PENGERTIAN TURATS
Istilah “Turats”, sebenarnya belum pernah dikenal oleh kaum muslimin sepanjang sejarah peradaban Islam. Namun ketika tulisan-tulisan orentalis Barat mulai mewarnai dan merasuk ke dalam pemikiran yang berkembang di kalangan umat Islam akhir- akhir ini, saat itu juga istilah “Turats“, mulai dikenal luas di kalangan intelektual muslim dan sering hadir dalam koran, majalah dan buku- buku.
Turats menurut pemahaman Barat adalah hasil sebuah peradaban umat masa lampau, yang perlu ditinjau ulang menurut barometer keilmuan kontemporer. Pemahaman tersebut muncul akibat pertarungan antara gereja dan gerakan pembaharuan. Doktrin-doktrin gereja sering kali memasung perkembangan dan gerakan pembaharuan. Selain itu, ajaran-ajran gereja terkesan lambat dan tidak bisa mengikuti perkembangan zaman. Sehingga, kaum pembaharu memberontak dan ingin lepas dari kungkungan doktrin-doktrin gereja. Mereka mengritik teks-teks Taurat dan Injil, yang nota benenya sudah banyak di manipulasi oleh para pendeta dan pemimpin agama. Dengan pemahaman tersebut, Barat ingin menerapkannya pada seluruh Turats yang merupakan peradaban umat manusia. Mereka menerapkan pemahaman tersebut “Turats“ hasil peradaban Yunani, Fir’aun, India dan Persia. Demikian pula, mereka melakukan hal yang sama, ketika berhadapan dengan apa yang mereka namakan “Turats“ Islam.
Seperti yang kita ketahui, bahwa peradaban dan kebudayaan Islam serta ajaran- ajarannya sangat berbeda dengan doktrin-doktrin gereja maupun dengan peradaban umat-umat lainnya. Maka, sangatlah tidak tepat jika kita berinteraksi dengan “Turats” Islam, tetapi menggunakan metodologi yang diadobsi dari ajaran agama lain. Selain itu, mereka (Barat) membentuk konspirasi terselubung untuk menghancurkan Islam dari dalam dengan memisahkan kebudayaan Islam pada masa lalu dengan masa sekarang, untuk kemudian digantikannya dengan kebudayaan Barat. Hal itu mereka lakukan, karena mereka mengetahui bahwa “Turats“ Islam, merupakan dokumentasi sejarah yang dijadikan panduan umat Islam untuk membangun peradabannya yang baru, dikarenakan “Turats” tersebut terkait dengan wahyu langit, yaitu Al Quran dan Hadist.
Sebagai seorang insan muslim akademis, tentunya harus mempunyai sikap yang jelas dan tepat, ketika berinteraksi dengan “ Turats” tersebut. Oleh karenanya, di dalam tulisan ini, perlu disebutkan beberapa point penting yang berhubungan dengan “ Turats Islam “, diantaranya adalah sebagai berkut:
a. Turats Islam sangat berbeda dengan Turats-Turats peradaban yang perbah dikenal oleh manusia, karena Turats Islam bersumber pada Al Quran dan Sunnah.
b. Al Quran dan Sunnah tidak termasuk di dalam “Turats”, sebagaimana yang dipahami oleh orang-orang Barat.
c. Harus dibedakan antara “ Turats” yang bersifat pemikiran, kebudayaan, adat istiadat dan yang bersifat agama.
d. Turats tersebut merupakan karya manusia yang tentunya tidak lepas dari kesalahan, sehingga tidak harus diambil seluruhnya. Sebaliknya pula, tidak boleh dibuang semuanya. Barometer yang dipakai untuk mengukurnya adalah Al Qur’an dan Sunnah.
