Definisi Ilmu dan Jahl
Bahasan di bawah ini belum masuk ke dalam bahasan yang berhubungan dengan ushul fiqih. Pembahasan ushul fiqih dalam kitab al waraqat akan ditemukan setelah pembahasan ilmu dan jahl, lalu aqsâm al ilm (pembagian ilmu), kemudian pembahasaan dzan dan syak.
وَالفِقْهُ أَخَصُّ مِنَ العِلْمِ وَالعِلْمُ مَعْرِفَةُ الـمَعْلُومِ عَلَى مَا هُوَ بِهِ فِي الوَاقِعِ وَالـجَهْلُ تَصَوُّرُ الشَّيءِ عَلَى خِلَافِ مَا هُوَ بِهِ فِي الوَاقِعِ
Artinya:
Fiqih itu lebih khusus daripada Ilmu. Ilmu adalah mengetahui sesuatu sebagaimana adanya dalam realita. Jahl adalah membayangkan sesuatu berbeda dengan realita.
Ungkapan singkat. Definisi disampaikan dengan sangat sederhana, akan tetapi maknanya cukup dalam. Dalam definisi di atas terlihat pembahasannya ada fiqih, ilmu dan jahl.
Yang dimaksud dengan fiqih di sini adalah makna syar’i. Bukan makna bahasa.
Secara bahasa fiqih bermakna paham. Ada juga yang mengatakan pemahaman yang baik, yang mendalam. Hari ini ada ungkapan fiqih, ilmu fiqih, kajian fiqih. Ungkapan itu dimaknai dengan makna istilah bukan bahasa.
Fiqih menurut istilah adalah mengetahui hukum-hukum syar’i. Pembahasan ini sebagaimana terdahulu.
Hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliah. dan bahasan ini sudah dibahas sebelumnya. Jika yang dimaksud dengan fiqih itu mengetahui hukum-hukum syar’i, maka jelas Fiqih itu lebih khusus (sempit) daripada ilmu.
Atau difahami dengan ungkapan yang lain, sebagaimana yang disampaikan syaikh al Fauzan dibawah ini:
Ilmu itu lebih umum (luas) maknanya daripada fiqih. Karena ilmu itu bisa masuk di dalamnya tafsir, hadits, nahwu, balaghah dan lain sebagainya.
Ketika menyebut ilmu maka masuk didalamnya ada tafsir, hadits, tarikh, dan masih banyak yang lain. Fiqih termasuk di dalamnya.
Maka jadilah fiqih lebih khusus dari ilmu. Ada istilah setiap fiqih itu ilmu dan tidak semua ilmu itu adalah fiqih.
Perlu dibiasakan mengetahui mana yang khusus mana yang umum. Bahasa-bahasa seperti ini adalah satu cara untuk melatih kemampuan logika dan nalar untuk menggunakan istilah tersebut. Juga untuk memahami bagaimana cara ulama mengungkapkan ungkapan tersebut. Nanti akan ditemukan ungkapan “bahwa ini lebih khusus dari satu sisi dan itu lebih khusus dari sisi yang lain”.
Pembahasan istilah khusus dan umum di ushul fiqih akan ditemukan pembahasannya di belakang yang terkait pembahasan lafadz ‘âm dan khas.
Bahasan fiqih adalah bagian dari bahasan ilmu yang luas.
Perkataan penulis (وَالعِلْمُ مَعْرِفَةُ الـمَعْلُومِ عَلَى مَا هُوَ بِهِ)
Ilmu itu juga digunakan untuk serangkaian pengetahuan yang sifatnya dzan râjih. Dalam kajian fiqih juga ushul fiqih ada namanya dzan râjih. Dalam beberapa bahasan fiqih tidak sampai pada tingkatan ilmu yang yakin namun hanya sampai dzan râjih. Tingkatan ini ada disebabkan salah satunya ada perbedaan pendapat.
