Home » Hadits » FAIDAH MENGETAHUI TAHUN KELAHIRAN DAN WAFATNYA PERAWI

FAIDAH MENGETAHUI TAHUN KELAHIRAN DAN WAFATNYA PERAWI

Salah satu hal yang penting untuk dipelajari dalam ilmu hadits adalah pengetahuan tentang waktu kelahiran perawi hadits dan waktu meninggalnya. Karena dengan mengetahui hal itu akan diketahui tersambung atau terputus sebuah sanad (rangkaian riwayat hadits), dan akan diketahui pula siapa perawi yang jujur dan pendusta. Hal itu seperti Abu Hudzaifah al-Bukhari yang mengaku bertemu dengan ‘Abdullah bin Thawus rahimahullah, maka Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata:”Tanyalah dia , kapan dia lahir?” Ternyata dia dilahirkan dua tahun setelah meninggalnya ‘Abdullah bin Thawus rahimahullah.

Maka pengetahuan kita mengenai waktu kelahiran perawi dan waktu kematiannya kita akan mengetahui kalau perawi ini adalah seorang pendusta, karena dia mengaku mendengar hadits dari seseorang yang telah meninggal dua tahun sebelum dia dilahirkan. Dan ini adalah salah satu manfaat dari mengetahui waktu kelahiran dan kematian perawi.

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah telah menegaskan akan keharusan bagi seorang ahli hadits untuk mengetahui hal ini semua, maksudnya bukan keharusan dia untuk menghafalnya dengan hafalan di luar kepala, akan tetapi tidak diragukan lagi bahwa semakin hafal, mutqin dan kuat hafalan tersebut maka semakin mudah baginya pekerjaan ini (mengetahui perawi yang jujur dan tidak-ed). Maka dengan hanya melihat sanad saja dia akan mengetahui sejauh mana keshahihan dan kedha’ifan sanad tersebut.

Akan tetapi apabila dia tidak menghafalnya, maka minimal dia mengetahui tentang permasalahan ini (bisa mencari tahu waktu kelahiran dan kematian perawi-ed), lalu dia mengetahui bagaimana cara meneliti sebuah sanad dan membedakan yang shahih dari yang dha’if (lemah).

Dan di sini mungkin timbul pertanyaan, yaitu apabila seorang Imam (ahli hadits) menetapkan/memasukan seorang perawi dalam suatu thabaqat (peringkat) sementara Imam yang lain menetapkan/memasukannya dalam suatu thabaqat (peringkat) yang berbeda, maka perbedaan pendapat kedua Imam ini dalam hal menetapkan thabaqat perawi ini, bukankah akan menyebabkan perbedaan pula dalam hal menilai sebuah sanad yang di dalamnya ada perawi tersebut, bisa jadi sanad ini menurut Imam yang satu adalah sanad yang mutashil (bersambung) sedangkan menurut Imam yang lain sanadnya adalah munqathi’ (terputus)?

Maka jawabnya adalah: Bahwa hal ini tidak terjadi. Karena, apabila engkau hendak mencarinya (kelahiran dan kematian seorang perawi) dalam sebuah kitab, maka carilah berdasarkan istilah penulis kitab tersebut, niscaya engkau akan dapati misalnya bahwa perawi ini yang disifati oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam thabaqat kesepuluh meriwayatkan dari seorang perawi yang ditempatkan oleh al-Hafizh rahimahullah pada thabaqat kedelapan, yang mana seorang perawi yang berada pada thabaqat kesepuluh dimungkinkan mendengar hadits dari perawi yang berada pada thabaqat kedelapan.

Akan tetapi kalau engkau melihat kitab karya Imam adz-Dzahabi, ternyata beliau menempatkan perawi yang berada pada thabaqat kesepuluh ini (menurut Ibnu Hajar) berada pada thabaqat keduapuluh dan yang berada pada thabaqat kedelapan (menurut Ibnu Hajar) ditempatkan pada thabaqat keenambelas.

Maka dilihat apakah mungkin perawi yang berada pada thabaqat keduapuluh bisa mendengar hadits dari perawi yang berada pada thabaqat keenambelas? Maka kita katakan:”Bisa sesuai dengan istilah Imam adz-Dzahabi rahimahullah, dan berdasarkan apa yang kita ketahui dari perbedaan tahun di antara satu thabaqat dengan thabaqat yang lain.”

Akan tetapi kalau engkau mencampuradukan kedua kitab tersebut, lalu engkau engkau meneliti perawi yang disebutkan oleh al-Hafizh adz-Dzahabi rahimahullah berada pada thabaqat keduapuluh dan engkau membawanya kepada perawi lain yang ditempatkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah pada thabaqat yang keduabelas misalnya, maka di sini akan terjadi kesalahan, karena engkau mencampuradukan dua metode yang berbeda. Oleh sebab itu wajib bagimu untuk mengikuti dan berpegang teguh dengan metode dan langkah setiap penulis dalam kitabnya.

(Sumber: Fataawaa Hadiitsiyyah jilid 1 oleh Syaikh Sa’d bin ‘Abdullah al-Humaid, hal 24-25. Diposting oleh Abu Yusuf Sujono)

http://www.alsofwah.or.id/?pilih=lihathadits&id=242

Check Also

Berapa Jumlah Syarah Shahih al Bukhari?

Kita semua mengetahui bahwa Shahih Bukhari merupakan kitab hadits yang mendapatkan perhatian sangat luas dari …