Home » Fiqih » FIQIH PUASA

FIQIH PUASA

Definisi Puasa (Shaum)

  • Secara bahasa bermakna: imsâk (menahan)
  • Secara syar`i bermakna: Menahan diri dari segala sesuatu yang dapat membatalkan mulai terbitnya fajar shubuh hingga terbenamnya matahari yang disertai dengan niat

Hukum Puasa

  • Fardhu (wajib), dasarnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya:

“Wahai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu sekalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu sekalian, agar kamu sekalian bertaqwa.”(Al-Baqarah: 183)

  • Orang yang tidak berpuasa sekalipun satu hari di siang Ramadhan tanpa udzur maka ia telah melakukan satu dosa besar. Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam  telah bersabda tentang mimpi yang pernah beliau saksikan:

“Sampai ketika aku berada di tengah gunung, seketika ada suara-suara keras. Maka aku bertanya: ‘Suara apa ini?’ Mereka menjawab: ‘Ini adalah teriakan penghuni neraka.’ Kemudian Jibril membawaku pergi, seketika aku berada di hadapan suatu kaum yang digantung dengan kaki di atas dengan sudut mulut terkoyak, dari sudut mulut mereka bercucuran darah. Maka aku bertanya: ‘Siapa mereka?’ Jibril menjawab: ‘Mereka adalah orang-orang yang berbuka puasa sebelum sampai waktunya’.”
(Shahihut Targhib wat Tarhib: 1/420)

Keutamaan Puasa

  • Puasa telah dikhususkan oleh Allah Subhaanahu wa Ta’aalaa
  • Puasa tiada tandingannya
  • Do`a orang yang berpuasa tidak ditolak
  • Orang yang berpuasa mempunyai dua kebahagiaan
  • Puasa dapat memberikan syafa`at pada hari Kiamat kepada orang yang mengerjakannya

Etika-etika Berpuasa

  • Sahur dan mengakhirkannya hingga di penghujung waktunya
  • Berbuka (bila telah sampai waktunya)
  • Sesudah ifthar hendaknya mengucapkan bacaan:

Dzahabazh Zhoma-u wabtallatil ‘uruuqu wa tsabatal ajru, insya Allah

“Hilanglah dahaga, urat-uratpun menjadi basah dan pahala pun pasti, insya Allah.” (HR Abu Daud, 2/765. Isnadnya dihasankan Ad-Daruquthni, 2/185

  • Menghindar dari rafats
  • Meninggalkan semua perbuatan haram, seperti menggunjing, perkataan keji dan dusta
  • Orang yang berakal makan untuk hidup, bukan hidup untuk makan
  • Mendermakan ilmu, harta, kemuliaan, badan dan akhlak
    Memadukan puasa dan memberikan makanan itu merupakan faktor yang menyebabkan pelakunya masuk surga

Beberapa Hal yang Selayaknya Dikerjakan di Bulan Ramadlan

  • Mempersiapkan suasana dan jiwa untuk beribadah:
    • Bertobat dan berinabah (kembali) kepada Allah
    • Gembira karena datangnya Ramadlan
    • Berpuasa dengan baik dan khusyu’ saat tarwih
    • Menamatkan bacaan Al-Qur’an
    • Shodaqoh
    • I’tikaf
  • Tidak mengapa mengucapkan selamat atas datangnya bulan suci Ramadhan

Penetapan Masuknya Bulan Suci Ramadhan

  • Melihat terbitnya bulan
  • Maka apabila ada seorang muslim berakal yang dapat dipercaya dengan keamanahan dan kejujurannya yang memberitakan bahwa ia telah melihat bulan hilal Ramadhan dengan mata kepalanya, maka beritanya dapat dijadikan pegangan
  • Menggenapkan bulan Sya’ban

Yang Wajib Berpuasa

  • Muslim
  • Berakal
  • Baligh
  • Mukim dan mampu
  • Tidak ada penghalang (haidh atau nifas)

Tanda-tanda baligh

  • Keluar mani karena mimpi atau lainnya
  • Tumbuh rambut di sekitar kemaluan
  • Berumur genap 15 thn
  • Haidh (untuk wanita), walaupun di bawah 15 thn

Musafir

  • Boleh berbuka (tidak puasa), apakah ia mampu berpuasa ataupun tidak, apakah sulit baginya berpuasa ataupun tidak, sampai sekalipun kepergiannya itu selalu ada di tempat yang teduh (ruang AC) dan banyak air serta disertai oleh seorang pembantu, tetap diperbolehkan tidak berpuasa dan meng-qashar shalat (Majmu’ Al-Fatawa, 25/210.)