Dalam ilmu juga ada yang bersifat qath’I dengan syarat dia sudah menjadi satu keteraturan tentang tema, topik atau bahasan tertentu. Seperti ilmu fiqih, ilmu ushul, ilmu nahwu, ilmu balaghah dan ilmu lainnya. Adanya keteraturan dan urutan pembahasan yang sudah tersusun sedemikian rupa itu dinamakan “munadzamah”.
Seperti misalnya masuk ke ilmu fiqih. Ilmu fiqih ini tertata dengan rapih. Mulai dari kitab, lalu di bawahnya ada bab, lalu pasal, lalu mabhats (pembahasan), lalu dibawahnya lagi ada matlab. Nama-namanya sudah diatur sedemikian rupa. Kemudian sangat tertata dari urutan bahasannya. Biasanya fiqih ibadah terletak sebelum fiqih muamalah. Jika difokuskan kepada fiqih ibadah, maka di dalam fiqih ibadah biasanya dimulai dari thaharah, baru masuk ke shalat. Urutan seperti ini, hampir menjadi semacam sebuah kesepakatan penggunaan sistematika seperti ini. Tertata dengan sangat rapi dengan sangat luar biasa.
Yang perlu dikenali juga dalam bahasan seperti ini adalah referensi atau literatur yang membahas bahasan seperti ini. Diantaranya ada buku yang berjudul Dhawâbith al Ma’rifah, juga al Masâil al musytarikah baina ushûl al dîn wa ushûl fiqh”. Dalam kitab itu dibahas masalah-masalah yang di situ ada titik temunya (irisan) antara ushuluddin dan ushul fiqih.
Yang dimaksud dengan al ma’rifat adalah menangkap.
Kalau itu indra maka fungsi melihat, mendengar, mencium, meraba dan mengecap itu bisa difahami al idrâk (menangkap). Selain panca indra, bisa juga yang lain.
Yang dimaksud dengan al ma’lûm adalah sesuatu yang memang dia untuk diketahui. Definisi ini dua bagian yang menjadi pembatasnya. Ada pembatas ketiga yaitu ma’rifat jâzimah.
Perlu kembali diingat bahwa dalam definisi itu para ulama selalu berusaha dalam setiap bahasan yang ada memenuhi sifat jâmi’ dan mâni’. Tujuannya adalah untuk membatasi. Dalam definisi yang disampaikan syaikh al Juwaini ini, ada dua bagian yang menjadi pembatasnya. Yaituمعرفة المعلوم dan علي ما هو به. Sedangkan syaikh al Fauzan menambahkan satu lagi pembatas yaitu معرفة جازمة. Beliau mengambil dari kitab al ushûl min ‘ilmi al ushûl. Tambahan ini untuk melengkapi definisi ilmu. Berarti definisi ilmu itu menjadi: معرفة المعلوم علي ما هو به معرفة جازمة.
Adapun yang dimaksud dengan batas pertama (معرفة المعلوم) adalah mengeluarkan secara otomatis عدم الإدراك.
Keluarnya عدم الإدراك dikarenakan dia bukan makrifah.
Adapun yang dimaksud dengan عدم الإدراك adalah al Jahl al bashît.
Sekarang di sini sudah mulai dikenalkan istilah al Jahl al bashît. Yang dimaksud dengan al jahl al bashît adalah ketidaktahuan atau kebodohan tapi pada level yang ringan.
Contohnya ketika ditanyakan “tolong definisikan Apa itu mandûb?” lalu dijawab: “saya tidak tahu”
Bisa juga contohnya ditanya bahasan yang lain, tentang istilah atau rumusan masalah lalu dia mengatakan “saya tidak tahu” itu berarti al jahl al bashît.
Al jahl al bashît ini bisa terjadi pada semua orang. Ketidaktahuan seperti ini nanti ada yang bisa dimaklumi. Namun, pada orang-orang tertentu agak sulit unutk dimaklumi kalau pengetahuan-pengetahuan tersebut sifatnya dasar.
