Home » Fiqih » Ushul Fiqih » 09. Syarah Waraqat – Pembagian Hukum Taklifiy (mandub dan mubah)

09. Syarah Waraqat – Pembagian Hukum Taklifiy (mandub dan mubah)

Pembagian Hukum Taklifiy

  1. Al Mandûb

وَالـمَنْدُوبُ مَا يُثَابُ عَلَى فِعْلِهِ وَلَا يُعَاقَبُ عَلَى تَـرْكِهِ وَالـمُبَاحُ مَالَا يُثَابُ عَلَى فِعْلِهِ وَلَا يُعَاقَبُ عَلَى تَـرْكِهِ

Terjemahan

Al Mandûb adalah perbuatan yang mendapatkan pahala bagi orang yang melakukan perbuatan tersebut dan tidak di berikan sanksi/hukuman atas perbuatan orang yang tidak mengerjakannya. Adapun al Mubâh adalah perbuatan yang tidak mendapatkan pahala atas mengerjakannya dan tidak diberikan hukuman karena meninggalkannya.

Hampir sama dengan sebelumnya, ini salah satu definisi yang menggunakan hukum. di bawah bisa dilihat, ada yang memberikan definisi yang lain. Karena definisi dengan cara seperti ini (pendekatan sisi hukum) dianggap kurang tepat untuk menunjukan hakikat dari perbuatan tersebut. Berikut penjelasannya:

Bagian kedua, Al Mandûb redaksi aslinya المندوب اليه. Pembuangan huruf jar dikarenakan sudah difahami.

Yang dimaksud huruf jar beserta dhomirnya.

Penghapusan dalam bahasa arab sudah umum dalam bahasa arab. Penghapusan bisa terjadi diberbagai tempat. Seperti penghapusan mubtada, huruf jar, khabar atau menghapuskan bagian dari kalimat itu adalah hal yang biasa jika sudah bisa dipahami.

Secara bahasa adalah isim maf’ul dari الندب. Yaitu ajakan untuk mengerjakan perbuatan.  Sebagian ulama lain membatasi makna mandub ini dengan ajakan pada sesuatu yang penting.

Jika ajakan tersebut pada perbuatan yang tidak penting tidak dinamakan mandub. Seperti yang pernah disampaikan sebelumnya, perlu kiranya membiasakan diri mengenali mushthalahât (istilah-istilah) sekaligus memahami makna istilah tersebut.

Berkata seorang penyair:

لَا يَسْأَلُونَ أَخَاهُم حِينَ يَنْدُبُـهُم # فِي النَائِبَاتِ عَلَى مَا قَالَ بُرْهَانَا

Terjemahan

Mereka tidak meminta pada saudara mereka ketika mengajak mereka pada sesuatu yang penting atas apa yang dia mengatakan petunjuk

Syair di atas digunakan untuk menjadi dalil makna dari kata يندب itu artinya mengajak.

Sedangkan menurut istilah, mandûb adalah sesuatu yang pembuat syari’at menuntut untuk dikerjakan dengan tuntutan yang tidak kuat.

Redaksi pembeda dengan wajib adalah غير جازم (tidak kuat). Sedangkan wajib dengan kuat.

Contohnya bersiwak, ibadah-ibadah rawatib, menggunakan wewangian pada hari Jum’at.

Yang dimaksudkan ibadah rawatib seperti salat sunah rawatib yang mengiringi salat wajib baik itu qabliyah maupun ba’diyah. Sedangkan maksud dari menggunakan wewangian baik itu di kepala, di tubuh ataupun di pakaian.

Dengan batasan yang pertama hukum harâm, makrûh dan mubâh keluar dari definisi. Sedangkan dengan batasan yang kedua hukum wâjib yang keluar.

Adapun mandûb sebagaimana penulis al waraqat (syaikh al Juwaini) mengatakan adalah seorang mukallaf akan diberi pahala karena mengerjakannya dengan niat melakukannya karena ketaatan dan tidak dihukum karena meninggalkannya.

Mandûb itu seakan-akan seperti pelayannya wajib. Mandûb itu adalah pendorong yang kuat untuk komitmen dengan kewajiban-kewajiban. Ditambah lagi mandûb bisa berfungsi untuk menambal kekurangan yang ada pada ibadah wajib. Sebagaimana sunnah menunjukkan hal tersebut.

