Home » Fiqih » Ushul Fiqih » 08. Syarah Waraqat – Pembagian Hukum Taklifiy (wajib)

08. Syarah Waraqat – Pembagian Hukum Taklifiy (wajib)

https://www.youtube.com/watch?v=HOR7O1-lxV8

Pembagian Hukum Taklifiy

Pada pertemuan sebelumnya baru mengantarkan pada pembahasan tentang ahkâm.  Pada kesempatan kali ini akan masuk dalam bahasan jenis-jenis hukum taklifi. Hukum taklifi ini jenisnya ada lima. Di sini imam haramain al Juwaini mengatakan:

  1. Wajib

فَالوَاجِبُ مَا يُثَابُ عَلَى فِعْلِهِ وَيُعَاقَبُ عَلَى تَـرْكِهِ

Terjemahan:

Wajib adalah perbuatan seseorang akan mendapatkan pahala ketika mengerjakan dan akan diberikan hukuman ketika meninggalkannya

Ini adalah bagian pertama dari hukum taklifi yaitu wajib. Secara bahasa wajib bermakna jatuh dan tetap. Karena sesuatu yang jatuh itu akan tetap di tempatnya. Maka sesuatu yang tidak ada peluang untuk berpindah melarikan diri dari tempat tersebut maka dinamakan wajib. Di dalam kamus disebutkan وجب يـجب وجبة maknanya سقط. Pada redaksi الشمس وجبا ووجوبا, kata وجبا ووجوبا maknanya hilang karena disandingkan dengan matahari. Makna lengkapnya hilang matahari.  Kata الوجبة bermakna jatuh benda disertai suara.  Allah ta’ala berfirman: فإذا وجبت جنوبها فكلوا منها makna dari kata وجبت adalah سقطت. Contoh yang lain adalah perkataan syair:

أَطَاعَتْ بَنُو عَوفٍ أَمِيْرًا نَـهَاهُمُو # عَنِ السِّلْمِ حَتَّى كَانَ أَوَّلَ وَاجِبٍ

Terjemahan:

Banu Auf menaati amirnya yang melarang mereka dari menyerah karena menyerah adalah awal dari kejatuhan.

Syair di atas untuk menunjukan bahwa kata واجب bermakna سقط. Biasanya perkataan penyair yang dijadikan acuan untuk memaknai itu mempertimbangkan zaman atau masa ketika syair itu diucapkan. Ada syair-syair yang diucapkan oleh para penyair pada zaman ketika syair itu bisa dijadikan hujjah untuk bahasa.

Tentu  kalau ingin memperkaya makna ini bisa dirujuk kamus-kamus bahasa. Termasuk juga lisânul arab menjadi rujukan utama.

Dalam mendefiniskan wajib menurut istilah, mayoritas ulama-ulama ushul fiqih mendefinisikan wajib dengan batasan. Maksudnya menjelaskan hakikat dan wujudnya. Sedangkan sebagian ulama ushul fiqih yang lain mendefinisikan dengan rasm. Rasm yaitu mendefinisikan sesuatu dengan menjelaskan buahnya, hukumnya, dan pengaruh atau dampaknya.

Ketika ada ungkapan istilâhan itu tergantung dari ilmu yang dipelajari. Ketika yang dibicarakan itu ushul fiqih maka kata wajib yang dimaksud adalah istilâhan ilmu ushul fiqih bukan yang lain.

Memperhatikan definisi yang disebut oleh Imam Al juwaini, definisi tersebut bukan pada hakikat tetapi pada hukum. Definisi yang disajikan beliau menjelaskan wajib adalah perbuatan orang akan mendapatkan pahala dari mengerjakan dan mendapat hukuman dari meninggalkan. Ini definisi dengan rasm. Definisi dengan menjelaskan buahnya, hukumnya dah dampaknya. Belum menjelaskan hakikat nya.

Dan definisi dengan cara pertama (dengan batasan) itu lebih dalam atau lebih teliti.  Karena hukum terhadap sesuatu adalah cabang dari persepsi tentang sesuatu tersebut.

