Home » Fiqih » Fiqih Ramadlan » Apa Hukum I’tikaf?

Apa Hukum I’tikaf?

Bagaimana hukumnya I’tikaf? Bolehkah orang yang sedang I’tikaf keluar dari masjid untuk buang hajat, makan dan berobat? Apa yang disunnahkan dalam I’tikaf? Bagaimana cara beri’tikaf yang benar dari Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam?

Jawaban:

I’tikaf adalah berdiam diri di dalam masjid khusus untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah. I’tikaf disunnahkan untuk mendapatkan malam Lailatul Qadar. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan masalah ini di dalam firman-Nya,” Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya.”(Al-Baqoroh:187)

Dijelaskan dalam Shahihain dan lain-lain bahwa Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam beri’tikaf dan shahabat-shahabatnya beri’tikaf bersamanya. Setelah itu I’tikaf terus disyariatkan dan tidak dihapus. Dalam hadits lain dijelaskan dari Aisyah Radhiyallhu Anha berkata, “Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan hingga Allah mewafatkannya, kemudian isteri-isterinya beri’tikaf sesudahnya.”

Dalam shahih Muslim juga dijelaskan dari Abu Sai’d Al-Khudri Radhiyallahu Anhu bahwa Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari Ramadhan, kemudian juga beri’tikaf pada sepuluh hari pertengahan Ramadhan kemudian bersabda,”Sesungguhnya aku beri’tikaf pada sepuluh hari pertama untuk mencari malam ini (yakni lailatul Qadar) kemudian saya beri’tikaf pada sepuluh hari pertengahan, kemudian saya datang, lalu dikatakan kepadaku, ‘Seseungguhnya lailatul Qadar itu turun pada sepuluh hari terakhir. Maka barangsiapa di antara kalian yang senang beri’tikaf maka lakukankalah.” (Diriwayatkan Al-Bukhori) Maka orang-orangpun beri’tikaf bersamanya.

Imam Ahmad Rahimahullah berkata,”Saya tidak menemukan adanya perselisihan pendapat di kalangan para ulama tentang sunnah I’tikaf. Dengan demikian I’tikaf disunnahkan baik berdasarkan nash maupun kesepakatan ulama’

Tempat I’tikaf adalah masjid yang digunakan untuk shalat jama’ah di mana pun tempatnya, karena keumuman firman Allah, “Sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.” (Al-Baqoroh:187). Tetapi, yang paling utama adalah masjid yang digunakan untuk shalat Jum’at supaya tidak perlu keluar darinya. Tetapi jika dia beri’tikaf di masjid yang tidak digunakan untuk shalat Jum’at, maka setelah datang waktu shalat Jum’at, dia harus segera meninggalkan masjid itu dan pergi ke masjid yang digunakan untuk shalat Jum’at.

Orang yang sedang beri’tikaf harus menyibukkan diri dengan ketaatan kepada Allah baik dengan shalat, membaca Al-Qur’an, maupun berdzikir kepad Allah, karena itulah maksud dari I’tikaf, dan tidak apa-apa berbicara sedikit dengan shabat-sahabatnya, apalagi jika hal itu membawa faidah.

Diharamkan kepada orang yang sedang beri’tikaf untuk berjima’ dan pemanasannya.

Sedangkan keluarnya seseorang yang beri’tikaf dari masjid, dibagi oleh para ulama menjadi tiga bagian:

Bagian pertama, boleh, yaitu keluar karena perkara yang wajib dilakukan secara syariat, tradisi, keluar untuk berwudhu, mandi wajib dan untuk buang hajat besar maupun kecil.

Bagian kedua, keluar untuk melaksanakan ketaatan yang tidak wajib seperti menjenguk orang sakit dan menyaksikan jenazah. Jika dia mensyaratkannya pada waktu memulai i’tikaf hukumnya boleh dan jika tidak maka tidak boleh.

Bagian ketiga, keluar untuk sesuatu yang membatalkan I’tikaf seperti keluar untuk pulang ke rumah, berbelanja, menjima’ isteri dan sebagainya, maka hukumnya tidak boleh, baik ada syarat maupun tidak ada syarat,.

Sumber: Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, Fatawa Arkaanil Islam atau Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji, terj. Munirul Abidin, M.Ag. (Darul Falah 1426 H.), hlm. 524-525.

Check Also

2 Juta Orang Mencari Lailatul Qadr di Masjidil Haram

Rabu, 15 Agustus 2012 Lebih dari dua juta orang Muslim mengikuti shalat tarawih dan qiyamul …