Adapun yang dimaksud batasan kedua (علي ما هو به) adalah mengetahui sesuatu sebagaimana realitanya. Dengan batasan ini akan mengeluarkan pengetahuan tentang sesuatu tapi dengan cara yang tidak sesuai dengan kenyataannya. Inilah yang dinamakan dengan Al Jahl al murakkab.
Orangnya disebut jâhil. Sedangkan perilakunya dikatakan al jahl.
Syaikh al Juwaini mendefinisikan al Jahl al murakkab dengan:تَصَوُّرُ الشَّيءِ عَلَى خِلَافِ مَا هُوَ بِهِ .
Ada juga definisi yang lain yang maknanya hampir sama. Beberapa redaksinya ada perbedaan-perbedaan sedikit, tetapi intinya seperti itu. Tashawwur itu bisa bermakna gambaran, persepsi sehingga membentuk pengetahuan dan pemahaman yang bertentangan atau tidak sesuai dengan kenyataannya. Dia membayangkan sesuatu tapi bertolak belakang atau tidak sama dengan kenyataannya.
Letak perbedaan antara al jahl bashît dengan al jahl al murakkab adalah al jahl al bashît dia memang betul-betul tidak tahu. Sedangkan al jahl al murakkab dia mengetahui namun tidak sebagaimana mestinya.
Sebagian naskah berbunyi علي خلاف ما هو عليه في الواقع, (bertentangan, berbeda dengan apa yang ada dalam kehidupan nyata). Redaksi ini lebih jelas.
Yang dimaksud dengan Tashawwur adalah pengetahuan yang belum dimasukkan hukum di dalamnya.
Baru sekedar mengetahui belum masuk ke dalam bahasan hukumnya.
Perhatikan bagaimana syaikh al Juwiani mengatakan ilmu itu makrifat. Sedangkan pada saat mendefinisikan al jahl, beliau mendefinisikan dengan tashawwur karena al jahl itu bukan pengetahuan. Hal itu terjadi di benaknya. Itulah yang dinamakan tashawwur.
Pada saat membahas ilmu, syaikh al Juwaini menggunakan redaksi ma’rifah, sedangkan untuk al jahl beliau menggunakan redaksi tashawwur. Pilihan kata yang digunakan tidak sama. Redaksi tashawwur bermakan seseorang itu mempersepsikan, menggambarkan sesuatu yang ternyata tidak sama dengan realitanya. Dia mencoba menghubung-hubungkan. Orang yang menghubung-hubungkan sesuatu itu bisa benar bisa salah. Di dalam kepalanya dia membayangkan “kalau begini, berarti begini”. Apa yang dibayangkan di kepalanya mungkin iya dan sangat mungkin juga tidak.
Dari penjelasan ini semua, nampak syaikh al Juwaini begitu teliti dalam mendefinisikan al jahl sebagai lawan dari ilmu.
Contoh al jahl al murakkab, ketika di tanya “Apakah boleh shalat dengan tayamum ketika tidak mendapatkan air?” lalu dia menjawab: “Tidak boleh”.
Menjadi kebiasaan para ulama untuk membantu mengajarkan sesuatu apalagi untuk pemula supaya memahami sesuatu dengan baik, agar sesuatu itu dipahami dengan benar maka diperlukan contoh. Pengertian, pemahaman dan definisi yang ada bisa semakin jelas jika disertai dengan contoh. Ada ungkapan بالمثال يتضح المقال (dengan contoh menjadi jelas).
Dalam beberapa kasus, kadang-kadang jika hanya sekedar rumusan tidak disertai dengan contoh orang bisa membayangkan dan membuat contoh-contoh yang keliru. Biasanya bahasan seperti ushul fiqih, qawaid ushuliyah termasuk qawaid fiqhiyah contoh itu akan sangat diperlukan supaya jelas. Ada kaidah-kaidah yang bisa jadi dipahami oleh sebagian orang keliru, karena kaidah nya mirip. Supaya jelas maka perlu diberi contoh.