Ketika ada kekurangan dalam pelaksanaan ibadah wajib, mandûb inilah yang menutupi kekurangan tersebut. Keterangan tersebut bisa dilihat dalam kitab tuhfatul ahwadzi syarh sunan at Tirmidzi.

Imam asy-syathibi mengatakan: “Mandûb itu jika anda memperhatikan kemudian memperhitungkannya dengan pertimbangan yang lebih umum, lebih luas maka anda akan dapati mandûb itu berkhidmat, membantu ibadah yang wajib. Karena mandûb itu bisa menjadi muqaddimah bagi yang wajib atau sebagai pengingat bagi yang wajib tadi. Dia masuk jenisnya yang wajib atau bukan.  Yang masuk dalam jenis yang wajib Seperti shalat nawâfil dan shalat fardhu.

Yang dimaksud dengan dalam jenis yang wajib adalah antara yang mandûb dengan yang wajib itu sejenis. Contoh di atas shalat nawâfil dan shalat fardhu sama-sama jenisnya shalat.  Contoh yang lain adalah puasa. Ada puasa nawâfil ada puasa fardhu. Contoh lain, ada umrah wajib sekali seumur hidup ada umrah nawâfil.

Yang masuk selain jenis yang wajib. Seperti bersiwak, menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur”

Dalam bersiwak tidak ada bersiwak wajib lalu bersiwak sunnah.  Tidak ada menyegerakan berbuka wajib dan sunnah. Yang ada itu puasa wajib dan puasa sunnah. Begitu juga mengakhirkan sahur. Itulah penjelasan yang disebutkan oleh Imam asy-syathibi dalam al-muwafaqat. 

Ungkapan beliau (imam asy-syatibi) ini bermakna siapa yang menjaga ibadah-ibadah mandûb maka dia orang yang berpeluang untuk bisa menjaga ibadah-ibadah wajib.  Dan siapa yang kadang-kadang melalaikan, kurang perhatian, mengabaikan ibadah-ibadah mandûb maka dia berpeluang juga untuk mengabaikan, kurang perhatian atau kurang serius, kurang sungguh-sungguh mengerjakan Ibadah wajib.

Bahasan seperti ini penting ketika bicara dalam bahasan yang berhubungan dengan ibadah mandûb. Tidak hanya bicara hukumnya tapi juga bicara bagaimana pentingnya ibadah mandûb dikaitkan dengan ibadah wajib. 

Jumhur ulama ushul fiqih berpendapat bahwa mandûb itu diperintahkan secara hakiki sebagaimana yang disebutkan dalam definisi. Karena mandûb itu merupakan ketaatan. Ketaatan itu dilakukan dengan mengerjakan perintah Allah ta’ala. Maka bisa disimpulkan bahwa mandûb itu diperintahkan secara hakiki.

Dalam surat an-nahl ayat 90 Allah ta’ala berfirman إن الله يأمر بالعدل والإحسان (Allah memerintahkan berbuat adil dan berbuat Ihsan) ini adalah perintah yang bersifat umum. Yang mencakup ibadah wajib dan mandûb. Insyaallah dalam babالأمر  akan ada pembagian amr itu menunjukan wajib dan menunjukan istihbâb.

Setelah definisi, sekarang dilanjut bahasan istilah-istilahnya,

Mandûb juga dinamakan sunnah, mustahab, tathawwu’ dan nafl. Ini menurut pendapat Jumhur.

Selain istilah mandûb ada 4 nama lain. Keseluruhannya ada 5.

Seperti pernah disampaikan, belajar ushul fiqih itu kalau ingin belajar secara bertahap, kelihatannya seperti sederhana tetapi tangga-tangga itu sudah mulai terasa. Di setiap halaman yang dibahas akan didapatkan, kalau bukan mushthalahât, ada rumusan yang berkaitan dengan bahasan-bahasan ushul fiqih. Kelima istilah ini harus dikenali dengan porsi yang sama. Artinya yang belajar harus tahu atau hafal dengan istilah-istilah seperti ini. Bisa jadi nanti di tempat-tempat yang lain menggunakan istilah tathawwu’. Sementara istilah itu bagi sebagian belum tentu familiar.

