Tuntunan Berwudlu
1. Tata Cara Berwudhu’
Dari Humran bekas budak Utsman, bahwa bin Affan r.a. meminta air wudhu’. (Setelah dibawakan), ia berwudhu’, ia mencuci kedua telapak tangannya tiga kali, kemudian berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidungnya, kemudian mencuci wajahnya tiga kali, lalu membasuh tangan kanannya sampai siku tiga kali, kemudian membasuh tangannya yang kiri tiga kali seperti itu juga, kemudian mengusap kepalanya lalu membasuh kakinya yang kanan sampai kedua mata kakinya tiga kali kemudian membasuh yang kiri seperti itu juga. Kemudian mengatakan, “Saya melihat Rasulullah saw. (biasa) berwudhu’ seperti wudhu’ku ini lalu Rasulullah bersabda, “Barang siapa berwudhu’ seperti wudhu’ku ini kemudian berdiri dan ruku’ dua kali dengan sikap tulus ikhlas, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” Ibnu Syihab berkata, “Adalah ulama-ulama kita menegaskan, ini adalah cara wudhu’ yang paling sempurna yang (seyogyanya) dipraktikkan setiap orang untuk shalat.” (Muttafaq ‘alaih : Muslim I:204 no:226, dan ini redaksinya, Fathul Bahri I:266 no:164, ‘Aunul Ma’bud I:180 no:106 dan Nasa’i I:64).
2. Syarat-Syarat Sahnya Wudhu’
1. Niat, berdasar sabda Nabi saw., “Sesungguhnya segala amal hanyalah bergantung pada niatnya.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari, I:9 no:1, Muslim III:1515 no:1907, Aunul Ma’bud VI:284 no:2186, Tirmidzi III: 100 no:169, Ibnu Majah II:1413 no:4227, Nasa’i I:59). Tidak pernah disyariatkan melafadzkan niat karena tidak ada dalil yang shahih dari Nabi saw. yang menganjurkannya.
2. Mengucapkan basmalah, karena ada hadits Nabi saw., “ Tidak sah shalat bagi orang yang tidak berwudhu’ (sebelumnya) dan tidak sah wudhu’ bagi orang yang tidak menyebut, Bismillah” (sebelumnya).” (Hadits hasan: Shahihu Ibnu Majah no: 320 ‘Aunul Ma’bud I:174 no:101 dan Ibnu Majah I:140 no:399).
(Di samping itu, ada dua riwayat lain yang menerangkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tawadhdha-uu-bibismillahi (Berwudhu’lah dengan (menyebut) nama Allah,” Lihat Nasai’i, kitab thaharah no: 61 bab : mengucapkan basmallah ketika akan berwudhu’, dan Musnad Imam Ahmad III:165 (pent.))
3.Muwalah (Berturut-turut) tidak diselingi oleh pekerjaan lain, berdasarkan hadits Khalid bin Ma’dan, “Bahwa Nabi saw. pernah melihat seorang laki-laki tengah mengerjakan shalat, sedang di punggung kakinya dan sebesar uang dirham yang tidak tersentuh air wudhu’, maka Nabi saw. menyuruhnya agar mengualngi wudhu’ dan shalatnya.” (Shahih: Shahih Abu Daud no: 161 dan ‘Aunul Ma’bud I: 296 no:173).
3. Hal-Hal yang Fardhu/Najis dalam Wudhu’
1. Membasuh wajah termasuk berkumur-kumur dan membersihkan hidung.
2. Mencuci kedua tangan sampai kedua siku-siku. (Dalam Al Umm I:25 Syafil menegaskan ”Selamanya tidak dianggap cukup membasuh kedua tangan kecuali dengan membasuh tangan dan punggungnya secara keseluruhan sampai ke siku-siku. Jika ada bagian darinya yang tertinggal walaupun kecil sekali, maka dianggap tidak sah membasuh tangannya. Selesai”)
3. Mengusap seluruh kepala, dan kedua telinga termasuk bagian dari kepala.
4. Membasuh kedua kaki hingga kedua mata kaki, hal ini sesuai dengan firman Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku dan usaplah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kakimu.” (Al-Maaidah : 6).
Adapun berkumur-kumur dan istinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung) termasuk bagian dari muka sehingga wajib dilakukan karena Allah Ta’ala telah memerintahkan di dalam kitab-Nya yang mulia membasuh muka. Di samping itu, telah sah dari Nabi saw., beliau terus menerus melakukan kumur dan istinsyaq setiap kali berwudhu’.
Sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh seluruh sahabatnya yang meriwayatkan dan menerangkan tata cara wudhu’ Nabi saw., sehingga secara keseluruhan itu menunjukkan bahwa membasuh wajah yang diperintahkan di dalam al-Qur’an meliputi berkumur-kumur dan istinsyaq (as-Sailal Jarrar I:81)
Lagi pula ada sabda Nabi saw. yang memerintah berikumur-kumur dan istinsyaq memasukkan air ke dalam hidung.
”Apabila seorang di antara kamu berwudhu’, maka masukkanlah air ke dalam hidungnya, lalu keluarkanlah!” (Shahih : Shahihul Jami’us Shaghir no:443, ‘Aunul Ma’bud I:234 no:140 dan Nasa’i I:66).
Dan sabda beliau saw. yang lain, ”Bersungguh-sungguhlah dalam melakukan istinsyaq, kecuali sedang berpuasa.” (Shahih: Shahih Abu Daud no:129 dan 131, Aunul Ma’bud I:236 no: 142 dan 144).
Dalam hadits yang lain, beliau saw. bersabda juga, ”Apabila kamu berwudhu’, maka hendaklah berkumur-kumur.” (Shahih: sama dengan di atas).
Adapun tentang wajibnya mengusap seluruh kepala, yaitu karena perintah mengusap kepala di dalam Al-Qur’an bersifat mujmal (global), maka bayan (penjelasannya) dikembalikan kepada sunnah Nabi saw.. Sudah tegas dalam riwayat Bukhari, Muslim dan selain keduanya bahwa Nabi saw. mengusap seluruh kepalanya. Dan dalam hal ini terdapat dalil yang tegas yang menunjukkan wajibnya mengusap seluruh kepala secara sempurna.
Jika ada yang berpendapat, bahwa ada riwayat yang shahih dari al-Mughirah, bahwa Nabi saw. pernah mengusap ubun-ubunnya dan di atas surbannya?
Maka jawabannya: Rasulullah saw. mencukupkan mengusap di atas ubun-ubunnya, karena beliau menyempurnakan dengan mengusap sisa kepalanya di atas surbannya. Dan, penulis berpendapat demikian dan di dalam riwayat al-Mughirah tersebut tidak terdapat syarat yang menunjukkan bolehnya mengusap hanya di atas ubun-ubun saja atau sebagian kepala saja tanpa menyempurnakan di atas surbannya. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir II:24 dengan sedikit perubahan redaksi).
Walhasil, wajib mengusap seluruh kepala. Pengusap kepala jika mau boleh, mengusap di atas kepala saja atau di atas surban saja atau di atas kepala dan dilanjutkan di atas surban, ketiga cara tersebut shahih dan kuat (pernah dilakukan oleh Nabi saw.)
Adapun perihal dua telinga termasuk bagian dari kepala sehingga wajib pula diusap berdasarkan pada sabda Nabi saw., ”Dua telinga itu termasuk kepala.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 357 dan Ibnu Majah I:152 no:443).
5. Menyela-nyelakan air pada jenggot
Dari Anas bin Malik r.a. bahwa Rasulullah saw. apabila berwudhu’, mengambil segenggam air, lalu memasukkannya ke belakang dagu, kemudian menyela-nyelakannya di antara jenggotnya, seraya bersabda, ”Beginilah yang Rabbku ‘Azza wa Jalla Perintahkan kepadaku.” (Shahih: Irwa’ul Ghalil no: 92. ‘Aunul Ma’bud I: 243 no:45, dan Baihaqi I:54).
6. Menyela-nyelakan air pada jari-jemari tangan dan kaki
Sebagaimana yang ditegaskan bahwa Rasulullah saw. bersabda, ”Sempurnakanlah wudhu’ dan sela-selakanlah (air) di antara jari-jemari dan bersungguh-sungguhlah dalam melakukan instinsyaq kecuali kamu dalam keadaan puasa.” (Shahih: Shahih Abu Daud no:129 dan 131 dan ‘Aunul Ma’bud I: 236 no:142 dan 144).
4. Sunnah-Sunnah Wudhu’ (Hal-Hal yang Disunahkan Ketika Berwudhu’)
1. Siwak, sebagaimana yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, ”Kalaulah sekiranya aku tidak (khawatir) akan memberatkan umatku, niscaya kuperintahkan mereka bersiwak setiap kali wudhu.” (Shahih: Shahihul Jammi no:5316 dan al-Fathur Rabbani I:294 no:171).
