Ayyuhal Ikhwan, banyak sekali contoh dari sikap salufus shalih yang patut kita teladani berkaitan dengan sifat ‘afuu. Di sini kami tidak banyak gunakan sebagai contoh dari Rasulullah shallallahu alaihi wasalam, lantaran beberapa sebab.
Pertama, karena akhlak Nabi shallallahu alaihi wasallam adalah akhlak Al-Quran, sebagai mana disampaikan Ummul Mu’minin A’isyah radhiallahu anha, “Sungguh akhlak beliau (Nabi shallallahu alaihi wasallam) adalah al-Quran.” Karena akhlak beliau adalah Al-Quran, maka jelas kita meyakini bahwa dari sisi akhlak beliau-lah yang paling mulia, paling lapang dada dan berjiwa besar.
Kedua, agar orang tidak beralasan, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dapat bersifat lapang dada, berjiwa besar dan mudah memaafkan karena beliau adalah rasul, maksum dan telah disucikan oleh Allah Ta’ala. Beliau telah disucikan dari bagian setan, dibersihkan dadanya dari bagian-bagian setan pada masa kecil dan saat isra’ dan mi’raj. Dimana hal ini kemudian dijadikan sebagai alasan untuk membenarkan perbuatan-perbuatan salahnya. Olehnya, kami mengangkat contoh dari kehidupan para salafus shalih agar orang tidak beralasan dengan alasan-alasan tersebut di atas. Dan agar kita dapat menakar seberapa jauh akhlak kita dibanding akhlak mereka. Yang paling penting adalah, kita mau merubah akhlak dan tidak perlu melihat contohnya dari siapapun. Artinya, kendati contohnya bukan dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, yang utama di sini adalah upaya untuk memperbaiki akhlak kita.
Ayyuhal ikhwan, cobalah uji bagaimana sikap kita terhadap orang yang berbeda dengan kita, yakni berbeda dalam aqidah dan manhaj. Apakah sikap setiap kita seperti dicontohkan para salafus shalih atau tidak? Sekarang kita lihat orang yang tidak memiliki keimanan sama sekali, maka sebagimana keyakinan Ahlu Sunnah wal Jamaah kita tidak boleh memberikan wala’ sedikitpun kepada orang tersebut.
لا تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
“Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya.” (Al Mujaadilah:22).
Berbeda dengan orang yang pada dirinya masih terdapat amal shalih dan amal sayyi’ (amal yang tidak baik), terkumpul padanya syubhat, bid’ah, kesesatan atau syahwat, serta kebaikan dan maksiat, maka wala’ dan baro’ kita terbagi, tidak diberi al-wala’ seratus persen, dan tidak pula diarahkan padanya al-baro’ seratus persen. Sebab aqidah Ahlu Sunnah wal Jama’ah dalam masalah ini jelas, bahwa kita mencintai seseorang sesuai kadar keimanan dan ittiba’-nya pada sunnah, dan kita benci pada orang yang sama sesuai kadar penyimpangannya dari syariat ini.
Inilah yang kadang menjadi rancu pada sebagian orang ketika bermuamalah dengan orang lain yang berbeda. Seharusnya diberikan sikap yang menjadi ciri aqidah Ahlu Sunnah wal Jama’ah terhadap orang yang dalam dirinya ada keimanan dan maksiat, keimanan dan bid’ah, keimanan dan syubhat, maka wala’ kita tidak diberikan seratus persen dan tidak juga ditinggalkan keseluruhannya. Yang diarahkan padanya wala’ secara sempurna hanyanya kepada orang yang beriman dengan sempurna. Adapun terhadap orang yang beriman namun masih tercampur amal shaleh dan amal buruk, masih ada dalam dirinya bid’ah maka wala’ kita tidak diberikan seratus persen. Kita mencintai seseorang sesuai kadar keimanan dan ittiba’-nya terhadap sunnah, dan membenci sesuai kadar penyimpangannya dari sunnah. Sayangnya, inilah yang digunakan sebagai alasan oleh orang untuk membela dirinya dengan mengatasnamakan dien, agama, dan sunnah.
Bercerminlah pada diri Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah, Imam Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Beliau dirantai dan disiksa dari satu penjara ke penjara lain. Didera pada siang hari di bulan Ramadhan dalam keadaan berpuasa. Dijebloskan dalam penjara sementara darah segar masih menetes dari tubuhnya. Semua ini terjadi saat fitnah khalqil Quran (para ahlu bid’ah dan penguasa memaksa Imam Ahmad mengatakan “al-Quran itu makhluk”, padahal al-Quran bukan makhluk akan tetapi Firman Allah). Kita perhatikan, ketika beliau marah, marahnya bukan untuk membalas. Beliau marah bukan untuk hawa nafsunya, akan tetapi marahnya karena Allah Ta’ala. Makanya tidak berat beliau mengatakan ”Semua yang pernah membicarakan-ku maka mereka semua halal dan aku maafkan. Dan aku-pun memaafkan Abu Ishaq (Raja Mu’tashim yang telah memenjarakan dan menyiksanya dengan siksaan berat).” Dan kemudian beliau mengatakan “Aku maafkan Abu Ishaq, sebab aku melihat firman Allah Ta’ala:
وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلا تُحِبُّونَ أَن يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ
“Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu?” (QS. An Nuur: 22).
Tidakkah kita melihat, Allah Ta’ala maha pengampun lagi maha pemurah. Jadi, ini menunjukkan bagaimana Allah Ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya memberi maaf kepada orang lain. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintahkan Abu Bakar radhiallahu anhu untuk memberi maaf sebagaimana dalam kisah tuduhan palsu pada diri ‘Aisyah radhiallahu anha, yang oleh kaum munafiqin difitnah telah melakukan perbuatan zina dengan salah seorang shahabat.
Apa manfaatnya bagi diri kita jika seandainya Allah Ta’ala mengadzab seseorang hanya untuk kepentingan kita? Atau untuk memuaskan hawa nafsu dan membalas dendam kita?