TURATS USHUL FIQH
Berbicara Turats Ushul Fiqh, kita tidak bisa dilepaskan dari beberapa kenyataan seperti di bawah ini:
a. Pada mulanya Ilmu Ushul Fiqh diletakkkan pertama kali oleh Imam Syafi’i, sebagai sarana untuk memahami teks-teks yang ada di dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Oleh karenanya, kita dapatkan pembahasan – pembahasan di dalam karya-nya “Ar Risalah“,-walaupun ditulis dengan metodologi yang masih sangat sederhana dan jauh dari sistimatis, namun isinya padat dan berbobot, serta tidak tercampur dengan ilmu-ilmu lainnya, seperti lmu Kalam, dan pembahasan tentang bahasa yang sangat melebar.
b. Selanjutnya pembahasan Ushul Fiqh yang sangat masih sangat sederhana ini dikembangkan oleh para pengikut Imam Syafi’I dengan metodologi yang lebih luas, yang kemudian dikenal sebagai metodologi “Al Mutakallimin“. Beberapa ciri dari metodologi Al Mutakallimin adalah sebagai berikut:
1. Mereka mengembangkan penulisan Ushul Fiqih dengan memasukkan beberapa pembahasan Ilmu Kalam, seperti yang kita dapati di dalam muqaddimah “Al Mustashfa“ karya Al Ghozali. “
2. Para penulis metodologi ini, kebanyakan adalah tokoh-tokoh Ilmu Kalam, yang diwakili oleh ulama-ulama Asy ‘ariyah seperti Qodhi Al Baqilani dengan bukunya, ”At Taqrib wal Irsyad “, dan Imam Haramain dengan bukunya “Al Burhan“ dan diwakili juga oleh ulama-ulama Mu’tazilah seperti: Qadhi Abdul Jabar dengan bukunya “Al Ahdu“, dan Abul Hasan Al Bashori dengan bukunya “Al Umdah“.
3. Dalam penulisan Ilmu Ushul Fiqh, mereka terlalu berlebihan di dalam menggunakan dalil-dalil akal serta banyak tenggelam di dalam perdebatan.
4. Mereka banyak berkutat pada teori-teori belaka, tanpa mengaplikasikannya di dalam masalah-masalah furu’.
c. Di sisi lain, ada sebagian ulama, terutama dari kalangan Madzab Hanafi, yang cenderung menulis buku Ushul Fiqh, dengan menggunakan metodologi yang sering dipakai oleh para ahli fiqh, yang kemudian terkenal dengan metodologi “ Al Fuqaha “
Metodologi Penulisan ini mempunyai beberapa ciri,diantaranya:
1. Terlalu mendetail di dalam membahas masalah-masalah furu’.
2. Mereka meletakkan kaidah-kaidah Ushul Fiqh dengan menyimpulkan dari permasalahan-permasalah fiqih yang ada.
3. Di dalam merumuskan kaidah-kaidah Ushul Fiqh tersebut, mereka banyak terpengaruh dengan kaidah-kaidah Madzhab Hanafi.
Perlu di catat di sini, bahwa sebagian ulama Madzhab Syafi’i cenderung menulis Ilmu Ushul Fiqh dengan metodologi « Al Fuqaha « di atas, diantaranya adalah Al-Zinjani, di dalam bukunya « Takhrij Al Furu’ ’a la al Ushul dan Isnawi di dalam bukunya « Al Tamhid «
d. Kemudian datanglah generasi berikutnya yang menginginkan perubahan di dalam penulisan Ushul Fiqh. Menurut mereka, bahwa penggabungan dua metodologi di atas, merupakan metodologi yang paling relevan, yang kemudian dikenal dengan metodologi Al Mutakhhirin. Diantara tokoh-tokohnya adalah: Al Qarafi dengan bukunya “ Al Furuq “, As Syatibi dengan bukunya Al Muwafaqat, Ibnu Qayyim dengan bukunya « I’lam Al Muwaqi’in “. ( Bisa dilihat secara lebih rinci tentang metodologi penulisan ushul fiqh dari masa-ke masa di dalam lampiran )
Setelah tiga metodologi di atas, masih adakah metodogi baru yang akan muncul di permukaan sebagai metodologi alternatif, paling tidak untuk generasi kita ?
MEREVISI TURATS USHUL FIQH
Kenapa ushul fiqh perlu direvisi kembali ? Ya, karena Turats Ushul Fiqh sudah berumur 13 abad lamanya. Tentunya banyak hal-hal yang sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman sekarang, baik dari sisi metodologi penulisan, isi dan muatan, bentuk cetakan, serta pemilihan bahasa.
