Materi ini diarahkan pada seluruh kalangan baik ulama, du’at, thulabul ilmi dan mereka yang memangku jabatan, baik jabatan tinggi atau-pun rendah. Juga ditujukan kepada para bapak, ibu, para pendidik dan pengajar serta orang awam pada umumnya. Demikian pula ditujukan kepada semua yang ingin mencari kesempurnaan. Mungkin diantara kita tidak rela disifati dengan sifat kerdil, hidup dalam cara berfikir sempit, hati sempit, dan jiwa yang sempit pula. Semua orang sepakat, bahwa materi kajian ini adalah sesuatu yang baik, terpuji dan mulia dimana semua jiwa pasti merindukannya.
Seandainya dakwah Rasul –shallallahu alaihi wasallam-, hanya bertujuan pada (perbaikan) akhlak saja, tentu orang-orang akan menyambut dakwahnya. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, “Kalaulah dakwah ini hanya tertuju pada (perbaikan) akhlak, sebagaimana jika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berdakwah hanya pada masalah (perbaikan) akhlak tanpa membahas kemusyrikan dan tauhid, tentu orang-orang pasti akan mengikuti dakwahnya”.
Dalam tataran teori semua sepakat, namun pada prakteknya akan nampak sendiri hakikat sebenarnya. Semua orang dapat dengan fasih berbicara tentang akhlak yang baik, tapi dalam kenyataannya akan terlihat aslinya. Yang penting bukan orang menganggap baik, kemudian senang mendengarkan akhlak yang baik, tapi yang paling utama adalah perubahan, dan ada akhlak yang berubah. Orang yang halus lembut bukan orang yang lembut saat senang saja, tapi juga pada saat marah. Yang namanya akhlak, bukan hanya dapat tersenyum kepada saudara kita saat bersama teman-teman, bersama orang-orang yang duduk di majlis, tetapi akhlak adalah yang dapat kita bawa dalam setiap keadaan dan pada setiap tempat.
Ayyuhal Ikhwan, Allah Ta’ala menyifati Dzat-Nya dengan sifat al ‘afuu (Yang Maha Mengampuni). Sifat ini adalah salah satu sifat yang sangat agung dan mulia. Maksud sifat Allah al ‘afuu adalah Allah membiarkan hamba-Nya, mengampuni mereka yang berbuat kesalahan dan tidak menimpakan adzab atasnya secara spontan kala mereka durhaka pada-Nya. Kita memohon pada Allah agar menaungi kita dengan segala ampunan dan kemurahan-Nya.
Ayyuhal Ikhwan, ketika mendengar beberapa sifat ini, mungkin yang manjadi pertanyaan dalam diri adalah apakah kita memiliki sifat-sifat tersebut? Atau kita termasuk orang yang ketika melihat hal ini ternyata akhlak tersebut tidak banyak melekat dalam diri hingga ketika berurusan dengan orang lain, kita sampai bertikai dan membuat hitung-hitungan dengan mereka.
Banyak diantara kita yang rancu membedakan antara membela diri sendiri (al-intishar ‘ala an-nafs) dan membela agama. Kadang balas dendam kepada orang lain dikamuflasekan atas nama agama, aqidah dan keimanan. Namun pada hakikatnya dia hanya membela diri sendiri, dan untuk memuaskan hawa nafsunya, lalu merasa membela Allah Ta’ala. Ada juga yang kemudian mengatasnamakan ‘izzah (kemuliaan jiwa). Mungkin dia mau menunjukkan bahwa orang mukmin adalah orang yang memiliki ‘izzah, karena ‘izzah itu milik Allah Ta’ala, rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman. Namun, dalam prakteknya, kadang dia membalas dendam dan tidak terima dengan semua ejekan atau hal-hal yang menjatuhkan harga dirinya, yang sebenarnya bukan atas nama kemuliaan sebagai seorang mukmin tapi karena dia tidak rela namanya disinggung kemudian diejek oleh orang lain.
Banyak orang rancu atau mencampuradukkan antara sikap mempertahankan diri sendiri serta hawa nafsunya dan mempertahankan agama, juga kemuliaan sebagai seorang mukmin atau kemuliaan pribadinya. Hingga apabila marah dan membalas, dia menyangka hal ini dalam rangka mempertahankan jati diri-nya sebagai seorang mukmin. Padahal sebenarnya dia mempertahankan hawa nafsunya, lalu mengais-ngais pembenaran melalui firman Allah Azza Wa Jalla,
وَالَّذِينَ إِذَا أَصَابَهُمُ الْبَغْيُ هُمْ يَنتَصِرُونَ
“Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim mereka membela diri.” (Qs: As-Syura : 39).
Padahal sudah ma’lum, bahwa ayat ini dan ayat-ayat lain yang semisal, menjelaskan tentang keutamaan sikap ‘afuu, sikap pemaaf kepada orang yang menyakiti dan merendahkan diri kita. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
وَلا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka orang-orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang amat setia“.(Qs: Fushilat : 34).
Dan tiada yang sangup atau diberikan sifat tersebut kecuali orang-orang yang sabar. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ
“Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar, dan tidak dianugerahkan kecuali kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar”. (Qs: Fushilat : 35).
Akan tetapi, datang-lah setan mendorongnya untuk membela dirinya dan beranggapan jika tidak dilakukan pembelaan ini, ia akan dianggap lemah, manusia akan mencelanya dengan mengatakan dirinya “lemah” atau “kurang”. Padahal Allah Jalla Wa ‘Ala berfirman,
وَإِمَّا يَنزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Dan jika syaitan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.(Qs: Fushilat : 36).
Berapa banyak orang-orang lupa, bahwa Allah Ta’ala menyifati diri-Nya dengan sifat ini serta memberi pujian bagi orang-orang yang mau melakukannya.
Sumber: (http://www.alinshof.com/2010/01/akhlak-orang-yang-berjiwa-besar-bag-i.html)
[Materi ini pernah disampaikan oleh Ust Ridwan Hamidi dalam kajian di Masjid Pogung Raya beberapa tahun silam. Namun karena panjangnya materi, maka dibagi dalam beberapa tulisan.]