Orang Sakit

  • Boleh berbuka, dasarnya firman Allah Ta’aalaa yang artinya:

“Dan barangsiapa sakit atau sedang di dalam perjalanan (lalu berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya.”
(QS Al-Baqarah: 185)

  • Adapun sakit ringan, seperti batuk, pusing dan yang serupa tidak boleh berbuka karenanya
  • Kalau menurut kedokteran, menurut kebiasaan dan pengalamannya atau menurut perkiraan kuatnya bahwa puasa akan membuatnya sakit, menambah parah penyakitnya, atau dapat menunda masa kesembuhannya, maka boleh bagi si sakit berbuka, bahkan makruh hukumnya ia berpuasa
  • Apabila penyakit yang dideritanya sudah kronis, maka si penderita tidak wajib berniat di malam hari untuk berpuasa sekalipun ada kemungkinan besok harinya ia akan sembuh, karena yang menjadi pegangan adalah kondisi sekarang
  • Musim ujian bagi para siswa itu tidak dapat dijadikan alasan untuk berbuka puasa di bulan Ramadhan
  • Orang sakit yang masih diharapkan bisa sembuh, maka hendaknya ia menunggu kesembuhannya lalu mengganti puasanya, ia tidak boleh membayar fidyah
  • Orang yang menunggu kesembuhan dari penyakit yang masih bisa diharap sembuh lalu meninggal dunia, maka ia tidak mempunyai kewajiban apa-apa dan begitu pula terhadap wali atau ahli warisnya
  • Orang yang menderita sakit menahun yang tidak dapat diharapkan kesembuhannya dan begitu pula seorang lansia yang sudah sangat lemah, cukup memberikan makanan setiap hari kepada seorang fakir miskin (selama bulan puasa) berupa makanan pokok sebanyak ½ sha’ (lebih kurang 1,25 kg beras)
  • Orang sakit yang berbuka dan menunggu kesembuhannya supaya dapat mengganti puasanya, lalu ternyata penyakitnya menahun, maka ia wajib memberi makan seorang fakir miskin sejumlah hari yang ia tinggalkan
  • Orang yang penyakitnya menahun sehingga tidak berpuasa dan telah membayar fidyah, kemudian dengan kemajuan ilmu kedokteran ia berobat dan berhasil sembuh, maka ia tidak wajib apa-apa, karena ia telah melakukan kewajibannya pada waktunya
  • Orang yang sakit lalu sembuh dan mampu mengganti puasanya, namun ia belum mengggantinya hingga meninggal dunia, maka diambil dari hartanya untuk diberikan kepada orang fakir miskin sebanyak hari-hari puasa yang tidak ia kerjakan
  • Jika ada salah seorang dari kerabat dekatnya (keluarganya) menggantikan puasanya, maka yang demikian itu sah
  • “Barangsiapa meninggal dunia dan ia mempunyai tanggungan puasa, maka dipuasakan oleh walinya.” (Shahih Al-Bukhari dan Muslim)

Fidyah

  • Memberikan makanan kepada fakir miskin (selama bulan puasa) berupa makanan pokok sebanyak ½ sha’ (lebih kurang 1,25 kg beras)
  • Boleh dibayar satu kali pada akhir bulan Ramadhan diberikan kepada beberapa orang miskin, dan boleh pula diberikan kepada seorang miskin pada tiap hari
  • Fidyah itu wajib dilaksanakan berupa makanan karena ada nash Al-Qur’annya, dan tidak boleh berupa uang
  • Boleh diwakilkan pembelian makanan dan penyerahannya kepada orang yang dapat dipercaya atau lembaga yang bisa dipercaya

Niat
“Tidak sah puasa orang yang tidak berniat di malam harinya” (HR Abu Daud no. 2454).

  • Niat adalah tekad dan hasrat dari dalam hati untuk melakukan pekerjaan
  • Tempatnya di hati bukan di bibir dengan melafalkan
  • Setiap orang yang mengetahui bahwa besok hari adalah hari bulan Ramadhan dan ia bermaksud berpuasa, maka ia berarti telah berniat

Imsak (Menahan Diri)

  • Kalau fajar Shubuh telah terbit –yaitu cahaya putih di ufuk timur– maka pada saat itu pula setiap orang yang berpuasa wajib menahan dari makan minum, apakah ia mendengar suara adzan ataupun tidak
  • Adapun tanda imsak di waktu tertentu agar berhenti makan, seperti 10 menit sebelum shubuh, maka hal ini tidak dituntunkan

Ifthar (Berbuka)