Kalau kita telusuri perjalan dan perkembangan ushul fiqh dari waktu ke waktu selama 13 abad tersebut, ternyata telah terjadi perubahan-perubahan yang sangat mendasar, baik dari sisi metodologi penulisan, maupun dari sisi materi pembahasan.
Kita dapati perubahan yang sangat menyolok, semenjak Imam Syafi’ kemudian Imam Haramain ( 478 H ) kemudian Imam Ghozali ( 505 H ), setelah itu Imam Fakhru Rozi ( 606 H ), kemudian dikembangkan oleh Imam Qarafi ( 687 H ) .
Dari Madzhab Hanafi, semenjak Abu Mansur Al Maturidi ( 333 H ), kemudian Abu Hasan Al Karkhi ( 340 H ), kemudian Abu Bakar Al Jashos, setelah itu Al- Dabusi ( 430 H ), Al Bazdawi, As Sarakhsi ( 483 H ), dan terakhir An Nasfi ( 710 H ),masing-maisng telah melakukan perubahan yang cukup berarti dari tulisan-tulisan generasi sebelumnya dan begitu seterusnya, sebagaimana yang telah diterangkan di atas.
Kemudian pada abad ke 15 H sekarang ini, setelah melalui modifikasi dan perkembangan selama 13 abad lamanya, bermunculan buku- buku ushul fiqh yang metodogi penulisannya menggunakan pendekatan- pendekatan tertentu seperti pendekatan yang memudahkan para penuntut ilmu, atau pendekataan yang menekankan pada penelitian, atau pendekatan yang cenderung kepada studi komperatif, ataupun pendekatan yang cenderung untuk mengambilkan fungsi awal ushul fiqh yang digunakan untuk memahami Al Qur’an dan Hadist.
Tentunya, perkembangan – perkembangan tersebut tidak boleh berhenti sampai di situ saja. Kita sebagai insan akademis dituntut untuk tidak puas dengan apa yang telah dikembangkan oleh para ulama tersebut. Pembaharuan dan reformasi harus berjalan terus. Buku- buku Turats yang telah ditulis oleh para pendahulu kita, tidak boleh kita pandang sebagai kitab suci yang tidak meninggalkan satu celah sedikitpun. Sehingga kita meng-agung-agungkan dan mendewakan di luar batas kewajaran serta tidak mau keluar dari apa yang telah ditulis oleh para pendahulu tersebut. Begitu juga sebaliknya, kitapun tidak boleh terlalu meremehkan turats-Turats tersebut, dengan berdalih sebuah slogan yang berbunyi ” Hum Rijal wa Nahnu Rijal”, (Mereka adalah para tokoh, kita pun para tokoh pada zaman ini).
Posisi yang paling tepat adalah pada posisi pertengahan, artinya kita menghormati buku-buku Turats tersebut, tetapi dalam satu waktu, kita harus kritis terhadap apa yang ditulis di dalamnya. Kritis dalam artian meninjau ulang kembali metodologi dan sistematis penulisan, kesesuaian materi dengan kondisi saat ini, pengembangan pada contoh –contoh materi, memaksimalkan peran ushul fiqih di dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi umat manusia pada abad ini, dan seterusnya.
Sebab-sebab itulah yang menuntut adanya pembaharuan ushul fiqh. Yaitu dengan membungkus kajian ushul fiqh dengan bingkai dan metodologi yang memihak kepada maslahat kehidupan manusia.
