlindung dengan bergelantungan di Ka’bah, namun tentara Qaramithah tetap membantai mereka di tempat suci itu.
Harta jama’ah haji dirampas. Dan bukan cuma itu, mereka juga mencabut Hajar al-Aswad dari Ka’bah, dan membawanya ke Kerajaan mereka di Kufah, dan tetap berada di sana selama 18 tahun. (Ibn Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, juz XI, h. 160).
Al-Maqdisi, ulama Syiah, dalam kitabnya al-Ghaibah, halaman 282 menulis: “Sesungguhnya al-Qa’im (Imam Mahdi Syi’ah) akan menghancurkan Ka’bah dan Masjid Nabawi, dan mengembalikannya ke asalanya”.
Sebetulnya, ancaman Syiah untuk menguasai kota suci bukan isapan jempol. Pada tahun delapan puluhan jamaah haji Iran pernah mereka membuat kerusuhan berdarah di Makkah ketika musim Haji. Karena kerusuhan ini, puluhan bangunan hancur, ratusan wanita, anak-anak, dan orang tua terinjak-injak , dan ratusan ribu jama’ah haji terhambat melaksanakan ibadahnya.
Pada hari ini Iraq menjadi negara yang tidak menentu. Sejak diinvasi Amerika Serikat (AS) kemudian kekuasaan diserahkan kepada Syiah. Konflik horizontal dan pembunuhan menjadi pemandangan yang tidak asing lagi.
Geliat gerakan Syiah makin mencolok di Timur Tengah beberapa tahun ini, yaitu saat berkecamuk perang saudara di Suriah. Presiden Suriah, Bashar Asad, yang berpaham Syiah Nushairiyah konon mendapat dukungan dari Iran melawan rakyatnya sendiri.
Mencermati sikap politik Iran terhadap krisis Suriah, kita bisa menyimpulkan bahwa Suriah sedang dipersiapkan untuk menjadi Negara Syiah kedua di Arab setelah Irak. Meski berbeda sekte – Suriah berpaham Syiah Nushariyah dan Iran berpaham Syiah Imamiyah, namun dua sekte ini dikategorikan sama-sama Rafidhah. Yang terkenal ekstrim dan militan itu.
Libanon kini juga terancam. Kekuatan militan Hizbullah bahkan mengalahkan militer pemerintah. Jika dibiarkan, Libanon bisa menyusul Suriah, perang saudara. Di mana-mana ada Syiah selalu ada masalah keamanan. Negara-negara yang penduduk Syiah-nya memiliki kekuatan biasanya terjadi gejolak politik. Disebabkan ambisi politik Syiah sangat besar dengan doktrin imamah-nya. Yang mengharuskan adanya pemerintahan berdasarkan imamah.
Akhirnya, revolusi ala Syiah selalu membawa musibah bagi negeri Muslim. Jika hari ini Yaman dicooptasi Syiah, tidak menutup kemungkinan akan menjalar ke negara-negara Muslim non-Arab lainnya. Syiah Zaidiyah di Yaman pun tertular radikalisme Syiah Imamiyah. Zaidiyah hari ini, khususnya di Yaman, bukan saja kelompok agama, tapi kelompok politik yang ambisius. Inilah ancaman bagi negara-negara Muslim di dunia.*
Penulis adalah anggota MIUMI Jawa Timur
http://www3.hidayatullah.com/artikel/ghazwul-fikr/read/2014/09/24/30156/musibah-syiah-di-negeri-sunni.html#.VDORkvl_tVU