Terasa sulit untuk menetapkan hukum kalau tidak punya gambaran tentang sesuatu tadi.

Oleh karena itu, Imam Ibnu ‘Aqil berkata: “Para ulama muhaqqiqun keberatan dan enggan menerima definisi tapi isinya adalah hukum”.  Imam al Fatûhiy dalam syarhnya (syarh al kaukab al munîr) beliau menganggap bahwa inilah pendapat yang baik.

Maksud imam al Fatûhiy, jika mendefinisikan seharusnya bukan dengan hukum tapi mendefinisikannya dengan hakikatnya.

Dan penulis matn al waraqat menggunakan cara yang kedua (rasm). Beliau menyebutkan sifat yang didalamnya punya kesamaan semua kewajiban. Yaitu pahala atas mengerjakan dan mendapat hukuman karena meninggalkan.

Adapun definisi wajib dengan cara yang pertama (batasan) adalah

مَا طَلَبَ الشَارِعُ فِعْلَهُ طَلَبًا جَازِمًا

Terjemahan

Sesuatu yang pembuat syariat menuntut untuk dikerjakan dengan tuntutan yang kuat.

Ini definisi wajib berdasarkan hakikat.

Seperti shalat, zakat, birrul walidaini, silaturahim, menempati janji dan jujur.

Pembuat syariat menetapkan bahwa hal-hal ini wajib. Kewajiban yang tegas. Jika orang sampai meningggalkan shalat ancamannya keras. Meninggalkan zakat padahal wajib berzakat ancamannya juga keras. Birrul walidain, kalau sampai tidak di kerjakan bahkan sampai uqûqul wâlidain ancamannya juga tegas. Ini namanya wajib.

Biasanya definisi itu diupayakan jâmi wal mâni’. Maka,  

Dengan batasan yang pertama hukum harâm, makrûh dan mubâh keluar dari definisi. Sedangkan dengan batasan yang kedua hukum mandûb yang keluar.

Batasan dari definisi di atas, ada pada redaksi طلبا dan جازما. Dengan adanya redaksi thalab pada definisi, otomatis yang namanya hukum haram, makruh dan mubah keluar dari definisi ini. Karena yang namanya haram, makruh dan mubah bukan termasuk thalab namun kebalikannya. Insyaallah penjelasannya di belakang. Sedangkan pembatas yang kedua yaitu jâzim berfungsi mengeluarkan hukum mandub dari definisi. Mandub itu termasuk thalab namun ghair jâzim.

Selanjutnya, hukum wajib itu baik mengerjakan atau tidak mengerjakan, sebagaimana disebutkan oleh penulis al waraqat adalah pelakunya akan diberikan pahala dan yang meninggalkannya akan diberikan hukuman. Ini memerlukan 2 hal:

  1. Dibatasi dengan al imtitsâl bagi pahala.Artinya diberi pahala atas perbuatannya karena al imtitsâl.

Al imtitsâl itu artinya mengerjakan sesuatu karena ketundukan dan kepatuhan. Istilah ini dikenal di beberapa ceramah, imtitsâl itu menjalankan perintah berangkat dari ketaatan kepada Allah subhânahu wa ta’âla. Ketika Allah memerintahkan kerjakan shalat, itu dikerjakan karena perintah Allah semata walaupun bisa jadi dalam pengerjaan bisa karena hal lain. 

Di beberapa buku ushul fiqih kata imtitsâlan ditambahkan untuk membatasi bahwa yang dinamakan wajib itu dia dapat pahala atau dapat hukuman karena imtitsâlan. Jika sesuatu dikerjakan karena kebetulan ada sesuatu yang lain bukan karena ta’at kepada Allah azza wa jalla dia tidak mendapatkan pahala.

Kalau dikaitkan dengan niat inilah perlunya niat itu ada dan menyertai pada amalamal yang dikerjakan.