Kalau kita perhatikan, ternyata para ulama pendahulu kita, juga bersikap kritis terhadap karya- karya sebelumnya. Kita dapatkan umpamanya Imam Abu Mudhaffar al- Sam’ani yang meninggal tahun 489 H menulis di dalam bukunya ”Qawati’ al Adillah”:
” Sepanjang hari saya meneliti karya-karya para ulama dalam bidang ushul fiqh ini, ternyata saya mendapatkan mayoritas dari mereka telah puas dengan menulis ilmu kalam dan untaian kata yang indah, sehingga tidak bisa menyentuh hakikat ushul fiqih yang sesuai dengan kebutuhan fiqh itu sendiri. Dan saya mendapatkan sebagian dari mereka terlalu bertele-tele, sehingga sering keluar dari metodologi para ahli Fiqh dalam banyak masalah, dan cenderung untuk memilih metodologi para ahli kalam yang sebenarnya tidak punya kepentingan dengan Fiqh dan masalah sekitarnya … ”
Hal yang senada juga ditulis oleh Imam Syatibi di dalam ”Muwafaqat” (1/ 42):
” Setiap masalah yang tertulis di dalam ushul fiqh dan tidak bisa dijadikan sandaran di dalam masalah-masalah fiqh atau adab-adab Islam, atau tidak bisa menopang keduanya, maka penyebutannya di dalam ushul fiqh hanya sia-sia belaka. ”
Dalam buku yang sama ( 1/ 46 ) beliau juga menulis:
” Setiap masalah yang tidak bisa dijadikan dasar untuk beramal, maka menekuninya adalah sebuah perbuatan yang tidak ada dasarnya di dalam Syare’ah. Dan yang saya maksud beramal di sini adalah amal perbuatan hati dan anggota badan. ”
Begitu juga apa yang pernah disinggung oleh Al Isnawi ( 772 H ) bahwa sebagian masalah yang berhubungan dengan bahasa, sebenarnya kurang tepat jika diletakkan pada pembahasan ushul fiqh, bahkan permasalahan tersebut hanya akan menambah ruwet pembahasan di dalam ilmu ushul fiqh. Ibnu Rusyd ( 595 H ) di dalam ”Mukhtasar Mustasfa ‘ juga mengungkapkan hal sama.
Prof. Dr. Ali Jum’ah -Mufti Mesir – yang konsen dalam ilmu Ushul Fiqh pernah mengritisi beberapa permasalahan yang muncul di dalam Ilmu Ushul Fiqh, beliau menulis dalam bukunya ( Aliyat Al Ijtihad ) hlm: 61:
” Sesungguhnya sangat aneh sekali, kita dapatkan seorang yang menguasai ushul fiqh dan fiqh secara bersamaan, akan tetapi ternyata dia hanya menguasai ushul fiqh dalam pengajaran saja, tidak lebih dari itu, dan hanya mengetahui fiqh dalam ruang lingkup materi pelajaran saja, tidak leboh dari itu… Sesungguhnya kebanyakan buku-buku ushul fiqh telah membawa kita menjauhi dari fungsi ushul fiqh itu sendiri, dan mendorong kita untuk menjadikannya sebagai tujuan dari materi pelajaran itu sendiri, hanya akan menambah gelar bagi yang mengajar ushul fiqh sebagai ulama ushul. ”
Beliau juga menyatakan dalam (Aaliyat Al Ijtihad hlm; 48) bahwa:
” Kita terus belajar sehingga menyelesaikan semua pembahasan di dalam ushul fiqh, bahkan diantara kita ada yang hafal matan…akan tetapi kita tidak mengetahui cara mengambil manfaat darinya, menggunakan dalil dan maksud dari dalil tersebut. ”
Dari keterangan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa ilmu Ushul Fiqh ini, benar- benar memerlukan pembaharuan dan revisi. Diantara masalah yang perlu kaji ulang dan revisi adalah sebagai berikut:
1. Penyederhanaan bahasa, terutama di dalam membuat definisi.
2. Tidak terlalu membesarkan masalah yang diperselisihkan para ulama.
3. Membuang masalah-masalah yang tidak ada kaitannya dengan ushul fiqh, seperti beberapa masalah tentang bahasa, ilmu kalam, filsafat, mustholah hadits, kode etik perdebatan dan lain-lainnya.
4. Mengaplikasikan setiap masalah yang dibahas dengan contoh-contoh konkrit yang dibutuhkan di masyarakat.
5. Berusaha menggunakannya untuk memahami Al Qur’an dan Al Hadist yang merupakan tujuan utama dari ilmu ushul fiqh itu sendiri.
BEBERAPA TAWARAN DI DALAM MEMAHAMI TURATS USHUL FIQH
Dari penjelasan di atas, kita mengetahaui bahwa buku-buku turats ushul fiqh sudah terlalu jauh dari jangkauan generasi sekarang, baik dari sisi pemahaman, pengenalan maupun dari sisi kepemilikan. Oleh karena itu timbul sebuah pertanyaan: bagaimana mana cara mendekatkan buku-buku Turats tersebut kepada generasi sekarang ?
