Penjelasan Hadits:
Kandungan Hadits ini, bisa kita bagi penjelasannya menjadi dua bagian.
Penjelasan Bagian Pertama Dari Hadits:
Ketenangan hati tidak akan diperoleh kecuali dengan membaguskan pandangan dan menumbuhkan rasa qana’ah terhadap apapun yang telah Allah bagikan bagi seorang hamba. Maka apabila seseorang telah mampu untuk membuat hatinya menjadi qana’ah dan meresapi serta menghayati segala curahan nikmat dari Allah Ta’ala, tatkala itulah ketenangan hati dan perasaan ridla terhadap segala yang diberikan Allah akan terwujud. Kala itu, iapun tidak akan merasa rakus terhadap siapa saja yang Allah beri kelebihan kepada mereka dari perkara-perkara keduniaan dan di kala itu pandangannyapun tidak akan semata-mata tertuju kepada orang-orang yang berada di atasnya menurut ukuran dunia. (Tawdliihul Ahkaam, 7/287).
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam membimbing umatnya menuju jalan qana’ah dan mununjukkan prinsip-prinsip ridla terhadap segala karunia Allah. Maka beliau memerintahkan mereka untuk melihat orang-orang yang berada di bawah mereka dalam urusan dunia. Karena sebenarnya, setiap hamba, bagaimanapun miskinnya dan apapun sakit yang diderita, tetap saja akan melihat orang-orang yang berada di bawah mereka. Sakit apapun yang dialami, akan menemukan orang yang kondisi penyakitnya lebih parah. Oleh sebab itu, jika mereka merenungi dengan seksama hakekat karunia Allah, maka ia akan mengetahui betapa besarnya karunia Allah Ta’ala kepada mereka. Pandangan yang bijak terhadap ajaran mulia ini akan menjadikan jiwa seseorang menjadi tenang, hatinya bahagia, imannya bertambah, syukurnya kepada Allah meningkat, kesabarannya terhadap ujian yang ditimpakan Allah atas mereka juga meningkat. Semuanya dilakukan hanya karena mengharap pahala di sisi Allah. (Tawdliihul Ahkaam, 7/287-288).
Kata “Fahuwa ajdaru an laa tazdaruu ni’matallaahi ‘alaikum” (karena hal itu lebih pantas agar kalian tidak menganggap rendah nikmat Allah yang telah dianugerahkan kepada kalian -ed) dalam hadits ini, merupakan ‘illat (sebab) perintah dan larangan yang ada dalam hadits ini. (Subulus Salaam, 3/151).
Al Munaawi rahimahullah menjelaskan hadits ini dalam Kitab Faidlul Qodir Syarah (penjelasan kitab) al Jaami’ ash Shoghir (hadits no. 2742): “Apabila seseorang melihat orang di atasnya dalam (urusan) dunia, maka dia akan berambisi mengejarnya, meremehkan nikmat-nikmat Allah yang ada pada dirinya dan dia berambisi untuk mendapatkan yang lebih agara bisa menyainginya atau mendekatinya. Cara mengobati penyakit semacam ini, hendaklah seseorang melihat orang yang berada di bawahnya (dalam masalah harta dan dunia). Dengan melihat yang di bawah, seseorang akan bersyukur terhadap nikmat, tawadlu’ dan memuji Allah.” (Faidlul Qodiir, 3/77).
Terkait daya tarik dunia (materi), Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam telah mengingatkan kita dengan sabdanya,
لَوْ كَانَ لِابْنِ آدَمَ وَادِيَانِ مِنْ مَالٍ لَابْتَغَى ثَالِثًا وَلَا يَمْلَأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلَّا التُّرَابُ وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ
“Sekiranya anak cucu Adam memiliki dua lembah harta niscaya dia tetap masih menginginkan lembah yang ketiga. Sekali-kali tidak akan penuh mulut anak cucu Adam kecuali tanah. Dan Allah menerima taubat bagi orang yang bertaubat.” (HR. Bukhari, no. 6436 dan Muslim, no. 1048).
Maksud dari ‘orang yang lebih rendah’ di hadits ini adalah dalam urusan dunia. Melihat orang yang diberi ujian sakit. Kemudian membandingkan dengan dirinya yang diberikan kesehatan sebagai modal utama dari berbagai nikmat. Melihat orang yang memiliki kekurangan pada fisiknya, seperti buta, tuli atau bisu. Lalu membandingkan dengan dirinya yang terbebas dari berbagai cacat yang menggelisahkan tersebut. Melihat orang yang diberi ujian dengan kenikmatan dunia, sibuk mengumpulkan berbagai kekayaan dunia tapi tidak mau mengeluarkan kewajiban yang harus ditunaikan. Lalu membandingkan dengan dirinya yang diberi karunia dengan tidak banyak menumpuk harta, tidak disibukkan dengan berbagai urusan harta baik di dunia dan akhirat. Kemudian melihat orang yang diberi ujian kemiskinan yang mencekik atau hutang yang melilit, lalu melihat nikmat yang diterima dengan diselamatkan dari ujian banyak harta atau sebaliknya disertai ketenangan batin dengan berbagai nikmat yang telah Allah berikan padanya. Tidak ada seorangpun di dunia ini yang diberi ujian dengan kebaikan atau keburukan melainkan pasti akan melihat ada orang yang lebih berat ujiannya. Hal ini menjadikannya lebih tenang dan mensyukuri berbagai nikmat yang ada karena melihat yang lain yang mendapatkan ujian. (Subulus Salaam, 3/151).
