Home » Fiqih » Mu'amalah » HUKUM MENGUNDI PEMENANG MUSABAQAH ILMIYAH

HUKUM MENGUNDI PEMENANG MUSABAQAH ILMIYAH

HUKUM MENGUNDI PEMENANG MUSABAQAH ILMIYAH

Kebutuhan publik menuntut ahli fiqih untuk mengkaji ulang hukum mengundi pemenang dalam musabaqat ilmiyah/kompetisi ilmiyah.  Hendaklah mereka mengerahkan segenap kemampuan untuk meneliti lebih mendalam, kemudian memilih pendapat terkuat dan paling mendekati kebenaran berdasarkan dalil.

 

Meski sebuah masalah berat dan tersebar luas di masyarakat, janganlah sampai menyurutkan semangat seorang alim untuk mengkajinya.

 

Sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, pernah ditanya tentang hukum seorang wanita dinikahi seorang pria, kemudian suaminya meninggal sebelum menentukan mahar dan mencampurinya. Hampir sebulan, penanya berkali-kali mendatanginya hingga akhirnya beliau menjawab :

 

Wanita tersebut berhak mendapat mahar seperti mahar kerabat wanitanya tidak kurang dan tidak lebih, ia mendapat warisan, dan wajib atasnya iddah. Jika pendapat ini benar maka itu dari Allah, dan jika salah maka kesalahan itu dari saya dan syetan, sedang Allah dan Rasul-Nya tidak bersalah. [1]

 

Melihat tempo yang dibutuhkan oleh seorang faqih besar sahabat sekaliber Ibnu Mas’ud untuk meneliti sebuah masalah, cukuplah kiranya untuk menyingkap keengganan kita mengulangi kajian ilmu kita. Tergesa-gesa dalam memutuskan hukum satu masalah justru adalah satu kekeliruan, yang mana jika masalah tersebut dihadapkan kepada Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, pastilah ia akan mengumpulkan fuqaha’ sahabat untuk membahasnya. Maka, mengapa sebagian orang terlalu berani?

 

Penulis akan membahas kasus undian dalam kompetisi ilmiah secara umum, dimana peserta masuk dalam taruhan, kemudian ikut berkompetisi. Semoga Allah Ta’ala memberi kami taufik kepada kebenaran dalam masalah ini.

 

Seorang penyair berkata:

 

Jika suatu hari sayembara meraih hadiah dimulai

 

Kau akan lihat kami berlomba-lomba mengejarnya

 

Masalah ini dapat dibagi dalam tiga sub bahasan:

 

Pertama, anjuran menyelenggarakan musabaqat al-ilmiyah.

 

Syari’at Islam menganjurkan perlombaan yang melatih keberanian dan ketangguhan. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 

Tidak dibolehkan mengambil sabaqa/hadiah taruhan kecuali pada pacuan unta dan kuda, atau perlombaan memanah.[3]

 

Perlombaan sendiri ada tiga jenis:

 

1. Perlombaan yang dibolehkan, baik berhadiah ataupun tidak, yaitu jenis perlombaan yang disebutkan dalam hadits: pacuan kuda dan unta, serta perlombaan memanah. Inilah pendapat Imam Malik dan Ahmad. Sedangkan Imam Syafi’i dalam salah satu pendapatnya membolehkan pacuan gajah, bagal, dan keledai.

 

2. Perlombaan yang dibolehkan, dengan syarat tanpa hadiah. Yaitu setiap perlombaan yang mengandung unsur keberanian dan ketangguhan yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam hadits tetapi sesuai maknanya, seperti lomba lari, lempar batu, tarik tambang, gulat, dan renang.

 

Ulama Syafi’iyah memiliki dua pendapat, dan yang terkuat adalah jenis ini terlarang, karena tidak eksplisit disebut dalam hadits di atas. sedang ulama Hanafiah mengatakan bahwa yang dimaksud: la sabaqa/tidak boleh hadiah taruhan adalah tidak sempurna dan tidak bermanfaat.