Dinamakan al Jahl Murakkab karena orang tersebut meyakini (membayangkan) sesuatu berbeda (bertolak belakang) dengan kenyataannya. Ini adalah al jahl. Dia meyakini bahwa dirinya meyakini sesuatu sebagaimana apa adanya. Ini adalah al Jahl yang lain.
Dalam al Jahl murakkab terjadi dua kejahilan. Pertama, dia meyakini, membayangkan atau mempersepsikan sesuatu bertolak belakang dengan kenyataannya. Dan ini kebodohan atau kejahilan. Kedua, dia yang meyakini bahwa dirinya sudah meyakini sebagaimana mestinya, sebagaimana realitanya. Inilah kejahilan yang lain.
Maka di dalamnya ada dua kejahilan. Pertama, jahlun bilmudraki (ketidaktahuan, kebodohan tentang sesuatunya, objeknya) Kedua, Jahlun biannahu Jâhil (dia tidak tahu bahwa dirinya jahil).
Pertama sebetulnya dia tidak tahu tentang sesuatu itu. Sedangkan yang kedua, dia mengira bahwa dirinya tahu padahal sebenarnya dia tidak tahu. Maka dinamakan jahl murakkab.
Sekarang ini yang masuk kategori al Jahl murakkab itu bisa banyak. Bahkan bisa semakin banyak karena adanya orang-orang yang “tathofful”, ada orang-orang yang mencoba masuk beberapa ilmu tetapi dia tidak mengusai ilmu tersebut. Bahkan sampai materi yang dasar sekalipun tidak mengerti. Misalnya ada orang tidak pernah belajar pengantar tentang madzhab. Baik itu di madzhab Syafi’i atau mazhab yang lain. Lalu membahas sebuah bahasan. Ketika mendefinisikan sesuatu, dia kemudian comot sana-sini termasuk dari buku madzhab yang terkenal. Di dalam madzhab tersebut ada ungkapan “wa fiihi wajhun âkhar” kata “wajhun” di situ artinya apa? kalau masuk di madzhab, kata tersebut punya pengertian khusus. Istilah tersebut tidak bisa diterjemahkan dengan makna harfiyah. Para ulama dengan sangat teliti menggunakan istilah-istilah tersebut. Semuanya itu ada pengertian sendiri-sendiri. Termasuk al Jahl murakkab ketika dia yang merasa faham, lalu menerjemahkan secara harfiyah istilah-istilah tersebut.
Contoh lain dalam memahami istilah-istilah khusus, imam an Nawawi misalnya mengatakan “Qâla ashâbuna” ada yang merasa mengerti lalu diterjemahkan “teman-teman kami”. Kalau diartikan “teman-teman kami” tentu akan memunculkan banyak pertanyaan. Siapa yang dimaksud teman oleh imam an Nawawi? Kalau yang dimaksud adalah ulama segenerasi beliau, pertanyaan selanjutnya bagaimana dengan ulama-ulama yang dikutip beliau padahal tidak hidup sezaman dengan beliau? Tentu memaknai “Qâla ashâbuna” bukan dengan makna “teman-teman kami”.
Bahkan kalau sudah masuk ke beberapa cabang ilmu, penyebutan nama ulama hadits misalnya sudah terikat dengan makna khusus. Sebagai contoh, ketika disebut nama Sufyanani (dua sufyan), Sufyan siapa yang dimaksud? Ada sufyan al tsauri ada sufyan uyainah. Begitu juga dalam hadits ketika disebut dari Abdullah. Yang terkenal ada 4 nama Abdulllah akan tetapi apakah yang bernama Abdullah hanya 4?
Ini adalah contoh bentuk-bentuk dari al Jahl murakkab. Karena sedikitnya pengetahuan, dia tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu. Ketika masuk ke beberapa cabang seperti ilmu tafsir, hadits, nahwu dan yang lainnya, ketika orang tersebut tidak mengetahui dengan baik namun merasa mengetahui maka munculah yang namanya al jahl murakkab.
