Home » Fiqih » Fiqih Ramadlan » MENGUAK TABIR LAILATUL QADAR

MENGUAK TABIR LAILATUL QADAR

MENGUAK TABIR LAILATUL QADAR


I. Muqaddimah

Diantara hikmah dalam penciptaan Allah Azza wa Jalla adalah Dia memilih diantara ciptaan-Nya siapa yang dikehendaki lalu mengutamakannya atas sebagian yang lain. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ

Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. (QS. Al Qashash: 68)

Ibnul Qayyim rahimahullah menerangkan ayat tersebut dengan perkataannya: “Yang dimaksud dengan al ikhtiyar adalah pemilihan dan penyeleksian jadi maknanya memilih setelah menciptakan” (1)

Diantara bukti dan dalil adanya ikhtiyar (pemilihan) diantara sekian banyak makhluk adalah Allah subhanahu wa ta’ala telah mengutamakan surga Firdaus dari seluruh jenis surga yang ada, Malaikat Jibril, Mikail dan Israfil merupakan tiga malaikat yang paling utama dari sekian banyak malaikat, Para ulul azmi lebih utama dari para nabi dan rasul yang lain, Para sahabat dipilih untuk menjadi generasi yang terbaik dan diantara sahabat ada yang lebih afdhal dari yang selainnya, Ummat ini dipilih untuk menjadi ummat yang paling afdhal dibandingkan ummat-ummat yang lain, Allah subhanahu wa ta’ala mengutamakan sebagian tempat dan negeri dibandingkan tempat-tempat yang lain dan yang paling afdhal adalah negeri Haram (Tanah Mekkah), termasuk dalam hal ini adalah Allah subhanahu wa ta’ala memilih dan mengutamakan sebagian waktu dari yang lainnya; dimana hari yang terbaik di sisi Allah subhanahu wa ta’ala dalam setahun adalah hari raya kurban, bulan yang terbaik adalah bulan Ramadhan dan malam yang terbaik adalah lailatul qadr yang lebih utama dari 1000 bulan.

Para ulama berbeda pendapat tentang yang mana afdhal sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah atau sepuluh akhir bulan Ramadhan ? Pendapat yang dipilih oleh Imam Ibnul Qayyim adalah jika dipandang waktu paginya maka sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah lebih afdhal karena di dalamnya terdapat hari tarwiyah, hari Arafah dan hari raya kurban. Adapun jika dilihat waktu malamnya maka sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan lebih afdhal karena padanya terdapat lailatul qadr.(2)

II.  Makna Lailatul Qadr

Al Qadr dalam bahasa Arab dan sesuai pemakaiannya dalam Al Quran memiliki beberapa makna, antara lain:

  1. Keagungan dan kemuliaan, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:

وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ

“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya …”(QS. Al An’am: 91 dan Az Zumar: 67, lihat juga QS. Al Hajj:74)

Dengan demikian makna lailatul qadr adalah malam yang agung dan mulia, makna ini ditunjukkan oleh firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat Al Qadr:

لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ

Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan (QS. Al Qadr: 3)

Dan ini ditunjukkan juga dengan bentuk pertanyaan yang menunjukkan keutamaannya:

وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ

Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? (QS. Al Qadr: 2)

Malam tersebut mulia karena pada saat itu turun kitab yang termulia yang dibawa oleh malaikat yang memiliki kemuliaan dan diturunkan kepada Nabi dan ummat yang termulia. Kemuliaan ini berlaku juga bagi pelaku kebaikan pada malam itu maksudnya siapa yang melakukan ketaatan pada malam tersebut menjadi mulia dan agung karena amalan pada malam tersebut lebih banyak pahalanya dan lebih besar peluangnya untuk diterima

b.  Sempit; makna ini banyak digunakan dalam Al Quran sebagaimana yang ditunjukkan dalam beberapa firman Allah subhanahu wa ta’ala berikut ini:

اللَّهُ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ

Allah meluaskan rezki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendakinya (QS. Ar Ra’ad: 26)

إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ إِنَّهُ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيرًا بَصِيرًا

Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. (QS. Al Isra’: 30)