Kata jumhur di sini maksudnya selain ulama Hanafiyah.  

Berbeda dengan ulama Hanafiyah, mereka berpendapat bahwa mandûb itu sama dengan nafl dan meninggalkannya tidak tercela. Mereka membedakan antara sunnah dan nafl. Mereka menjadikan sunnah lebih tinggi kedudukannya daripada nafl. Jika ada penguat maka meninggalkannya masuk kategori makrûh tahrîm, jika tidak diberikan penguat maka masuk kategori makrûh tanzîh.

Kalau mandûb itu disamakan dengan nafl berarti mandûb di bawah sunnah menurut ulama Hanafiyah. Membaca buku-buku ulama Hanafiyah, mereka punya konsep yang berbeda dengan jumhur.

Oleh karena itu, pemahaman tentang hal seperti ini penting untuk dipahami dengan baik. Sudah harus dihafal. Karena saat ini, kadang-kadang ada orang membaca buku dan kitab dari beberapa sumber, seperti mausû’ah fiqhiyah quwaitiyah dan yang lain namun nampak terlihat bangunan ushul fiqih dalam benaknya itu belum cukup kokoh. Sehingga kadang-kadang muncul kerancuan-kerancuan ketika mengambil rujukan dari beberapa madzhab. Yang keliru bukan kitabnya namun yang menukil atau mengambil potongan dari kitab tersebut. Sementara rumusan dari madzhab itu ada yang berbeda.  Menjadi berbahaya ketika ushul fiqih ini tidak terlalu kokoh, membahas fiqih pun tidak dengan bangunan yang kokoh.

Seperti kasus beberapa saat yang lalu ada video yang sempat beredar tentang larangan memakai masker ketika shalat. Argumentasi dalam video tersebut menggunakan hadits yang terdapat dalam beberapa kitab sunan. di antara sunan Ibnu Majah dan hadist dalam sunan Abu Daud. Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam melarang orang menutup mulutnya ketika shalat. Hadit ini tidak ditempatkan langsung ke ushul fiqih. Ini masuk kategori larangan yang haram atau makruh? Kalau makruh, makruh apa? Ketika hadits tersebut difahami oleh seseorang yang dibenaknya sudah terbentuk ushul fiqih, maka yang pertama di cari, hukumnya apa dikalangan para ulama? Ketika disebutkan bahwa larangan tersebut statusnya makruhnya tanzîh, maka ketika ada darurat/hajat apalagi hajatnya tunazzalu manzilati al dharurât maka makruh tadi akan difahami gugur atau hilang. Tidak lagi berstatus makruh karena ada hajat.

Keterangan seperti itu bisa dilihat penjelasan beberapa Imam. Ada kondisi-kondisi yang menyebabkan orang boleh mengerjakan shalat sambil menutup mulutnya dan atau hidungnya ketika sedang shalat.  Udzur-udzur itu dituliskan beragam.  Mulai dari yang sudah pasti adalah menguap, disuatu riwayat disebutkan dalam shalat diperintahkan untuk menutup mulutnya. Atau kondisi ketika dingin yang luar biasa atau juga ketika mencium bau yang sangat menyengat. Aktifitas menutup pun kadang-kadang menggunakan bahan tertentu yang bukan cuman menutup hidungnya namun juga mulut.

Inilah pentingnya memahami rumusan. Walaupun dalam bahasan yang sederhana ini, sudah bisa dilihat bagaimana tanda-tanda tersebut.

  1. Al Mubâh

Secara bahasa mubâh itu yang di umumkan dan yang diizinkan. Dikatakan: باح فلان بسره (si fulan menampakan rahasianya). Contoh lain: أباح الرجل ماله (seseorang mengizinkan hartanya untuk diambil dan tidak diambil). Contoh lain: استباح الناس العشب (mereka membiarkan/mengizinkan rumput-rumput).

Kata باح، أباح، مباح artinya sesuatu yang dinampakan, diizinkan atau dibolehkan. Kemudian dalam bahasa Indonesia juga bisa difahami dengan istilah seperti ini yaitu ini mubah (boleh).

