Home » Fiqih » Mu'amalah » Akhlak Usahawan Muslim (9)

Akhlak Usahawan Muslim (9)

3. Asal Setiap Muamalah Adalah Adil dan Larangan Berbuat Zalim serta Memperhatikan Kemaslahatan Kedua Belah Pihak dan Menghilangkan Kemudharatan.

(الأَصْلُ هُوَ الْعَدْلُ فِيْ كُلِّ الْمُعَامَلاَتِ وَ مَنْعُ الظُّلْمِ وَمُرَاعَاةُ مَصْلَحَةِ الطَّرَفَيْنِ وَرَفْعُ الضَّرَرِ عَنْهُمَا)

Pengertian Kaidah

Kaidah ini berlaku pada muamalah dan selainnya, bahkan juga dalam masalah i’tikad. Pada asalnya, dalam seluruh akad transaksi harus adil, dan demikianlah yang diajarkan syariat Islam.

Sudah menjadi kesepakatan semua syariat Allah untuk mewajibkan keadilan dan mengharamkan kezaliman dalam segala sesuatu dan kepada segala sesuatu. Allah mengutus para Rasul-Nya dengan membawa kitab-kitab suci dan neraca keadilan, agar manusia menegakkan keadilan pada hak-hak Allah dan makhluk-Nya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ

“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, serta telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (Qs. al-Hadid: 25)

Untuk menegaskan perintah adil dan pengharaman kezaliman Allah, pertama adalah Allah mengharamkannya atas diri-Nya, kemudian Allah menjadikannya terlarang di antara para makhluk-Nya, sebagaimana tertuang dalam hadits qudsi yang berbunyi,

أَنَّ اللَّه تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَالَ يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلَا تَظَالَمُوا

“Sungguh, Allah telah berfirman, ‘Wahai hamba-Ku, sungguh aku telah mengharamkan kezaliman atas diri-Ku dan menjadikannya terlarang di antara kalian, maka janganlah saling menzalimi!’ “ (Hr. Muslim)

Jelaslah, kezaliman terlarang dalam semua keadaan, dan keadilan adalah wajib dalam semua keadaan, sehingga dilarang berbuat zalim kepada orang lain, baik muslim atau kafir.

Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu menyatakan, “Semua kebaikan masuk dalam keadilan dan semua kejelekan masuk dalam kezaliman. Oleh karena itu, keadilan adalah perkara wajib dalam setiap sesuatu dan atas setiap orang, dan kezaliman dilarang pada setiap sesuatu dan atas setiap orang, sehingga dilarang menzalimi seorang pun–baik muslim, kafir, atau zalim–, bahkan boleh atau wajib berbuat adil terhadap kezaliman juga.”

Beliau pun menyatakan, “Semua yang Allah larang kembali kepada kezaliman dan semua yang diperintahkan kembali kepada keadilan.”

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang kamu kerjakan.” (Qs. al-Maidah: 8)

Hal ini karena kezaliman adalah sumber kerusakan dan keadilan adalah sumber kesuksesan yang menjadi tonggak kemaslahatan hamba di dunia dan akhirat, sehingga manusia sangat membutuhkannya dalam segala kondisi. Ketika perniagaan dan muamalah adalah pintu yang besar bagi kezaliman manusia dan pintu untuk memakan harta orang lain dengan batil, maka larangan zalim dan pengharamannya termasuk maqashid syariah terpenting dalam muamalah. Kewajiban berbuat adil dan larangan berbuat zalim menjadi kaidah terpenting dalam muamalah.