Adapun al Jahl al bashît adalah dia tidak mengetahui secara keseluruhan.
Ketidaktahuannya masih level sederhana. Maksudnya itu bisa terjadi pada siapapun. Bahkan orang yang pernah belajar sekalipun, bisa mengalaminya. Dan itu biasa saja karena memang adanya ketidak tahuan.
Sebagai contoh, dalam bahasan ushul fiqih misalnya, masuk pembahasan ada bahasan qiyas syabâh. Ada pertanyaan, “apa perbedaan qiyas syabah dengan qiyas aula?” Di jawab: “Saya tidak tahu?” situasi seperti ini disebut al Jahl al bashît.
Adapun yang dimaksud dengan batasan ketiga (معرفة جازمة) adalah untuk mengeluarkan pengetahuan yang tidak yakin. Karena sesungguhnya sesuatu antara tahu dan tidak tahu dinamakan syak.
Syak itu diartikan ragu-ragu. Tidak betul-betul yakin.
Jika yang satu lebih unggul dari yang lain yang paling râjih disebut dzan sedangkan yang marjûh disebut wahm.
Ada beberapa istilah yang didapatkan di sini. kalau dia mengetahui sesuatu dengan pengetahuan al ma’rifah al jâzimah maka berarti ada pengetahuan yang al ma’rifah ghairu jâzimah. Bisa berbentuk syak atau wahm. Ketika ada batasan ghairu jâzimah berarti ada pengetahuan yang didapati seseorang tetapi bisa jadi masih dalam tingkat syak (ragu-ragu). Syak itu muncul karena dua hal yang mempengaruhi pengetahuan dan pemahaman berada pada posisi berimbang.
Sedangkan untuk al jahl itu sudah dibahas sebelumnya. Tanpa ada kalimat ghairu jâzimah pun bahasan al Jahl sudah ada.
Untuk melihat bahasan ini secara utuh, bagusnya langsung menghadirkan contoh dalam bahasan ushul fiqih atau bahasan fiqih. Misal dalam qiyas itu ada istilah tankîhulmanat ada tahqîqulmanat ada ashobru wa taqsîm, ada metode membahas tentang illat. Ketika mendengar istilah-istilah tersebut akan muncul beragam pemahaman terhadap istilah-istilah tersebut.
Pertama, ketika mendengar isitlah-istilah tersebut dia langsung mengatakan “saya tidak tahu” berarti dia dalam level al Jahl basîth.
Kedua, ketika mendengar isitlah-istilah tersebut nampak kebingungan, ragu-ragu, tidak mampu membedakan antara tankîhulmanat dan tahqîqulmanat padahal dulu sempat mempelajari. Berarti dia dalam dalam level syak.
Ketiga, ketika mendengar isitlah-istilah tersebut pengetahuannya sudah mulai mengerucut. Kemudian dia coba menelusuri. Mulai bisa mengurai istilah istilah tersebut namun belum terlalu yakin. Berarti dia dalam level dzan.
Keempat, ketika mendengar isitlah-istilah tersebut dia langsung bisa menjelaskan dan menempatkan istilah-istilah itu dengan tepat. Berarti dia dalam level ma’rifah jâzimah.
Kelima, ketika mendengar isitlah-istilah tersebut dia pengetahuan tentang itu sangat minim jadi nggak terlalu yakin untuk masuk ke bahasan itu. Berarti dia dalam level wahm.
Istilah-istilah tersebut di atas lebih tepatnya tidak diterjemahkan. Kalau diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia bisa keluar dari makna yang dimaksud. Pemahaman istilah-istilah tersebut hanya berlaku untuk di ushul fiqih saja. Sebab rumusan definisi dzan misalnya untuk diluar ushul fiqih berbeda dengan rumusan dzan dalam ushul fiqih. Syaikh al Fauzan menutup bahasan ini dengan ungkapan,
Saya akan sebutkan hal tersebut sebentar lagi insya Allah.