Sebenarnya banyak tehnik yang bisa digunakan untuk memahami buku-buku Turats tersebut. Ini tergantung kepada daya tangkap dan kecenderungan orang yang menggunakannya. Namun, tidak salahnya kalau kita paparkan beberapa tehnik mendasar, yang secara pengalaman, bisa banyak membantu di dalam memahami buku-buku Turats. Selebihnya bisa dikembangkan oleh masing-masing yang berkepentingan. Tehnik-tehnik itu adalah sebagai berikut:
1/ Belajar dari syekh atau guru.
Cara ini adalah cara yang paling efesien untuk memahami Turats, karena dengan bimbingan seorang guru yang berpengalaman, seseorang tidak usah bersusah payah untuk memahami istilah atau kata-kata yang asing baginya. Selain itu, dia akan bisa membandingkan dengan isi buku-buku lainnya yang terkait. Seorang syekh atau guru yang baik, dengan ilmu dan pengalamannya, akan memberitahukan semua yang dibutuhkan muridnya. Akan tetapi sangat disayangkan, metode belajar seperti ini sudah banyak ditinggalkan oleh sebagian besar para pelajar. Dengan berbagai alasan, diantaranya bahwa belajar dengan syekh akan membuang-buang waktu. Padahal justru sebaliknya, dengan belajar langsung dengan syekh hasilnya lebih bisa dipertanggungjawabkan dan lebih efesien waktu.
Metode belajar ketrampilan, ternyata sampai sekarang masih menggunakan metode “ talaqqi ‘ ( belajar dari ahlinya secara langsung ), seperti halnya dalam belajar menyetir mobil, mengemudikan pesawat terbang, cara menggunakan komputer dan memperbaikinya, serta ilmu-ilmu ketrampilan lainnya. Tentunya untuk menguasai ilmu syare’ah dibutuhkan metode serupa, dan bahkan lebih dari itu, karena ilmu syareah ini bagaikan bahtera yang tidak bertepi ( bahrun la sahila lahu ), sulit bagi seseorang untuk menguasainya tanpa menggunakan cara belajar yang benar. Di Mesir, sangat banyak ditemukan tempat-tempat untuk talaqqi ilmu ushul fiqh, diantaranya masjid Al Azhar, masjid Bilal, masjid Tauhid dan lain-lainnya.
2/Buku- buku pengantar.
Sebagai pendukung dari cara pertama, dianjurkan bagi setiap pelajar untuk melengkapi pemahamnnya dengan membaca buku-buku pengantar. Yaitu buku-buku yang menerangkan tentang seluk beluk salah satu bidang ilmu, seperti fiqh dan hadits, atau tentang istilah-istilah yang dipakai oleh suatu madzhab, atau tentang metodologi yang digunakan oleh seorang ulama di dalam mengarang, atau tentang isi sebuah buku. Ini sangat penting sekali, bagi seorang pelajar, karena dengan membaca buku ini, banyak hal yang bisa diketahui secara singkat dengan tidak harus mencarinya sendiri. Buku ini sebagaimana namanya merupakan “ pintu gerbang “ untuk memasuki sebuah buku atau karangan.
Beberapa contoh dari buku- buku pengantar ilmu ushul fiqh ini adalah:
– Al Madkhol ila madzhab al Imam Ahmad, karya Ibnu Badran
– Al Madkhol ila Ilmu Ushul al Fiqh, karya DR. Al Dawaalibi
3/Risalah Ilmiyah (Tesis, Disertasi).
Risalah ini akan sangat membantu di dalam memahami Turats, karena ditulis dengan menyertakan referensi yang cukup dan akurat serta dipertanggung jawabkan di depan sidang ilmiyah. Diantara judul-judul Thesis dan Desertasi yang bisa menjadi pendukung untuk memahami Turats ushul fiqh adalah:
– Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlu Sunnah wal Jama’ah, karya DR Muhammad Husen Al-Jizany.