 

3.  Perlombaan yang tidak dibolehkan, baik dengan hadiah ataupun tidak. Seperti mengadu binatang dan permainan dadu.

 

Sebagaimana pacuan unta, kuda, dan ketangkasan memanah. semuanya dibolehkan karena melatih keberanian dan ketangguhan sekaligus sebagai latihan jihad. Maka kompetisi ilmiah juga dibolehkan karena memacu peningkatan keilmuan dan penyebarannya, serta termasuk jihad dengan lisan.

 

Kompetisi ilmiah masuk pada jenis kedua, yaitu perlombaan yang secara implisit terkandung dalam hadist tersebut. Ibnu Taimiyah membolehkan lomba jenis ini beserta hadiahnya. Dengan alasan bahwa lomba ini termasuk bagian dari jihad, dan dikuatkan dengan kisah tegaknya hujjah yang pernah terjadi antara Abu Bakar dengan kaum musyrikin.

 

Ibnu Qayyim dalam kitabnya al-Furusiyah menuliskan:

 

Apakah dibolehkan musabaqah hifzhul Qur’an, hadits, dan ilmu-ilmu bermanfaat lainnya, atau menjawab   pertanyaan dengan tepat? 

 

Para ulama dari mazhab Malik, Syafi’i, dan Ahmad melarangnya, sedangkan Abu Hanifah dan guru kami (Ibnu Taimiyah) membolehkannya. Kebolehan ini juga dinukil oleh Ibnu Abdil Barr dari Imam Syafi’i, dan perlombaan ilmiah ini lebih utama daripada berburu, gulat, dan lomba renang.[3]

 

Jumhur ulama melarang salah seorang peserta lomba mengeluarkan hadiah, kecuali dalam perlombaan yang tersebut dalam hadits, tetapi jika hadiah dari pihak ketiga, maka dibolehkan.

 

Jika hadiah berasal dari selain peserta lomba.

 

Jika hadiah berasal dari pihak yang tidak ikut lomba, umpamanya seseorang berkata: “Siapa yang bisa jawab dengan benar, maka saya beri hadiah seratus ribu rupiah,” maka hukumnya boleh. Bentuk ini termasuk jenis Ju’alah/sayembara.

 

Al-Umrani dalam kitabnya al-Bayan menulis:

 

Apabila hadiah yang diperlombakan berasal dari penguasa, rakyat biasa, atau salah seorang peserta lomba, maka hukumnya seperti ju’alah.[4]

 

Ibnu al-Qayyim menulis:

 

Bila seseorang berkata kepada orang lain: “Panahlah, jika kena tepat sasaran, maka bagimu satu dirham.” Atau: “jawablah pertanyaan ini, atau hapal kitab ini, jika Anda bisa, maka Anda akan mendapatkan hadiah.” Ini semua boleh karena termasuk ju’alah/sayembara bukan pertandingan, orang tersebut mengeluarkan hartanya untuk satu tujuan yang dibenarkan.[5]

 

Ju’alah seperti contoh-contoh di atas hukumnya boleh. Esensinya siapa saja sanggup memenuhi tantangan, akan mendapat hadiah tertentu yang jelas. Masalahnya adalah jika jenis atau jumlah hadiah tersebut tidak disebutkan dengan jelas, seperti dikatakan: siapa yang menjawab pertanyaan ini dengan tepat, maka baginya hadiah istimewa. Hendaknya hal ini menjadi perhatian para peneliti, sebab dalam ju’alah ada dua syarat utama, yaitu: pertama, bahwa harta yang menjadi hadiah bukan berasal dari peserta lomba. Kedua, hendaklah hadiah ditentukan dengan jelas. Wallahu A’lam

 

Kedua, jika pemenang lebih dari satu

 

Contohnya, seseorang berkata: “Siapa bisa menjawab pertanyaan ini dengan tepat, maka baginya seratus ribu rupiah.” Kemudian ada dua peserta bersamaan menjawab dengan tepat, maka keduanya berhak mendapatkan hadiah tersebut.

 

Apakah hadiah tersebut dibagi sesuai jumlah pemenang, atau masing-masing pemenang berhak mendapatkan sesuai jumlah yang disebutkan? Yang paling tepat adalah satu hadiah tersebut dibagi kepada semua pemenang.

 

Imam al-Nawawi menyebutkan:

 

Jika panitia lomba berkata: “siapa bisa jawab, maka baginya tiga dinar,” kemudian tiga orang menjawab dengan benar, al-Dariki berkata :”Setiap orang di antara mereka mendapat satu dinar.”