2. Mencuci kedua telapak tangan tiga kali pada awal wudhu’, sebagaimana yang telah diriwayatkan dari Utsman bin Affan r.a. yang mengisahkan wudhu’ Nabi saw. di mana dia membasuh kedua telapak tangannya tiga kali. (Lihat masalah tata cara Wudhu’ pada halaman sebelumnya).
3. Kumur-kumur dan instinsyaq sekali jalan, tiga kali:
”Dari Abdullah bin Zaid r.a. tentang dia mengajarkan (tata cara) wudhu’ Rasulullah saw., di mana dia berkumur-kumur dan instisyaq dari satu telapak tangan. Dia berbuat demikian (sebanyak) tiga kali.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no:125, dan Muslim I:210 no:235).
4. Bersungguh-sungguh dalam berkumur-kumur dan istinsyaq: kecuali bagi orang yang berpuasa, berdasarkan hadits Nabi saw., ”Bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq, kecuali kamu dalam keadaan berpuasa.” (Shahih: Shahih Abu Daud no:129 dan 131, ‘Aunul Ma’bud I:236 no:142 dan 144).
5. Mendahulukan anggota wudhu’ yang kanan daripada yang kiri karena ada hadits Aisyah r.a. yang mengatakan, ”Adalah Rasulullah saw. mencintai mendahulukan anggota yang kanan dalam hal mengenakan alas kaki, menyisir, bersuci dan dalam seluruh ihwahnya.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari I: 269 no:168, Muslim I: 226 no:268, Nasa’i I:78).
Di samping itu hadits Utsman yang menceritakan tata cara wudhu’ Nabi saw. di mana dia membasuh anggota yang kanan, lalu yang kiri.
6. Menggosok, karena ada hadits Abdullah bin Zaid yang mengatakan, ”Bahwa Nabi saw. pernah dibawakan dua sepertiga mud (air), kemudian beliau berwudhu’, maka beliapun menggosok kedua hastanya.” (Sanadnya shahih: Shahih Ibnu Khuzaimah I:62 no:118).
7. Membasuh tiga kali, tiga kali, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Utsman bin Affan ra (pada awal pembahasan wudhu’) bahwa Nabi SAW berwudhu’ tiga kali, namun ada juga riwayat yang sah yang menyatakan, ”Bahwa Nabi saw. pernah berwudhu’ satu kali satu dan kali dua kali dua kali.” (Hasan shahih: Shahih Abu Daud no:124, Fathul Bari I:258 no:158 dari hadits Abdullah bin Zaid ‘Aunul Ma’bud I:230 no:136, Tirmidzi I:31 no:43 dari hadits Abu Hurairah).
Dianjurkan pula kadang-kadang mengusap kepala lebih dari sekali (tiga kali) karena ada riwayat, dari Utsman bin Affan r.a. bahwa ia pernah mengusap kepadanya tiga kali seraya berkata, ”Saya pernah melihat Rasulullah saw. berwudhu’ (dengan mengusap kepala) begini.” (Hasan Shahih: Shahih Abu Dawud no:101 dan ‘Aunul Ma’bud I:188 no:110).
8. Tertib, karena kebanyakan cara wudhu’ Rasulullah saw. selalu dengan tertib sebagaimana yang telah disampaikan sejumlah sahabat yang meriwayatkan wudhu’ beliau saw. Akan tetapi, ada riwayat yang sah dari al-Miqdam bin Ma’dikariba ia berkata :
”Bahwa Rasulullah saw. pernah dibawakan air wudhu’, lalu beliau berwudhu’ membasuh kedua telapak tangannya tiga kali dan membasuh wajahnya tiga kali, kemudian membasuh kedua hastanya tiga kali, kemudian berkumur-kumur dan mengeluarkan air yang telah dimasukkan ke dalam hidung tiga kali, kemudian mengusap kepalanya dan dua telinganya.” (Shahih: Shahih Abu Daud no:112 dan ‘Aunul Ma’bud I:211 no:121).
