Saturday, 02 October 2010
Hidayatullah.com–Sejumlah anak muda tampak berbincang sambil berdiri, terdengar celetukan di antara mereka. Sesekali tertawa kecil bersamaan. Mereka meriung di depan gedung Sekertariat Acara MHQH di Komplek Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Jl. Nangka no 60 Tanjung Barat, Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Kamis malam pekan lalu (23/09) itu adalah malam terakhir penyambutan peserta Musabaqah Hafalan al-Quran & Hadits Pangeran Sultan Bin Abdul Aziz Alu Su’ud (MTQH) ke IV Tingkat Nasional 2010 di Jakarta. Malam dingin selepas Maghrib yang baru saja diterpa hujan tersebut dipergunakan peserta untuk saling berkenalan antar satu sama lain, sembari menunggu proses registrasi dan check in peserta.
Salah satu peserta yang sempat ditemui hidayatullah.com malam itu adalah Ahmad Muzakkir Abdurrahman. Kesan pertama, tidak susah untuk bersosialisasi dengan peserta dari Kalimantan Timur ini. Pembawaannya santai dan familiar. Sejak kali pertama saling menyapa, perbincangan malam itu mengalir ke sana kemari. Dia didampingi seorang berkacamata minus. Tubuhnya lebih besar darinya.
“Saya sama adik saya, Ahmad Fauzi,” kata Muzakkir sembari tersenyum menyebutkan nama orang yang ada didekatnya itu. Mereka adalah adik kakak.
Sebagaimana peserta yang lain, Muzakkir sibuk memainkan keypad HP nya. Dia sedang mengirimkan SMS. Sebagian besar peserta malam itu memang baru tiba dari daerah masing-masing. Rata-rata naik pesawat terbang. Barangkali mereka sedang sibuk melaporkan ke kerabat di kampung kalau sudah tiba di Jakarta.
Mewakili Indonesia
“Alhamdulillah, bersyukur sekali bisa menang,” selorohnya.
Muzakkir adalah anak pertama dari 3 bersaudara. Sejak kecil hingga sekarang Muzakkir lebih banyak menempuh pendidikan di Pesantren.
Di masa SD hingga tingkat SMP, dia menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Riyadhul Jannah Pacet, Mojokerto, Jawa Timur. Sedangkan masa SMA dia habiskan di Pondok Pesantren Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Balikpapan, Kalimantan Timur (Kaltim).
Dia dan Ahmad Fauzi, adiknya, mengaku tidak menempuh pendidikan formal kecuali di pesantren. Padahal ayahnya, Abdurrahman, adalah orang Diknas di Samarinda. Tapi ayahya lebih memilih anaknya masuk pesantren dan menjadi penghafal al-Qur’an.
“Bapak saya di Diknas, tapi anaknya paket, ” selorohnya sambil tertawa.
Meski demikian, bagi Muzakkir adalah hal biasa. Dari 3 bersaudara, hanya adiknya, Nur Zakiah Drajat, yang menempuh pendidikan formal. Semuanya masuk pesantren.
Berkah dari hafalan al-Qur’an rupanya telah mengantarkannya bisa diterima sekolah di mana-mana. Terutama kampus Islam di luar negeri. Dia sempat ditawari untuk tes dan masuk ke Universitas Madinah, Saudi Arabia. Namun Muzakkir menolak.
“Soalnya Wagub (Kaltim, red) sudah duluan memberi beasiswa ke Universitas Ahgaff, Tarim Hadhramaut, ndak enak kalau ngambil yang lain lagi,” kata anak dari Abdurrahman Daeng Lopo dan Sitti Aisyah Gani Tamba ini.
Muzakkir mengaku, menghafal al-Qur’an sebenarnya sangat mudah.
“Kuncinya satu, baca!,” katanya.
Al-Qur’an pada dasarnya sangat mudah dipelajari dan dihafalkan. Yang kadang jadi masalah, kata dia, adalah beban dalam diri yang selalu menuntut untuk menambah dan menambah. Padahal perkara menambah jumlah hafalan sangat mudah, justru yang susah adalah mempertahankan nya.
Muzakkir punya trik khusus untuk selalu bisa mengingat hafalannya. Caranya, setiap hari minimal dia harus mengaji atau mengulang hafalan sebanyak 2 halaman. Itu bisa dilakukan sambil duduk, jalan-jalan, atau bahkan sambil bermain Facebook.
“Kalau benar-benar sibuk dan waktunya sempit, ya satu halaman cukup,” ujar pria penggemar berat pemain bola asal Belanda Robin van Persie ini.
Buah kesuksesannya, kini, Muzakkir mewakili Indonesia di ajang MHQH tingat Asia Pasifik. Dalam ajang tahunan kali ini, Muzakkir mengaku mempunyai beban lebih berat.
Untuk laga kali ini, Muzakkir tak bisa main-main. Pasalnya, MHQH tingkat Asia Fasifik akan menghadirkan tiga orang juri ahli yang didatangkan dari Arab Saudi. Mereka adalah Syaikh Khalid bin Ali Al Ghamidi, imam Masjidil Haram dan Syaikh Ibrahim bin Said Al Gashari, Guru Besar Universitas Imam Ibn Suud, Riyadh, dan salah satu anggota Dewan Juri Internasional Syaikh Muhammad Makki Hidayatullah.
“Ini tantangan baru, mudah-mudahan bisa membanggakan,” ujarnya pada hidayatullah.com. [Ainuddin Chalik/hidayatullah.com]