  • Kalau matahari telah terbenam secara sempurna, maka orang yang berpuasa boleh berbuka
  • Cahaya kemerah-merahan di ufuq barat yang tersisa itu tidak menjadi penghalang untuk berbuka
  • Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
  • “Apabila malam telah tiba dari arah sana dan siang pergi dari arah sana, maka orang yang berpuasa boleh berbuka.” (HR Al-Bukhari. Al-Fath, no. 1954)
  • Sunnahnya adalah segera berbuka. Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam biasanya tidak shalat Maghrib sehingga berbuka terlebih dahulu sekalipun hanya dengan menelan seteguk air
    (HR Al-Hakim, 1/432. As-Silsilah Ash-Shahihah no. 2110)
  • Kalau orang yang akan berbuka tidak mendapatkan sesuatu untuk ifthar (membatalkan), maka cukup dengan berniat ifthar di dalam hatinya
  • Hendaknya selalu waspada agar tidak berbuka sebelum waktunya

Pembatal Puasa

  • Semua hal yang membatalkan puasa selain haidh dan nifas tidak menjadikan puasa Seseorang batal kecuali ada tiga syarat, yaitu:
    • Orang itu mengerti bukan orang jahil
    • Ingat dan tidak lupa
    • Pilihannya sendiri bukan karena terpaksa atau dipaksa
  • Kategori pengeluaran, di antaranya:
    • Jima’ (persetubuhan)
    • Muntah dengan sengaja
    • Haidh
    • Berbekam
  • Kategori pengisian perut di antaranya:
    • Makan
    • Minum
    • Semakna dengan) makan dan minum, seperti obat-obatan atau pil yang ditelan lewat tenggorokan atau diinfus demikian pula transfusi darah
  • Orang yang makan atau minum secara sengaja di siang Ramadhan tanpa uzur, maka ia telah melakukan salah satu dosa besar, maka ia wajib:
    • bertaubat
    • mengganti puasanya
  • Orang yang harus berbuka karena harus menyelamatkan seseorang dari kebinasaan, maka ia boleh berbuka dan nanti harus menggantinya
    • seperti harus menyelamatkan orang yang tenggelam dan memadamkan kebakaran
  • Orang yang jima’ di bulan Ramadhan wajib:
    • Bertaubat
    • Menyempurnakan puasa pada hari itu
    • Mengganti puasa pada hari itu di kemudian hari
    • Membayar kaffarat, dengan salah satu di bawah ini:
      • Membebaskan budak
      • Berpuasa 2 bulan berturut-turut
      • Memberi makan 60 orang miskin
  • Hukumnya sama untuk orang yang berbuat zina, homoseks, dan menyetubuhi binatang
  • Orang yang melakukan pengeluaran mani di siang Ramadhan wajib:
    • Bertaubat
    • Menyempurnakan puasa pada hari itu
    • mengqadha’ puasa hari itu di kemudian hari
  • Merokok juga termasuk yang membatalkan puasa, dan bukan alasan untuk meninggalkan puasa karena merokok
  • Berbuka dengan dugaan bahwa matahari telah terbenam, padahal belum, maka ia wajib mengganti puasanya (menurut jumhur ulama)