9. Berdo’a sesudah wudhu’. Sebagaimana yang dijelaskan dalam sabda Nabi saw. ”Tak seorangpun di antara kalian yang berwudhu’ dengan sempurna, lalu mengucapkan (do’a) ”Asyhadu allaa ilaaha illallahu wahdahu laa syariika lah, wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhu wa rasuuluh (Aku bersaksi bahwa tiada Ilah (yang patut diibadahi) keuali Allah semata tiada sekutu bagi-Nya; dan aku bersaksi, bahwa Muhammad hamba dan Rasul-Nya).” melainkan pasti dibukalah baginya pintu-pintu surga yang delapan, ia boleh masuk dari pintu mana saja yang dikehendakinya.” (Shahih: Mukhtasharu Muslim No: 143 Muslim 1:209 no:234).
Kemudian Imam Tirmidzi menambahkan, ”Allahummaj’alni minat tawwaabiina waj’ani minal mutathahiriin (Ya, Allah, jadikahlah kami termasuk orang-orang yang tekun bertaubat dan jadikahlah kami termasuk orang-orang yang rajin bersuci).” (Shahih: Shahih Tirmidzi no:48 dan Tirmidzi I:38 no:55)
10. Dan dari Abu Sa’id al-Khudri bahwasannya Nabi bersabda, ”Barang siapa berwudhu’ lalu membaca, ”Maha Suci Engkau ya Allah dan segala puji bagi-Mu aku bersaksi bahwasannya tiada sesembahan yang sebenarnya kecuali Engkau, aku mohon ampunan dan bertaubat pada-Mu”, niscaya dicatat pada sebuah lembaran kemudian dicetak dengan sebuah cetakan lalu tidak dipecahkan hingga hari kiamat.” (Hadits Shahih, lihat at-Targhib no.220, al-Hakim I/564, dan tidak akan ada hadits shahih mengenai do’a (bacaan-bacaan) ketika sedang berwudhu’)
11. Shalat dua raka’at sesudah wudhu’
Hal ini didasakan pada pernyataan Utsman bin Affan r.a. sesudah mengajar sahabat yang lain tentang wudhu’nya Nabi saw., “Aku pernah melihat Nabi saw. berwudhu’ seperti wudhu’ku ini, seraya bersabda, ”Barangsiapa yang berwudhu’ seperti wudhu’ku ini, kemudian berdiri lalu ruku’ dua raka’at dengan ikhlas dan khusyu’ diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu.” (Muttafaqun ‘alaih 1:204 no:226, dan Lafadzh baginya Fathul Bari I:226 no:164, ‘Aunul Ma’bud I:180 no:106, Nasa’i I:64).
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bertanya kepada Bilal usai shalat shubuh, ”Ya, Bilal, beritahukan kepadaku suatu amal yang paling memberi harapan yang engkau kerjakan dalam Islam; karena sesungguhnya aku mendengar suara kedua alas kakimu di hadapanku di surga?” Jawabnya, ”Tidak ada amalan yang lebih kuhurapkan (kecuali) bahwa setiap kali aku selesai bersuci baik pada waktu malam ataupun siang pasti aku selalu shalat seberapa kemampuanku untuk shalat.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari III: 34 no:1149 dan Muslim IV:1910 no:2458).
5. Hal-Hal yang Membatalkan Wudhu’
1. Apa saja yang keluar dari kemaluan dan dubur, berupa kencing, berak, atau kentut. Allah SWT berfirman yang artinya, “Atau kembali dari tempat buang air.” (Al-Maidah:6)
Rasulullah saw. bersabda, “Allah tidak akan menerima shalat seorang di antara kamu yang berhadas sampai ia berwudhu’ (sebelumnya).” Maka, seorang sahabat dari negeri Hadramaut bertanya. “Apa yang dimaksud hadas itu wahai Abu Hurairah?” Jawabnya, “Kentut lirih maupun kentut keras.” (Muttafaqun ‘alaih Fathul Bari I: 234, Baihaqi I:117, Fathur Robbani, Ahmad II:75 no:352) Dan hadits ini menurut sebagian mukharrij selain yang disebut di atas tidak ada tambahan (tentang pernyataan orang dari Hadramaut itu), Muslim I:204 no:225, ‘Aunul Ma’bud I:87 no:60, dan Tirmidzi I: 150 no:76.
“Dari Ibnu Abbas r.a., ia berkata, “Mani, wadi dan madzi (termasuk hadas). Adapun mani, cara bersuci darinya harus dengan mandi besar. Adapun madi dan madzi,” maka dia berkata, “cucilah dzakarmu, kemaluanmu, kemudian berwudhu’lah sebagaimana kamu berwudhu’ untuk shalat!” (Shahih: Shahih Abu Daud no:190, dan Baihaqi I:115).
