Sebagian Hukum Wad’i
Kesempatan ini masuk ke bahasan ahkâm Wad’i. lebih tepatnya sebagian dari hukum Wad’i. Ada beberapa jenis hukum Wad’i. namun dalam bab ini hanya disebutkan dua. Itulah mengapa judulnya yang ditulis oleh syaikh Sholeh al Fauzan sebagian hukum Wad’i.
وَالصَّحِيحُ مَا يَتَعَلَّقُ بِهِ النُّفُوذُ وَيُعْتَدُّ بِهِ وَالبَاطِلُ مَالَا يَتَعَلَّقُ بِهِ النُّفُوذُ وَلَا يُعْتَدُّ بِهِ
Artinya:
Shahîh adalah sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan/terlaksana dan diperhitungkan. Sedangkan Bâthil adalah sesuatu yang tidak berkaitan dengan pelaksanaan dan tidak diperhitungkan.
Ini adalah contoh pembahasan dengan menyebutkan dua hal yang bertolak belakang. Artinya shahih itu lawannya bathil. Sering disebut juga istilah “sah” dan “batal”.
Dalam uraian penulis seperti biasa, akan dijelaskan dahulu definisi secara bahasa baru nanti masuk makna istilah.
Shahîh dan Bâthil itu termasuk bagian dari hukum wad’i. Keduanya merupakan bagian dari hukum yang ditetapkan oleh pembuat syariat ini untuk ibadah dan akad-akad.
Kenapa perlu disebutkan akad-akad? ini dilakukan oleh syaikh Shaleh al Fauzan, karena sebenarnya penulis al waraqat (imam al Juwaini), dalam tulisannya memberikan kesan bahwa bahasan ibadah itu sudah diselesaikan dengan hukum sebelumnya (hukum taklif). Ada hukum wajib, mandub, mubah, makruh dan haram. Sementara kelengkapan bahasan hukum tersebut ada di bahasan ini. Yaitu shahîh dan bâthil.
dari keduanya akan dibangun hukum-hukum syar’i.
dalam bahasan dibawah ini, akan ada hukum-hukum syar’i yang berkaitan dengan shahih dan bathil.
- Shahîh
Shahîh menurut bahasa adalah yang selamat dari penyakit. Penyair berkata:
وَلَيلٍ يَقُولُ الـمَرْءُ مِن ظِلْمَاتِهِ # سَوَاءٌ صَحِيحَاتُ العُيُونِ وَعُورُهَا
Dalam membahas syair bisa banyak hal yang dibahas. Tetapi dikesempatan ini dicukupkan dengan syahidnya yaitu redaksi صحيحلت العيون menunjukan makna sehat, selamat dari penyakit.
Sedangkan shahîh menurut istilah adalah sesuatu yang pelaksanaan baik itu wujudnya akad atau ibadah berhubungan dengan hal tersebut.
Dikatakan hukumnya shahih berarti berhubungan dengan dua hal. Pertama, nufûdz (bisa terlaksana, bisa diteruskan, bisa dijalankan). Kedua I’tidâd (bisa diperhitungkan secara syar’i).
Akad disifati oleh dua hal. Nufûdz dan I’tidâd. Sedangkan ibadah itu hanya disifati oleh I’tidâd.
Ini adalah pembahasaan yang dikenal di kalangan para ulama ushul fiqih. Akad itu disifati di dalamnya dua hal nufûdz dan i’tidâd. Akad yang dikatakan shahîh ketika bisa dilaksanakan dan diperhitungkan bahwa akad tersebut termasuk akad yang sah.
Sedangkan ibadah hanya satu. Dia disifati dengan I’tidâd saja. Maknanya bisa diperhitungkan secara syar’i.
I’tidâd adalah lafadz yang bisa digunakan untuk ibadah dan akad. Seandainya penulis al waraqat mencukupkan dengan lafadz ini, tentunya lebih simpel.
Seandainya syaikh al Juwaini mencukupkan hanya dengan menuliskan salah satunya. Maka beliau akan menuliskan lafadz I’tidâd. Karena lafadz nufûdz tidak berlaku untuk ibadah. Tentu penyebutan lafadz I’tidâd membuat lebih ringkas dan lebih simpel.
Kecuali dikatakan “beliau mengumpulkan dua hal tersebut dengan maksud untuk menjelaskan kepada pembelajar pemula.