Sedangkan menurut istilah, perbuatan yang tidak berhubungan dengan Amr dan Nahyi pada dzatnya. Seperti mandi untuk mendinginkan dan mendatangi (berhubungan badan) dengan istrinya pada malam-malam puasa.

Kondisinya panas terus mandi supaya dingin. hukumnya mubah. Panas lalu mandi padahal tadi sudah mandi lalu mandi lagi ini mubah. Begitu juga berhubungan badan dengan istri pada malam puasa.

Keluar dari batasan yang pertama (perbuatan yang tidak berhubungan dengan Amr) wâjib dan mandûb. Karena wâjib dan mandûb itu diperintahkan. Keluar dari batasan yang kedua (dengan Nahyi) haram dan makrûh. Karena haram dan makrûh itu dilarang. Keluar dari batasan ketiga (karena dzatnya) jika mubah tersebut adalah wasilah (sarana) untuk perbuatan yang diperintahkan, maka ini berhubungan dengan Amr. Bukan karena perbuatan mubah itu sendiri akan tetapi lebih karena dia menjadi wasilah (sarana) untuk perbuatan yang diperintahkan. Atau perbuatan mubah itu sebagai wasilah untuk yang dilarang, maka dia masuk kategori sebagai perbuatan yang ada hubungannya dengan larangan. Bukan karena perbuatan mubah itu sendiri akan tetapi lebih karena dia menjadi wasilah (sarana) untuk perbuatan yang dilarang. Seperti contoh Makan. Makan ini perbuatan yang pada asalnya mubah. Jika makannya itu dikaitkan dengan bertahan hidup maka dia menjadi diperintahkan. Sebagaimana disebutkan terdahulu. Contoh kedua, makan buah-buahan. Masuk kategori mubâh. Akan tetapi jika menyebabkan keterlambatan berangkat ke masjid, maka makan tersebut menjadi dilarang. Sebagaimana disebutkan terdahulu.

Mau makan atau menunda makan, atau makan setelah terbit matahari, atau makan nanti setelah terbenam matahari, tetapi jika makannya itu dikaitkan dengan bertahan hidup maka dia menjadi diperintahkan.

Contoh yang lain misalnya berjalan. Berjalan itu mubah. Akan tetapi jika berjalan dikaitkan dengan thawaf, dengan sa’i. jika dikaitkan berjalan tadi berubah dari mubah menjadi wajib jika dikaitkan dengan wajib. Menjadi dilarang jika dikaitkan dengan larangan.

Dari definisi mubâh ini maka jelaslah mubâh itu tidak diperintahkan. Karena Amr itu mewajibkan perbuatan atau merajihkan (lebih ditekankan/dikuatkan) perbuatan tersebut untuk dikerjakan. Dalam perbuatan mubah, mengerjakan tidak dianggap lebih kuat daripada meninggalkan. Keduanya sama.

Adapun hukum mubâh sebagaimana disebutkan oleh penulis al waraqat adalah tidak ada pahala pada mengerjakannya dan tidak ada hukuman pada meninggalkannya. Ini adalah pendapat jumhur ulama ushul fiqih. Yang dimaksud disini adalah untuk mubâh yang tetap pada sifat ibâhah (mubah). Adapun mubâh yang menjadi wasilah (sarana) untuk perbuatan yang diperintahkan atau mubâh yang menjadi wasilah (sarana) untuk sesuatu yang dilarang maka hukumnya mengikuti hukum di mana dia menjadi wasilah (sarana) untuk hal tersebut. Sebagaimana disebutkan di atas tadi.

Mubâh itu bisa ditetapkan dengan shighat bermacam-macam yang terdapat pada nashnash syar’i. Diantaranya:

  1. نفي الإثم والجناح والحرج(menafikan dosa, junâh dan haraj). Seperti firman Allah ta’ala ليس عليكم جناح أن تبتغوا فضلا من ربكم (tidak ada dosa atas kamu sekalian mencari keutamaan (di sela-sela perjalanan ibadah haji melakukan aktivitas jual-beli) dari Tuhan kamu sekalian).