2. Tidur pulas sampai tidak tersisa sedikitpun kesadarannya, baik dalam keadaan duduk yang mantap di atas ataupun tidak. Karena ada hadits Shafwan bin Assal, ia berkata, “Adalah Rasulullah saw. pernah menyuruh kami, apabila kami melakukan safar agar tidak melepaskan khuf kami (selama) tiga hari tiga malam, kecuali karena janabat, akan tetapi (kalau) karena buang air besar atau kecil ataupun karena tidur (pulas maka cukup berwudhu’).” (Hasan: Shahih Nasa’i no:123 Nasa’i I:84 dan Tirmidzi I:65 no:69).
Pada hadits ini Nabi saw. menyamakan antara tidur nyenyak dengan kencing dan berak (sebagai pembatal wudhu’).
“Dari Ali r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Mata adalah pengawas dubur-dubur; maka barangsiapa yang tidur (nyenyak), hendaklah berwudhu’.” (Hasan: Shahih Ibnu Majah no:386. Ibnu Majah I:161 no:477 dan ‘Aunul Ma’bud I:347 no:200 dengan redaksi sedikit berlainan).
Yang dimaksud kata al-wika’ ialah benang atau tali yang digunakan untuk menggantung peta.
Sedangkan kata “as-sah” artinya : “dubur” Maksudnya ialah “yaqzhah” (jaga, tidak tidur) adalah penjaga apa yang bisa keluar dari dubur, karena selama mata terbuka maka pasti yang bersangkutan merasakan apa yang keluar dari duburnya. (Periksa Nailul Authar I:242).
3. Hilangnya kesadaran akal karena mabuk atau sakit. Karena kacaunya pikiran disebabkan dua hal ini jauh lebih berat daripada hilangnya kesadaran karena tidur nyenyak.
4. Memegang kemaluan tanpa alas karena dorongan syahwat, berdasarkan sabda Nabi saw., “Barangsiapa yang memegang kemaluannya, maka hendaklah berwudhu’.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no:388, ‘Aunul Ma’bud I:507 no:179, Ibnu Majah I:163 no:483, ‘Aunul Ma’bud I:312 no:180 Nasa’i I:101, Tirmidzi I:56 no:56 no:85).
Betul, ia memang bagian dari anggota badanmu, bila sentuhan tidak diiringi dengan gejolak syahwat, karena sentuhan model seperti ini sangat memungkinkan disamakan dengan menyentuh anggota badan yang lain. Ini jelas berbeda jauh dengan menyentuh kemaluan karena termotivasi oleh gejolak syahwat. Sentuhan seperti ini sama sekali tidak bisa diserupakan dengan menyentuh anggota tubuh yang lain karena menyentuh anggota badan yang tidak didorong oleh syahwat dan ini adalah sesuatu yang amat sangat jelas, sebagaimana yang pembaca lihat sendiri (Tamamul Minnah hal:103).
5. Makan daging unta sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bara’ bin ‘Azib ra ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, “Berwudhu’lah disebabkan (makan) daging unta, namun jangan berwudhu’ disebabkan (makan) daging kambing!” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no:401, Ibnu Majah I:166 no:494, Tirmidzi I:54 no:81, ‘Aunul Ma’bud I:315 no:182).
Dari Jabir bin Samurah r.a. bahwa ada seorang sahabat bertanya kepada Nabi saw. apakah saya harus berwudhu’ (lagi) disebabkan (makan) daging kambing? Jawab Beliau, “Jika dirimu mau, silakan berwudhu’; jika tidak jangan berwudhu’ (lagi).” Dia bertanya (lagi) “Apakah saya harus berwudhu’ (lagi) disebabkan (makan) daging unta?” Jawab Beliau, “Ya berwudhu’lah karena (selesai makan) daging unta!” (Shahih Mukhtashar Muslim no:146 dan Muslim I:275 no:360).
6. Hal-Hal yang Karenanya Diwajibkan Berwudhu’
1. Shalat, karena Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang berfirman, apabila kamu berdiri hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah muka-muka kamu.” (Al-Maaidah: 6).
Di samping itu, Rasulullah saw. bersabda, “Allah tidak akan menerima, shalat (yang dilakukan) tanpa bersuci (sebelumnya).” (Shahih: Mukhtashar Muslim no:104, Muslim 1:204 no:224 dan Tirmidzi 1:3 no:1).