Yang Tidak Membatalkan Puasa

  • Gas oksigen
  • Pengambilan darah untuk kepentingan pemeriksaan juga tidak membatalkan, bahkan dimaafkan, karena merupakan hal yang dibutuhkan
    (Fatawa Ad-Da’wah, Ibnu Baz, no. 979)
  • Obat kumur (selagi tidak ditelan)
  • Sesuatu yang dimasukkan ke lobang gigi, lalu rasa benda itu ada di tenggorokan
  • Mencuci telinga, memasukkan tetesan ke dalam hidung, atau oksigen yang dimasukkan melalui hidung, apabila bagian yang masuk tenggorokan tidak ditelan
  • Obat yang diletakkan di bawah lidah untuk pengobatan sariawan atau lainnya, selama dihindari masuk ke dalam tenggorokan
  • Memasukkan alat perekam ke lubang kemaluan, atau jari untuk pemeriksaan
    (Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah, 10/172)
  • Memasukkan alat pelihat, spiral atau yang serupa dengannya ke dalam rahim
  • Benda yang dimasukkan ke lobang air seni – maksudnya: pipa yang dimasukkan ke lubang tempat aliran air seni pada zakar atau vagina, benda yang dihubungkan dengan sinar atau obat, atau tempat untuk membersihkan wadah air seni
  • Melubangi, mencabut atau membersihkan gigi, asal dihindari tertelannya sesuatu ke dalam tenggorokan
  • Kumur-kumur dan oksigen buatan yang dilakukan di mulut asal dihindari tertelannya sesuatu ke dalam tenggorokan
  • Injeksi/suntikan pengobatan di tubuh, pada otot atau pembuluh darah, selain infus pengganti makanan
  • Gas pembius yang tidak diberi bahan cair sebagai suplemen
  • Benda-benda yang diserap kulit, seperti bahan cair, minyak angin atau benda tempelan lainnya yang mengandung bahan medis atau kimia
  • Memasukkan selang (pipa kecil) ke urat-urat untuk kepentingan pemotretan, pengobatan rongga jantung atau anggota badan lainnya
  • Memasukkan alat untuk melihat yang dimasukkan ke bagian luar lambung untuk pemeriksaan atau operasi medis
  • Mengambil bintik, benjolan yang ada di dalam hati atau lainnya selagi tidak dibarengi dengan bahan cair sebagai suplemen
  • Alat yang digunakan untuk melihat pencernaan bila dimasukkan tidak dibarengi dengan bahan-bahan suplemen atau benda lainnya
  • Masuknya alat atau benda medis ke otak atau sumsum
  • Hendaknya seorang dokter muslim selalu memberi nasihat kepada pasien untuk menunda hal-hal yang tersebut di atas, yang tidak berbahaya jika ditunda, sampai waktu berbuka tiba, karena hal yang demikian itu lebih berhat-hati
    (Qararat Majma’ Al-Fiqh Al-Islami, h. 213)
  • Mencium, bercumbu, bersentuh tubuh dengan istri, berpelukan dan memandang istri berulang-ulang itu boleh, selagi dapat mengendalikan nafsunya
  • Masuk ke waktu Shubuh dalam keadaan janabat (junub)
  • Orang yang sedang berpuasa tidur di siang hari lalu bermimpi hingga keluar sperma
  • Keluarnya madzi atau wadi tanpa ada rasa nikmat
  • Mimisan (hidung berdarah)
  • Setelah air kumur dibuang dari mulut, maka basah atau lembab yang tersisa di mulut itu tidak merusak puasa
  • Menghirup uap air, sebagaimana dilakukan oleh buruh (pekerja) di tempat-tempat penyulingan air tidak membatalkan puasa. (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 10/276)
  • Makruh mencium aroma makanan tanpa keperluan mendesak
  • Mengunyah makanan untuk bayi, kalau hal itu terpaksa harus dilakukan oleh sang ibu
  • Mencicipi rasa makanan untuk diketahui sedap atau tidaknya
  • Saat membeli sesuatu dengan terpaksa harus dicicipi
  • Bersiwak (gosok gigi dengan siwak) adalah sunnah dilakukan sepanjang hari oleh orang yang sedang berpuasa, sekalipun siwaknya lembab
  • Kalau seseorang mengumpulkan air liurnya di mulut lalu ia telan dengan sengaja, maka puasanya juga tidak batal (menurut pendapat yang lebih shahih)
    (Al-Mughni, Ibnu Quddamah, 3/106)
  • Menyiramkan air di kepalanya karena kepanasan atau kehausan
  • Makan atau minum atau melakukan jima’ dengan dugaan masih malam, namun kemudian ternyata fajar telah terbit

Beberapa Hukum Berkaitan dengan Puasa Bagi Wanita

  • Wanita haidh, apabila telah melihat cairan kental putih -yaitu cairan yang keluar dari rahim setelah masa haidh selesai- yang diketahui oleh setiap wanita sebagai tanda haidh sudah bersih, maka ia berniat puasa semenjak malam hari
  • Wanita haidh atau nifas yang darahnya berhenti (suci) di malam hari Ramadhan, lalu ia berniat puasa, kemudian fajar terbit sebelum ia mandi, maka menurut seluruh ulama sah puasanya
  • Wanita yang telah mengetahui kebiasaan waktu datang haidhnya di esok hari, maka ia tetap berpuasa dan tidak boleh membatalkan sebelum melihat adanya darah
  • Darah istihadhah (pendarahan pada rahim) tidak mempengaruhi sahnya puasa
  • Wanita hamil dan menyusui, diqiyaskan kepada orang sakit; ia boleh berbuka dan kewajibannya hanyalah qadha’
  • Apabila seorang wanita hamil menggugurkan janin yang telah berbentuk manusia atau sudah mulai berbentuk, seperti sudah berkepala atau sudah ada tangannya, maka darahnya adalah darah nifas
  • Tetapi apabila janin itu masih berupa gumpalan darah atau daging dan belum berbentuk manusia maka darahnya adalah darah istihadhah dan ia wajib berpuasa bila mampu, dan jika tidak, maka boleh berbuka tetapi wajib meng-qadha’
    (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 10/224)

Check Also

Do’a Akhir Tahun

Hukum Doa Akhir Tahun   Pertanyaan: بسم الله الرحمن الرحيم وصلى الله على سيدنا محمد …