وَأَصْبَحَ الَّذِينَ تَمَنَّوْا مَكَانَهُ بِالْأَمْسِ يَقُولُونَ وَيْكَأَنَّ اللَّهَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَيَقْدِرُ لَوْلَا أَنْ مَنَّ اللَّهُ عَلَيْنَا لَخَسَفَ بِنَا وَيْكَأَنَّهُ لَا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ

Dan jadilah orang-orang yang kemarin mencita-citakan kedudukan Karun itu. berkata: “Aduhai. benarlah Allah melapangkan rezki bagi siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya dan menyempitkannya; kalau Allah tidak melimpahkan karunia-Nya atas kita benar-benar Dia telah membenamkan kita (pula). Aduhai benarlah, tidak beruntung orang-orang yang mengingkari (nikmat Allah)”. (QS. Al Qashash: 82)

اللَّهُ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَيَقْدِرُ لَهُ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Allah melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia (pula) yang menyempitkan baginya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. Al Ankabut: 62)

أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّ اللَّهَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan Dia (pula) yang menyempitkan (rezki itu). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang beriman. (QS. Ar Ruum: 37)

قُلْ إِنَّ رَبِّي يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

Katakanlah: “Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkan (bagi siapa yang dikehendaki-Nya), akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS. Saba’: 36)

قُلْ إِنَّ رَبِّي يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَيَقْدِرُ لَهُ وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ

Katakanlah: “Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya)”. Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia lah Pemberi rezki yang sebaik-baiknya. (QS. Saba’: 39)

أَوَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

Dan tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah melapangkan rezki dan menyempitkannya bagi siapa yang dikehendaki-Nya? Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang beriman. (QS. Az Zumar: 52)

لَهُ مَقَالِيدُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ إِنَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Kepunyaan-Nya-lah perbendaharaan langit dan bumi; Dia melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkan (nya). Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. Asy Syuro: 12)

وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا ءَاتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا ءَاتَاهَا

Dan orang yang sempit/terbatas rezkinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. (QS. Ath Thalaq: 7)

Dengan demikian salah satu makna lailatul qadr adalah malam yang sempit; malam tersebut disebut sebagai malam yang sempit karena bumi pada malam tersebut menjadi penuh sesak disebabkan banyaknya malaikat yang turun pada malam tersebut

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ:    إِنَّهَا لَيْلَةُ سَابِعَةٍ أَوْ تَاسِعَةٍ وَعِشْرِينَ إِنَّ الْمَلَائِكَةَ تِلْكَ اللَّيْلَةَ فِي الْأَرْضِ أَكْثَرُ مِنْ عَدَدِ الْحَصَى (رواه أحمد (

Dari Abu Hurairah radhiyallohu anhu bahwa Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda tentang lailatul qadr, “Sesungguhnya lailatul qadr pada malam dua puluh tujuh atau dua puluh sembilan, sesungguhnya jumlah malaikat pada malam itu di bumi lebih banyak dari jumlah batu kerikil” (HR. Ahmad dan dinyatakan hasan oleh Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no 2205)

Diantara pengertian sempit adalah ilmu tentang malam tersebut disempitkan (dibatasi) sehingga tidak ada yang mengetahui kapan terjadinya secara pasti

  1. Menjelaskan dan menetapkan ukuran serta kadar sesuatu,

sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:

] الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَلَمْ يَكُنْ لَهُ شَرِيكٌ فِي الْمُلْكِ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ    تَقْدِيرًا [

yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan (Nya), dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya. (QS. Al Furqan: 2)

Dalam ayat yang lain,

] وَجَعَلَ فِيهَا رَوَاسِيَ مِنْ فَوْقِهَا وَبَارَكَ فِيهَا وَقَدَّرَ فِيهَا أَقْوَاتَهَا فِي أَرْبَعَةِ أَيَّامٍ سَوَاءً لِلسَّائِلِينَ [

Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni) nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya. (QS. Fushshilat: 10)

Malam tersebut dinamakan malam penetapan dan keputusan karena padanya Allah subhanahu wa ta’ala menetapkan apa yang akan terjadi pada tahun tersebut hingga tahun berikutnya berupa hujan, rezki, hidup, mati, dan hal-hal yang penting lainnya.