Dasar Kaidah

Banyak nash (dalil) al-Quran dan as-Sunnah yang memerintahkan berbuat adil dan melarang berbuat zalim, di antaranya adalah:

Firman Allah ‘Azza wa Jalla,

إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤدُّواْ الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُواْ بِالْعَدْلِ

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) untuk menetapkan dengan adil apabila menetapkan hukum di antara manusia.” (Qs. an-Nisa`: 58)

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَلاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُواْ بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُواْ فَرِيقاً مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antaramu dengan jalan yang batil. Janganlah pula kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (Qs. al-Baqarah: 188)

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيماً

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Jangan pula kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.”(Qs. an-Nisa`: 29)

Ayat-ayat di atas berisi perintah merealisasikan dan menegakkan keadilan di antara manusia, karena seluruh larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala kembali kepada kezaliman. Adapun hadits-hadits larangan dan pengharaman kezaliman dalam muamalah sangat banyak, di antaranya:

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ بَيْنَكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ

“Sesungguhnya, darah, harta, dan kehormatan kalian diharamkan di antara kalian seperti keharaman hari kalian ini, bulan kalian ini, di negeri kalian ini.”

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

بِمَا يَأْخُذُ أَحَدُكُمْ مَالَ أَخِيْهِ بِغَيْرِ حَقٍّ

“Dengan alasan apa salah seorang kalian mengambil harta saudaranya tanpa hak?” (Hr. Muslim)

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ

“Atas setiap muslim terhadap muslim yang lainnya diharamkan darah, harta, dan kehormatannya.” (Hr. Muslim)

Di antara dalil kewajiban berbuat adil dan larangan zalim adalah ijma’ (kesepakatan) ulama tentang pengharaman mengambil harta orang lain dengan zalim dan permusuhan.

Melalui hal ini, telah jelaslah bahwa keadilan dan larangan zalim adalah pokok wajib dalam muamalah, karena hanya dengannya muamalah manusia akan baik dan langgeng.

Ibnu Taimiyah rahimahullahu menyatakan, “Wajib mengadili manusia dalam permasalahan harta dengan adil sebagaimana diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, seperti pembagian warisan kepada ahli waris sesuai tuntunan al-Quran dan as-Sunnah. Demikian juga dalam muamalah, berupa jual-beli, sewa-menyewa, wakalah, syarikat, pemberian, dan sejenisnya dari muamalah yang berhubungan dengan akad transaksi dan serah terima, maka bersikap adil dalam masalah tersebut adalah tonggak alam semesta yang menjadi dasar baiknya dunia dan akhirat.”

Di antara bentuk sikap adil dalam muamalah ada yang sudah jelas, semua orang mengetahuinya dengan akal mereka, seperti kewajiban membayar bagi pembeli, kewajiban penjual menyerahkan barang kepada pembeli, pengharaman mengurangi timbangan dan takaran, kewajiban jujur dan menjelaskan keadaan barangnya, pengharaman dusta, khianat dan bohong, balasan utang adalah penunaiannya (pada temponya), serta pujian.

Ada juga yang tidak jelas dan dijelaskan syariat kita-–ahli islam–, karena seluruh muamalah yang dilarang oleh al-Quran dan as-Sunnah kembali kepada realisasi keadilan dan larangan berbuat zalim.”

Oleh karena itu, syariat melarang riba karena berisi kezaliman dan ketidakadilan, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla,

وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” (Qs. al-Baqarah: 275)

Demikian juga, Allah melarang perjudian, karena termasuk memakan harta orang lain dengan batil. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan. Maka, jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Qs. al-Maidah: 90)

Bahkan, seluruh muamalah yang dilarang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah karena di dalamnya terdapat kezaliman dan untuk merealisasikan keadilan. Demikian juga, syariat memperhatikan kemaslahatan kedua pihak transaktor dengan mensyariatkan beberapa aturan, seperti khiyar majelis (hak pilih di majelis), ini disyariatkan untuk mewujudkan keadilan dan memperhatikan kemaslahatan dua pihak transaktor. Dasar aturan ini adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا تَبَايَعَ الرَّجُلَانِ فَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا وَكَانَا جَمِيعًا أَوْ يُخَيِّرُ أَحَدُهُمَا الْآخَرَ فَتَبَايَعَا عَلَى ذَلِكَ فَقَدْ وَجَبَ الْبَيْعُ وَإِنْ تَفَرَّقَا بَعْدَ أَنْ يَتَبَايَعَا وَلَمْ يَتْرُكْ وَاحِدٌ مِنْهُمَا الْبَيْعَ فَقَدْ وَجَبَ الْبَيْعُ

