Home » Akhbaar » MIUMI, Asa Menegakkan Fatwa

MIUMI, Asa Menegakkan Fatwa

 

Jakarta (SI ONLINE) – Ruang Puri Ratna di lantai dua Hotel Sahid sesak dipenuhi para undangan. Setidaknya ada 28 roundtable yang disiapkan panitia terisi penuh. Jika satu meja bundar itu berisi 10 tempat duduk, maka ada 280 undangan yang hadir pada Selasa malam (28/2/2012) itu. Plus panitia, berarti 300 orang lebih yang mengikuti deklarasi Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI).

Sengaja panitia memilih hotel bintang lima di Jalan Jendral Sudirman, Jakarta itu untuk mendeklarasikan majelis yang sebenarnya telah didirikan pada 3 Januari 2012 lalu. Deklarasi MIUMI bertajuk “Untuk Indonesia yang Lebih beradab”. “Kami dibantu para donatur, tak ada sponsor tunggal”, kata Sekjen MIUMI Bachtiar Nasir.

Mereka yang hadir beragam latar belakang. Ada yang dari kalangan ulama, intelektual, politisi, pimpinan media massa, aktivis gerakan Islam, dan tentu saja puluhan wartawan yang meliput acara itu.

Di meja nomor dua yang terletak di barisan depan, duduk melingkar sejumlah pejabat tinggi negeri ini. Di sana ada Ketua Mahkamah Konsitusi Mahfud MD, Ketua KPK Abraham Samad. Samad tidak datang sendiri, ia ditemani oleh salah satu wakilnya, Bambang Widjajanto. Di deretan kursi itu juga duduk Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, Ketua MUI KH. Yunahar Ilyas dan sastrawan kondang Taufik Ismail.

 

Sementara di meja yang lain, ada Ketua MUI KH A Cholil Ridwan. Di belakang, hadir juga politisi Partai Hanura Fuad Bawazier. Wakil Sekjen MUI Pusat Amirsyah Tambunan juga terlihat di belakang. Dari Forum Umat Islam (FUI) hadir Sekjen FUI KH Muhammad Al Khaththath.

Setelah sambutan dari Ketua Majelis Pimpinan Nasional MIUMI, Hamid Fahmy Zarkasyi, dilakukanlah deklarasi MIUMI. Teks deklarasi dibaca dalam 3 bahasa, bahasa Arab, bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Pembacaan deklarasi dalam bahasa Arab dilakukan oleh Zaitun Rasmin, Ketua Umum Wahdah Islamiyah. Deklarasi dalam bahasa Inggris dilakukan oleh Henri Sholahuddin, sedangkan deklarasi dalam bahasa Indonesia dibaca oleh Fadzlan Garamatan.

Para intelektual muda yang menginisiasi MIUMI berdiri berderet di depan. Mereka adalah Hamid Fahmy Zarkasyi (Direktur Insists/Pondok Modern Darussalam Gontor), Adian Husaini (Universitas Ibnu Khaldun Bogor), Farid A. Okbah (Yayasan Al Islam), Muh. Zaitun R (Wahdah Islamiyah), Fadzlan Garamatan (Yayasan Al-Fatih Kaaffah Nusantara), Fahmi Salim (Anggota Komisi Penelitian dan Pengkajian MUI), Henri Shalahuddin (Sekretaris Insists), Adnin armas (Peneliti Insists), Asep Sobari (Pimred Majalah Gontor), Jeje Zaenuddin (PP Persis), Muhammad Khudori (Alumni Universitas Madinah), Mu’inudinillah Basri (UMS) dan Ahmad Zein An-Najah (doktor lulusan Universitas Al Azhar, Mesir).

Ada tiga inisiator yang berhalangan hadir, diantaranya Muchlis M. Hanafi (Pusat Studi Al-Qur’an), M Idrus Ramli (Pengurus NU Jember) dan Ahmad Syarwat (Rumah Fiqqh Indonesia).

Sebelumnya, Bachtiar Nasir, pimpinan Arrahman Qur’anic Learning (AQL) yang didaulat sebagai Sekjen MIUMI, mengantarkan pendeklarasian itu. Alumni Madinah yang mengaku diberi amanah bekerja didapur ini mengatakan bahwa MIUMI tidak berpolitik praktis.