Firman Allah:  ليس على الأعمى حرج ولا على الأعرج حرج ولا على المريض حرج (tidak ada dosa atas orang yang buta, orang yang pincang, orang yang sakit)

Orang  yang punya cacat mereka tidak berdosa seandainya mereka pada saat ada seruan untuk berjihad lalu mereka tidak bisa berangkat karena udzur tadi. Karena memang cacat maka tidak bisa dipaksakan.

Firman Allah:

إنما حرم عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير وما أهل به لغير الله فمن اضطر غير باغ ولا عاد فلا إثم عليه

Dari ketiga ayat diatas, yang perlu digaris bawahi adalah redaksi ليس جناح  pada ayat pertama, lalu redaksi ليس حرج  pada ayat kedua, dan redaksi فلا إثم  pada ayat ketiga. Ketiganya menunjukan perbuatannya mubah.  

  1. النص علي الحل(disebutkan secara tersirat dengan menunjukkan makna halal). Seperti firman Allah ta’ala: أحل لكم ليلة الصيام الرفث إلي نسائكم (dihalalkan bagi kalian pada malam puasa rafats kepada istri-istri kamu sekalian).

Kata أحل yang menunjukan makna mubah

  1. عدم النص على التحريم(tidak ada nash yang menunjukan makna haram). Syaikhul islam Ibnu Taimiyah berkata: انتفاء دليل التحريم دليل على عدم التحريم (tidak adanya dalil yang menunjukkan keharaman perbuatan menjadi dalil bahwa perbuatan tersebut tidak diharamkan)

Setelah menelusuri dalil-dalil yang ada dan tidak ditemukan dalil yang mengharamkan berarti mubah. 

  1. Allah memberikan karunia sebagai bentuk nikmat baik pada benda berupa manfaat dan pada perbuatan yang terkait dengan ini.

Allah tunjukan pada benda atau perbuatan tersebut manfaat dan keuntungan yang bisa didapatkan. Lalu diperbolehkan mengambil manfaat hukumnya mubah.  

Seperti firman Allah ta’ala: ومن أصوافها وأوبارها وأشعارها أثاثا ومتاعا إلى حين.

Boleh memanfaatkan rambutnya, bulunya. Ketika disebutkan seperti itu berarti hukumnya mubah. Allah menyebutkan karuniaNya kepada hambaNya untuk bisa dimanfaatkan berarti hukumnya mubah.

  1. Adanya pentunjuk-petunjuk yang mengalihkan hukum amr (makna wajib) kepada makna mubah. Seperti firman Allah ta’ala: وإذا حللتم فاصطادوا(dan apabila telah bertahalul maka berburulah). Pembahasan ini insyaAllah nanti akan ada lebih lengkap di belakang pada saat membahas tentang Amr.

Tadinya tidak boleh berburu sekarang ada perintah berburu. Berarti boleh. Kebolehan ini terjadi setelah tahalul.  

Untuk menamakan mubâh ada lafadz lain yang digunakan yaitu halâl. Padahal halâl itu lebih luas daripada mubâh. Karena halâl itu digunakan untuk empat hal: wajib, mandub, makruh dan mubâh.

Keempat hal tersebut sama-sama disifati dengan halâl.

Dan mubâh tidak digunakan untuk 3 yang lain.

Maksudnya tidak digunakan untuk wajib, mandûb dan dan makruh.

Akan tetapi penggunaan mubâh untuk dua hal yang sama dari dua sisi itulah penggunaan dari sisi hukum asalnya.

Asal mubâh itu tidak berhubungan dengan Amr dan tidak berhubungan dengan nahyi. Hukum asalnya begitu.

(Selain halal), nama lain dari mubâh itu Jâiz. Jaiz itu digunakan untuk semua yang sesuai dengan syariat.

Jika muncul pertanyaan: “Kenapa mubâh itu dimasukkan ke dalam hukum taklif yang 5 padahal disitu tidak ada taklifnya sama sekali?”

Jika dikatakan mubah tidak ada pembebanan. Berbeda dengan wajib, begitu juga sunnah. Wajib dan sunnah dibebani taklif, sama dengan makruh dan haram.

Jawaban: yang diungkapan oleh jumhur ulama ushul fiqih memasukkan mubah ke dalam hukum taklifi itu karena melihat yang dominan dan ini penamaan yang umum yang sudah dikenal dalam bahasa arab dan uslubnya. Contoh: الأسودان, adalah istilah  istilah untuk kurma dan air.

