Home » Sejarah » Sirah Nabawiyah » Prinsip Belajar Sirah » Kaidah Mempelajari Sirah (5)

Kaidah Mempelajari Sirah (5)

PRINSIP KELIMA: MENGETAHUI DAN MENYADARI KETERBATASAN AKAL UNTUK MENERIMA DAN MENOLAK NASH-NASH.

Beberapa orang yang mempelajari –terutama dari kalangan orientalis dan yang terpengaruh pemikiran mereka- berpendapat bahwa para ulama Islam telah mengabaikan kritik matan (teks), yang diakibatkan karena mereka tidak punya kemampuan (akal) untuk menganalisa. Ini tidak benar. Berikut ini akan kita sebutkan beberapa contoh penilaian sejarah yang dilakukan oleh para ulama berdasarkan kritik sejarah:
1. Imam Ibnu Hazm -rahimahullaah- menolak jumlah tentara kaum muslimin dalam perang Uhud yang disebutkan banyak ulama berdasarkan kritik matan (teks) dengan pertimbangan akal semata.
2. Musa bin ‘Uqbah -rahimahullaah- menyebutkan bahwa perang Bani Musthaliq terjadi pada tahun keempat – berbeda dengan kebanyakan ulama yang menyebutkan bahwa kejadiannya pada tahun keenam-: karena keiikutksertaan Sa’d bin Mu’adz -semoga Allah meridloinya- dalam perang tersebut, padahal beliau -semoga Allah meridloinya- wafat setelah perang Bani Quraizhah yang (perang tersebut) terjadi pada tahun keempat hijriyah. Pendapat ini diikuti oleh Imam Ibnul Qayyim dan Adz Dzahabi.
3. Imam Bukhari menganggap bahwa perang Dzatur Riqaa’ terjadi setelah perang Khaibar, karena keikutsertaan Abu Musa Al Asy’ari dan Abu Hurairah pada perang tersebut. Pendapat ini diikuti oleh Imam Ibnul Qayyim, Ibnu Katsir dan Ibnu Hajar. Berbeda dengan Ibnu Ishaq dan Al Waqidi yang berpendapat bahwa perang Dzatur Riqaa’ terjadi sebelum perang Khaibar.
4. Perbedaan pendapat tentang waktu disyariatkannya shalat khauf yang sebagian besar alasan yang disebutkan berdsarkan kritik terhadap matan (teks).
Masih banyak dontoh-contoh yang lain, tetapi yang penting untuk ditegaskan bahwa pemeliharaan riwayat (sehingga bisa sampai pada generasi berikutnya) telah banyak dilakukan oleh generasi awal. Generasi berikutnya berusaha meringkas, mengomentari dan memilih riwayat-riwayat tersebut. Ini adalah proses kritik. Pada beberapa karya ulama belakangan begitu nampak penilaian-penilaian terhadap matan yang dilakukan sangat teliti sebagaimana yang terdapat dalam Al Bidayah wan Nihayah, Fathul Bari dan buku-buku karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Ibnu Taimiyah -rahimahullaah- mengatakan: “Hadits-hadits yang dinukil oleh orang-orang yang tidak punya pengetahuan tidak memiliki standar, tetapi ada yang sudah diketahui bahwa itu adalah dusta, baik dengan akal, kebiasaan, karena berbeda dengan riwayat yang shahih dan cara-cara lain.” [Minhajus Sunnah 8/105. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mempunyai kaidah yang sangat penting untuk membedakan riwayat-riwayat yang dusta dengan yang benar dalam Minhajus Sunnah 7/34-43, 419-479. Shadiq ‘Arjun telah membuat contoh kongkrit dalam kitabnya [Khalid bin Walid] manhaj (metode) kritik sejarah, yang sangat baik untuk dibaca. Baliau mendiskusikan berbagai kejadian yang terdapat kesimpangsiuran riwayat-riwayat yang ada dengan pendekatan logika (akal) dan memberikan penilaian dengan sangat teliti. Sebagai contoh lihat hal 265-279].
Disamping itu, karya-karya para ulama berkaitan dengan hadits-hadits hukum dan buku-buku ushul fiqh menunjukkan bahwa para ulama banyak menggunakan akalnya untuk melakukan kritik yang luar biasa. Kalau kita mengetahui bahwa para sejarawan (Islam) terdahulu memiliki beberapa buku dalam berbagai cabang ilmu lain, maka kita tidak boleh menuduh mereka mengabaikan matan, disamping itu kita juga harus memperhatikan periodenya. Usaha-usaha mereka tidak dapat dinilai dengan standar karya-karya ilmiyah yang ada pada zaman ini agar kita tidak menutup mata dari jasa-jasa mereka.
Kemudian dalam ilmu musthalah haditspun terdapat bahasan-bahasan yang menyangkut sisi teori kritik matan (teks) hadits, namun yang agak kurang adalah penerapannya dalam riwayat-riwayat sejarah, yang tidak mendapatkan perhatian sebesar riwayat-riwayat hadits.
Orang-orang yang melakukan kritik terhadap matan melakukan kesalahan, dimana mereka menggunakan hukum-hukum akal terhadap matan-matan yang ada, mereka jadikan hukum-hukum akal tersebut sebagai standar untuk menerima atau menolak riwayat tersebut. Padahal kita semua mengetahui bahwa akal setiap orang berbeda-beda. Persoalan yang akan munsul adalah keterbatasan kemampuan akal untuk memahami cara menggabungkan (mencari titik temu) antara akal dengan nash-nash tersebut.
Bisa jadi orang yang tidak menggunakan manhaj (metode) para ulama hadits, menetapkan hadits yang lemah hanya karena maknanya benar atau sebaliknya mungkin menolak hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim karena mengira bahwa hadits itu bertentangan dengan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah Islam. Ini adalah penilaian yang lemah dari akal.
[Muhammad Ghazali dalam Fiqih Sirahnya telah membantah riwayat Imam Bukhari bahwa dalam perang Bani Musthaliq Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam membunuh semua orang yang berada dalam usia siap dan sanggup untuk berperang dengan alasan tidak boleh menyerang musuh sebelum memberikan peringatan kepada mereka dan itu hanya boleh kepada orang yang sudah didakwahi (kemudian menolak dakwah). Silahkan lihat: diskusi yang menarik terhadap pendapat Muhammad Ghazali tersebut dalam buku ‘Adlwaa’ ‘ala dirasatis sirah’ yang ditulis oleh Asy Syaami hal 44-46].
Termasuk bentuk kesalahan yang lain adalah menolak mu’jizat yang sudah jelas-jelas ada dan diriwayatkan dengan cara menukil yang benar (shahih). Pada hakekatnya ini merupakan akibat imbas dari pemikiran materialis dan filsafat. Padahal seorang muslim seharusnya memiliki kebanggaan dengan ajarannya yang dapat mengantarkannya kepada kebebasan yang utuh dalam penelitian ilmiahnya.

—–
* Materi ini pernah dipublikasikan oleh ustadz Ridwan Hamidi, Lc dalam berbagai kesempatan kajian sejak bulan Mei tahun 2001, antara lain di kajian rutin Yayasan al Hikmah Bandung, kajian umum yang diselenggarakan oleh Wahdah Islamiyah Bandung, kajian umum di Masjid Pogung Raya Yogyakarta dan beberapa tempat lain.

Check Also

Kaidah Mempelajari Sirah (7)

KETUJUH: KONSISTEN DENGAN ISTILAH-ISTILAH SYAR’I. Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa membagi manusia menjadi tiga kelompok: mu’min, …