 

Jika dikatakan: “Maka baginya satu dinar, dan bagi penjawab kedua setengah dinar,” kemudian satu orang menjawab, dan fase kedua dijawab oleh tiga orang, dan disusul oleh peserta lain, maka penjawab pertama mendapat satu dinar, dan tiga penjawab kedua mendapat setengah dinar. Jika seseorang menjawab, lalu disusul oleh yang lain, maka baginya satu dinar, dan yang lainnya tiga dinar. Jika semua menjawab bersamaan, maka mereka tidak dapat apa-apa. [6]

 

Jika ia berkata kepada sepuluh peserta: “Siapa menang dari kalian maka baginya sepuluh dinar.” Dan pemenangnya ada dua orang, maka keduanya mendapat sepuluh dinar tersebut. Jika sembilan orang menang dan satu terlambat, maka sepuluh dinar jadi milik sembilan orang. Ibnu Quddamah berkata:

 

Bisa juga setiap orang mendapat sepuluh dinar, karena setiap mereka adalah pemenang, maka ia berhak atas ju’alah tersebut secara sempurna.[7]

 

Catatan:

 

Kesimpulannya ada dua pendapat,yakni: pertama, hadiah tersebut dibagi kepada semua. Kedua, masing-masing  pemenang berhak mendapat sesuai jumlah yang disebutkan.

 

Jika seseorang berkata: “Siapa menang, maka ia mendapat sepuluh dirham, selanjutnya siapa shalat dengan benar maka baginya lima dirham.” Lalu yang jadi pemenang ada lima orang, dan yang shalat dengan benar juga lima orang. Maka berdasarkan pendapat pertama, pemenang yang lima mendapat sepuluh dirham, masing-masing mendapat dua dirham. Dan lima orang yang shalat masing-masing mendapat satu dirham.

 

Sedang menurut pendapat kedua, lima pemenang masing-masing mendapat sepuluh dirham, dan jumlahnya menjadi lima puluh dirham. Lima orang yang shalat dengan benar masing-masing mendapat lima dirham, dan seluruhnya menjadi dua puluh lima dirham.

 

Akad ju’alah versi pertama bisa jadi tidak sah, sebab ada kemungkinan sembilan orang menang dan mereka mendapat sepuluh dirham, masing-masing mendapat satu sepersembilan dirham. Kemudian satu orang shalat dengan benar, dan dia mendapat lima dirham, ia dapat lebih banyak dari pada para pemenang yang sembilan. Bila demikian, tujuan utama perlombaan tidak tercapai. [8]

 

Intinya, jika seseorang berkata: “Siapa menang maka baginya sekian,” kemudian ada dua pemenang secara bersamaan, maka menurut versi pertama hadiah tersebut dibagi dua, dan inilah yang lebih tepat. Sedang menurut versi kedua, masing-masing mendapat sesuai jumlah yang disebutkan. Jadi, tidak ada peluang undian dalam masalah ini, mereka yang mengundi dalam kasus ini adalah orang yang kurang paham. Wallahul Musta’an.

 

Ketiga, hukum mengundi pemenang

 

Pembahasan ini terbagi dua: pertama, hukum undian, dan kedua, tahqiq al-manath/aplikasi hukum.

 

1. Hukum undian

 

Undian secara umum disebutkan dalam beberapa ayat Al-Qur’an. Diantaranya, firman Allah:

 

Padahal kamu tidak hadir beserta mereka, ketika mereka melemparkan anak-anak panah mereka (untuk mengundi) siapa di antara mereka yang akan memelihara Maryam. Dan kamu tidak hadir di sisi mereka ketika mereka bersengketa. (QS. Ali Imran: 44)

 

Kemudian ia ikut berundi lalu dia termasuk orang-orang yang kalah dalam undian (QS. Ash-Shaaffaat: 141)

 

Begitu pula dalam beberapa hadits shahih:

 

Abiu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 

Seandainya orang-orang mengetahui pahala azan dan shaf pertama, kemudian mereka tidak bisa meraihnya kecuali dengan undian, niscaya mereka rela berundi. (HR. Bukhari dan Muslim)

