Definisi Ushul Fiqih dan Bab-Babnya
Ini merupakan inti bahasan dari ushul fiqih. Bahasan sebelumnya adalah pengantar untuk masuk ke bahasan ushul fiqih. Bahasan ini dimulai dari definisi ilmu ushul fiqih dan bab-babnya.
وَعِلْمُ أُصُولِ الفِقْهِ طُرُقُهُ عَلَى سَبِيلِ الْإِجْـمَالِ وَكَيْفِيَّةُ الِاسْتِدْلَالِ بِـهَا وَأَبْوَابُ أُصُولِ الفِقْهِ أَقْسَامُ الكَلَامِ وَالأَمْرُ وَالنَّهْيُ وَالعَامُ وَالـخَاصُّ وَالـمُجْمَلُ وَالـمُبَيَّنُ وَالظَّاهِرُ والـمُؤَوَّلُ وَالْأَفْعَالُ وَالنَّاسِخُ وَالـمَنْسُوخُ وَالإِجْـمَاعُ وَالأَخْبَارُ وَالقِيَاسُ وَالـحَظْرُ وَالإِبَاحَةُ وَتَرْتِيبُ الأَدِلَّةِ وَصِفَةُ الـمُفْتِى وَالـمُسْتَفْتِى وَأَحْكَامُ الْمُجْتَهِدِينَ
Terjemahan:
Ilmu ushul fiqih itu cara-caranya dengan cara yang masih bersifat Ijmaliy dan tata cara mengambil kesimpulan dari dalil-dalil tersebut. Adapun bab-bab dalam ushul fiqih itu (bahasan) jenis-jenis kalam, Amr dan Nahyu, ‘Âm dan Khâs, Mujmal dan Mubayyan, Dhâhir dan Muawwal, Perbuatan-perbuatan, Nasikh dan Mansukh, Ijma’, riwayat-riwayat, Qiyâs, Hadr, Mubah, urutan dalil-dalil, sifat mufti dan yang meminta fatwa serta hukum orang-orang yang berijtihad
Bahasan ushul fiqih itu bersifat ijmaliy (global) bukan tafshil. Bahasan tafshil tidak masuk dalam bahasan ushul fiqih. Bahasan pertama metode untuk istinbath fiqih dengan cara yang masih global dan bahasan kedua cara pengambilan kesimpulan terhadap dalil-dalil tersebut. Selanjutnya ada yang ketiga, berhubungan dengan keadaan orang yang mengambil kesimpulan. Yang ketiga ini nanti ada dalam penjelasannya.
Bab-bab yang menjadi bahasan ushul fiqih sebagai berikut:
Pertama, bahasan jenis-jenis kalam.
Kedua, bahasan Amr dan Nahyu. misalnya الأمر يقتضي الوجوب kemudian الأصل في الأمر للتراخي. Ini bahasan Amr yang pembahasan detailnya akan ada tersendiri di belakang.
Ketiga, bahasan ‘Âm dan Khâs,
Keempat, bahasan Mujmal dan Mubayyan
Kelima, bahasan Dhâhir dan Muawwal
Bahasan kedua s.d kelima disebutkan berpasang-pasangan. Amr-Nahyu, ‘Âm-Khâs, Mujmal-mubayyan, dhâhir-muawwal.
Keenam, bahasan perbuatan-perbuatan. Baik itu perbuatan mukallaf dan ini inti bahasannya ataupun bahasan perbuatan yang lain.
Ketujuh, bahasan Nasikh dan Mansukh. Baik ayat maupun hadits.
Kedelapan, bahasan Ijma’
Kesembilan, bahasan berita-berita atau riwayat-riwayat,
Kesepuluh, bahasan Qiyas
Kesebelas, Hadr. Hadr itu artinya yang biasa ada dalam pembahasan haram.