– Dhowabith al Maslahah fi al Syari’ah al Islamiyah, karya DR. Muhammad Sa’id Romadlon Al Buthi
– Al Maqhosid al ‘ammah li al Syare’ah al Islamiyah, DR. Yusuf Hamid Al ‘Alim
– Al Ijtihad, karya DR. Nadiyah Mushtofa
– Ta’lil al-Ahkam “, karya DR. Muhammad Musthofa Syalbi
– Atsaru al- Urfi fi al Tassyri’ al Islami, karya DR. Sayid Sholeh Iwad
– Al Mashlahah fi al-Tasyri’ al-Islamy wa Najmuddin Al Thufi, karya DR. Musthofa Zaid dan lain-lainnya
4/ Buku-buku turost yang sudah ditahqiq atau disyareh
Buku Turats yang sudah ditahqiq dan bisa dipertanggung jawabkan, baik yang berupa Tesis, Desertasi ataupun yang lainnya, akan sangat membantu di dalam memahami Turats, khususnya di dalam memahami istilah-istilah asing ataupun kalimat-kalimat yang sulit. Diantaranya adalah:
– Syarh Al Waraqat Ibnu Qasim Al Abbadi ( 992 H ), di tahqiq dan disyareh oleh DR Muhammad bin Sholeh Ubaid An Nami ( Desertasi di Universitas Islam Madinah tahun 1410 H ) – 1304 halaman
– Al Mahsul, karya Fahrudin Ar Rozi, di tahqiq dan disyareh oleh DR. Toha Jabir Al Ulwani ( Desertasi di Universitas Imam bin Su’ud Riyadh tahun 1976 )
– Salisil Al Dzahab, karya Al- Zarkasyi, di tahqiq dan disyareh oleh DR. Muhammad Mukhtar Al -Syenkiti, Desertasi di Universitas Al Madinah tahun 1404 H ) – 542 halaman
– Bayan Al Mukhtasor, karya Al Asfahani, di tahqiq dan disyareh oleh, DR. Ubaid Mu’ad Syekj, Desertasi di Universitas Islam Madinah tahun 140 5 H ) – 639 halaman
– Al Hasil, karyaTajuddin Al Armawi, Desertasi di Universitas Al Azhar tahun 1976
– “ Al Muwafaqat “, karya Abu Ishaq Al Syatibi, yang ditahqiq dan disyareh oleh Syekh Abdullah Darraz.
5/ Buku-buku ilmiah kontemporer.
Buku-buku kontemporer ilmiyah adalah buku-buku kontemporer yang mengulas dasar- dasar suatu bidang ilmu tertentu atau mengulas suau masalah ilmiyah secara umum. Biasanya buku- buku semacam ini dilengkapi dengan referensi yang memadai. Dalam menerangkan masalah-masalah ilmiyah tersebut, sang penulis menggunakan bahasa kontemporer yang jelas dan bisa dipahami para pembacanya. Tidak sedikit dari para penulis tersebut, menukil pernyataan para ulama terdahulu, yang mungkin kalau membacanya sendiri dari buku Turast secara langsung, kita akan mendapatkan banyak kesulitan untuk memahaminya. Selain itu, dengan referensi yang disebutkan oleh pengarang, seorang pelajar bisa mengetahui bahwa suatu masalah telah dibahas oleh ulama-ulama terdahulu di dalam beberapa karangan mereka. Diantara buku- buku ushul fiqh kontemporer ilmiyah tersebut antara lain:
– Ushul Fiqh Al Islamy, DR. Wahbah Zuhaili
– Ushul Fiqh Al Islamy, DR. Amir Abdul Aziz
– Al Ijtihad al Maqhosidi, karya DR. Nurudin bin Mukhtar al Khodimi.
6/Muqaddimah dari buku Turats itu sendiri.
Memahami Turats juga bisa terbantu dengan membaca kata pengantar atau muqaddimah atau sering disebut dengan “ khutbah al-kitab “ dari pengarangnya. Di dalam muqaddimah tersebut, biasanya para pengarang menjelaskan latar belakang penulisan buku, atau istilah-istilah khusus yang dipakai di dalam tulisan tersebut, dan hal-hal lain yang serupa..