 

Dari Ummul mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

 

Jika Rasulullah hendak safar, beliau mengundi isteri-isterinya. Siapa yang keluar undiannya maka Rasulullah mengikutkannya dalam safar.” (Muttafaq ‘alaihi)

 

Imran bin Hushain menceritakan :

 

Seseorang memerdekakan ketujuh hamba sahaya miliknya saat ia kritis, sedang ia tidak memiliki harta lain. Maka Rasulullah memanggil mereka, membagi tiga, dan mengundi mereka. Kemudian beliau memerdekakan dua orang dan mengembalikan empat sisanya. Beliau juga memperingati orang tersebut dengan tegas. (HR.Muslim)

 

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah menyuruh satu kaum bersumpah, dan semuanya ingin jadi yang pertama, maka Rasulullah mengundi siapa di antara mereka yang berhak bersumpah pertama kali. (HR. Bukhari)

 

Beberapa perkara yang boleh diundi:

 

                                                      Menentukan kepemilikan, seperti undian antara hamba sahaya yang akan dibebaskan jika jumlahnya belum mencapai sepertiga. Atau mengundi klaim barang antara dua orang yang sama-sama mendatangkan bukti kepemilikan.

 

                                                      Menentukan siapa yang berhak ikut safar dari para isteri. Menentukan wali nikah, jika semua wali hadir. Dan menentukan siapa yang paling berhak memandikan dan menshalatkan jenazah kerabat mereka.

 

                                                      Menentukan hak khusus, seperti shaf pertama, membuka lahan mati, ruko di pasar, dll.

 

Syekh al-Sa’di menegaskan : “Undian digunakan jika ada hak yang tidak jelas pemiliknya, atau ketika ada klaim berbagai pihak atas sesuatu.”

 

Ulama juga membolehkan undian perlombaan dalam dua bentuk, yaitu:

 

Pertama, menentukan yang pertama kali berhak memulai, seperti jika dua peserta ingin jadi pemanah pertama. Sebagian ulama mengatakan tidak perlu diundi, cukup panitia yang menentukannya.

 

Kedua, kompetisi memanah antara dua regu, dengan cara memilih dua ketua, dan masing-masing ketua memilih anggota dari peserta yang ada. Maka tidak ada cara lain selain mengundi keduanya, siapa yang menang dialah yang berhak memilih anggota terlebih dahulu. [9]

 

Ibnu Abdi al-Salam berkata:

 

Ketika hak atas sesuatu sama, maka disyariatkan undian demi menghindari rasa iri dan dengki, dan menumbuhkan rasa ridha terhadap takdir Allah. Seperti mengundi beberapa calon khalifah ketika semuanya layak memegang amanah tersebut, begitu juga mengundi beberapa orang yang sama-sama pantas jadi imam.[10]

 

Intinya, bila beberapa pihak mempunyai hak yang sama atas sesuatu, dan tidak ada cara lain menentukan pemilik utamanya, maka undian bisa jadi solusi.

 

Syekh Majduddin Abu al-Barakat bin Taimiyah ( wafat tahun 652 H) berkata: “Menurut kami undian antara dua perkara diperbolehkan, jika keduanya tidak mungkin dikombinasikan.” [11]

 

1.                  Tahqiq al-manath/aplikasi hukum

 

Aplikasi hukum undian dalam bahasan ini adalah sebagai berikut:

 

Undian antara para pemenang tidak dibenarkan dalam kompetisi ilmiah,  meski hadiahnya dari pihak ketiga. Sebab, semua pemenang berhak atas hadiah yang dijanjikan. Dan kompetisi ilmiah esensinya adalah bagian dari ju’alah.

 

Beberapa ulama seperti Ibnu Rajab al-Hanbali dalam kitabnya al-Qawa’id al-Fiqhiyyah,  telah mengoleksi semua masalah undian dalam mazhab Hanbali, dan contoh di atas tidak disebutkan. Hal yang sama juga dilakukan oleh al-Zarkasyi dalam kitab al-Mantsur fi al-Qawa’id. [12]

 

Kedua ulama ini telah membahas tuntas masalah undian lengkap dengan contoh-contohnya, dan tidak seorangpun dari mereka menyebutkan undian antara para pemenang kompetisi, apakah masalah ini tidak termasuk undian yang dibolehkan, atau ia luput dari kajian mereka?