Yang perlu dipahami oleh semua yang belajar, pada saat belajar di level tertentu pada ilmu tertentu, bisa jadi akan bertemu dengan beberapa bahasan yang saat naik ke jenjang berikutnya ditemukan bahasan yang lain. Ada yang mungkin dikoreksi, dikurangi, dilengkapi. Karena dalam menapaki tangga ilmu itu, tidak selalu yang berada di level mubtadi itu dengan level di atasnya selalu sama. Dalam semua bagian. Termasuk definisi, batasan atau rumusan.
Contohnya saat belajar ilmu Nahwu, di level yang paling dasar baru dikenalkan istilah asmâul khamsah. Di level berikutnya, ternyata ada yang lain. Hal seperti ini suatu hal yang biasa. Tentu ada pertimbangan terhadap apa yang dilakukan oleh para ulama.
Itulah kenapa salah satu komentar dengan redaksi “belum nyampe ke situ” kadang muncul terhadap orang-orang yang memberikan penilaian terhadap sesuatu yang belum bisa dijangkau oleh kemampuan ilmu dan akalnya.
Dulu syaikh Bakkar Abu Zaid pernah menyampaikan bahwa terkadang apa yang dipelajari di tahap lanjutan, mungkin level 3 atau level advance, lalu disampaikan kepada pemula Itu menjadi fitnah. Sebaiknya tidak disampaikan. Menunggu waktu yang pas.
Mereka yang berada dilevel pemula kadang bingung dengan materi yang disampaikan untuk konsumsi level advance. Kemampuan memahami seperti ini, terkadang harus di maklumi. Mereka belum sanggup untuk mencerna hal-hal seperti itu.
Ibadah dan akad itu dikatakan sah jika syarat-syaratnya terpenuhi dan penghalangnya sudah ditiadakan jika tidak maka tidak diperhitungkan. Contohnya: Siapa yang shalat dengan shalat yang mengumpulkan semua syarat-syaratnya, semua rukun-rukunnya dan menafikan semua penghalangnya maka salatnya sah. Maksudnya telah diperhitungkan secara syari’at. Contoh yang lain, Siapa yang menjual barang tertentu dengan sudah mengumpulkan semua syaratnya dan semua penghalangnya dihilangkan maka menjual tersebut bisa dijalankan dan diperhitungkan secara syari’at.
Dalam sebuah pembelajaran, dimunculkan contoh itu penting. Kehadiran contoh untuk memperjelas sebuah kaidah bagi yang baru belajar. Mencerna kaidah dan mencerna rumusan. Mencerna semua itu akan lebih mudah kalau disertai dengan contoh. Kalau tidak disertai dengan contoh kadang-kadang membingungkan atau bisa jadi pada saat penerapan keliru karena tidak paham kaidah, berikut penerapannya.
Nufûdz menurut bahasa adalah melampaui. Nufûdz itu berasal dari nufudzsahmi, yaitu sampainya maksud dari panah.
Jadi kalau ada yang memanah, lalu panah tersebut dilapas kemudian sampai di benda tertentu atau titik tertentu itu namanya nufûdz.
Sedangkan makna nufudz menurut istilah adalah perilaku yang masing-masing pihak yang terlibat dalam perilaku tersebut tidak sanggup mengangkatnya.
Contohnya seperti akad jual beli, sewa menyewa, nikah dan semisalnya. Jika akadnya sudah terjadi dengan cara yang shahih maka tidak ada satupun dari dua pihak yang melakukan akad tidak ada yang sanggup untuk mengangkat.
Artinya kalau sudah terjadi akad jual beli dengan cara shahih maka pembeli sudah bisa memiliki hak penuh terhadap barang yang dibelinya. Pembeli bisa menggunakan barangnya untuk dirinya sendiri, diberikan ke orang lain atau dibawa pergi. Pihak penjual yang semula memiliki barang tersebut, sudah tidak punya hak dan tidak mampu untuk membatalkannya. Begitu juga ijarah (sewa menyewa) ketika sudah terjadi sewa menyewa maka tidak bisa dibatalkan. Misalnya pemilik kos-kosan atau pemilik rumah sudah menyewakan ke pihak lain kemudian sudah ditempati, tidak bisa dicabut lagi karena sudah terikat dengan akad tersebut. Selama tidak melakukan pelanggaran yang terjadi pada akad, baik itu syaratnya atau penghalangnya maka segala sesuatu yang berhubungan dengan konsekwensi akad tersebut tidak bisa dibatalkan. Begitu juga dengan nikah.