7/Kamus Istilah, Ma’ajim, dan Mausu’at ( Ensiklopedia )
Di sana ada beberapa kamus atau Ma’ajim yang ditulis untuk menerangkan istilah-istilah khusus bagi bidang ilmu tertentu. Buku-buku seperti ini sangat penting dimiliki untuk memahami Turats, karena dengannya, kita akan banyak mengetahui arti sebuah kata menurut istilahnya. Beberapa contoh dari buku-buku ini adalah:
– Mu’jam Mushtholahat ushul al Fiqh, karya Qutb Musthofa Sanu
– Fathul Mubin fi Istilah Fuqaha wa Ushuliyyin, karya DR Ibrahim Khafwani.
7/Dilakukan secara bertahap.
Salah satu faktor yang mendukung penguasaan turats adalah dengan mempelajarinya secara betahap dan berurutan. Artinya, seorang pelajar tidak diperbolehkan mempelajai buku- buku yang berat sebelum menguasai buku- buku yang ringan dan ringkas. Tehnis ini berlaku pada semua bidang ilmu. Termasuk ketika kita mempelajari ilmu kedokteran, biologi, fisika, komputer dan lain-lainnya. Ini sesuai dengan firman Allah swt di dalam surat Ali Imran, ayat 79 :
“ Akan tetapi (dia berkata): “Hendaknya kamu menjadi orang-orang Robbani, karena kamu selalu mengajarkan al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya “
“Robbani“, menurut sebagian ahli tafsir adalah orang- orang yang mempelajari ilmu dari yang kecil atau dasar kemudian baru yang lebih besar.
Oleh karenanya, dianjurkan bagi para pelajar untuk menguasai matan-matan dan buku-buku kecil terlebih dahulu sebelum beranjak ke buku yang lebih besar dan panjang. Para ulamapun telah meletakkan urut-urutan buku terebut dalam berbagai disiplin ilmu.
Diantara urutan-urutan buku Ushul Fiqh yang patut dilalui oleh para pemula adalah:
1/ Buku “Al Waraqat “ karya Imam Haramain. Buku ini, walaupun kecil dan ringkas, namun telah diakui oleh para ulama seluruh dunia sepanjang masa. Setelah ditelusuri ternyata lebih dari 52 buku yang telah ditulis untuk mensyarah (menerangkan) apa yang terdapat di dalam Al Waraqat tersebut, sebagaimana yang disebutkan di dalam buku “ Al Isyarat ila Syarhil Waraqat “ karya DR. Umar Gani Su’ud Al Ani yang berjumlah 36 halaman. Dan yang paling mutakhir adalah Syarah Syekh Utsaimin dan Syarah Syekh Abdullah Fauzan (193 halaman )
2/Selain itu dianjurkan juga mendengarkan kaset-kaset syareh Al Waraqat, diantaranya adalah rekaman dari Syarah Syekh Utsaimin yang berjumlah 5 kaset. Dan rekaman dari Syarah Syekh Kholid Al Musyaiqih yang berjumlah 15 kaset .
3/ Syarh Ushul min Ilmil Ushul, karya Syekh Utsaimin.
4/ Ushul Fiqh, karya Abdul Wahab Kholaf, Syekh Abu Zahrah, Syekh Ahmad Khudhari, Syekh Abu Nur Zuhaer.
5/ Ushul Fiqh Al Islamy, karya DR. Wahwab Zuhaili dan DR. Amir Abdul Aziz.
6/ Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlu Sunnah wal Jama’ah, karya DR Muhammad Husen Al-Jizany
7/Kemudian buku-buku ushul fiqh pengembangan yang ditulis oleh ulama-ulama kontemporer, seperti: Dhowabith al Maslahah fi al Syari’ah al Islamiyah, karya DR. Muhammad Sa’id Romadlon Al Buthi, Al Ijtihad, karya DR. Nadiyah Mushtofa dan lain-lainnya.
8/ Setelah itu baru masuk pada buku-buku Turats Muthowalat (tebal dan isinya mengulas panjang lebar)
Disadur dari: http://ahmadzain.com/index.php?option=com_content&task=view&id=106&Itemid=57