“Apabila dua orang berjual-beli, maka setiap orang memiliki hak pilih selama belum berpisah dan keduanya bersepakat, atau (bila) salah satunya memberikan pilihan kepada yang lainnya lalu terjadi jual-beli atas hal itu, maka wajib terjadi jual-beli.” (Dan) bila telah berpisah setelah akad jual-beli dan tidak ada yang menggagalkannya, maka wajib jual-belinya.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Ibnul Qayyim rahimahullahu menyatakan, “Syariat menetapkan khiyar majelis dalam jual-beli untuk hikmah dan maslahat kedua transaktor, serta untuk mendapatkan kesempurnaan ridha yang Allah syariatkan dalam firman-Nya Azza wa Jalla,

عن تراضٍ منكم

Akad transaksi terkadang ada dengan mendadak tanpa diteliti secara seksama dalam nilainya. Oleh karena itu, keindahan syariat islam yang sempurna menjadikan akad berjangka waktu untuk kedua transaktor mencermati dan meneliti setiap orang mengetahui keadaan secara utuh.

Di Antara Aplikasi Larangan Zalim dalam Muamalah:

1. Al-ghisy (penipuan).

2. An-najasy. An-najasy didefinisikan sebagai tambahan pada harga satu barang dagangan dari orang yang tidak ingin membelinya agar orang lain terjebak padanya. Seseorang yang tidak ingin membeli barang, datang dan meninggikan harga barang agar pembeli mengikutinya, lalu menyangka bahwa ia tidak meninggikan harta barang tersebut kecuali memang pantas, sehingga ia terpedaya dengannya. Jual-beli ini diharamkan karena berisi kezaliman. Dalilnya adalah hadits Ibnu Umar yang berbunyi,

أَنَّ النَّبي صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ ₎₎ نَهَى عَنْ النَّجَش

“Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang an-najasy.” (Hr. al-Bukhari dan Muslim)

Bahkan para ulama sepakat mengharamkannya.

3. Jual-beli atas jual-beli saudaranya (بيع الرجل على بيع أخيه وشراؤه على شرائه) yang dilarang dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

4. Tas’ir (price-fixing), yaitu Intervensi otoritas dalam pengendalian dan pematokan harga (price-fixing). Hal ini dengan memaksa transaksi jual-beli dengan harga tertentu dan tidak boleh dilanggar.

Pada asalnya, muamalah ini dilarang dengan kesepakatan ahli fikih yang berdasarkan pada dalil-dalil dibawah ini:

Firman Allah ‘Azza wa Jalla,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (Qs. An-Nisa’: 29)

Tas’ir ini tidak dapat mewujudkan taradhi (saling ridha).

Dari sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadits dari Anas bin Malik yang berbunyi,

غَلَا السِّعْرُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ سَعِّرْ لَنَا فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمُسَعِّرُ الْقَابِضُ الْبَاسِطُ الرَّزَّاقُ وَإِنِّي لَأَرْجُو أَنْ أَلْقَى رَبِّي وَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْكُمْ يَطْلُبُنِي بِمَظْلِمَةٍ فِي دَمٍ وَلَا مَالٍ

“Harga-harga barang mahal di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mereka berkata, ‘Wahai Rasulullah, patoklah harga untuk kami! Lalu beliau menjawab, ‘Sesungguhnya Allahlah pematok harga yang menyempitkan dan melapangkan serta Maha Pemberi Rezeki, dan sungguh aku berharap menjumpai Rabbku dalam keadaan tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntutkan dengan sebab kezaliman dalam darah dan harta.’ “ (Hr. Abu Daud)

Dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan price-fixing karena berisi kezaliman.