المُسْتَوْرِد بن شَدَّاد رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رسول الله صلى الله عليه وسلم: ” واللهِ مَا الدُّنْيَا في الآخِرَةِ إِلاَّ مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ أُصْبُعَهُ في اليَمِّ، فَلْيَنْظُرْ بِمَ يَرْجِعُ!”
Al Mustaurid bin syadad radliyallaahu ‘anhu berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, ”Tiadalah perbandingan dunia ini dengan akhirat, melainkan seperti seorang yang memasukan jarinya ke dalam lautan luas, maka perhatikanlah apa yang tersisa” (HR. Muslim, no. 2858).
Nasehat yang sama dengan isi hadits ini, juga pernah disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada shahabat Abu Dzar al Ghifari radliyallahu ‘anhu.
عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ أَمَرَنِي خَلِيلِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِسَبْعٍ أَمَرَنِي بِحُبِّ الْمَسَاكِينِ وَالدُّنُوِّ مِنْهُمْ وَأَمَرَنِي أَنْ أَنْظُرَ إِلَى مَنْ هُوَ دُونِي وَلَا أَنْظُرَ إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقِي وَأَمَرَنِي أَنْ أَصِلَ الرَّحِمَ وَإِنْ أَدْبَرَتْ وَأَمَرَنِي أَنْ لَا أَسْأَلَ أَحَدًا شَيْئًا وَأَمَرَنِي أَنْ أَقُولَ بِالْحَقِّ وَإِنْ كَانَ مُرًّا وَأَمَرَنِي أَنْ لَا أَخَافَ فِي اللَّهِ لَوْمَةَ لَائِمٍ وَأَمَرَنِي أَنْ أُكْثِرَ مِنْ قَوْلِ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ فَإِنَّهُنَّ مِنْ كَنْزٍ تَحْتَ الْعَرْشِ
Abu Dzar radliyallahu ‘anhu berkata “Kekasihku Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah tujuh perkara padaku: [1] Beliau memerintahkanku agar mencintai orang miskin dan dekat dengan mereka, [2] Beliau memerintahkanku agar melihat orang yang berada di bawahku (dalam urusan dunia), juga supaya aku tidak memperhatikan orang yang berada di atasku, [3] Beliau memerintahkanku agar menyambung silaturahim meski berusaha menjauh, [4] Beliau memerintahkanku agar tidak meminta apapun kepada seseorang, [5] Beliau memerintahkanku agar berbicara yang benar (al haq) meski terasa pahit [6] Beliau memerintahkanku agar tidak takut celaan orang yang mencela saat memperjuangkan agama Allah, [7] Beliau memerintahkanku agar memperbanyak mengucapkan “Laa hawla walaa quwwata illaa billaah”, karena itu adalah kekayaan yang terpendam di bawah Arsy.”
(HR. Ahmad, 5/159 dan lainnya. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam takhrij Musnad Imam Ahmad dan Syaikh Al Albani dalam Silsilah al Ahaadits ash Shahihah, no. 2166).
Orang yang merenungkan keadaan dirinya lalu mencermati berbagai kelebihan yang dimilikinya, pasti akan menemukan bahwa nikmat-nikmat Allah ta’aalaa begitu melimpah. Terutama nikmat iman, al Qur’an, ilmu, sunnah, kemudian waktu senggang, kesehatan, rasa aman dan lainnya. (Mukhtashar Minhaajil Qoshidin)
‘Aun bin Abdillaah menuturkan: “Dulu saya duduk (bergaul) dengan orang-orang kaya. Saya merasa sedih. Saya melihat pakaian yang lebih baik dari pakaian yang saya kenakan. Saya melihat kendaraan yang lebih baik dari kendaraan yang saya tunggangi. Kemudian saya bergaul dengan orang-orang miskin, barulah saya merasa tenang.” (Ihyaa ‘Uluumiddiin, 2/235).
Kalau kita selalu melihat ke atas dalam urusan dunia, kita merasa terus berada di bawah. Kalau lihat orang kaya kita merasa miskin. Kalau lihat yang ganteng kita merasa jelek. Akhirnya jadi tidak bersyukur. Tapi bila kita biasa melihat saudara-saudara kita yang ditimpa kesulitan, kemiskinan, penyakit, kita bisa bersyukur dengan apa yang telah Allah berikan pada kita.
bersambung…