Ketahuilah bahwa ibadah itu punya pengaruh. Yaitu terlepasnya beban atau tanggung jawab mukallaf dan gugurnya tuntutan.
Kalau ibadah sudah dikerjakan maka tanggungjawab atau kewajiban yang ada di pundaknya sudah lepas. Tuntutan untuk mengerjakannya sudah tidak ada. Kalau belum, masih dikejar terus untuk dikerjakan.
Akad pun memiliki pengaruh. Yaitu buah atau tujuan yang dimaksudkan dari akad.
Untuk bab akad, tergantung dari akadnya. Karena akad berbeda-beda. Akad jual beli dengan ijarah (sewa menyewa) berbeda. Begitu juga akad nikah berbeda dengan akad-akad yang lain.
Jika ibadah dan akad itu sudah dihukumi sah maka pengaruh terhadap perbuatan tersebut juga berlaku. Maka beban atau tanggung jawab kewajiban yang ada di pundaknya menjadi gugur kalau itu masuk dalam bahasan ibadah. Begitu pula pengaruh dari akad akan berlaku jika sudah dikategorikan sah. Jika tidak dihukumi sah maka tidak berlaku.
Arti dari tidak berlaku bermakna kewajiban masih tetap ada di pundaknya. Kalau itu akad jual beli bermakna berpindah kepemilikan barang tidak bisa terlaksana.
Pengaruh dalam bahasan ibadah hanya satu.
Yaitu sudah lepas tanggung jawab atau kewajiban sudah gugur.
Adapun dalam akad, setiap akad itu punya pengaruh yang berbeda.
Hasil akhir yang berbeda.
Contoh dalam akad jual beli, pengaruh (konsekwensi) jual beli itu berpindahnya kepemilikan barang.
Sedangkan sewa menyewa konsekwensinya adalah terpenuhinya pemenuhan manfaat oleh salah satu pihak yang melakukan akad kerjasama dan pihak yang lain (yang menyewakan) berhak mendapatkan upah dari menyewakan (biaya sewa).
Contohnya sewa kendaraan. Berarti penyewa bisa memanfaatkan sepenuhnya kendaraan itu. Sesuai dengan yang dikehendaki. Hukum asalnya bisa mengambil manfaat sepenuhnya. Kecuali ketika akad ditambahi syarat pembatasan area jelajah, maka itu pun harus dipenuhi karena menjadi syarat.
Contoh lainnya sewa menyewa rumah. Pengaruhnya bisa berbeda-beda. Untuk digunakan sendiri, digunakan bersama-sama, untuk adiknya, digunakan bukan cuma untuk rumah tinggal tetapi sekaligus untuk bisnis atau untuk pusat kegiatan yang lain. Semua itu yang dinamakan manfaat sepenuhnya.
- Bâthil
Bâthil secara bahasa adalah yang pergi dengan sia-sia dan rugi.
Mengalami kerugian. Yang pergi mengalami kerugian, mengalami penyesalan, tidak mendapatkan yang diharapkan ini namanya bâthil.
Sedangkan bâthil secara istilah adalah kebalikan atau lawan dari shâhih. Sebagaimana yang dikatakan oleh penulis al waraqat bâthil adalah Nufûdz dan I’tidâd tidak berhubungan dengannya.
Bâthil itu artinya tidak dianggap bahwa ini bisa terlaksana atau tidak dianggap ini diperhitungkan.
Itu terjadi karena ada salah satu syaratnya tidak terpenuhi atau adanya satu penghalang dari penghalang yang ada.
Bisa karena salah satu syarat tidak terpenuhi atau ada satu penghalang. Dan ini cukup satu saja untuk disebut bâthil. Cukup satu syarat atau cukup satu penghalang tidak perlu banyak. Cukup satu syarat tidak terpenuhi nggak bisa diperhitungkan. Demikian pula ada satu penghalang dikerjakan maka tidak bisa terlaksana. Ini yang dinamakan dengan bathil.
Sesuatu dikatakan bathil maka pengaruh atau akibat dari perbuatan tersebut tidak berlaku.
Dalam bahasa indonesia disebut batal.
Dalam shalat misalnya, maka tidak lepas tanggung jawab atau kewajiban di pundak mukallaf dan tidak gugur tuntutan untuk mengerjakan.
