KESEMBILAN: MEMBERIKAN HAK YANG TEPAT KEPADA RASULULLAH
SHALLALLAAHU ‘ALAIHI WA SALLAM, TIDAK BERLEBIHAN DAN MENYIMPANG.
Ada dua kelompok yang menyimpang dari sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan manhaj salaf dalam mempelajari sirah nabawiyah:
- Kelompok yang tidak memberikan hak Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana mestinya, misalnya dalam hal menghormati, menghargai dan mengagungkannya. Mereka mempelajari sirahnya seperti mempelajari biografi tokoh-tokoh lainnya. Mereka melihat dari sisi keagungan pribadinya, kehebatannya dalam memimpin, kepahlawanannya, statusnya sebagai seorang kepala negara dan orang yang memperbaiki kondisi masyarakat. Mereka mengabaikan sisi yang paling tinggi (penting) dalam kehidupannya yaitu mendapat kehormatan mendapat wahyu dari Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa dan menjadi nabi dan rasul penutup. Ada riwayat yang perlu mereka ketahui dan pelajari yaitu riwayat dari Abu Sufyan pada saat Fathu Makkah. Beliau berkata kepada Al Abbas ketika melihat pasukan kaum muslimin (sahabat) -semoga Allah meridloi mereka-: “Demi Allah, sungguh kekuasaan keponakanmu hari ini menjadi besar, Al Abbas menjawab: “Tidak (celakalah kamu), wahai Abu Sufyan, sesungguhnya ini adalah kenabian.” Abu Sufyanpun menjawab: “Ya, memang demikian.”[1]
- Ada kelompok yang berlebih-lebihan dalam mengagungkan kedudukan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sehingga tidak memberikan celah untuk mensifati beliau dengan sifat-sifat yang beliau miliki sebagai manusia. Padahal keberadaan beliau sebagai seorang manusia dan hamba Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa termasuk persoalan yang sudah diterima dalam aqidah bahkan yang menyimpang dari hal ini merupakan kesesatan. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لا تطروني كما أطرت النصارى ابن مريم فإنما أنا عبد فقولوا عبد الله ورسوله
“Janganlah kalian memujiku berlebih-lebihan sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Nashara terhadap Nabi Isa bin Maryam. Sesungguhnya aku seorang hamba (Allah). Katakanlah oleh kalian: hamba dan utusan (rasul) Allah.”[2]
Sikap yang benar adalah pertengahan. Mempelajari sirah berangkat dari sikap ini memiliki pengaruh yang besar terhadap aqidah, ibadah, prilaku, dakwah dan mengambil suri tauladan.
[1] Ibnu Hajar menyebutkan kisah ini dalam Al Mathalib Al ‘Aliyah 4/420 (hadits no 4303) dan beliau mengatakanhaditsnya shahih.[2] HR Bukhari, Kitab Al Anbiya (para nabi) no 3445 (Fathul Bari 6/551)
———––
* Materi ini pernah dipublikasikan oleh ustadz Ridwan Hamidi, Lc dalam berbagai kesempatan kajian sejak bulan Mei tahun 2001, antara lain di kajian rutin Yayasan al Hikmah Bandung, kajian umum yang diselenggarakan oleh Wahdah Islamiyah Bandung, kajian umum di Masjid Pogung Raya Yogyakarta dan beberapa tempat lain.