Makna ini yang dipilih oleh banyak ahli tafsir dari kalangan salaf diantaranya ; Abdullah bin Abbas, Hasan Al Bashri, Mujahid, Said bin Jubair dan Qatadah rahimahumullohu jami’an wa radhiya ‘anhum.

Makna ini dijelaskan dalam firman Allah di surat Ad Dukhân:

﴿ حم(1)وَالْكِتَابِ الْمُبِينِ(2)إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ(3)فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ ﴾

Haa Miim. Demi Kitab (Al Qur’an) yang menjelaskan, sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi (lailatul qadr) dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu ditetapkan segala urusan yang penuh hikmah (QS. Ad Dukhaan: 1-4)

Firman Allah subhanahu wa ta’ala:

]  تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ [

Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Rabbnya untuk mengatur segala urusan (QS. Al Qadr: 4)

III. Keutamaan Lailatul Qadr

Keutamaan lailatul qadr dapat diketahui dari beberapa dalil baik dari  Al Quran maupun As Sunnah, diantara keutamaan tersebut:

  1. Malam tersebut adalah malam diturunkannya Al Quran yang merupakan petunjuk bagi manusia dan sebab kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya):

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ

“Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al Quran) pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.” (QS. Ad Dukhan: 3)

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur’an) pada malam kemuliaan. (QS. AL Qadar: 1)

  1. Malam tersebut lebih baik dari seribu bulan, maka barangsiapa yang beribadah pada malam tersebut itu lebih baik dari orang yang beribadah 1000 bulan (83 tahun 4 bulan) Hal ini juga menunjukkan keutamaan ummat ini dibandingkan ummat sebelum mereka karena walaupun mereka juga berpuasa sebagaimana kita namun mereka tidak mendapatkan keutamaan seperti ini.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya), “Lailatul Qadr itu lebih baik dari seribu bulan. (QS. Al Qadr ayat: 3)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ] أَتَاكُمْ رَمَضَانُ شَهْرٌ مُبَارَكٌ ف…فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ [

Dari Abu Hurairah radhiyallohu anhu berkata Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda, “Telah datang pada kalian bulan yang berberkah…pada bulan itu terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu bulan, siapa yang dihalangi dari kebaikan malam itu maka dia adalah seorang yang terhalangi dari kebaikan” (HR. Nasai dan dinyatakan shohih oleh Albani)

  1. Seseorang yang mendapatkan lailatul qadr dan beribadah padanya akan diampunkan dosa-dosanya yang telah lampau

Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda:

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ (متفق عليه(

“Barangsiapa yang beribadah pada lailatul qadr karena iman dan mengharapkan pahala maka niscaya akan diampunkan dosanya yang telah lampau”(HR. Bukhari dan Muslim)

  1. Para malaikat dan Jibril turun pada malam tersebut sehingga penduduk bumi mendapat kemulian dan penghormatan yang besar dari para tamu yang agung karena mereka tidaklah turun melainkan datang dengan berbagai kebaikan, berkah dan rahmat dari atas langit.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya),

تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ

Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.” (QS. Al Qadar: 4)

  1. Malam tersebut adalah malam yang penuh kesejahteraan dan hal itu berlangsung hingga terbit fajar

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya),

سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ

Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS. Al Qadar: 5)

Qatadah bin Di’amah As Sadusi rahimahullah berkata, “Malam itu keseluruhannya adalah kebaikan tidak terdapat keburukan padanya hingga terbit fajar” (Tafsir Ibnu Katsir)

  1. Rasulullah shallallohu alaihi wasallam memperbanyak ibadah dan beri’tikaf untuk mendapatkan kemuliaan malamnya (lihat pembahasan ‘Bagaimana menghidupkan malam itu’)
  2. Allah Azza wa Jalla menurunkan satu surat khusus yaitu surat Al Qadar untuk menjelaskan hakikat dan keutamaannya dan surat tersebut terus dibaca hingga hari kiamat.