Satu syarat dalam shalat tidak terpenuhi misalnya, maka masih ditagih, dikejar, ditanya dan dituntut untuk mengerjakan karena dianggap bâthil. Dalam bahasa indonesia shalatnya batal. Arti batal mengulang kembali. Shalatnya batal berarti mengulang kembali shalatnya. Puasanya batal berarti mengulang kembali puasanya. Sedang dalam bahasan haji, nanti adalah istilah fâsid selain batal.
Dan di dalam akad, buah yang diharapkan dari akad itu tidak bisa terlaksana atau tidak bisa dijalankan karena ada satu syarat atau karena ada satu penghalang sehingga dikatakan bathil.
Kalau ada akad dilaksanakan tapi ada syarat yang tidak terpenuhi maka konsekuensi dari akad itu tidak berlaku. Inilah yang dinamakan batal.
Contoh jika shalat tanpa thaharah maka shalatnya bâthil. Jika ia menjual yang tidak dimiliki maka jual belinya juga bâthil. Karena tidak terpenuhinya syarat shalat dan jual beli.
Shalatnya batal karena tanpa thaharah. Misal shalat Isya. Saat melakukan shalat isya berjama’ah bersama imam merasa bahwa tadi maghrib sudah shalat dan wudhunya masih ada. Dia lupa antara Maghrib dan Isya sudah batal. Begitu shalat Isya sudah selesai dia baru sadar sudah sempat batal, maka mengulang kembali shalat Isyanya karena dianggap tidak sah, meskipun sudah selesai shalatnya. Bahkan mungkin sudah shalat sunnah ba’diyah Isya terus pulang ke rumah, tetap harus mengulang kembali shalat isyanya karena thaharahnya belum ada.
Begitu juga jika ada yang menjual barang namun tidak dimiliki maka jual beli nya batal.
Seandainya shalat sunnah mutlak dilakukan pada waktu dilarang maka shalatnya bâthil.
Sebelumnya kurangnya syarat menjadi pembatal, sekarang adanya penghalang. Shalat sunnah mutlak itu tidak boleh dikerjakan pada waktu terlarang, misal antara subuh sampai terbit matahari atau antara ashar sampai terbenam matahari. Adanya ini dikategorikan batal.
Contoh yang lain, melakukan jual beli setelah adzan pada hari Jum’at dengan cara yang tidak dibolehkan, maka jual belinya di kategorikan bâthil. Menurut pendapat yang shahih. Hal itu karena adanya penghalang untuk dikatakan shahîh.
Dalam bab ini, ada perbedaan pendapat, tetapi ini adalah pendapat yang dianggap paling rajih oleh beberapa ulama.
Bâthil dan Fâsid itu satu makna menurut pendapat jumhur. Kecuali dalam beberapa masalah, para fuqoha memisahkan atau membedakan antara bâthil dan fâsid. Permasalahan yang paling masyhur di dua bahasan:
Asal bâthil dan fâsid itu sama maknanya. Yaitu rusak, batal. Kedua Istilah ini sama dan digunakan dalam banyak masalah yang sama. Hanya di beberapa masalah saja ada pembedaan yaitu:
- Tentang haji. Para ulama memisahkan atau membedakan antara bâthil danfâsid. Mereka berkata: fâsid adalah ketika seorang yang berihram melakukan hubungan suami istri sebelum tahallul awal. Sementara bâthil kalau sampai murtad dari Islam. Bagi yang fâsid dikatakan hajinya rusak. Dia tetap harus menyempurnakan sisa rangkaian hajinya
Namun harus mengulang haji lagi pada tahun berikutnya.
Bagi yang bâthil dia batal ihramnya dan dia harus keluar dari rangkaian ibadah haji.
Karena murtad, keluar dari Islam.
Dalam persoalan ini dibedakan antara bâthil dan fâsid. Bâthil itu untuk yang murtad. Sedangkan fâsid diistilahkan untuk yang melakukan hubungan suami istri sebelum tahallul awal.
- Tentang nikah. Mereka berkata: fâsidhanya diperlakukan jika di situ ada hal yang diperselisihkan atau ada perbedaan pendapat. Yaitu menikah tanpa wali. Sementara bâthil adalah ulama sepakat bahwa itu Bâthil. Seperti menikahi wanita yang sedang dalam masa iddah atau menikahi istri yang ke-5.
Jelas semua ulama sepakat menikahi wanita dalam masa iddah itu batal. Begitu juga menikahi istri yang ke 5, karena batas nya adalah 4.
Inilah bahasan tentang shahîh dan bâthil. Wallâhu a’lam.