2.Thawaf di Baitullah, berdasarkan sabda Nabi saw., “Thawaf di Baitullah adalah shalat, hanya saja Allah membolehkan berbicara.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no:3954 dan Tirmidzi II:217 no:967).
7. Hal-Hal yang di dalamnya (Kita) Dianjurkan Berwudhu’
1. Berdzikir kepada Allah SWT, sebagaimana yang dijelaskan dalam riwayat, dari al-Muhajir bin Qunfudz bahwa ia pernah mengucapkan salam kepada Nabi saw. pada waktu beliau sedang berwudhu’, maka beliau tidak menjawabnya sebelum selesai berwudhu’ (selesai berwudhu’). Beliau menjawabnya seraya bersabda, “Sesungguhnya tiada yang menghalangiku untuk menjawab salammu, karena aku tidak ingin menyebut (nama) Allah kecuali dalam keadaan suci.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no:280, Ibnu Majah I:126 no:350. ‘Aunul Ma’bud I:34 no:17, Nasa’i I:37 namun bagi Imam Nasa’i tidak ada yang marfu’).
2. Hendak Tidur, sebagaimana yang dijelaskan dalam riwayat al-Bara’ bin ‘Azib r.a., ia berkata, nabi saw. bersabda, “Apabila kamu hendak tidur maka berwudhu’lah seperti wudhu’ mu untuk shalat, kemudian berbaringlah di atas lambungmu yang kanan lalu ucapkanlah allaahumma aslamtu nafsii ilaika wawajjahtu wajhi ilaika, wa fawadhtu amrii ilaika, a aljaktu zhahri iiaika, raghbatan wa rahbatan ilaika, laa mal ja-a wa laa manjaa minka ilaa ilaika; allahumma aamantu bikitabikal ladzii andzalta wanabiyyika ladzii arslata (Ya Allah kuserahkan diriku kepada-Mu, kuhadapkan wajahku kepada-Mu kupasrahkan seluruh urusanku kepada-Mu kusandarkan punggungku kepada-Mu karena cinta dan takut kepada-Mu tiada tempat bersandar dan tiada (pula) tempat berlari dari Mu kecuali kepada Mu (jua); ya Allah aku beriman kepada kitab-Mu yang telah Engkau turunkan dan kepada Nabi-Mu yang telah Engkau utus). Maka, jika kamu meninggal dunia pada malam itu niscaya kamu (meninggal) dalam keadaan fitrah, dan jadikahlah do’a ini sebagai penutup perkataanmu.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari XI:109 no:6311 dan Muslim IV:2081 no:2710).
3. Orang yang junub, bila hendak makan, minum, tidur, atau hendak mengulangi jima’: Dari Aisyah ra ia berkata, “Adalah Nabi saw. apabila junub, lalu bermaksud hendak makan atau hendak tidur, beliau berwudhu’ seperti wudhu’ untuk shalat.” (Shahih: Mukhtasharu Muslim no:162, Muslim I:248 no:22 dan 305, Nasa’i I:138, dan ‘Aunul Ma’bud I:374 no:221).
“Dari Ammar bin Yasir r.a. bahwa Nabi saw. telah memberi rukhshah kepada orang yang junub bila ingin makan atau minum atau ingin tidur agar berwudhu’ sebagaimana wudhu’ untuk shalat.” (Shahih: Aunul Ma’bud I: 375 no:222). Dari Abu Said r.a. dari Nabi saw. beliau bersabda, “Apabila seorang di antara kamu telah selesai berkumpul dengan istrinya, lalu hendak mengulangi, maka hendaklah berwudhu (sebelumnya).” (Shahih: Shahihul Jami’ush Shaghir no:263. Muslim I:249 no:308 ‘Aunul Ma’bud 1:371 no: 217,9 Tirmidzi 1:94 no:141 Nasa’i 142, dan Ibnu Majah 1:193 no: 587.)
4. Sebelum mandi wajib atau mandi sunnah: Dari Aisyah r.a. ia berkata, “Adalah Rasulullah saw. apabila mandi janabat, beliau memulai dengan membasuh kedua tangannya kemudian menuangkan (air) dengan tangan kanannya ke atas tangan kirinya, lalu membersihkan kemaluannya. Kemudian berwudhu’ seperti wudhu’ untuk shalat.” (Shahih: Mukhtasar Muslim no:155 dan Muslim 1:253 no:316).