“Kita tidak berpolitik praktis, bagi kami berdakwah otomatis berpolitik, berpolitik belum tentu berdakwah. Kalau ada implikasi pokitik di dalamnya, barangkali itu cuma ekses,” kata Bachtiar.

MIUMI, lanjut Bachtiar, akan fokus pada pembangunan sosial (masyarakat) Islam. Sebab sesuai fungsi ulama, al-ulama waratsatul anbiya. Ulama adalah penerus para Nabi. Tugas Ulama, kata Bachtiar, adalah hirasatud diin wa siyasatud dunya bihi (menjaga kemurnian agama dan mengelola dunia dengan syariah). MIUMI juga akan mendukung semua ormas Islam dan menjaga kesatuan ulama dan bangsa.

Menurut Bachtiar, MIUMI akan mengisi celah kosong dalam menegakkan dan mengimplementasikan fatwa-fatwa yang telah dikeluarkan sejumlah lembaga resmi umat Islam di Indonesia, baik Majelis Ulama Indonesia maupun ormas-ormas Islam. Dalam kaitannya dengan fatwa ini, Bachtiar mengungkapkan ada tiga kerja pokok MIUMI, yakni penelitian (research), Sosialisasi, dan penegakan.

“MIUMI akan meriset fatwa-fatwa strategis MUI atau ormas-ormas yang ada, kemudian disosialisasikan. MIUMI juga akan membantu agar fatwa itu tegak di tengah umat”, jelas Bachtiar.

Sebelumnya, Hamid Fahmy Zarkasy juga telah menyampaikan keprihatinannya terhadap gegap gempita eufhoria kebebasan berpendapat di Indonesia dewasa ini yang pada akhirnya telah merubah setting pemikiran umat Islam.

Fatwa, sebagai cara ulama untuk menyelesaikan persoalan umat pada akhirnya juga tidak luput dari penentangan oleh kelompok-kelompok yang menginginkan kebebasan. Akibatnya, kata Fahmy, otoritas ulama mulai dipertanyakan.

“Kemudian muncul kesan bahwa fatwa ulama tidaklah mutlak karena masih terdapat ulama lain yang mempersoalkannya”, kata Fahmy. Buntutnya, lanjut Fahmy, timbullah relativitas kebenaran fatwa.

Dalam buku profil MIUMI disebutkan bahwa lahirnya organisasi ini dilatar belakangi oleh kecintaan terhadap umat Islam Indonesia dan dunia pada umumnya serta kerinduan lahirnya gerakan aktual untuk memenangkan Islam dan menjayakan umat Islam (nusrat al Islam wa tamkin al-muslimin).

Selain itu juga karena adanya kelemahan kepemimpinan formal Islam Indonesia baik di tingkat individu maupun lembaga yang dapat dijadikan panutan umat.

MIUMI melihat fatwa yang dikeluarkan oleh Ormas dan Lembaga Islam di Indonesia cukup banyak tetapi kurang memperhatikan riset dan lemah dalam sosialisasinya, serta kurang sungguh-sungguh dalam penegakannya. “Sehingga fatwa tersebut tidak sampai pada maksud dan tujuannya”, kata MIUMI.

MIUMI juga merasa prihatin terhadap kondisi umat Islam di Indonesia yang sering terjebak dalam perpecahan internal. Penyebabnya, kata MIUMI,  adalah karena kecintaan kepada dunia, uslub dakwah tidak jadi prioritas, saling mencerca dan fantisme golongan. Umat akhirnya dipimpin oleh orang yang jahil karena absennya ulama dari kepemimpinan yang mengemban risalah amar ma’ruf nahi munkar.

Kondisi itu, diperparah lagi oleh rusaknya ilmu-ilmu Islam yang diajarkan di lembaga formal yang tidak menanamkan keyakinan dan kebanggaan terhadap Islam.

Karena itu, Bachtiar menegaskan bahwa pihaknya tidak akan mentolelir pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan Islam. “Kami tidak bisa mentolelir sekularisme, pluralisme, leberalisme, komunisme dan paham sesat lainnya, kami bertemu dan memang wajah-wajah ini”, kata Bachtiar.

Sumber : http://www.suara-islam.com/detail.php?kid=4271

Check Also

014. Syarah Waraqat – Definisi Dzan dan Syak

Definisi al Dzan dan al Syak Bahasan ini merupakan bahasan terakhir sebelum masuk ke bahasan …