Kedua belas, bahasan mubah
Ketiga belas, bahasan urutan dalil-dalil. Misal, ketika ada dua dalil yang bertentangan, cara menyelesaikannya salah satunya dengan mengurutkannya. Bahasan urutan dalil ini diperlukan dan lengkap bahasannya ada di belakang.
Keempat belas, bahasan sifat mufti dan orang yang meminta fatwa
Kelima belas, bahasan hukum orang yang berijtihad.
Ini adalah definisi kedua dari ushul fiqih. Definisi ini dilihat dari sisi bahwa dia sudah menjadi istilah untuk ilmu ini dan sudah disampaikan di bahasan sebelumnya definisi ushul fiqih dilihat dari makna satu persatu katanya.
Ushul sudah dijelaskan artinya. Fiqih sudah dijelaskan artinya. Kata مفرديه sudah dijelaskan terdahulu maksudnya bukan bermakna mufrad satu atau tunggal, akan tetapi mufrad yang diamksud lawan dari tarkib (susunan).
Beliau (Syaikh al Juwaini) mengatakan:
عِلْمُ أُصُولِ الفِقْهِ طُرُقُهُ عَلَى سَبِيلِ الْإِجْـمَالِ وَكَيْفِيَّةُ الِاسْتِدْلَالِ بِـهَا
Perkataan penulis: (طرقه) artinya طرق الفقه.
Nanti akan dijelaskan pada baris berikutnya
Maksudnya dalil-dalil fiqih yang bersifat mujmal (global). Yaitu kaidah-kaidah yang masih bersifat umum yang dibutuhkan oleh faqîh. Seperti, الأمر للوجوب dan النهي للتحريم dan الإجماع حجة
الأمر للوجوب maknanya hukum asalnya perintah itu makna wajib. Dialihkan ke makna lain jika ada pengalihnya. Bisa berupa dalil atau bisa yang lainnya.
النهي للتحريم, maknanya menunjukkan kebalikan dari Amr. Hukum asalnya larangan itu menunjukkan makna haram.
الإجماع حجة, maknanya ijma’ itu adalah hujjah untuk bahasan-bahasan yang ada dalam semua bab fiqih. Nanti dalam bahasan ushul fiqih ada bahasan yang di bawah ijma’ namanya dhawabith. Khusus untuk bab-bab tertentu. Jadi kalau sudah ijma’ maka tidak boleh ada yang punya pendapat berbeda.
Ini semua berlaku pada semua. Inilah yang dinamakan kaidah. Contoh itu perlu dihadirkan agar diketahui bagaimana bentuk kaidah yang mujmal tersebut.
Dan yang seperti itu dari masalah-masalah yang dibahas ushul fiqih itu bersifat kulliy (menyeluruh atau umum).
Contoh lainnya, ada yang berhubungan dengan mutlaq-muqayyad, atau ‘Âm dan khas. Itulah kaidah-kaidah yang dimaksud dengan ushul fiqih. Bahasan ushul fiqih bersifat menyeluruh, umum, masuk ke semuanya. Bukan juziyyah. Bahasan yang sifatnya juziyyah dalam bahasan fiqih.
Adapun dalil-dalil tafshili tidak disebutkan di ushul fiqih kecuali disebutkannya dengan maksud hanya sekedar menyebutkan contoh dan penjelas.
Dalil-dalil yang rinci sebagai kebalikan dari ijmaliyyah. Dalam bahasan ushul fiqih jika terjadi penyebutan dalil-dalil rinci hanya untuk menyebutkan contoh dan penjelas dari kaidah yang dibahas.
Seperti firman Allah ta’ala أقيموا الصلاة وأتوا الزكوة dalam surah Al Baqarah ayat 43 menjelaskan untuk Amr.
Dari ayat tersebut disimpulkan bahwa shalat dan zakat itu hukumnya wajib berdasarkan kaidah الأمر للوجوب dan ayat jelas menunjukan Amr.
Seperti shalatnya Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam di dalam Ka’bah. Ini dijadikan contoh untuk perbuatan Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam yang menunjukkan bahwa perbuatan ini tidak mencakup semua jenis-jenis perbuatan.