5. Makan sesuatu yang dipanggang sebagaimana yang dijelaskan dalam riwayat dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Berwudhu’lah kalian karena (makan) sesuatu yang dipanggang.” (Shahih: Mukhtasar Muslim no: 147, Muslim I:272 no:352 dan Nasa’i I:105).
Kata perintah dalam redaksi hadits di atas bernilai sunnah, karena ada hadits ‘Amr bin Umayyah adh-Damri ia berkata: “Saya pernah melihat Nabi saw. memotong bahu kambing (yang sedang dipanggang), lalu beliau memakannya kemudian terdengarlah panggilan untuk shalat, maka Beliau berdiri dan melepaskan pisaunya, lalu shalat tanpa berwudhu’ (lagi).” (Shahih: Mukhtashar Muslim no:148, Muslim 1: 274 no:93 dan 355 dan ini adalah lafadz hadits Muslim, Fathul Bari I:311 no:208).
6. Untuk setiap kali shalat. Dari Buraidah r.a. katanya, “Adalah Nabi saw. biasa berwudhu’ setiap akan shalat. Tatkala tiba fathu Mekkah, beliau berwudhu’ dengan mengusap di atas khufnya dan mengerjakan shalat-shalat yang wajib dengan sekali wudhu’ saja.” Maka Umar bertanya kepadanya, “Ya Rasulullah, sesungguhnya engkau melakukan sesuatu yang belum pernah engkau kerjakan sebelumnya?” Jawab Rasulullah, “Sengaja saya berbuat begitu, wahai Umar.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no:142, Muslim I:232 no:277, ‘Aunul Ma’bud I:292 no:171, Tirmidzi I:42 no:61, Nasa’i I:86).
7. Pada Setiap kali berhadas, karena ada hadits, dari Buraidah r.a., ia berkata, “Pada suatu pagi hari, Rasulullah saw. memanggil Bilal, lalu bertanya (kepadanya), ‘Wahai Bilal, dengan bekal apakah engkau telah mendahului aku masuk ke dalam surga, karena tadi malam aku masuk ke surga tiba-tiba mendengar suara gemersikmu di hadapanku?’ Maka jawab Bilal, ‘Ya Rasulullah setiap kali usai mengumandangkan adzan mesti aku shalat dua raka’at, dan setiap kali berhadas mesti aku segera berwudhu (lagi)’. Maka Rasulullah SAW bersabda. “Karena itu engkau mendahulukan”. (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no:7894 dan Tirmidzi V:282 no:3772).
8. Karena muntah Dari Ma’dan bin Abu Thalhah dari Abu Darda’ r.a. bahwa Rasulullah saw. pernah muntah sehingga beliau membatalkan puasanya, lalu berwudhu’ (lagi). Kemudian (pada suatu hari). Aku (Ma’dan) berjumpa dengan Tsauban r.a. di masjid Damaskus, lalu kuceritakan hal tersebut kepadanya, maka ia berkata, “Benar Abu Darda’ itu, dan akulah yang menuangkan air wudhu’nya.” (Shahihul Isnad: Tamamul Minnah hal:111, Tirmidzi I:58 no:87, ‘Aunul Ma’bud VII:8 no:2364 namun tidak terdapat kata, “FATAWADHDHA-A.”).
9.Sehabis mengusung jenazah. Ini didasarkan pada sabda Nabi saw., “Barangsiapa yang telah memandikan mayat, maka mandilah, dan barangsiapa yang telah mengusungnya, maka berwudhu’lah.” (Shahih: Ahkamul Janaiz hal. 53. al-Fathur Rabbani II:145 no:486, Shahih Ibnu Hibban no 191/751, Baihaqi I:300 dan Tirmidzi II:231 no:998) (Menurut hukum perintah berwudhu’ itu wajib, namun hemat penulis perintah ini dipalingkan menjadi sunnah oleh hadits Ibnu Abbas bahwa Nabi saw. bersabda, “Kamu tidak harus mandi sesuai memandikan mayatmu, karena ia najis, maka cukuplah kamu membasuh kedua tanganmu.” Diriwayatkan oleh al-Hakim, al-Mustadrak I:386. Dengan sedikit perubahan, berasal dari Ahkamul Jannaiz oleh Syaikh al-Albani hal.53).
Sumber: Diadaptasi dari kitab Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil ‘Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, karya Syaikh ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi terj. Ma’ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 82-101.