Sekarang mari kita tengok contoh ketiga, yakni dari diri Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, saat bermuamalah dengan Abdullah bin Ubay bin Salul. Abdullah bin Ubay terkenal sebagai tokoh kaum munafiqin di masa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Semua orang tahu, bahwa Abdullah bin Ubay ini adalah ra’sul munafiqin, imamnya orang-orang munafiq, sebagaimana ditunjukkan oleh sikapnya terhadap Islam. Saat perang Muraysi’ pecah, dia mengatakan, “Perumpamaan kita dengan Muhammad dan para shahabatnya adalah seperti kata pepatah, “beri makan terus anjingmu, nanti kalau sudah besar ia akan memangsamu.” Artinya, ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan para shabatnya kita beri kesempatan, mereka akan menindas kita. Ini kata Abdullah bin Ubay dan orang-orang munafiq yang bersamanya. Ia juga mengatakan “jangan kalian infakkan apa yang ada ditangan kalian kepada orang-orang yang bersama Muhammad supaya mereka menjauh dari Muhammmad.” Demikianlah ucapan Abdullah bin Ubay, dan ini hanya sebagian dari sikap mereka (yang menyakitkan) terhadap Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan para shahabatnya, agar jangan diberikan apapun dan agar mereka tidak betah dan memutuskan keluar dari Madinah.
Coba kita perhatikan tatkala Abdullah bin Ubay meninggal, apa yang dilakukan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam? Beliau mendatangi kuburnya. Memberikan pakaian beliau kepada putranya, dan kemudian memberi kain untuk dijadikan kafan untuk Abdullah bin Ubay. Padahal orang ini ra’sul munafiqin, imamnya orang-orang munafiq, jelas-jelas orang munafiq, bahkan ditegaskan oleh nash, namun Rasulullah tetap datang ke kuburnya. Kemudian kita lihat ia bukanlah hanya sekedar orang munafiq, bahkan merupakan ra’sul munafiqin, tetapi masih diberikan kain kafan, didatangi kuburnya dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memintakan ampun kepada Allah Ta’ala. Coba bayangkan, beliau mendatangi kuburnya dan memintakan ampun kepada Allah untuk imamnya orang-orang munafiq, hingga turun firman Allah yang melarang Rasul demikian.(memintakan ampunan). Disini dapat kita saksikan ketinggian jiwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk memintakan ampun kepada orang yang selama ini menyakiti beliau. Kalau sendainya itu terjadi pada kita, mungkin kita akan mengatakan “mampus, biar sekalian mati!!”, akan tetapi, beliau memohonkan ampunan, baru setelah itu turun larangan memintakan ampun untuk orang-orang munafiq dan orang kafir,
إِنْ تَسْتَغْفِرُ لَهُمْ سَبْعِيْنَ مَرَّةً فَلَنْ يَغْفِرَ اللهُ لَهُمْ
“Kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan merberi ampun kepada mereka (Qs: al-Taubah : 80).
Berkenaan dengan ayat ini, beliau bersabda: “Seandainya saya tahu, jika beristighfar lebih dari tujuh puluh kali akan diampuni, saya akan melakukan lebih dari tujuh puluh kali” atau sebagaimana sabda beliau shallallahu alaihi wasallam. Ini kepada imamnya orang-orang munafiq, seandainya beliau memintakan ampun lebih dari tujuh puluh kali akan diampuni, niscaya beliau akan melakukannya. Lihat akhlak Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam terhadap imamnya orang-orang munafiq. Kepada orang yang sudah lama sekali mengganggu dan menyusahkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam serta orang-orang yang bersama beliau. Orang inilah yang telah membuat tuduhan palsu kepada ‘Aisyah radhiallahu anha, dia juga yang mencemarkan kehormatan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Sekali lagi, bercerminlah pada sosok mulia seperti ini, beliau masih mau mendatangi kuburnya, lalu memberikan kain kafan seraya memintakan ampun kepada Allah Ta’ala. Siapa diantara kita yang bisa berjiwa besar seperti ini?
Jangan difahami bahwa kita ingin mengaburkan aqidah wala’ wal bara’ seperti yang telah kita sebutkan di atas. Harus dipahami aqidah wala’ wal bara’ mana yang dinamakan aqidah wala’ wal bara’ itu, bagaimana sikap Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan para Salafus Shalih berkaitan dengan orang-orang yang berbeda atau menyimpang. Harus dibedakan antara wala’ dan bara’ dengan hawa nafsu. Al wala’ wal bara’ jalas ada dalam hati kita. Sikap terhadap orang lain, kemudian hawa nafsu kita juga sesuatu yang lain, adalah dua hal yang harus dibedakan.
Seorang da’i tidak pantas memiliki sifat-sifat seperti ini (intishar ala an-nafsi dan keras terhadap sesama muslim). Kalau da’i seperti ini, kerusakan akan lebih besar daripada manfaat. Dimana ia mendoakan kejelekan bagi si fulan pada sepertiga malam terakhir, kemudian melaknat fulan, mencaci maki fulan dan menyatakan bahwa Allah Ta’ala tidak mungkin memberikan ampun kepadanya. Orang semacam ini lebih pantas memperbaiki dirinya sendiri dahulu, baru kemudian memperbaiki orang lain. Karena bisa jadi, mafsadatnya jauh lebih besar daripada maslahatnya bagi orang lain (baca: ummat). Sebab dia sendiri belum berhasil memperbaiki diri dan jiwanya, hingga ketika dia memperbaiki orang lain tentu akan lebih berat. Karena kenyataannya, yang terjadi hanya bermasalah dengan si fulan, kemudian bermusuhan dan bertikai dengan orang lain dan seterusnya.
Saat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sakit menjelang wafatnya, di dalam penjara dan bukan di rumah, beliau dicegat melakukan seluruh aktivitas hingga tidak diberikan pena untuk menulis. Walau demikian, beliau tetap menulis, memberi fatwa kepada kaum muslimin, hanya dengan mengunakan arang hingga akhirnya beliau dilarang menulis sama sekali. Segala aktivitasnya diawasi oleh Ahlu Bid’ah lalu disampaikan kepada penguasa.
Hingga suatu ketika sebagian ahlu bid’ah ini mendatangi Syaikhul Islam di dalam penjara, lalu memohon maaf kepada Syaikhul Islam, lantaran menjadi sebab Syaikul Islam dijebloskan dalam penjara. Maka lihatlah, ikhwah fillah, bagaimana jiwa besar beliau. Tenang beliau mengatakan: “Aku telah maafkan Anda, Aku juga sudah memaafkan Raja Nashir yang memenjarakan saya”. Beliau memaafkan orang yang memasukkan beliau ke penjara, serta semua orang yang menjadi sebab beliau masuk penjara. Semoga bermanfaat. Bersambung….
Sumber: (http://www.alinshof.com/2010/01/akhlak-orang-yang-berjiwa-besar-bag-i.html)
[Materi ini pernah disampaikan oleh Ust Ridwan Hamidi dalam kajian di Masjid Pogung Raya beberapa tahun silam. Namun karena panjangnya materi, maka dibagi dalam beberapa tulisan.]