Kalau nanti masuk di bahasan ushul fiqih, ada af’âlun Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam. Ada yang berhubungan dengan ibadah, ada yang berhubungan dengan الأفعال الجبلية, ada yang berhubungan dengan khâsais. Ketika muncul pertanyaan, “Apakah perbuatan Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam itu semuanya wajib di contoh?” jawabannya ada di buku ushul fiqih terkait bahasan tersebut. Termasuk bahasan dalam memetakan perbuatan-perbuatan tersebut sampai pada caranya menyimpulkan.
Contohnya ketika Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam berkendaraan. Para ulama menyimpulkannya tentang berkendaraannya. Bukan berkendaraan harus dengan jenis kendaraan yang sama persis seperti yang ada di zaman Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam yang tidak boleh menggunakan kendaraan yang lain. Sehingga kesimpulan berkendaraan dengan berbagai macam kendaraan yang setiap zaman bisa berkembang jenis kendaraannya.
Contoh untuk bahasan ijma’ atas bahasan بنت الابن (cucu perempuan dari jalur anak laki-laki) mengambil jatah warisan 1/6 bersama dengan anak kandung dimana ketika tidak ada yang mendapatkan bagian ‘ashabah.
Ini masuk kategori ijma’ artinya pembagian seperti ini ada di bahasan ilmu waris dan di ilmu waris bagian-bagian tersebut sudah jelas masuk kategori ijma’. Pemilihan contoh tersebut disengaja untuk menunjukan bahwa dalam bahasan ushul fiqih dengan melihat seluruh dalil yang ada mampu sampai pada kesimpulan masuk kategori ijma’.
Sedangkan untuk contoh pembagian waris yang lain, seperti hak nya suami yang berbeda antara suami yang punya anak dengan yang tidak, itu sudah sangat jelas terdapat dalam al Qur’an surat an Nisa. Itu pun masuk dalam kategori ijma’.
Dalam membuat contoh boleh dibuat yang sederhana atau dibuat yang lebih rumit tapi intinya ini termasuk kategori ushul fiqih.
Imam Abu Ali Al juwaini mendefinisikan ushul fiqih dengan طرق الفقه bukan dengan أدلة الفقه berdasarkan apa yang sudah masyhur sudah dikenal di kalangan mereka bahwa membedakan antara dalil dengan amârah (tanda-tanda). Mayoritas ushul fiqih itu bukan dalil tetapi amârah (tanda-tanda). Dan sudah di bahas sebelumnya bahwa pendapat ini adalah pendapat yang tidak cukup kuat.
Yaitu pendapat yang membedakan antara dalil dengan amârah (tanda-tanda). Ala kulli hâl, ada sebagian ulama ushul fiqih yang berpendapat membedakan antara dalil dengan amârah (tanda-tanda).
Perkataan penulis (وكيفية الاستدلال بها) ini berkedudukan menjadi ma’tuf kepada (طرقه) maksudnya Sesungguhnya bahasan ushul fiqih itu yang dalil-dalil fiqih yang bersifat ijmâl (global) dan cara mengambil kesimpulan dari dalil yang ada untuk sampai pada hukum.
Inilah bahasan ushul fiqih. Pertama, dalil-dalil yang bersifat ijmali. Kedua, cara menyimpulkan dari dalil yang ada untuk sampai pada hukum. Bisa hukumnya wajib, sunnah mubah, makruh atau haram. Ketika menyimpulkan dan hasilnya bukan hukum, berarti bukan bahasan ushul fiqih. Sangat mungkin ada di beberapa ilmu yang lain bisa jadi yang dibahas sama tetapi yang disimpulkan berbeda.
Ada bahasan ketiga yaitu mengetahui keadaan orang yang beristidlâl. Orang yang beristidlâl itu disebut mujtahid.
Orang yang mengambil kesimpulan. Ini juga masuk bahasan ushul fiqih.