  1. Seandainya redaksi ويعاقبdiganti dengan ungkapan ويستحق تاركه العقاب maka penggunaan istilah ini lebih baik. Karena kewajiban-kewajiban yang kalau orang meninggalkannya maka dia tidak secara otomatis mendapatkan iqâb (mendapatkan hukuman) akan tetapi dia dalam kehendak Allah ta’ala. Seperti berbakti pada orang tua. Allah berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا [النساء: 48]

Terjemahan:

Sesungguhnya Allah ta’ala tidak mengampuni dosa kesyirikan. Dan Allah mengampuni dosa di bawah kesyirikan bagi hamba-hamba Allah yang dikehendaki. Barang siapa yang berlaku kesyirikan terhadap Allah ta’ala sungguh dia berada dalam dosa yang besar (An Nisa: 48).

Sebagian yang mensyarh matan al-waraqat memberikan penjelasan yang semua itu untuk meluruskan ungkapannya. Jalaluddin al Mahally berkata: “Cukup keberadaan satu orang yang melakukan kemaksiatan sementara yang lain dimaafkan untuk hadirnya hukuman bagi yang meninggalkan. Boleh saja yang beliau (syaikh al waraqat) maksudkan: Ada konsekuensi dari wajib tersebut hukuman jika meninggalkan perbuatannya sebagaimana ulama-ulama yang lain mengungkapkan. Tidak menafikan ampunan.”

Maksudnya kalau perbuatan wajib ditinggalkan berkonsekwensi mendatangkan hukuman. Meskipun bisa jadi nanti diampuni atau dimaafkan. Berkonsekwensi artinya jika tetap dikerjakan dan tidak mendapatkan ampunan maka akan mendapatkan hukuman.  

Jawaban yang kedua lebih baik.  Karena konsekuensi adanya hukuman itu tidak mengharuskan terjadinya hukuman.

Kalau disebutkan bahwa wajib itu adalah orang yang meninggalkan perbuatan tersebut akan berdampak pada mendapatkan hukuman (dari definisi rekdaksi kedua), apakah kalau setiap yang meninggalkan perbuatan pasti mendapatkan hukuman? Belum tentu. bisa iya, bisa tidak. Akan tetapi perbuatan meninggalkannya tersebut akan mendatangkan hukuman.

Wallahu a’lam.

Wajib itu memiliki klasifikasi yang paling penting ada tiga:

  1. Klasifikasi pertama, dengan pertimbangan perbuatan.Klasifikasi ini ada dua:
  2. Wajib mu’ayyan. Inilah yang paling banyak. Yaitu kewajiban yang tidak bisa digantikan oleh yang lain. Seperti Shalat, Shaum dan yang lainnya.

Ketika ada ayat وأقيموا الصلاة artinya kerjakan shalat. bukan pilihan, boleh shalat boleh puasa boleh infaq. Ketika كتب عليكم الصيام berarti puasa. Tidak ada pilihan. Bukan bisa diganti dengan zakat fitrah atau diganti dengan Haji.

  1. Wajib Mukhayyar. Kewajibanyang seorang mukallaf diberikan pilihan antara hal-hal yang terbatas. Cukup mengerjakan salah satu dari kewajiban-kewajiban tersebut. seperti pilihan-pilihan berupa memberi makan, pakaian atau memerdekakan budak.

Wajib mukhayyar itu pilihannya lebih dari 1. Tentu jika dibandingkan wajib mu’ayyan, wajib mu’ayyan tentu lebih banyak.

  1. Klasifikasi kedua, dengan pertimbangan waktunya. Klasifikasi ini ada dua:
  2. Wajib mudhayyaq. Kewajiban yang sudah ditetapkan waktunya. Tidakbisa lebih dari cukup mengerjakan kewajiban tersebut. Seperti puasa Ramadhan.

Waktu yang tersedia terbatas. Waktu yang tersedia hanya cukup untuk mengerjakan perbuatan tersebut. Seperti dalam contoh puasa Ramadhan. Puasa Ramadhan dikerjakan seseorang pilihannya hanya cuma bisa dikerjakan sekali. Seandainya Ramadhan berjumlah 30 hari, maka cuma bisa mengerjakan 30 hari itu. Tidak ada waktu cadangan atau waktu alternatif. Begitu tidak bisa mengerjakan 1 hari, langsung namanya mengqadha.