IV. Waktu Lailatul Qadr

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيُخْبِرَنَا بِلَيْلَةِ الْقَدْرِ فَتَلَاحَى رَجُلَانِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ فَقَالَ خَرَجْتُ لِأُخْبِرَكُمْ بِلَيْلَةِ الْقَدْرِ فَتَلَاحَى فُلَانٌ وَفُلَانٌ فَرُفِعَتْ وَعَسَى أَنْ يَكُونَ خَيْرًا لَكُمْ فَالْتَمِسُوهَا فِي التَّاسِعَةِ وَالسَّابِعَةِ وَالْخَامِسَةِ (رواه البخاري(

Dari Ubadah bin Shomit radhiyallohu anhu berkata, Nabi shallallohu alaihi wasallam keluar (menemui kami) untuk memberitahukan tentang lailatul qadr lalu ada dua orang dari kaum muslimin yang bertengkar maka beliau bersabda, “Aku keluar (menemui kalian) untuk memberitahu tentang lailatul qadr akan tetapi ada dua orang yang bertengkar meka diangkatlah ilmu tentang waktu lailatul qadr semoga itu lebih baik bagi kalian maka barangsiapa yang mencarinya maka carilah di malam yang kesembilan, ketujuh dan kelima” (HR. Bukhari)

Dari hadits di atas dipahami bahwa malam tersebut adalah malam yang misteri tidak diketahui secara pasti kapan datangnya, oleh karena itu para Ulama kita telah berbeda pendapat tentang waktu malam yang mulia tersebut. Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Para ulama berbeda pendapat dalam masalah penentuan waktu lailatul qadr dengan perbedaan yang sangat banyak; jumlah pendapat yang sampai pada kami dalam masalah tersebut lebih dari 40 pendapat, Banyaknya pendapat ini sama dengan perbedaan mereka tentang penentuan waktu yang afdhol untuk berdoa pada hari Jum’at. Kedua waktu ini dirahasiakan agar para hamba Allah bersungguh-sungguh untuk mencarinya“.[1] Kemudian beliau menyebutkan sebanyak 46 pendapat dengan dalil masing-masing lalu beliau menyimpulkan: “Pendapat yang rojih dari sekian banyak pendapat tersebut adalah lailatul qadr terjadi pada malam-malam yang ganjil di sepuluh terakhir di bulan Ramadhon dan berpindah setiap tahunnya sebagaimana dipahami dari hadits-hadits yang menyebutkan masalah ini namun malam yang paling diharapkan adalah malam-malam ganjil dan diantara malam-malam yang ganjil paling rojih menurut madzhab Syafi’iyyah malam kedua puluh satu atau malam kedua puluh tiga berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Said dan Abdullah bin Unais. Adapun jumhur ulama memilih malam kedua puluh tujuh.”[2]

Dalam beberapa hadits telah disebutkan perintah untuk mencari lailatul qadr, diantaranya:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يُجَاوِرُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ وَيَقُولُ:  ] تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ  [  )متفق عليه واللفظ للبخاري (

Dari Aisyah radhiyallohu anha berkata: Adalah Rasulullah shallalohu alaihi wasallam beri’tikaf pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan dan beliau bersabda: “Carilah lailatul qadr di sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan” [ HR. Bukhari dan Muslim, lafal hadits ini sesuai riwayat Imam Bukhari (no. 2020) ]

Dalam riwayat yang lain dari Bukhari (no. 2017) lebih dikhususkan pada malam-malam ganjil:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ] تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْوِتْرِ مِنْ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ[

Dari Aisyah radhiyallohu anha bahwa Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda: “Carilah lailatul qadr di malam ganjil dari sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan

Dalam riwayat yang lain lebih dikhususkan pada tujuh malam terakhir:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رِجَالًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أُرُوا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْمَنَامِ فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: ] أَرَى رُؤْيَاكُمْ قَدْ تَوَاطَأَتْ فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ فَمَنْ كَانَ مُتَحَرِّيَهَا فَلْيَتَحَرَّهَا فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ [

Dari Ibnu Umar radhiyallohu anhuma bahwa beberapa sahabat Nabi shallallohu alaihi wasallam melihat dalam mimpinya bahwa lailatul qadr terjadi pada tujuh malam terakhir bulan Ramadhan, lalu Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda: “Saya memandang mimpi kalian telah sepakat di tujuh malam terakhir (bulan Ramadhan), maka barangsiapa yang mencari (ingin mengintai) lailatul qadr hendaknya dia mencari di tujuh akhir bulan Ramadhan” (HR. Bukhari dan Muslim, redaksi hadits ini menurut riwayat Muslim)

Kemudian Ibnu Katsir menyebutkan bahwa para ulama berbeda pendapat apakah lailatul qadar juga terdapat pada ummat terdahulu atau khusus pada ummat ini. Jumhur ulama mengatakan khusus pada ummat ini, bahkan Al Khoththobi menukil bahwa pendapat tersebut adalah ijma ulama. Adapun Ibnu Katsir beliau mengatakan berlaku secara umum untuk seluruh ummat[3]. Kemudian mereka berbeda pandapat apakah berpindah setiap tahunnya? Jumhur ulama mengatakan berpindah sedangkan Syafi’i mengatakan tidak.

V. Tanda-Tanda Lailatul Qadr

Para ulama berselisih pendapat tentang tanda-tanda lailatul qadr, apakah ada suatu tanda yang nampak bagi orang yang diberikan taufik untuk mendapatkan malam mulia tersebut atau tidak?

Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Telah datang beberapa dalil yang menyebutkan tanda-tanda lailatul qadr namun kebanyakannya tidak nampak kecuali setelah lailatul qadr berlalu” [4]

Maksud dari perkataan beliau adalah kebanyakan dalil yang menyebutkan tanda lailatul qadr adalah tanda yang baru nampak pada pagi harinya, pada saat itulah banyak diantara hamba-hamba Allah yang menyesal mengapa tidak bersungguh memanfaatkan malam harinya dengan beribadah.

Diantara dalil-dalil tersebut:

عن أَبي الْمُنْذِرِ أبي بن كعب صلى الله عليه وسلم قال:  أخبرنا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بآية ليلة القدر: تُصْبِحُ الشَّمْسُ صَبِيحَةَ تِلْكَ اللَّيْلَةِ مِثْلَ الطَّسْتِ لَيْسَ لَهَا شُعَاعٌ حَتَّى تَرْتَفِعَ  (رواه مسلم و أبو داود وغيرهنا واللفظ لأبي داود(

Dari Abul Mundzir Ubay bin Ka’ab radhiyallohu anhu berkata: Rasulullah shallallohu alaihi wasallam mengabarkan kepada kami tanda lailatul qadr: “Matahari terbit pada pagi hari dari malam lailatul qadr seperti bentuk baskom, tidak memiliki sinar yang menyengat hingga matahari tersebut meninggi” (HR. Muslim dan Abu Daud serta selainnya, lafal ini adalah redaksi Abu Daud)

عن بن اعباس عن النبي صلى الله عليه وسلم في ليلة القدر: ليلة طلقة لا حارة ولا باردة تصبح الشمس يومها حمراء ضعيفة  (رواه أبو داود الطيالسي وابن خزيمة , واللفظ له(

Dari Ibnu Abbas dari Nabi shallallohu alaihi wasallam, tentang lailatul qadr: “Malam yang ramah, tidak panas dan tidak dingin, pagi harinya matahari terbit kemerah-merahan dan sinarnya lemah (tidak menyengat) (HR. Abu Daud Ath Thoyalisi dan Ibnu Khuzaimah, redaksi hadits ini sesuai dengan riwayat beliau)

Sebagian menyebutkan tanda-tanda tersebut diantaranya:

a. Dia melihat seluruh makhluk sujud kepada Allah azza wa Jalla

b. Cahaya menerangi seluruh tempat hingga ke tempat-tempat yang selama ini gelap

c. Dia mendengar sapaan dan ucapan salam dari para malaikat

d. Doanya dikabulkan

e.  Air laut menjadi tawar

Namun tanda-tanda ini tidak didukung oleh dalil namun mungkin saja pernah terjadi kepada sebagian hamba Allah yang mendapatkan lailatul qadr. Imam Thabari berpendapat bahwa kesemua tanda tersebut bukanlah suatu keharusan, dalam artian bahwa bukanlah merupakan syarat bagi orang yang mendapatkan lailatul qadr harus melihat atau mendengar sesuatu

Kemudian para ulama juga berselisih pendapat apakah pahala lailatul qadr didapatkan oleh orang yang beribadah pada malam tersebut walaupun dia tidak mengetahui bahwa itu adalah lailatul qadr ?