 

Bila ada dua pemenang atas satu hadiah, maka hadiah tersebut dibagi dua. Menurut pendapat lain kedua-duanya berhak atas hadiah sejumlah yang dijanjikan. Dan kedua pendapat ini tidak menjadikan undian sebagai solusi memilih pemenang.

 

Ibnu Rajab al-Hanbali menyebutkan adanya peluang multi pemenang, dan ia bisa jadi tujuan. Beliau berkata:

 

Terkadang hadiah hanya bisa diraih oleh satu regu, jika mereka unggul, maka setiap anggotanya adalah pemenang dan mereka berhak mendapatkan hadiah.

 

Jenis kedua, adanya peluang multi pemenang tapi ia bukan jadi tujuan, seperti sekelompok hamba sahaya disuruh berlomba mencari satu berita, apakah semuanya berhak dimerdekakan? Ibnu Abi Musa dan Shalih menukil pendapat Imam Ahmad bahwa: “Semuanya dibebaskan.” Dalam riwayat lain beliau berkata: “Mereka diundi, dan hanya satu yang dimerdekakan.” [13]

 

Kesimpulan:

 

 Mengundi antara para pemenang kompetisi bukan merupakan solusi, ini berangkat dari dua pertimbangan mendasar:

 

1- Jika pihak ketiga mengeluarkan hartanya sebagai hadiah suatu kompetisi, maka bentuk ini termasuk ju’alah.

 

2- Jika terdapat dua pemenang, maka keduanya berhak atas hadiah. Inilah yang ditegaskan al-Nawawi dalam al-Minhaj, dan al-Hijawi dalam Zad al-Mustaqni’. [14]

 

Wallahu A’lam

 

 


 

 


 

 [1]. HR. Abu Dawud, hadits ini shahih. Selanjutnya disebutkan: Maka beberapa orang dari Asyja’ berdiri, diantaranya al-Jarrah dan Abu Sinan, mereka berkata:“Wahai Ibnu Mas’ud, kami bersaksi bahwa Rasulullah memutuskan hukum yang sama atas Barwa’ binti Wasyiq, dan suaminya adalah Hilal bin Murrah”. Perawi berkata: “Mendengar itu, Ibnu Mas’ud jadi sangat gembira, sebab fatwanya sesuai dengan hukum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.”

 

[2]. Shahih Ibnu Hibban : juz X, hal. 544, no. 4690, Musnad Imam Ahmad: juz XVI, hal. 129, no.10138, Abu Dawud: juz II, hal. 334, no.2576. Syaik al-Albani menyatakan hadits ini shahih.

 

[3]. Hal. 136.  

 

[4]. Al-Umrani, Yahya bin Abi al-Khair (wafat tahun 558 H): Al-Bayan Fii Mazhab al-Syafi’i: juz VIII,hal. 427.

 

[5]. Al-Furusiyah, hal.417.

 

[6]. Sda.

 

[7]. Al-Syarh al-Kabir: juz XI, hal 139.  

 

[8]. Sda.

 

[9]. Majmu’ al-Fatawa: juz XV, hal. 169, al-Mawardi: al-Hawi al-Kabir karya: juz XV, hal. 465, Kasyf al-Qina’: juz IV, hal. 58, dan Mathalib Uli al-Nuha: juz III, hal. 713.

 

[10]. Qawa’id al-Ahkam Fii Mashalih al-Anam: juz I, hal. 77.

 

[11]. Ibnu Rajab al-Hnabali: Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah: juz I, hal. 390.

 

[12].  Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah: juz III, hal. 237, dan al-Mantsur Fii al-Qawa’id: juz III, hal. 63.

 

[13]. Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah: juz I, hal. 423.

 

[14]. Minhaj al-Thalibin, hal. 263, dan Zad al-Mustaqni’ Ma’a Syarh al- Mumti’: juz X, hal. 83.

 

http://albayan.co.uk/id/article.aspx?id=127

 

Check Also

Mengadakan Walimah

Wajib mengadakan walimah setelah dhukul (bercampur), berdasarkan  perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. kepada Abdurrahman bin …