  1. Wajib Muwassa’un. Kewajiban yang waktu pelaksanaannya lebih dari cukup waktu untuk mengerjakannya. Seperti shalat.

Pada shalat shubuh misalnya. Meskipun waktu pelaksaan shalat shubuh terbatas, namun masih lebih dari cukup untuk mengerjakannya. Begitu adzan bisa langsung shalat shubuh. Mau nunggu setelah iqamat masih bisa. Mengerjakan 10 menit setelah iqamat masih bisa. Setelah 15 bahkan 25 menit setelah iqamat masih bisa mengerjakan.  Karena mengerjakan shalat subuh batasnya sampai sebelum terbitnya matahari. Itulah yang disebut muwassa’. Orang yang mengerjakan shalat shubuh baik yang mengerjakan langsung setelah adzan, setelah iqamat atau 10 menit setelah iqamat sampai ada yang mengerjakan sebelum terbitnya matahari, semua itu masuk kategori orang yang mengerjakan shalat shubuh pada waktunya. Ketika ada orang yang mengerjakan shalat shubuh setelah terbit matahari orang tersebut dinamakan mengqadha shalat shubuh.

  1. Klasifikasi ketiga, dengan pertimbangan orang yang mengerjakan. Klasifikasi ini ada dua:
  2. Wajib ‘ainy. Suatuperbuatan yang dituntut oleh pembuat syari’at untuk dikerjakan dari setiap (masing-masing pribadi) mukallaf terkena kewajiban tersebut. Seperti shalat lima waktu.

Populer disebut dengan fardhu ‘ain. Artinya setiap mukallaf baik laki-laki atau perempuan terkena kewajiban.  

  1. Wajib kifâiy. Suatu perbuatan yang dituntut oleh pembuat syari’at agar perbuatan tersebut dikerjakan, terwujud dan terlaksana tanpa menentukan siapa pelakunya.

Allah ta’ala perintahkan kepada hamba-Nya tanpa menentukan siapa yang dikenai kewajiban. Yang jelas kewajiban tersebut harus dikerjakan. Pokoknya terlaksana.  

Seperti menyalatkan jenazah dan menguburkannya. Adzan dan Qadha.

Contoh lain Peradilan. Pengadilan adalah kewajiban yang hukumnya fardhu kifayah. Harus ada yang melaksanakan kewajiban tersebut tapi bukan setiap mukallaf.

Wajib kifaiy itu harus harus dilaksanakan. Kewajibannya kepada jama’ah mukallaf. Jika sudah ada yang melaksanakan apa yang dimaksud itu sudah terwujud, maka kewajiban itu gugur dari yang lain. wallahu a’lam

Ini definisi wajib dan kemudian jenis-jenis wajib dilihat dari beberapa sisi. Dilihat dari sisi waktunya, siapa yang terkena kewajibannya. Paling tidak ada tiga yang perlu kita kenali.

Tadi disebutkan ada Syarh jalaluddin al Mahally (syarh al waraqat). Beliau menambahkan penjelasan tentang wajib dan fardu di kalangan ulama hanafiyah.  Ulama hanafiyah membedakan fardhu dan wajib. Fardhu itu perbuatan yang penetapan kewajibannya dengan dalil qathi. Sedangkan wajib penetapan kewajibannya dengan dalil dimana dari situ orang berijtihad untuk menetapkannya. Ini istilah yang dikenal dikalangan ulama hanafiyah. Sementara ulama-ulama lain tidak membagi dengan pembagian tersebut.

 

Check Also

011. Syarah Waraqat – Sebagian Hukum Wad’i (Shahih dan Bathil)

  Sebagian Hukum Wad’i   Kesempatan ini masuk ke bahasan ahkâm Wad’i. lebih tepatnya sebagian …