Imam Thabari, Ibnul Arabi Al Maliki serta beberapa ulama lainnya mengatakan tetap mendapat pahalanya walaupun tidak mengetahui bahwa itu adalah malam lailatul qadr, adapun Jumhur ulama mereka mengatakan harus diketahuinya, berdasarkan riwayat:

] مَنْ يَقُمْ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فَيُوَافِقُهَا -أُرَاهُ قَالَ- إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ[

“Barangsiapa yang shalat (untuk mendapatkan) lailatul qadr karena iman dan mengharapkan pahala lalu dia mendapatkannya niscaya akan diampuni baginya” (HR. Muslim no 760)

Imam Nawawi mengatakan makna فَيُوَافِقُهَا adalah dia mengetahui bahwa malam itu adalah lailatul qadr, pendapat ini juga ditarjihkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar

Pendapat ini juga dikuatkan oleh hadits Aisyah radhiyallohu ‘anha yang terkenal

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ وَافَقْتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ مَا أَدْعُو ؟ قَالَ: تَقُولِينَ اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

Dari Aisyah beliau bertanya, “Wahai Rasulullah bagaimana menurutmu jika saya mendapatkan lailatul qadr doa apa yang harus aku ucapkan ? Beliau shallallohu alaihi wasallam menjawab, Katakanlah “Allahumma Innaka ‘Afuwwun Tuhibbul ‘Afwa Fa’fu’annii”(=Ya Allah Engkau Maha Pemaaf, menyukai pemaafan maka maafkanlah aku)” (HR. Ibnu Majah no. 3850)

VI. Bagaimana Menghidupkan Malam Tersebut ?

a. Bermujahadah dalam melaksanakan ibadah-ibadah yang dianjurkan terutama shalat tarawih

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه عَنْ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa yang beribadah pada malam lailatul qadr karena iman dan ikhlas maka diampunkan dosanya yang telah lampau” (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah shallallohu alaihi wasallam merupakan teladan yang terbaik dalam hal ini sebagaimana yang diceritakan oleh Aisyah radhiyallohu ‘anha:

كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ (متفق عليه(

“Adalah Nabi shallallohu alaihi wasallam jika telah masuk sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan beliau mengencangkan sarungnya[5], menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya (istri-istrinya)” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits yang lain Aisyah radhiyallohu ‘anha mengatakan:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَجْتَهِدُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مَا لَا يَجْتَهِدُ فِي غَيْرِهِ (رواه مسلم(

“Adalah Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersungguh-sungguh dalam beribadah pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan dengan kesungguhan yang tidak pernah dilakukannya seperti itu di hari-hari yang lain” (HR. Muslim)

b. Beri’tikaf ; inilah cara yang ditempuh oleh Rasulullah shallallohu alaihi wasallam untuk mendapatkan malam yang mulia tersebut sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini:

إِنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم اعْتَكَفَ الْعَشْرَ الأَوَّلَ مِنْ رَمَضَانَ ثُمَّ اعْتَكَفَ الْعَشْرَ اْلأَوْسَطَ … فَقَالَ: إِنِّي اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوَّلَ أَلْتَمِسُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ ثُمَّ اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوْسَطَ ثُمَّ أُتِيتُ فَقِيلَ لِي إِنَّهَا فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلْيَعْتَكِفْ فَاعْتَكَفَ النَّاسُ مَعَهُ …

