Home » Sejarah » Sirah Nabawiyah » Prinsip Belajar Sirah » Kaidah Mempelajari Sirah (4)

Kaidah Mempelajari Sirah (4)

PRINSIP KEEMPAT: MENELITI KEMUDIAN MENGAMBIL RIWAYAT-RIWAYAT YANG SHAHIH DALAM MASALAH-MASALAH YANG BERKAITAN DENGAN ‘AQIDAH DAN SYARI’AH.


Ada dua pendapat yang terkenal dari ulama tentang penelitian riwayat sirah nabawiyah:
1. Ada yang tidak merasa perlu meneliti riwayat tersebut dan membolehkan menggunakan semua riwayat sirah. Mereka beralasan bahwa para penulis sirah tidak menggunakannya dan tidak berusaha secara sungguh-sungguh menggunakannya. Mereka berargumen dengan pernyataan yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah: “Tiga kitab yang tidak ada ushulnya: sirah nabawiyah, cerita-cerita tentang fitnah dan tafsir.”
Dari argumen mereka mungkin bisa kita jawab dengan beberapa alasan:
a) Keshahihan pernyataan ini bersumber dari Imam Ahmad masih dipertanyakan. Orang yang mengatakan: Dalam sirah tidak ada riwayat yang shahih. Ungkapan ini sangat aneh sebab kita bisa lihat dalam kitab-kitab shahih dan sunan. Bukankah Imam Ahmad juga menyebutkan (riwayat-riwayat sirah) dalam musnadnya?
b) Kalaupun memang riwayat dari Imam Ahmad tersebut shahih, maka beliau tidak mengatakan: Tidak ada satupun riwayat (sirah) yang shahih, tetapi beliau mengatakan: Tidak memiliki ushul. Disamping itu beliau juga mengatakan: “Tiga buku” ini menunjukan bahwa maksudnya: “Buku-buku khusus dalam tiga bidang ini tidak dapat dijadikan pegangan dan keshihannya tidak dapat dipercaya karena para penulisnya buruk (dari sudut pandang ilmu hadits, pent) dan orang-orang yang menukil bukan orang yang adil serta ada tambahan dari para tukang cerita. [Al Jaami’ karya Al Khathib Al Baghdadi 2/224].
c) Bahkan kalaupun beliau mengatakan bahwa tidak ada yang shahih maka ini tidak berarti tidak ada yang hasan, dan tidak harus berarti dlo’if (lemah) atau maudlu’ (palsu).
d) Pendapatnya ini di gunakan untuk mengungkapkan sesuatu yang sifatnya mayoritas. Kebanyakan riwayat–riwayat dalam ketiga ilmu ini tidak memiliki sanad yang bersambung.