Demikianlah, hukum asal price-fixing adalah haram, namun para ulama mengecualikannya dalam beberapa keadaan, di antaranya:
a. Kebutuhan manusia terhadap barang tersebut.
b. Adanya ihtikaar (penimbunan) oleh produsen atau pedagang.
c. Penjualan terbatas milik sekelompok orang saja.

Bahkan, ada juga tas’ir yang diwajibkan karena ketiga hal di atas.

Syekhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan, “Sesungguhnya, apabila waliyul umur (pemerintah/pihak otoritas) memaksa para pengusaha industri (ahli ash-shina’at) untuk memenuhi kebutuhan manusia (rakyat) berupa hasil produksi, seperti alat pertanian, alat jahit, dan alat bangunan, maka pihak otoritas harus menentukan gaji umum/harga umum, sehingga tidak memberikan kesempatan bagi pengguna (konsumen) untuk mengurangi biaya produksi, dan tidak memberikan kesempatan kepada pihak pabrik dari tuntutan lebih banyak dari hal itu, pada keadaan ia harus menjadi pembuatnya. Ini termasuk tas’ir yang wajib. Demikian juga, apabila manusia (orang-orang) membutuhkan orang yang membuatkan (memproduksi) alat-alat jihad (berupa senjata, jembatan untuk perang, dan selainnya) untuk mereka, maka para pekerja tersebut diberikan upah pekerja pada umumnya. Tidak memberikan kesempatan para konsumen untuk menzalimi mereka dan para pekerja dari tuntutan melebihi hak mereka dengan sebab kebutuhan orang atas mereka. Ini termasuk tas’ir dalam pekerjaan.

Beliau juga menyatakan, “Al-muhtakir (penimbun barang) yang menjadi sandaran dalam penjualan kebutuhan orang banyak berupa bahan makanan, lalu menimbun barang tersebut dan ingin menaikkan harganya telah menzalimi para pembeli/konsumen (dengan melakukan hal tersebut). Oleh karena itu, pihak otoritas memaksa mereka untuk menjual barang yang dimilikinya dengan harga umum ketika orang banyak memiliki kebutuhan yang sangat mendesak terhadap barang tersebut.

Lebih lanjut, Syekhul Islam menyatakan, “Terlebih lagi bila orang-orang berkomitmen untuk tidak menjual bahan makanan atau selainnya kecuali kepada individu tertentu saja, tidak menjual barang kecuali kepada mereka saja, kemudian mereka ini menjualnya secara monopoli, sehingga bila ada selain mereka menjualnya maka dilarang, secara zalim karena kedudukan yang diambil dari penjual atau lainnya. Oleh sebab itu, dalam kondisi ini tas’ir (price-fixing) wajib dilakukan pada mereka, yaitu mereka tidak boleh menjual barang-barang tersebut kecuali dengan harga umum yang ditentukan dan (mereka pun) tidak membeli harta manusia kecuali dengan harga umum. Hal ini wajib tanpa ada kebimbangan sama sekali pada para ulama apabila orang lain dilarang menjual jenis tersebut atau membelinya. Seandainya mereka diperbolehkan menjual sesuka hati mereka, maka dalam hal tersebut terdapat kezaliman dari dua sisi:

a. Kezaliman kepada para penjual (yang diinginkan oleh individu yang hendak memonopoli tadi agar menjual barangnya).
b. Kezaliman terhadap pembeli (yang akan membeli barang dari individu yang hendak memonopoli).

Demikian contoh aplikasi kaidah larangan zalim dalam muamalah.

http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatekonomi&parent_id=127&idjudul=1&section=e17

Check Also

MENDAPAT HADIAH MAKANAN PADA HARI NATAL, BAGAIMANA MENYIKAPINYA?

Bagaimana sikap kita jika tetangga kita memberikan makanan Natal pada tanggal 25 Desember? Apakah makanan …