Bahwasanya Nabi shallallohu alaihi wasallam beri’tikaf di sepuluh awal bulan Ramadhan, kemudian beliau beri’tikaf di sepuluh pertengahan, kemudian beliau bersabda: “Sesungguhnya saya telah beri’tikaf sepuluh awal (bulan Ramadhan) (untuk) mencari malam Lailatul Qadr kemudian saya beri’tikaf sepuluh pertengahan kemudian saya didatangi (malaikat) lalu dikatakan kepadaku: Sesungguhnya malam Lailatul Qadr itu di sepuluh akhir (bulan Ramadhan), karenanya siapa di antara kalian yang mau beri’tikaf, maka hendaknya dia beri’tikaf! Maka beri’tikaflah manusia (para sahabat) beserta beliau …” (HR. Bukhari dan Muslim)

c. Berhias berupa mandi dan semacamnya

Sebagaimana yang dianjurkan oleh Anas bin Malik radhiyallohu anhu dan Zirr bin Hubaisy radhiyallohu anhu. Salah seorang tabi’in yang mulia Ibrahim An Nakha-i mandi pada setiap malamnya dalam sepuluh terakhir bulan Ramadhan.

Imam Muhammad bin Jarir Ath Thobari mengatakan: “Adalah para salaf menganjurkan untuk mandi pada setiap malamnya dalam sepuluh terakhir bulan Ramadhan

d.  Memakai pakaian yang terbaik dan berparfum

Salah seorang tabi’in yang terkenal Ayyub As Sikhtiyani pada malam yang beliau harapkan terjadinya lailatul qadr beliau mandi, memakai parfum dan memakai sepasang pakaiannya yang baru.

  1. Memperbanyak doa, terutama doa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallohu alaihi wasallam kepada istri beliau Aisyah radhiyallohu anha sebagaimana yang disebutkan dalam hadits:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ وَافَقْتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ مَا أَدْعُو قَالَ تَقُولِينَ: اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي  )رواه ابن ماجه(

Dari Aisyah bahwa beliau bertanya: “Wahai Rasulullah bagaimana menurutmu jika saya mendapat lailatul qadr, doa apa yang harus saya ucapkan ? Beliau bersabda: Katakanlah: Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘annii ( “Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf menyukai pemaafan maka maafkanlah kami”) (HR. Ibnu Majah no 3850) [6]

Doa ini merupakan salah satu bentuk jawami’ kalim dari Rasulullah shallallohu alaihi wasallam, ada beberapa fikih yang penting di dalamnya:

1. Bertawassul dengan nama Allah ( ( العفو  yang sesuai dengan kebutuhan dan permintaan, hal ini sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala:

] وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا [

Hanya milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu …(QS. Al A’raaf: 180)

2. Memulai doa dengan puji-pujian yang sesuai dengan sifat-sifat Allah Azza wa Jalla yang mulia ( تحب العفو ),

3. Memohon kepada Allah berupa Al ‘Afw yang mengumpulkan kebaikan dunia dan akhirat; al ‘afw di dunia berupa kesehatan badan dan keselematan dari perbuatan bid’ah. Al ‘Afw di akhirat berupa keselamatan dari siksa akhirat.

Wallohu Ta’ala A’lam


(1) Zâdul Ma’âd (1/40)

(2) Zâdul Ma’âd (1/57)

[1] Fathul Bari (4/333)

[2] Ibid (4/338)

[3] Tafsir Ibnu Katsir (4/565)

[4] Fathul Bari (4/330)

[5] Maksudnya tidak menggauli lagi istrinya untuk konsentrasi beribadah

[6] Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam Tirmidzi (no. 3513) dengan tambahan lafal: “Allahumma innaka ‘afuwwun karimun … “. Namun tambahan lafal ini dilemahkan oleh sebagian ulama, lihat: Tash-hihud Du’a (hal. 510) karya DR. Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid

Sumber: http://markazassunnah.wordpress.com/2009/09/13/menguak-tabir-lailatul-qadr/

Check Also

2 Juta Orang Mencari Lailatul Qadr di Masjidil Haram

Rabu, 15 Agustus 2012 Lebih dari dua juta orang Muslim mengikuti shalat tarawih dan qiyamul …