2. Pendapat kedua ini diwakili oleh DR Akram Dhiya` Al ‘Umari, beliau mengatakan: “Seharusnya mengandalkan riwayat-riwayat shahih kemudian hasan, kemudian riwayat-riwayat dlo’if yang dikuatkan dengan riwayat (dlo’if) lain untuk membentuk gambaran sejarah dari peristiwa-peristiwa pada masyarakat Islam pada generasi awal Islam…ketika ada pertentangan maka yang selalu digunakan adalah riwayat yang lebih kuat…Sedangkan riwayat-riwayat yang dlo’if yang tidak kuat atau tidak dikuatkan dengan riwayat lain maka mungkin digunakan untuk melengkapi kekosongan yang tidak diisi oleh riwayat yang shohih atau hasan dengan syarat tidak berkaitan dengan aqidah atau tasyri’ berdasarkan kaidah: “Sikap memperketat (itu) pada hal-hal yang berkaitan dengan aqidah atau syari’ah” Tidak diragukan lagi bahwa zaman Sirah Nabawiyah dan Khulafaur Rasyidin penuh dengan persoalan fiqih. Para Khulafaur Rasyidin berijtihad dalam menjalani persoalan hidup sejalan dengan ajaran Islam. Mereka adalah orang-orang yang patut dicontoh dalam hukum-hukum dan aturan-aturan yang mereka istimbath untuk persoalan-persoalan yang baru muncul setelah meluasnya nageri Islam, setelah pembukaan negri-negri Islam. Sedangkan riwayat-riwayat sejarah yang berkaitan dengan bangunan, seperti perencanaan kota, penambahan bangunan, penggalian saluran air… atau yang berhubungan dengan kondisi medan pertempuran, cerita tentang mujahidin yang menunjukkan keberanian dan pengorbanan mereka maka tidak mengapa tidak terlalu ketat dalam menggunakan riwayatnya. (As Sirah An Nabawiyah Ash Shohihah karya DR Akram Dhiya` Al ‘Umari 1/40 dan lihat juga tentang manhaj ini pada muqaddimah buku tersebut hal 19).
Inilah manhaj yang diakui dikalangan para imam muhaqqiqin. Hal ini dibuktikan dengan apa yang telah dilakukan oleh Imam Adz Dzahabi dalam Tarikh Al Islam, Ibnu Sayyidinnaas dalam ‘Uyuunul Atsar Ibnu Hajar dalam Fathul Bari Ibnul Qayyim dan Ibnu Katsir.[Lihat: As Sirah An Nabawiyah Ash Shohihah karya DR Akram Dhiya` Al ‘Umari 1/41, Tahqiq Mawaqif Ash Shahabat karya Al Mahzun 1/98-100].
Sedangkan riwayat-riwayat sejarah yang diambil adalah riwayat-riwayat sejarah yang disepakati oleh para ahli sejarah (akhbariyyun). [As Sirah An Nabawiyah Ash Shohihah, DR Akram Dhiya` Al ‘Umari 1/20]. Kalau kita mau membuat standar bahwa setiap riwayat sirah yang kita gunakan adalah riwayat sejarah yang shahih secara mutlak –seperti yang dilakukan oleh beberapa penulis sirah sehingga membuang banyak peristiwa sejarah- akan mengakibatkan terabaikannya khazanah ilmiyah yang sangat banyak, tidak memanfaatkan riwayat-riwayat tersebut dalam lapangan da’wah dan pendidikan…dan lain-lain; yang menyebabkan keraguan terhadap semua yang akan dijadikan landasan dalam mengambil hukum atau ibrah (pelajaran). [At Tarikh Al Islami –mawaaqif wa ‘ibar- DR Abdul Aziz Al Humaidi, 1/28-35].
Sekarang yang menjadi pertanyaan: Bagaiamana sirah akan disusun berdasarkan manhaj (metode) tadi, Apakah semua riwayat yang ada kita tulis secara lengkap atau riwayat-riwayat tersebut dikumpulkan dalam satu konteks?
Mungkin manhaj yang lebih tepat adalah cara kedua, untuk menghindari agar tidak membingungkan pembaca, memecahkan konsentrasinya karena kisah yang disebutkan terputus atau sebagian kisah tersebut disebutkan berulang-ulang, tidak ada gambaran yang runtut dan lengkap tentang sirah. Disamping itu, inilah manhaj yang dilakukan oleh Imam Az Zuhri ketika menceritakan haaditsatul ifki (peristiwa fitnah tuduhan perbuatan yang tidak benar kepada ‘Aisyah) seperti yang diriwayatkan Imam Muslim. [Shahih Muslim no 2770, Syarah An Nawawi 17/156].


* Materi ini pernah dipublikasikan oleh ustadz Ridwan Hamidi, Lc dalam berbagai kesempatan kajian sejak bulan Mei tahun 2001, antara lain di kajian rutin Yayasan al Hikmah Bandung, kajian umum yang diselenggarakan oleh Wahdah Islamiyah Bandung, kajian umum di Masjid Pogung Raya Yogyakarta dan beberapa tempat lain.

Check Also

Kaidah Mempelajari Sirah (7)

KETUJUH: KONSISTEN DENGAN ISTILAH-ISTILAH SYAR’I. Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa membagi manusia menjadi tiga kelompok: mu’min, …