Penulis meninggalkan bagian ketika ini karena pembahasan tentang cara istidlâl itu akan mendorong untuk membahas sifat-sifat orang yang beristidlâl.
Dalam hemat penulis, jika membahas kaifiyah sudah otomatis akan juga membahas orang yang membahas itu. Pembahasan tentang siapa beserta sifat-sifat seseorang yang melakukan istidlâl merupakan pengembangan dari bahasan kaifiyah
Maka penulis mencukupkan dengan menyebutkan kaifiyah (cara) istidlâl dari menyebutkan sifat-sifat orang yang beristidlâl yaitu mujtahid.
Maksudnya dicukupkan dengan membahas kaifiyah istidlâl tidak perlu menyebutkan sifat-sifat orang yang akan berijtihad karena itu sudah cukup.
Dan ini akan disebutkan di bagian akhir dari kitab al Waraqat.
Dan ini bukan hanya khusus dalam kitab al Waraqat. Buku-buku yang lain juga begitu. Buku-buku yang lain juga biasanya menyebutkan dengan tiga bahasan. Ada Muqaddimah, ada inti pembahasan ushul fiqih, kemudian pada bagian akhir tentang hâl mustadil atau bahasan tentang mujtahid, muttabi, muqallid. Itu bahasanya nanti di belakang.
Sebagaimana penulis sampaikan “diantara syarat mufti adalah dia ‘âlim (punya pengetahuan tentang fiqih)………….. Dst)
Yang dimaksud dengan ungkapan (وكيفية الاستدلال بها) adalah cara mengambil kesimpulan dari dalil-dalil fiqih yang bersifat global hal tersebut dengan mengetahui dalâlatul alfâdz dan syarat-syarat istidlâl.
Dalâlatul alfâdz merupakan salah satu contoh bahasan di ushul fiqih. Salah satu bagian yang perlu dikuasai oleh orang yang belajar fiqih adalah dalâlatul Alfadz. Di semua bahasan ushul fiqih ada bahasan dalâlatul alfadz. Mulai dari buku yang sederhana sampai buku-buku ushul fiqih yang ulasannya panjang lebar. Misalnya al-mustasyfa nya Al Ghazali, di bawahnya lagi ada Raudhatunnâdzir.
Contoh dari pembahasan dalâlatul Alfadz adalah bahasan ‘âm dan khâs, muthlaq dan muqayyad.
Definisi ini mohon bisa difahami jangan didefinisikan dengan pengertian yang ada dalam bahasa Indonesia. Karena belum tentu bisa mewakili keseluruhan maknanya. Di bahasan selanjutnya dalam kitab ini, nanti akan dibahas apa yang dimaksud dengan ‘âm, khâs, berikutnya juga tentang muthlaq, muqayyad. Pembahasan ini diperlukan agar bisa membedakan masing-masing dari istilah tersebut. Definisi tersebut perlu didudukkan. dan masing-masing istilah tersebut perlu difahami dengan baik baik itu definisinya maupun contoh-contoh bahasannya. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, bisa saja maknanya sama. Seperti makna umum dan mutlak yang terkadang itu dibuat untuk mengartikan ‘âm dan muthlaq.
Contoh dari pembahasan syarat-syarat istidlâl adalah seperti bahasan:
- Membawa makna yang masih muthlaq kepada makna yang muqayyad
Pembahasannya apakah semua makna muthlaq itu dibawa kepada makna muqayyad? Kapan makna muthlaq itu dibawa kepada makna muqayyad? Pembahasan seperti ini nanti ada dalam bahasan muthlaq dan muqayyad.
- Takhsîs al ‘âm
Yaitu bahasan sesuatu masih bersifat umum kemudian di takhsîs (dikhususkan). Dalam bahasan selanjutnya, apakah mengambil bagian kecil dari ‘âm tadi? atau apakah bisa mengambil bagian yang lebih besar? Bahasan berikutnya, lafadz-lafadz yang bisa digunakan untuk takhsîs itu apa saja?