Padahal semua tahu air yang diminum warnanya bukan hitam. Yang berwarna hitam itu kurma. Akan tetapi dua itu dinamakan الأسودان (dua yang hitam. kurma dan air). Istilah ini tidak salah karena itu sudah ma’rûf.

Begitu juga الأبوان bermakna bapak dan ibu.

Secara harfiyah seharusnya diterjemahkan dua bapak. Padahal maksudnya adalah Bapak dan Ibu. Ini sudah jadi istilah. Ini digunakan untuk bapak dan ibu.

Masalah ini muncul karena hukum-hukum syari’at itu di situ ada pembebanan dan masyaqqah. Tentu rumusan ini tidak sepenuhnya bisa diterima.

Berangkat dari pemahaman itu lalu kemudian mempersoalkan mubah tadi. 

Bahwa perintah-perintah dan larangan-larangan Allah itu di dalamnya ada sesuatu yang menjadi beban dan berat adalah perkataan yang baru. Yang pertama kali menggunakan istilah ini adalah mu’tazilah. Dan ini tidak berlaku pada banyak hukum-hukum syari’at. Banyak dari ibadah-ibadah fardhu, ibadah wajib apalagi ibadah yang mubâh disitu tidak ada pembebanan, tidak ada sesuatu yang berat. Akan tetapi di situ dirasakan ada ketenangan, ada petunjuk, ada cahaya. Allah mensifati syari’atnya dengan kemudahan. Allah meniadakan kesulitan dalam perintah-perintah syari’at.

Ibnu Taiyimah berkata: “

Oleh karena itu tidak ditemukan dalam Al Qur’an, sunnah dan perkataan ulama Salaf, tidak ada yang menamakan iman dan amal saleh itu sebagai taklif (beban) sebagaimana banyak dari ahlu kalam dan orang yang mengkaji, mendalami fiqih menggunakan istilah tersebut. Akan tetapi ditemukan dalam Al Qur’an penyebutan taklif itu dalam bentuk nafi (menegasikan) bukan itsbat (menetapkan). Sebagaimana firman Allah ta’ala: لايكلف الله نفسا إلا وسعها (Allah tidak membebani seseorang kecuali dia mampu).

Di sini terjadi penyebutan taklif akan tetapi ada لا berarti bermakna nafi. Allah menyebutkannya dengan menegasikan.

Maksud dari ayat di atas adalah apabila ada taklif (terdapat masyaqqah) tidak akan diberikan taklif tersebut kecuali masih bisa dikerjakan.

Ada orang yang mengatakan, shalat itu ada beratnya. Iya, akan tetapi masih bisa dikerjakan. Orang normal masih bisa mengerjakannya.

Tidak semua syari’at itu taklif (dalam artian beban yang berat) padahal mayoritas hukum syari’at itu sebagai penyejuk, yang membuat hati menjadi senang dan menjadi kenikmatannya ruh dan menjadi kesempurnaan kenikmatan.

Artinya bisa ditemukan ada orang shalat menikmati shalat. Merasakan kenikmatan yang lebih dari sekedar kenikmatan orang makan, minum dan tidur. Kenikmatan-kenikmatan tadi kalah dibandingkan dengan kenikmatan bermunajat kepada Allah, kenikmatan  berdzikir dan kenikmatan tilawatil Qur’an. Sehingga kalau dikatakan orang tersebut terbebani nampaknya tidak tepat. Justru orang tersebut menikmati. Merasakan kebutuhan dan ada kepuasan. Ada ungkapan ulama salaf “Kalau seandainya para penguasa, raja-raja tahu kenikmatan yang kita rasakan, mereka bisa merebutnya dengan pedangpedang mereka

Bahasan yang berkaitan dengan mandub dan mubah beberapa akan berhubungan dengan bab-bab berikutnya di belakang seperti misalnya amr.

 

Check Also

011. Syarah Waraqat – Sebagian Hukum Wad’i (Shahih dan Bathil)

  Sebagian Hukum Wad’i   Kesempatan ini masuk ke bahasan ahkâm Wad’i. lebih tepatnya sebagian …