- Me-râjih-kan ketika ada pertentangan
Ada dalil yang sama-sama kuat, satu bertentangan dengan yang lain. Bagaimana cara merâjihkannya? Di dalam pembahasan ini, nanti ada bahasan tentang qawâid tarjîh. Qawâid tarjîh itu ada yang berbasis hadits, maka nanti ada qawâid tarjîh yang berhubungan dengan hadits. Ada juga qawâid tarjîh yang berhubungan dengan selain hadits. Karena tidak semua dalil berbentuk hadits.
Contoh bahasannya haditsnya lebih banyak dan tingkatannya lebih shahih, sama-sama shahih tetapi yang satu lebih shahih dari yang lain. Kemudian itu dijadikan sebagai alasan tarjîh. Kemudian makna tarjîh itu tidak selalu maknanya bahwa “ini yang benar, ini yang salah” tapi bisa jadi lebih kepada bahasan “yang berhubungan dengan afdol dan tidak afdol”. Nanti bahasan nya di bahas tarjîh.
Dan yang lainnya yang dibahas di ilmu ushul fiqih.
Kemudian penulis menyebutkan bab-bab yang terdapat pada ushul fiqih agar pembaca lebih bersemangat dan bersiap-siap.
Belajar ushul fiqih ini belajar ilmu yang perlu ketelitian, perlu kecermatan, perlu kesungguhan dan kadang-kadang perlu memeras otak. Maka perlu bersemangat untuk mempelajarinya.
Dengan penyebutan bab-bab diatas, walaupun belum masuk ke dalam bahasan secara detail sudah bisa dibayangkan bahasannya.
(di dalam matan), Penulis tidak menyebutkan bab muthlaq dan muqayyad.
Padahal jelas bahasan muthlaq dan muqayyad itu masuk dalam bahasan ushul fiqih.
Karena beliau (syaikh al Juwaini) akan menyebutkan bahasan muthlaq dan muqayyad dalam bahas tentang ‘âm dan khâs karena ada kesesuaian dengan dua bahasan tersebut.
Bahasan muthlaq dan muqayyad tidak disebutkan secara khusus tetapi akan dibahas. Otomatis masuk dalam bahasa ‘âm dan khâs.
Wallâhu a’lam
Inilah bahasan inti ushul fiqih. Di mulai dari awal sampai akhir. Bisa dibayangkan sejak sekarang masing-masing bahasa itu perlu dipahami dan dikuasai dengan baik. Dengan penyebutan yang dilakukan penulis, jikalau mau langsung sekaligus dibahasnya dengan mendalam juga memungkinkan. Maksudnya begini, meskipun penjelasan buku ini untuk pemula, pada saat penjelasan, dibarengi dengan mencari ulasan-ulasan yang terkait pembahasan ini sampai dengan kebahasaan-bahasan yang lebih dalam itu sangat memungkinkan.
Misalnya pembahasan Amr dan Nahyi. Yang disampaikan disini sederhana. Memahami bahasan Amr dan Nahyi dibarengi dengan buku-buku khusus yang membahas tentang Amr dan Nahyi yang ulasannya lebih luas dari apa yang disampaikan di sini. Belajarnya sambil memperluas bahasan tersebut agar cakupan bahasannya bisa ditangkap dengan lebih utuh.
Hal lain yang perlu difahami ketika masuk ke bahasan, perlu membiasakan bahasan ini di dudukan apa adanya. Istilah-istilah yang ada sengaja tidak diterjemahkan meskipun terjemah harfiah ada. Biarkan istilah tersebut apa adanya, karena istilah-istilah ini akan berhubungan dengan pemaknaan istilah tersebut. Jangan sampai diartikan lalu menjadi rancu.
Misalnya istilah ‘âm diterjemahkan umum. Sementara mujmal, muthlaq di beberapa bagian pun bisa bermakna umum. Sehingga menjadi kesulitan dalam mendefinisikannya.